“Yunita Agnesia berusia 50 tahun. Terkena pukulan benda tumpul di area kepala bagian belakang. Membiru bekas himpitan sesuatu sampai kehabisan napas dan kuku jemari tangannya yang sobek akibat mencengkram sesuatu.”
Penuturan Delvin dengan menuliskan laporan pada papan tulis putih untuk melakukan proses penyelidikan lebih lanjut. Lelaki itu mengembuskan napas panjang melihat foto dari jasad yang di depan matanya tampak seakan menahan sesuatu.
Sedangkan Jenny yang baru kali ini melihat Delvin begitu berat sebagai ketua tim ikut menatap prihatin. Tentu saja lelaki itu pasti teringat akan kedua orang tuanya yang menjadi korban kemarahan dari pelaku pembunuh berantai dulu. Ketika Delvin dan Jenny baru saja pindah tempat pada unit baru.
Kala itu, situasi memang mendadak runyam akibat salah satu reporter berita memasukkan wajah Delvin sebagai pencetus Modus Operandi yang dilakukan oleh sang pelaku pembunuh berantai. Membuat kemarahan tak terbendung hingga menyakiti kedua orang tuanya sendiri.
“Ketua Tim,” panggil Jenny pelan.
Sesaat Delvin menyadari kegiatannya yang belum selesai pun langsung tersenyum lebar, seakan tidak terjadi apa pun. Lelaki itu memulai kembali laporan penyelidikan pertama yang didapatkan dari TKP.
“Korban kedua bernama Pabio Andriano, berusia 60 tahun. Menderita serangan jantung dan kehabisan napas. Kemungkinan korban terkejut melihat pelaku sebelum akhirnya mengembuskan napas terakhir,” lanjut Delvin mengembuskan napasnya lega telah menyelesaikan laporan yang diterima dari Tim Forensik.
Sejenak Jenny kembali fokus pada kasus yang ada di hadapannya. Sepintas mungkin terlihat seakan tidak terjadi apa pun, tetapi siapa sangka kalau ternyata ada sebuah rencana besar di balik penemuan mereka.
“Memungkinkan kalau anaknya menjadi pelaku?” celetuk Jenny dengan pikiran liarnya membuat semua orang yang ada di sana langsung terkejut.
Delvin menoleh cepat, lalu berkata, “Jen, jangan asal berbicara. Spekulasi untuk menganggap anaknya menjadi pembunuh terlalu cepat.”
“Bukan.” Jenny menggeleng pelan. “Di sini kelihatan jelas kalau anaknya juga perlu dicurigai. Karena respon pertama ketika mendengar kabar kedua orang tuanya yang sudah lama tidak bertemu terlalu santai. Dia bahkan sama sekali tidak mementingkan kabar kedua orang tuanya, malah memilih untuk melanjutkan pekerjaan.”
“Sikap profesionalnya yang perlu dipertahankan,” balas petugas lain tetap berpikir positif.
Jenny mengembuskan napasnya singkat, lalu mencondongkan tubuhnya serius. “Sikap profesional itu ada ketika ketika berada di ruang lingkup yang bukan hanya ada orang-orang terdekat. Seperti di lingkungan pekerjaan yang butuh sikap profesional. Tapi, situasi sekarang bukanlah mementingkan sikap profesional atau tidak, melainkan bagaimana caranya ada seorang anak yang tidak mementingkan kedua orang tuanya sama sekali. Itu yang menjadi permasalahan.”
“Gue pikir … apa yang dikatakan Jenny benar, Vin!” balas Bio mengangguk beberapa kali. Anggota Unit Kriminalitas Tingkat Lanjut yang masuk lebih lambat itu tampak meyakini perkataan Jenny ada benarnya.
“Memangnya siapa nama anak itu?” tanya Vion yang sejak tadi sibuk memperhatikan.
“Namanya Arkanio, seorang direktur di perusahaan makanan NioNio Grup. Setelah dilakukan penyelidikan, dia memang ada di Jerman selama hampir empat hari. Jadi, untuk kecurigaan Jenny yang mengatakan anaknya melakukan kejahatan ini agak tidak masuk akal,” jawab Delvin mengembuskan napas panjang.
Sedangkan Jenny yang lagi-lagi mendapatkan perlakuan kurang menguntungkan hanya mengembuskan napas kecewa. Padahal gadis itu hanya berusaha untuk tetap berpikir logis mengenai keseluruhan yang terjadi, tetapi tetap saja tidak masuk akal terdengar.
Bio mengangguk mengerti. “Begini saja, kita lakukan penyelidikan lebih lanjut mengenai Arkanio. Memang besar kemungkinan dia menjadi pelakunya, karena selama apa pun meninggalkan orang tua, pasti akan merasa prihatin mendengar kepergiannya.”
Setelah itu, rapat pun berakhir dengan Jenny melenggang lebih dulu dari ruangan. Membuat Bio langsung mengkode pada Delvin untuk mengejar satu-satunya gadis yang ada di tim mereka.
Tentu saja kepergian Jenny bukan tanpa alasan, entah kenapa gadis itu merasa penasaran dengan bukti yang ditinggalkan. Gadis itu merasa sesuatu telah dilewatkan mereka semua membuat Jenny memutuskan hendak ke TKP kembali.
Tanpa disadari Delvin yang melihat Jenny masuk ke dalam mobil pun terkejut, kemudian mengikuti gadis itu dengan duduk tepat di sampingnya. Sesaat Jenny hanya melebarkan mata dengan terjengit pelan melihat kedatangan Delvin tanpa diduga sama sekali.
“Astaga, Delvin!!!” keluh Jenny memegangi dadanya yang berdebar cukup kuat. “Lo ngapain sih? Kalau mau ikut itu bilang-bilang, jangan main asal masuk aja.”
“Siapa suruh lo langsung pergi gitu aja?” sinis Delvin tidak mau kalah, lalu merubah ekspresinya menjadi penasaran. “Memangnya mau ke mana, sih?”
“Gue mau balik lagi ke TKP. Entah kenapa gue ngerasa ada bagian yang terlewat,” balas Jenny mengernyitkan kening berpikir keras.
“Bagian terlewat gimana?” tanya Delvin penasaran.
Jenny mengembuskan napas panjang, lalu menjawab, “Mungkin ini baru dugaan gue aja tentang pelakunya anak sendiri. Tapi, gue perlu memastikan kalau memang di sana enggak ada bukti yang tertinggal. Karena kasusnya cukup aneh dengan latar belakang orang tua yang mungkin biasa aja. Pebisnis dan wanita sosialita gemar membeli barang mahal.”
“Ya … dia punya musuh kali, makanya dibunuh gitu.” Delvin mengernyit tidak percaya dengan perkataannya sendiri.
“Maka dari itu, kita harus nyelidikin lebih lanjut ke sana. Biar semuanya jelas,” putus Jenny mulai mengenakan sabuk pengaman dan menginjal pedal gas meninggalkan kantor polisi yang dipenuhi banyak orang, akibat salah satu reporter mengetahui penyelidikan pada pembunuhan di perumahan elit dengan banyak akses jalan besar.
Sedangkan Delvin yang melihat keputusan Jenny hanya menuruti gadis itu dan mengikutinya ke mana pun pergi. Lelaki tampan yang terlihat santai menatap sekeliling perjalanan tampak ramai.
“Jalanan ini sepertinya enggak pernah sepi,” celetuk Delvin menyadari sekitar tempat tinggal korban yang begitu ramai.
Jenny menoleh sesaat dan kembali fokus. “Iya, akses jalan tol sama mal. Jadi, bisa dibilang lumayan ramai.”
“Tapi, kenapa korban baru diketahui tiga hari setelah kematian, ya?” gumam Delvin mula bertanya-tanya. “Bukankah tetangga sekitar bakalan curiga enggak ada aktivitas apa pun di depan rumah?”
“Astaga, Vin, kalau orang perumahan elit itu hidupnya homogen. Mementingkan diri sendiri, jadi wajar mereka sama sekali enggak mengira kalau sepasang suami-istri ada yang meninggal di sana. Karena rata-rata orang tajir itu kebanyakan jarang keluar dan sekalinya keluar mungkin lebih tertutup seperti pakai mobil.” Jenny mengembuskan napasnya pendek. “Orang juga mau nyapa mikir dulu, takutnya enggak dengar atau malah dicuekin aja.”