54. Pengagum, Panutan, dan Pemimpin

2088 Words
Sesampainya di rumah sakit tempat Jonathan dirawat sekaligus Debian yang mendapatkan penanganan penuh, Fajrian dan Jenny tampak menyusuri setiap lorong sepi. Membuat gadis itu sesekali memegang lengan sang kakak keduanya dengan erat. Entah kenapa bayangan hantu menyeramkan mulai memenuhi pikirannya. “Santai aja, Jen. Apa yang lo takutin di sini?” Fajrian menghela napas panjang menyadari langkah kaki sang adik semakin mendorong tubuhnya menghimpit dinding. “Kemarin gue baru baca thread di tweeter tentang hantu yang ada di rumah sakit,” balas Jenny memeluk lengan sang kakak keduanya semakin erat. “Terus, kata mereka hantunya itu berwujud manusia.” “Kenapa kalau wujud manusia?” tanya Fajrian tersenyum tengil. Entah kenapa lelaki itu mulai berpikir untuk menakuti sang adik. “Jelas aja bikin gue takut, Bang,” jawab Jenny mendadak kesal. Namun, sedetik kemudian hawa mendadak terasa dingin membuat Jenny yang ketakutan semakin merapatkan tubuh pada Fajrian. Bahkan lelaki itu tampak sedikit ikut gemetar menahan takut, meskipun batinnya berusaha menahan diri. Selama beberapa saat, kakak beradik itu pun bernapas lega tepat sampai di lorong yang penuh dengan karyawan rumah sakit. Membuat Jenny memberikan jarak sedikit untuk sang kakak keduanya menyapa beberapa perawat ataupun dokter yang kebetulan berada di sana hendak melakukan pengecekan secara berkala. “Dokter Fajrian, ada seorang pasien yang membutuhkan penanganan darurat!” seru seorang perawat yang terlihat tidak asing membuat kening Jenny berkerut bingung. “Apa yang terjadi?” tanya Fajrian menghentikan langkah kakinya menatap kedatangan seorang perawat yang ber-name tag Arumi dibagian sebelah kanan pakaiannya. “Nenek Sri mengalami kejang lagi,” jawab Arumi sedikit panik. Sejenak Fajrian menoleh ke arah Jenny, lalu berkata, “Jen, ke ruangan Bang Bian duluan. Gue mau nanganin pasien dulu.” “Ooke, Bang!” Jenny mengangguk singkat. Tepat mendengar persetujuan sang adik, Fajrian pun berlari membelah lorong rumah sakit untuk mempersingkat waktu. Lelaki itu tampak membuka tas kerjanya mengambil jubah putih yang langsung diambil alih oleh Arumi tepat di depan pintu ruangan. Sedangkan Jenny yang menatap sang kakak keduanya dari kejauhan hanya mengembuskan napas panjang. Gadis itu memang mengerti pekerjaan Fajrian yang sedikit lebih sulit, sehingga apa pun keadaannya harus tetap siap sedia mendapatkan penanganan panggilan. Menyadari Fajrian masih panjang dalam menangani pasien, akhirnya Jenny pun memutuskan untuk menuju ruangan kakak pertamanya. Gadis itu tampak menatap ke arah seorang lelaki yang dijaga oleh Mike. Kedatangan Jenny yang membuka pintu membuat Mike mengalihkan perhatiannya dari laptop. Lelaki itu bangkit menghampiri seorang gadis yang terlihat kecewa mendapati sang kakak pertamanya benar-benar menyedihkan sampai harus dirawat. “Bagaimana keadaan Bang Bian?” tanya Jenny mendudukkan diri di sofa kecil yang berada di sudut ruangan. “Dokter hanya menyarankan untuk beristirahat dan tetap berada di sini selama beberapa bulan agar lukanya tidak kembali terbuka,” jawab Mike memberikan sebotol air mineral tepat di hadapan Jenny. “Baiklah. Terima kasih, Bang Mike.” Jenny tersenyum tipis. “Sekarang Abang mendingan pulang aja, biar Bang Faj sama Jen yang gantian jagain Bang Bian.” Mike terdiam sesaat, sebelum akhirnya mengangguk beberapa kali. “Baiklah, saya masih ada pekerjaan di luar kantor untuk menemui beberapa bos pemasok bahan baku. Jadi, saya harus pergi sekarang.” “Hati-hati, Bang!” balas Jenny mengangguk menatap menyadari betapa setianya Mike bekerja dengan kakak pertamanya sejak masih berkuliah hingga sekarang. Kini di dalam ruangan hanya tersisa Jenny yang menatap kakak pertamanya terlelap dalam tidur. Debian begitu tenang, meski beberapa perbincangan terjadi di sekitar lelaki tersebut. Membuat Debian terlihat jauh lebih tampan ketika dalam keadaan tertidur pulas. Sejenak Jenny menatap sang kakak dengan sesekali mengembuskan napas panjang. Gadis itu mulai merebahkan kepalanya tepat menghadap ke arah Debian dengan Jenny menumpukan tangan kanan lelaki itu sebagai bantalan. Tanpa sadar Jenny mulai tertidur pulas. Ia kelelahan sekaligus merasa bosan menunggu kedatangan Fajrian yang tidak kembali sampai malam hari. Lelaki itu benar-benar sibuk menangani banyak pasien, meskipun baru saja datang dan belum sempat menghampiri Debian. Selesai melakukan pemeriksaan pada beberapa pasien yang membutuhkan perawatan, akhirnya Fajrian pun melepaskan jubah medis kebesarannya untuk menyelimuti tubuh Jenny yang tertidur pulas tepat di samping Debian. “Gimana keadaan lo?” tanya Fajrian mengangkat sofa kecil dan meletakkan tepat di samping Jenny yang tertidur pulas tanpa bergerak sama sekali. Debian menggeleng singkat, lalu menjawab, “Cuma luka sedikit aja, dokter langsung nyaranin buat dirawat. Mau enggak mau gue harus ngikutin perkataan dia sebelum jadi masalah. Apalagi Mike tepat di samping gue pas jatuh tadi.” Fajrian tertawa geli. “Siapa suruh gue bilangin buat tetep di rumah malah kerja terus. Untung aja fisik lo kuat, Bian. Kalau enggak, lo bisa diopname selama setengah tahun penuh. Pulihin imun sekaligus penyatuan kulit lo yang dibelah itu.” “Memangnya luka gue terlalu besar apa?” tanya Debian penasaran. “Iya, besar banget,” jawab Fajrian mengangguk dramatis dengan tertawa lepas melihat wajah sang kakak yang begitu menggelikan. “Udah, lo percaya aja apa kata dokter. Kalau disuruh istirahat, ya istirahat. Jangan ngebantah lagi.” “Bosen gue di sini,” keluh Debian mengembuskan napasnya panjang, lalu menatap ke arah Jenny yang tertidur pulas. “Lo yang jemput Jen datang ke sini?” Fajrian mengangguk singkat, kemudian memberikan ponsel milik sang kakak yang baru saja diambil dari petugas administrasi. “Ini ponsel lo.” Fajrian menyerahkan benda pipih berwarna hitam tepat di tangan Debian. “Tadi mau dikasihin ke Mike, tapi gue baru ingat kalau dia ada kerjaan sore ini.” Debian menghela napas kecewa, lalu menyalakan benda tersebut. “Gue hari ini memang ada pertemuan sama beberapa pemasok bahan baku pabrik yang ada di Bogor. Seharusnya gue udah berangkat dari tadi, tapi siapa yang ngira kalau gue malah harus dirawat.” “Siapa suruh lo punya luka?” sinis Fajrian menatap kesal. “Untung aja luka lo sebanyak itu di punggung udah sebagian besar hilang. Kalau nambah lagi, gimana?” Akan teapi, siapa sangka kalau perbincangan kedua lelaki itu membuat Jenny yang tertidur pulas mulai bergerak pelan. Gadis mengubah posisi kepalanya yang terasa kaku, kemudian menyadari punggungnya diselimuti jubah medis milik sang kakak kedua. “Bang Faj,” panggil Jenny tersenyum lemas menatap lelaki tersebut sudah kembali dari pekerjaannya. “Udah selesai kerjaannya, Bang?” Fajrian menggeleng singkat. “Sebenarnya belum, tapi gue nyuruh dokter lain yang ganti shift buat check berkala. Karena di sini gue harus ceramah di depan Debian biar enggak sembarangan lagi ngelakuin hal bodoh.” Jenny mengernyit bingung, kemudian menatap ke arah kakak pertamanya yang telah siuman. Lelaki itu tampak tersenyum canggung. *** Yuni ditinggalkan tanpa mengatakan apa pun oleh Jenny hanya bisa meratapi nasibnya melenggang keluar tanpa ditemani oleh rekan kerja. Sebab, ketiga lelaki yang biasanya berada di dekat gadis itu hendak berlama-lama di kantor membuat Yuni memutuskan untuk kembali dibandingkan menetap di sana tanpa kehadiran Jenny. Terlebih Yuni memang masih cukup canggung untuk bekerja di wilayah banyak seorang lelaki yang memiliki banyak interaksi dalam setiap pekerjaannya. Membuat gadis itu memutuskan untuk kembali mengemudikan mobil tanpa ditemani siapa pun. Saat gadis itu hendak bergerak keluar dari halaman parkir tiba-tiba seseorang berdiri tepat di depan mobilnya dengan kedua tangan merentang lebar. Spontan Yuni menginjak pedal rem dengan cukup kuat hingga menimbulkan sedikit guncangan pada tubuhnya. Untung saja gadis itu selalu memikirkan keselamatan dengan tetap mengenakan sabuk pengaman. Yuni melepaskan sabuk pengaman tersebut, kemudian beranjak turun dari mobil. Gadis itu mendelik penuh emosi. Entah kenapa ia merasa tidak habis pikir dengan orang yang berada di hadapannya bertingkah di luar dugaan. “Yuni, lo tahu di mana Jenny?” tanya Delvin melangkah mendekat. “Kenapa sama Jenny?” Yuni malah bertanya balik, sebab ia masih curiga dengan Delvin yang kemungkinan besar memiliki hubungan langsung bersama pemilik klub malam, tempat di mana lelaki itu dijadikan sandera. Entah kenapa sejak Alister, Akhtar, dan Ayres menyatakan bahwa Arkanio memiliki hubungan dengan kecelakaan yang menimpa Jenny. Jelas Yuni menjadi sedikit curiga dengan orang-orang yang telah bertemu pemimpin besar tersebut. “Hari ini Jenny enggak ada kabar sama gue. Padahal dia udah janji mau ketemuan di kafe,” jawab Delvin mengembuskan napas kecewa, lalu menatap penuh ke arah Yuni. “Lo yakin enggak ada kabar apa pun tentang Jenny?” Yuni mengangguk singkat. Ia tidak bisa membedakan sikap Delvin yang berpura-pura atau memang sedang mendalami peran sebagai lelaki polos tidak mengetahui apa pun. Yang jelas, kini Yuni benar-benar ingin menjaga Jenny dengan baik, agar tidak terjadi kecolongan kedua kalinya. “Gue enggak tahu.” Yuni menggeleng pelan. “Selama ini Jenny kalau enggak ada di kantor, berarti di rumah. Apalagi sekarang Bang Bian sama Bang Faj lagi ngumpul. Yang pasti sekarang Jenny lagi bersama kedua kakaknya.” Delvin terdiam seakan tengah berpikir sesuatu, kemudian mengangkat kepalanya menatap ke arah Yuni dengan serius. “Ikut gue sekarang!” “Apaan, sih!?” protes Yuni terdengar tidak suka. “Gue masih ada urusan lagi, Vin. Lebih baik lo sendiri yang ngehubungin Jenny. Gue mau balik, hari ini orang tua gue datang.” Gadis itu pun mulai berbalik meninggalkan Delvin yang mulai terlihat aneh. Entah kenapa Yuni mendadak takut, meski hanya menatap Delvin sesaat. Padahal lelaki itu tidak melakukan apa pun, tetapi tetap saja sikapnya yang terlihat aneh membuat Yuni terus menjadi waspada. Sedangkan Delvin hanya menatap kepergian Yuni yang terlihat dalam suasana hati buruk. Gadis itu tampak tidak baik-baik saja. Walaupun dirinya sudah berusaha sabar menghadapi sikap Yuni yang kemungkinan memiliki permasalahan di kantornya. Dengan cepat Yuni meninggalkan pekarangan Mabes Polri. Ia sesekali menatap ke arah spion tengah yang masih memperlihatkan Delvin membalikkan tubuh menatap penuh pada mobil pribadi Yuni secara perlahan bergerak menjauh. Kini Yuni mengembuskan napas lega sambil menyandarkan tubuh. Gadis itu benar-benar merasa tegang melihat Delvin yang datang secara mendadak. Meskipun tujuan lelaki itu jelas hanya untuk mencari keberadaan Jenny. “Sorry, Vin. Memang sepertinya lebih baik lo menjauh dulu sampai semuanya terungkap jelas,” gumam Yuni menyayangkan sikapnya yang begitu kejam terhadap Delvin. Sementara itu, di sisi lain Jenny baru saja kembali ke rumah sakit membawa banyak makanan bersama seorang perawat bawahan Fajrian. Kedua gadis cantik dengan posisi berbeda itu tampak melenggang masuk bersamaan melihat ke arah dua lelaki tampan tengah duduk saling berpandangan. “Bang, makan malamnya udah datang!” ucap Jenny menghampiri kedua kakaknya dengan membawa satu kotak makan malam khusus kakak pertamanya. “Gue tahu, pasti lo enggak bakalan mau kalau belum gue siapin begini. Jadi, sekarang lo mendingan makan sendiri atau mau gue suapin?” Debian mendengkus geli, lalu mengacak rambut adiknya gemas. “Udah, biar gue sendiri aja yang makan. Lagi pula lukanya di punggung, bukan tangan. Dan gue juga masih bisa gerak bebas, jadi lo tenang aja.” Jenny mengangguk mantap, kemudian menaruh kotak yang sudah dibuka memperlihatkan menu makan malam khusus orang sakit. Nasi putih, sop ayam bening, tumis kangkung pedas, dan perkedel kentang kesukaan Jenny. Hal tersebut membuat Debian menghela napas panjang. Makanan tepat di hadapannya memang bukanlah kesukaan dirinya, tetapi akibat Jenny yang membelikan membuat Debian harus menerima dengan lapang d**a. Setelah selesai mempersilakan makan malam sederhana untuk kakak pertamanya, kini Jenny menghampiri Fajrian yang terlihat mulai membuka satu per satu plastik kresek berisikan makanan. Sedangkan perawat yang membantu Jenny membawa makanan tampak hengkang dari ruangan tersebut. Jelas saja perawat itu mendapatkan makanan pribadi dari Fajrian, membuat senyumnya tampak tidak luntur dari bibir. “Bang Faj, tadi perawat itu siapa namanya? Gue lihat dia sering banget ada di ruangan ini,” tanya Jenny mendudukkan diri dengan penasaran menatap ke arah kepergian perawat tersebut. “Namanya Arumi Bath, dia lulusan dari Bogor. Yang gue tahu, dia kerja di sini akibat tahu pemiliknya adalah gue,” jawab Fajrian mengangkat kepalanya dengan tersenyum percaya diri. “Maksud lo apa, Bang?” Jenny mendadak tidak mengerti, terlebih perkataan sang kakak terdengar melebih-lebihkan, “Gue itu dulu sering banget ngisi seminar diberbagai kampus,” ungkap Fajrian menjeda perkataannya sesaat, lalu berkata, “Terus waktu itu Arumi juga mahasiswa salah satu kampus yang gue isi seminarnya. Di sana gue jelas memberikan banyak pengalaman hidup sekaligus pesan-pesan semangat.” “Jadi ..., maksud lo Mbak Arumi itu salah satu mahasiswa sekaligus karyawan yang menjadi pengagum sekaligus pendukung lo dibalik semua kesuksesannya?” tukas Jenny mengernyitkan kening berusaha memahami semua perkataan lelaki di hadapannya dengan baik. “Bisa dibilang memang begitu,” balas Fajrian tertawa pelan. “Jangan heran kalau misalnya lo juga bakalan nemu karyawan Bang Bian yang salah satunya penggemar dia ketika ngisi seminar.” Mendengar hal tersebut, Debian tampak sedikit terusik ketika asyik makan malam membuat lelaki itu menatap malas. “Gue hampir dibilang enggak pernah ngisi seminar. Jadi, lo jangan harap bakalan nemu penggemar seperti yang dilakuin sama Arumi sekarang.” Jenny tersenyum geli, lalu bertanya, “Memangnya Mbak Arumi itu usianya berapa?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD