Suasana pagi yang cukup cerah, Jenny tersenyum lebar mengingat hari liburnya benar-benar terasa begitu menenangkan. Gadis itu tampak baru saja terbangun dari tidur. Ia membuka jendela kamarnya yang berada di lantai 2, memperlihatkan dua orang lelaki tengah berada di bawah mulai mencuci mobil.
Tidak dapat dipungkiri Debian dan Fajrian sengaja meliburkan diri untuk bersenang-senang bersama. Mereka bertiga hampir tidak pernah memiliki waktu bersama, meskipun tinggal di rumah yang sama. Hal tersebut membuat Jenny merasa begitu bahagia mendapati kedua kakak lelakinya memilih meliburkan diri.
Jenny menumpukan kepalanya menatap kegiatan dua lelaki tampan dengan kaus tipis yang kini terlihat basah. Mencetak tubuh bagian depan yang begitu kekar nan berotot. Terlebih milik Debian yang selalu rajin berolahraga membuat tubuh lelaki itu menjadi pemandangan menyenangkan tersendiri bagi para tetangga yang kebetulan melintas untuk mengitari sekeliling komplek dengan berlari santai.
“Bang Bian, Bang Faj, kalian berdua ngapain cuci mobil pagi-pagi!?” teriak Jenny dari jendela kamarnya cukup keras.
Sontak teriakan yang terdengar jelas itu pun membuat kedua lelaki tampan secara bersamaan mendongak ke atas mendapati seorang gadis yang terlihat sedang memperhatikan mereka dengan senyuman geli terpatri di wajahnya.
“Udah bangun, Jen?” tanya Fajrian tersenyum melihat sang adik begitu cerah dengan sinar matahari menyambut wajahnya yang begitu cantik. “Kita berdua niatnya hari ini mau ngajakin lo quality time!”
“Turun!” ajak Debian melambaikan tangannya, seakan mengkode pada sang adik untuk turun dari kamar.
Mendengar perkataan Fajrian sekaligus ajakan Debian untuk mendekat, akhirnya Jenny pun bangkit dari tempat tidurnya. Gadis itu mengikat rambutnya dengan asal, lalu membuka pintu kamar yang memperlihatkan lantai 2 tampak lebih rapi dan bersih, seakan sudah dibersihkan sejak tadi.
Jenny berlari menuruni anak tangga yang tepat mengarah pada pintu samping garasi. Benda berbentuk papan kayu itu tampak terbuka dengan suara obrolan terdengar semakin jelas. Membuat gadis itu secara spontan berlari memasuki garasi yang benar saja tengah dibuka oleh kedua lelaki tersebut.
Gadis berpakaian piyama biru itu tampak mengernyitkan keningnya penasaran mendapati mobil pribadinya tidak ada di sana. Apalagi garasi yang menjadi kandang dari empat kendaraan besi itu tampak benar-benar dikosongkan. Membuat seluruh sudut yang tidak dibersihkan dengan benar itu terlihat kotor.
“Jen, lo udah bangun?” tanya Fajrian mematikan keran air yang mengaliri selang merah di tangannya.
Lelaki tampan berkaus hitam polos dengan celana pendek selutut berwarna abu-abu itu tampak menaruh kembali penyemprot air khusus di tempat semula. Ia meninggalkan sang kakak lelakinya yang terlihat mulai mengeringkan kap mobil menggunakan lap kanebo dengan menyemir ban mobil agar tetap terlihat hitam mengkilap.
“Udah, Bang,” jawab Jenny mengangguk singkat dan memberikan handuk kering pada sang kakak keduanya. “Gue pikir hari ini Bang Faj ada jadwal pemeriksaan ke rumah sakit, kenapa malah masih ada di rumah?”
Fajrian menggeleng singkat. “Udah gue alihin ke Arumi. Sementara ini dia lagi praktek jadi dokter lapangan, karena pendidikan keperawatannya dia merasa udah terlalu mudah. Jadi, dia mau ambil kedokteran biar sekalian belajar semuanya dari gue juga.”
“Lo izinin, Bang? Murah hati sekali anak muda,” ungkap Jenny tidak percaya sekaligus memuji kepedulian Fajrian tentang perawat yang bernama Arumi, seakan membekas di hatinya. Walaupun hanya seorang perawat, karyawan sekaligus mahasiswa didikannya dulu.
Pujian dari sang adik yang terkesan mengejek sama sekali tidak menjadikan Fajrian tersinggung. Lelaki itu malah semakin merasa geli terhadap sikap Jenny yang terlihat benar-benar menggemaskan. Bahkan gadis itu tidak dapat dipungkiri menyukai semua hal-hal yang dilakukan kedua kakaknya tanpa merasa keberatan.
“Mimpi siapa pun pasti bakal gue dukung, Jen,” balas Fajrian mengusap lembut kepala sang adik yang diikat cepol tinggi. “Oh ya, lo udah sarapan belum? Habis ini gue sama Bang Bian mau ngajakin lo ke suatu tempat!”
Mendengar sesuatu yang begitu rahasia, Jenny tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Gadis itu tampak melebarkan mata antusias, terlebih Debian menyusul di belakang telah menyelesaikan kegiatannya.
“Udah, sana kalian berdua cepat mandi! Biar gue yang bersihin garasi ini!” titah Debian mulai membesarkan penyiraman dari selang air untuk mulai membasahi lantai marmer khusus kendaraan besi yang kini berbaris tepat di depan rumah.
“Ayo, Jen, kita harus bersiap dengan cepat!” ajak Fajrian merangkul bahu sang adik memasuki rumah.
Sedangkan Debian menyadari kedua adiknya begitu kompak hanya menggeleng tidak percaya. Lelaki itu diam-diam merasa geli dengan sikap mereka berdua sangat menggemaskan. Bahkan untuk ukuran lelaki berkepala tiga sama sekali tidak tercerminkan di wajah Fajrian. Apalagi Jenny yang begitu menggemaskan sikapnya, seperti anak SMA baru lulus.
Tepat memasuki rumah, Fajrian tampak mendorong tubuh Jenny tepat di depan pintu kamarnya. Mereka berdua memang langsung bergegas memasuki kamarnya masing-masing, terlebih Jenny yang baru saja keluar, kini kembali melenggang masuk.
Jenny membalikkan tubuh tepat sebelum tangan kanannya memutar knop pintu, lalu bertanya, “Bang, sebenarnya hubungan lo sama Yuni gimana?”
“Memangnya ada apa?” tanya Fajrian terdengar bingung sekaligus penasaran.
“Gue enggak tahu ini perasaan aja atau bukan,” jawab Jenny mengembuskan napasnya singkat. “Tapi, perasaan Yuni kemungkinan besar bakalan susah ditaklukan, Bang. Kalau memang lo sampai hari ini belum memberi kepastian.”
Fajrian tersenyum geli, kemudian menangkup wajah sang adik dengan mencepit kedua pipinya hingga memajukan bibir layaknya ikan. Lelaki itu tanpa sadar tertawa gemas melihat adiknya benar-benar menghibur.
“Apa pun yang bakalan gue pilih nantinya enggak akan menjadi keputusan sesaat aja, Jen,” ungkap Fajrian tersenyum tulus. “Gue tulus memilih siapa pun yang menjadi kekasih untuk pertama dan terakhir.”
Mendengar perkataan penuh keseriusan dari perkataan sang kakak membuat Jenny merasa begitu senang. Entah kenapa ia benar-benar menunggu Fajrian mengatakan hal yang selama ini menggerayapi relung hatinya.
Tentu saja pantangan bagi kedua lelaki itu kalau sampai benar-benar menyukai satu orang yang sama, sebab salah satu dari mereka harus mengalah secara sukarela agar tidak ada pihak tersakiti maupun dikhianati. Ditambah kehadiran Jenny membuat mereka berdua akan merasa canggung, jika tetap memaksakan diri untuk bersaing.
Jenny mengangguk puas mendengar jawaban kakak keduanya yang begitu meyakinkan. Akan tetapi, ketakutan gadis itu tentang perasaan Yuni yang kemungkinan besar masih menyukai Delvin memang akan menjadi tanggapan tersendiri. Apalagi lelaki itu tampak membingungkan.
Terkadang sikap Delvin acuh tak acuh, tetapi ada pula sisi di mana lelaki itu memikirkan semuanya secara menyeluruh, termasuk sikapnya yang telah menolak Yuni secara langsung. Bahkan tanpa memikirkan semuanya sama sekali, membuat lelaki itu terlihat begitu angkuh dan arogan dalam waktu bersamaan.
“Baiklah, gue percaya, Bang. Karena Yuni juga akan merasa lelah mempermainkan hatinya sendiri dalam waktu bersamaan.”
***
Keputusan Debian mengajak dua adiknya berlibur benar-benar menjadi yang terbaik. Siapa sangka kalau ternyata lelaki itu telah memikirkan semuanya secara matang. Baik dari kendaraan menggunakan mobil jeep milik pengawal perusahaan, maupun akomodasi lainnya yang benar-benar diperhitungkan.
Kini ketiga kakak beradik itu tampak menatap ke arah vila sewaan Debian yang cukup besar berbahan dasar kayu jati sehat tersebut. Membuat Jenny berlarian ke arah sekeliling taman kecil bebatuan krikil yang bertatapan langsung dengan gunung batu di hadapannya.
Dari kejauhan, Jenny bisa melihat banyak kendaraan pengangkut ataupun konstruksi bebatuan yang hendak mengambil lebih banyak sumber daya alam. Membuat sebagian dari penduduk sana jelas merasa takut, karena bahaya akan sewaktu-waktu mendatangi tanpa permisi.
“Bang, tumben banget kepikiran buat liburan ke sini?” tanya Jenny tersenyum senang melihat suasana sekitar tempat mereka liburan benar-benar sejuk dan asri.
Debian melangkah mendekat sembari tersenyum lebar menatap ekspresi sang adik yang begitu bahagia mendapatkan kejutan liburan tanpa disangka sama sekali. Terlebih weekday yang pengunjungnya masih diminimalisir untuk kedatangan. Membuat mereka bisa menikmati liburan lebih lama dan menenangkan.
“Sebenarnya gue ada kerjaan ke sini, tapi sekalian juga ngakal kalian berdua liburan,” jawab Debian lugas.
Mendengar hal tersebut, Jenny langsung mendengkus kesal. “Astaga, Bang, baru aja gue mau muji lo sebagai kakak pertama yang baik. Ternyata niat selubungnya lo malah tetep mentingin kerjaan di sela liburan kita.”
Tidak ingin mau kalah, Fajrian pun menimpali sembari merangkul bahu Jenny, “Jangan heran, Jen. Mau dia ngajak kita liburan atau enggak, itu tetap Bang Bian yang selalu mentingin kerjaan. Jadi, lebih baik kita nikmatin hari ini sepuasnya, sebelum Bang Bian selesai pekerjaan di sini.”
“Bener juga!” balas Jenny mengangguk masuk akal, kemudian melepaskan tangan sang kakak dari bahunya. “Ya udah, Jen mau ambil tas dulu. Baru habis itu kita jalan-jalan ke curug.”
Dengan bersemangat, Jenny berlari memasuki vila yang dijaga oleh Mike, lelaki itu nyatanya tengah sibuk mengetik sesuatu di dalam laptop membuat Jenny hanya mengembuskan napas panjang. Ia benar-benar nyaris tidak mempercayai sang kakak datang ke sini bukan hanya sekedar liburan semata.
Meskipun begitu, Jenny tidak ingin memusingkan apa pun yang kemungkinan akan mengganggu liburannya hari ini. Sebab, gadis itu sudah merasa cukup mengetahui kakak pertamanya benar-benar sudah mengupayakan diri melakukan quality time di tengah kesibukan kantor.
Tidak banyak yang dibawa oleh Jenny, tas kecil berisikan beberapa perlengkapannya ketika ingin memasuki air terjun ataupun tas ransel mungil di punggungnya untuk wadah ponsel maupun dompet. Walaupun hendak membeli apa pun gadis itu selalu mengandalkan uang kedua kakaknya, tetapi tetap saja Jenny membutuhkan dompet kemana pun dirinya pergi.
“Ayo, Bang, gue udah siap!” ajak Jenny menggoyangkan tubuhnya bersemangat. Ia benar-benar tidak sabar berkeliling bersama kedua kakaknya yang mengagumkan. “Oh ya, kerjaan Bang Bian bukan hari, ‘kan? Tadi Jen udah lihat laptop Mike yang lagi nyusun agenda selama ada di sini.”
Debian menepuk lembut pundak kepala adiknya yang berada di rangkulan Fajrian. “Tenang aja, hari ini gue masih bisa free sama kalian berdua, sebelum besok ada jadwal sekitar setengah hari. Entah dari pagi sampai siang atau sebaliknya. Karena semuanya tergantung dari klien yang ngasih konfirmasi sama gue.”
“Tumben banget klien yang ngasih konfirmasi, Bang? Kalau misalnya pihak mereka lagi sibuk gimana?” tanya Fajrian terdengar khawatir.
“Ya udah,” jawab Debian mengangkat kedua bahunya santai. “Gue batalin semua kerja samanya. Ngapain pusing? Lagian gue datang ke sini juga buat ngajakin kalian berdua liburan, jadi bukan sepenuhnya kerjaan.”
Mendengar penuturan sang kakak pertamanya yang begitu manis, membuat Fajrian dan Jenny saling berpandangan. Mereka berdua tampak senang ketika menyadari Debian lebih mementingkan kedua adiknya dibandingkan pekerjaan yang selama ini mungkin menjadikan mereka berdua hidup lebih santai.
Tentu saja sedikit banyak uang yang dihasilkan Debian memang disalurkan setiap bulan pada rekening masing-masing membuat Fajrian dan Jenny terkadang masih diperlakukan seperti anak kecil. Padahal mereka berdua sudah bisa menghasilkan uang sendiri, tetapi tetap saja mendapat kiriman seakan mereka masih menempuh pendidikan.
Selama melangkah menuju Taman Raya Bogor tanpa kendaraan akibat jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh, Debian bersama kedua adiknya tampak menikmati pemandangan sekitar dengan sesekali mengambil foto bersama maupun pribadi.
Debian dan Fajrian yang tidak ingin tertinggal dengan Jenny pun ikut membidik foto diri sendiri melalui kamera depan. Untung saja ekspresi mereka tidak terlalu kaku sehingga tidak menjadi bahan candaan dari adiknya sendiri. Padahal sejak tadi Jenny sudah menunggu bahwa kedua kakaknya akan memasang ekspresi kaku.
Jenny tertawa terpingkal-pingkal ketika melihat hasil bidikan dari Debian yang membantu Fajrian mengambil foto seluruh tubuh hingga kaki pada saat mengabadikan pemandangan di belakangnya. Jelas saja ekspresi belum siap dari Fajrian membuat hasil fotonya sangat menggelikan. Untung saja wajah tampan lelaki itu menjadi nilai plus dalam setiap hasil yang dikeluarkan.
“Bang, turun ke curug yuk!” ajak Jenny menunjuk ke arah air terjun yang tidak terlalu ramai.
Kedua lelaki itu saling berpandangan, sebelum akhirnya kompak menggeleng memberikan penolakan pada sang adik yang kini mendengkus kesal.
“Ayolah, Bang, udah lama banget kita enggak ke sini. Masa iya mau foto-foto aja?” rayu Jenny memeluk lengan kedua kakaknya dengan berjingkrak-jingkrak kesal.
Sejenak Debian dan Fajrian tampak mengembuskan napas panjang. Kedua lelaki itu hanya tidak nyaman ketika turun ke bawah akan ada banyak gadis yang mungkin mencari perhatian mereka berdua. Terlebih suasana sepi di sana mendukung semua kegiatan yang menggelikan tersebut.
Kemungkinan banyak kamera tersembunyi akan membuat Debian dan Fajrian merasa kurang nyaman. Jika saja para gadis itu meminta dengan sopan, mereka akan melayaninya dengan baik. Walaupun tidak menutup alasan Debian akan menolak secara halus akibat wajahnya yang mungkin tersebar secara luas.
“Gimana, Faj?” tanya Debian memastikan adik keduanya menginginkan hal tersebut agar mendiamkan Jenny, sebab gadis itu tidak akan berhenti sampai mereka berdua memutuskan untuk pergi.
“Terserah lo aja, Bang,” jawab Fajrian menggeleng singkat. Ia sudah tidak memiliki alasan lagi untuk menolak, terlebih liburan kali ini mementingkan Jenny, sehingga mereka berdua memang harus menuruti semua permintaannya.
Merasa tidak diuntungkan, akhirnya Debian memilih untuk mengalah. “Ya udah, kita nyebur ke curug!”
Keputusan yang terdengar menyenangkan itu membuat Jenny semakin bersemangat. Ia menarik kedua pergelangan tangan kakaknya dan mulai menuruni anak tangga satu per satu dari batu. Memang cukup licin membuat Debian berjalan paling depan untuk memastikan keselamatan adiknya.
“Nasib ... nasib,” gumam Fajrian menggeleng singkat.