Deru napas terengah-engah membangunkan seorang gadis yang beberapa saat lalu tertidur lelap. Ia berkeringat cukup banyak. Dahi dan dua telapak tangan terasa basah akibat terkena serangan panik memimpikan masa lalunya yang begitu kelam. Sampai suara alarm dari ponsel membuat gadis itu bernapas lega dan mulai bangkit dari tempat tidurnya.
Aleyza Jenny Naiaraputri. Begitulah yang tertulis pada sebuah name tag tergantung di leher. Gadis mimpi buruk itu tampak memperhatikan penampilannya sebelum tersenyum puas dengan melenggang keluar dari kamar. Tatapan matanya menelisik seluruh penjuru ruangan sebelum memutuskan untuk ke dapur. Menikmati sarapan sepi yang membosankan.
Empat tahun lamanya Jenny tinggal seorang diri dengan kedua orang tua asuhnya meninggal dunia akibat sakit keras. Mereka memang sudah lanjut usia, sehingga tidak dapat dipungkiri banyak penyakit komplikasi yang diderita. Sedangkan dua kakak lainnya sudah pergi dengan pekerjaan masing-masing, menjadi penerus keluarga dan sebagai dokter di rumah sakit ternama.
Sebenarnya Jenny sudah lama sekali disuruh untuk berhenti menjadi anggota kepolisian dan memilih untuk meneruskan bisnis keluarga. Akan tetapi, gadis itu tetap bersikeras untuk mencapai impiannya. Mencari sebagian memori masa kecil yang hilang.
Kedua orang tua angkat Jenny memang mulai mengasuh ketika gadis itu berusia sepuluh tahun, sehingga tidak sedikit memori masa kecil hilang begitu saja. Membuat Jenny benar-benar seperti dihantui masa lalu ketika mulai tertidur.
Ketika asyik menyetir mobil pemberian sang kakak ketika Jenny naik pangkat menjadi anggota resmi Unit Kriminal Tingkat Lanjut. Salah satu pencapaian ketika gadis itu baru saja menetap di kepolisian selama satu tahun.
Tiba-tiba ponsel yang ada di atas dashboard berdering pelan memperlihatkan sebuah panggilan dari Delvin, rekan kerja sejak pertama kali masuk. Untung saja mereka berdua mendapat pelantikan yang sama, sehingga tetap menjadi rekan kerja sampai hari ini.
“Jen, lo ada di mana sekarang?” tanya Delvin terdengar panik.
“Jalan ke kantor,” jawab gadis itu santai. “Ada apa? Lo panik gitu kedengarannya.”
“Langsung ke Perumahan Griya Indah. Ada pembunuhan di sana!”
Jenny terdiam sesaat, sebelum akhirnya memutar stir mobil berlawanan arah. “Gue langsung ke TKP sekarang!”
Panggilan pun terputus dengan Jenny mulai fokus pada kemudi mobil. Gadis itu tampak membuka bibir kecil dan mengembuskan napas panjang. Entah kenapa hari terasa begitu berat, padahal suasana pagi ini terasa cerah dibandingkan biasanya.
Tak lama kemudian, Jenny pun sampai di Perumahan Griya Indah yang terlihat dipenuhi oleh warga sekitar dan beberapa polisi mulai menarik garis kuning untuk tetap mempertahankan tempat kejadian, agar mempermudah penyelidikan para polisi dari Tim Forensik.
Jenny memasuki TKP dengan mengenakan kemeja navy dan menggantungkan name tag membuat beberapa petugas yang melihatnya langsung mempersilakan gadis itu untuk masuk. Kedatangan Jenny langsung disambut oleh Delvin bersama Ketua Tim Forensik yang terlihat baru saja melepaskan masker penutup wajah.
“Apa yang terjadi?” tanya Jenny melihat banyak sekali Tim Forensik berpakaian Alat Pelindung Diri dengan body suit berwarna putih sekaligus penutup kepala.
“Tadi pagi, ada seorang warga yang melapor kalau terjadi pembunuhan di sini. Dia pedagang yakult yang sering antar barang setiap pagi. Jadi, keluarga ini memang sering langgangan, tapi beberapa hari belakangan pedagang yakult ngerasa aneh. Karena yakult yang biasanya ada di dalam tas itu selalu utuh, seakan belum ada yang mengambilnya sama sekali.”
Jenny mengangguk mengerti sembari terdiam menatap sekeliling yang terlihat sibuk.
“Sampai pedagang yakult itu ngeberaniin diri membuka pintu pemilik rumah, sampai dia terkejut melihat genangan darah yang mulai mengering. Dua dua jasad yang diketahui berbeda jenis kelamin sedang terkapar,” sambung Delvin mengembuskan napasnya berat tepat menyelesaikan cerita yang baru saja dilaporkan.
“Bagaimana dengan TKP?” tanya Jenny pada Ketua Tim Forensik yang berada di antara mereka.
“Untuk sekarang, kita hanya menemukan jejak sepatu dan darah korban. Pelakunya sampai saat ini belum ditemukan. Kemungkinan kita akan melakukan penyisiran secara menyeluruh. Karena kematiannya diperkirakan sudah mencapai tiga hari, jadi sulit kemungkinan kalau ada bukti lain yang tertinggal,” tutur Faizan mengembuskan napas panjang.
Jenny lagi-lagi mengangguk. Ia tidak bisa melakukan banyak hal, karena pikirannya masih cukup terkalut dengan kejadian pagi tadi. Sudah lama sekali gadis itu tidak bermimpi buruk, sampai terjadi hari ini. Entah kenapa Jenny takut kalau akan terjadi sesuatu pada dirinya sendiri.
Sedangkan Delvin yang menyadari keanehan dari rekan kerjanya pun langsung menepuk bahu Jenny pelan. Lelaki tampan dengan tersenyum ramah itu memang sudah menjadi teman Jenny sejak mereka berada di universitas.
“Jen, lo enggak apa-apa? Gue perhatiin lo agak murung sejak datang tadi. Kalau ada masalah cerita sama gue,” ucap Delvin dengan penuh pengertian.
Sedangkan Jenny yang mendengar perkataan itu pun tertawa geli dan menggeleng tidak percaya. “Tenang aja, gue cuma kurang tidur semalam.”
“Ya udah, kita balik ke kantor dulu buat ngomongin masalah ini!” ajak Delvin menepuk bahu Jenny singkat, sebelum akhirnya melenggang pergi begitu saja.
Mendengar hal tersebut, Jenny mengembuskan napas singkat. Ia kemungkinan akan menyusul Delvin ke kantor, sebab olah TKP belum dirinya lakukan. Membuat Jenny menelisik tempat kejadian sampai terbayang pelaku kejahatan yang menjadikan pagi cerahnya suram.
Memang seperti kejahatan pada umumnya. Terlihat jelas jejak pembobolan pada jendela kamar yang ternyata tidak digunakan membuat Jenny menyadari bahwa sang pelaku mengenal jelas tempat incarannya. Sampai pandangan gadis itu terhenti pada sebuah foto yang ada di atas meja.
“Ini foto siapa?” tanya Jenny pada Faizan yang tengah melakukan penyisiran.
“Itu foto anak dari sepasang suami-istri ini, tapi sayang dia lagi ada di luar negeri untuk perjalanan bisnis. Jadi, sampai sekarang belum bisa datang,” jawab lelaki itu lugas. “Tapi, ada yang aneh dengan anaknya.”
Jenny menoleh dengan kening berkerut bingung. “Apa maksudmu?”
“Ketika anak yang diberitakan orang tuanya meninggal, mungkin akan menangis atau terkejut saking tidak mengiranya. Tapi, berbeda dengan anak ini, dia seperti acuh tak acuh. Bahkan ketika panggilan belum selesai, dia memilih untuk menyelesaikan begitu saja.”
“Mungkin … dia sedang sibuk?”
Faizan tersenyum remeh, lalu menggeleng pelan. “Jen, sesibuk apa pun seorang anak, ketika mendengar orang tuanya meninggal, pasti dia bakalan datang hari itu juga. Entahlah … gue juga masih enggak nyangka dia bersikap seperti orang lain.”