Selepas bekerja, Jenny pun memutuskan untuk kembali ke rumah. Entah kenapa rasanya begitu lelah bekerja setiap hari tanpa libur sama sekali. Membuat gadis itu terkadang ingin sekali menyerah, tetapi ketika mengingat perjuangannya menjadi polisi tidaklah mudah. Akhirnya, Jenny pun memiliki sedikit kekuatan untuk bertahan.
Sebenarnya kasus yang tengah dikerjakan memang sedikit menyita banyak waktu, apalagi semua kasus saling berkaitan satu sama lain. Seakan memang sudah ada yang merencanakannya sejak lama.
Memikirkan kembali masalah kasus, Jenny mulai merasa sedikit tidak asing dengan orang-orang yang berada di dalam foto tersebut. Entah kenapa ketika dirinya berusaha mengingat, kepalanya mendadak sakit tak tertahankan.
Ketika Jenny merasa lelah dengan semua pekerjaannya, gadis itu menundukkan kepalanya dengan meletakkan pada kedua lipatan tangan sambil mengatur napas beberapa kali. Rasa lelah sekaligus beban di pundaknya sedikit terbuang.
Namun, suara ponsel berdering membuat gadis itu kembali mengangkat kepalanya dengan malas. Ia menatap ke arah benda pipih yang berderit pelan tepat di samping buku catatan. Sejenak Jenny membalikkan benda tersebut dan melihat nama sang penelepon yang terpampang jelas.
“Halo, Yuni! Ada apa?” sapa Jenny mengangkat panggilan tersebut dengan sengaja menggunakan pengeras suara agar tidak perlu diangkat sama sekali.
“Lo lagi di rumah, ‘kan? Gue bosan nih!” tanya gadis itu terdengar menghela napas panjang.
“Uhmm, datang aja kalau mau,” jawab Jenny setengah malas sekaligus tanpa tenaga.
Yuni tertawa kesenangan, lalu berkata, “Gue bawain makan malam. Mau, ‘kan? Kebetulan banget gue belum makan sehabis balik kantor tadi.”
“Iya, terserah,” balas Jenny.
Setelah itu, panggilan pun terputus dengan tiba-tiba membuat Jenny menggeleng tidak percaya mengetahui sahabatnya selalu saja sama. Bahkan Yuni pernah memutuskan panggilan tepat ketika selesai menanyakan sesuatu, tanpa memedulikan apakah Jenny masih ingin berbicara atau tidak.
Walaupun begitu, sering kali Jenny menegur gadis itu agar merubah sifatnya. Akan tetapi, tetap saja Yuni sulit untuk berubah. Sampai sering kali Jenny harus membiarkannya sampai sadar dengan sendirinya.
Mengingat Yuni hendak datang, Jenny yang mendadak malas pun mulai bangkit membereskan rumahnya. Agar Yuni tidak banyak berbicara dan berubah menjadi ibu rumah tangga yang mengomentari lingkungan tempat tinggal Jenny begitu buruk.
Tepat lima belas menit berlalu, Jenny pun mendengar suara bel rumah berbunyi. Membuat gadis itu langsung menebak bahwa Yuni telah sampai. Dan benar saja tebakannya, tepat di depan pintu terdapat Yuni berpakaian hoodie cokelat dengan rambut ponytail menggemaskan.
Jenny membuka pintu rumahnya dan mempersilakan Yuni masuk. Kedatangan sahabat perempuan satu-satunya itu membuat Jenny sedikit tidak mempercayai. Sebab, Yuni membawa banyak sekali makanan. Sampai Jenny merasa ragu bisa menghabiskannya dengan mudah.
“Setiap hari lo sendirian, Jen? Kok gue udah jarang ngelihat dua abang lo lagi,” tanya Yuni menatap sekeliling yang terasa kosong.
“Iya. Gue sendirian sejak abang gue pindah ke luar negeri,” jawab Jenny mengangguk singkat, lalu membuka lemari untuk mengambil beberapa piring. “Lo bawa makanan berkuah enggak?”
Yuni menatap sahabatnya dan menggeleng singkat. “Enggak. Tadinya gue mau beli soto, tapi ramai banget. Jadinya, beli nasi goreng seafood sama martabak.”
“Dua doang?” Kening Jenny mengernyit bingung, kemudian menunjuk ke arah plastik kresek yang begitu banyak. “Tapi, bawaan lo banyak banget.”
“Oh, ini!” Yuni tertawa singkat. “Ini belanja bulanan buat ngisi kulkas lo, Jenny. Gue tahu lo pasti malas ke swalayan. Jadi, gue sekalian beli.”
“Astaga, lo benar-benar seperti orang tua gue aja,” ungkap Jenny menggeleng tidak percaya menerima plastik kresek putih lumayan besar ternyata berisikan belanja bulanan untuk mengisi kulkas. “Btw, makasih, ya. Lain kali gue beliin barang yang lo pengen.”
Yuni tersenyum geli, lalu berkata, “Jodohin gue sama abang lo juga udah cukup, Jen.”
Mendengar perkataan tersebut, Jenny langsung melayangkan tatapan horror. “Yuni, lo boleh minta apa pun sama gue. Tapi, kalau lo jadi kakak ipar gue?” jeda Jenny menggeleng dengan bergidik ngeri. “Terbayang pun rasanya merinding. Asli, kita berdua itu cuma bisa sahabatan. Enggak bisa lebih.”
“Baru kali ini gue tertolak,” keluh Yuni mempoutkan bibirnya kecewa.
Jenny memutar bola matanya malas. “Udah, jangan kebanyakan halu. Mendingan sekarang lo makan. Nanti keburu makanannya dingin. Enggak enak.”
Setelah puas bersenda gurau tanpa melibatkan perasaan, akhirnya Jenny dan Yuni pun duduk di meja makan kecil. Keduanya terlihat saling menikmati makan malam dengan sesekali mengambil nuget yang telah disiapkan oleh Jenny.
Tak lama kemudian, makan malam pun selesai. Jenny dan Yuni terlihat menyandarkan tubuhnya nyaman merasakan perutnya penuh dengan diakhiri sendawa pelan. Membuat keduanya saling tertawa satu sama lain.
Ketika Jenny bangkit untuk mencuci piring, Yuni memilih untuk pindah ke ruang tengah. Seperti biasa, ia akan melihat keadaan rumah yang hanya dihuni oleh satu gadis. Akan tetapi, keadaan benar-benar bersih membuat Yuni tersenyum puas.
“Pasti lagi patroli rumah gue,” tebak Jenny mendesis sinis dan mendudukkan diri di sofa.
Yuni berbalik, lalu mengangguk pelan sembari berkata, “Tumben rumah lo bersih, Jen. Jangan-jangan lo bersihin dulu sebelum gue datang.”
“Emang!” balas Jenny lugas. “Gue malas dengar lo ngomel nanti.”
“Ya iyalan! Masa rumah cewek kotor banget,” balas Yuni tertawa pelan.
Jenny menggeleg pelan. “Yang penting sekarang udah bersih, jadi lo enggak perlu patroli segala. Karena gue langsung sadar diri.”
Dengan merasa puas akan lingkungan rumah tersebut, Yuni pun mendudukkan diri di samping sahabatnya. Kedua gadis itu tampak saling bersandar satu sama lain.
“Jen, gimana perasaan lo kerja jauh dari Delvin?” celetuk Yuni setelah beberapa saat terdiam.
Jenny menautkan kedua alisnya bingung, lalu membalas, “Enggak ada yang aneh. Cuma ngerasa sepi aja. Karena biasanya dia yang ngimbangi gue, tapi sekarang malah gue yang harus ngimbangi para senior.”
“Iya, sih. Gue juga awalnya ngerasa begitu. Secara kita satu tim sama petugas yang pengalamannya udah puluhan tahun. Sedangkan kita baru aja nyentuh dua ketertiban,” gumam Yuni mengangguk setuju. “Tapi, gue rasa kalau di balik ini semua akan ada sesuatu yang menguntungkan. Karena kita berdua pasti dapat pandangan lain dari para senior yang ada di sana.”
***