2. Cinta Belum Kelar

1252 Words
Sudah pukul 10, namun gadis itu masih saja gagal memejamkan matanya, meski dengan mengubah posisi sampai berulang kali, mata gadis itu  masih saja betah melek. Diingatnya kembali bayangan seorang pria yang menjatuhkan tubuhnya tepat di depannya pagi itu. Tatapannya, senyumnya, wajahnya, masih terekam jelas. Dia tentu orang yang sama dengan pria tiga tahun lalu yang pernah mengucapkan janji itu. "Aku janji bakal balik lagi di—" Notifikasi ponselnya membuat gadis itu terlempar dari lamunan, ia menghidupkan layar ponselnya dan melotot saat tahu dari siapa notifikasi itu muncul. Arya Wijaya. "Tar, apa kabar? Tolong bales pesanku ya, Arya." Ada gelegak rindu yang membuat gadis itu masih saja tidak percaya dengan adanya takdir yang membawa pria itu kembali padanya. Seolah belum cukup pertemuan pagi tadi, Arya kembali menyapa Tari lewat pesan malam itu. Pernah nggak sih merasakan rindu pada orang yang tak bisa dirindukan, buka karena meninggal, tapi sebab masa lalu yang kelam dan masih terbawa rasa sampai sekarang, masih membawa cerita meski sepenggal. Ingatan tentang Arya kembali memenuhi kepala Tari. Pria yang ditemuinya di kelas pada waktu itu. Bayangan masa lalu berkumpul, menderu menjadi pusaran kenangan yang kuat membawa Tari pada tiga tahun yang lalu, kenangan itu masih membekas, luka itu masih terasa seperti baru, dan takdir kini membawa Tari yang pernah rela melepas untuk bisa kembali bersua dengan satu orang yang ditemuinya saat hari pertama masuk kelas. Ini hanya sebuah kilasan dan Tari ingin mengenang. Mengenang di hari keterlambatannya. Kelas Tari yang sekarang itu baru kelas penjurusan, gabungan dari dua jelas sepuluh yang tak pernah saling kenal dulunya, mana pas kelas sepuluh, Tari tuh nggak kenal sama yang namanya cowok. Temennya ya cewek semua, begitu digabung sama cowok kayak gini, baru dirasakannya kegugupan itu menyerang Tari sampai ubun-ubun. Membuat gadis itu pengen ngesot saja daripada harus jalan di depan cowok satu kelas. "Kampret! Gara-gara elo gue jadi telat, kan?" bisik Tari gemas. Lesti yang emang dari lahir sudah nggak beres justru lekat menatap Tari dengan pelototan. "Kok gue sih? Lagian, bis-nya tuh yang penuh gitu, jadi gue pilih bus kedua lah, emang lo mau gelantungan di pintu bis?" Gugup banget pas masuk sekolah, baru lewat gerbang saja rasanya sudah pengen ilang pas tahu banyak cowok yang nyandar di sisi gerbang sambil mengobrol. Gerbang penuh cowok terlewati kini ia harus menghadapi lorong menuju tangga baru sampai di kelasnya yang baru. Dari kejauhan, segerombolan cowok nampak duduk di beberapa anak tangga seolah menyambut kedatangan Tari. "Kita lewat muter aja gimana? Lewat kantor, nanti pake tangga belakang?" ajak Tari gugup. Ya guguplah, sebagai cewek kalem yang nggak pernah kenal dan tahu soal cowok, papasan sama cowok itu malu banget! Pengennya kalau bisa satu sekolah diisi murid cewek saja. "Lo ngehindar dari apa sih?" tanya Lesti curiga. "Cowok," lirihnya. Lesti langsung melongo. "Apa, Njir? Gue nggak denger," teriak Lesti. Tari menggembungkan pipinya. "Cowok, Les. Gue nggak mau lewat di depan cowok, cukup di gerbang sama lorong aja." Mata sohibnya itu membesar, beneran nggak habis fikir sama pikiran Tari yang kelewat lugu dan kalem. Sudah kelas sebelas, masa paling indah buat melakukan kenakalan, eh, ini anak malah masih polos gini. Dengan sabar, Lesti merangkul bahu Tari, menyalurkan satu pemahaman. "Harusnya kalo ada gerombolan cowok kayak gitu tuh, lo nggak perlu takut." "Kok gitu?" Lesti mengangguk mantap. "Iya lo nggak perlu takut, sama makan nasi, sama manusia, jadi intinya kita semua itu sama, dan alangkah baiknya ketika ketemu, papasan atau apalah itu, harusnya lo tebar pesona dong, biar mereka suka sama lo, bukannya ngumpet di ketiak kayak bocil aja." Anjir! Dibilang bocil. Tebar pesona? Jangankan tebar pesona, mau lewat aja sudah gugup gini gimana mau tebar pesona? "Kalo gue nggak mau?" tanya Tari cepat. "Ya lo lewat tangga belakang sendiri aja." Enteng banget ya kalau ngomong, emang susah kalau punya temen famous macam Lesti, cantik, pinter, populer di sekolah. Kalau dilihat-lihat, Tari bisa kebanting disandingkan Lesti, dia itu mungil, nggak cantik amat, nggak pinter amat, nggak terkenal juga, biasa-biasa aja, belum pernah punya riwayat mantan sekebon. Lesti ... Lesti, kadang suka nggak pede kalau jalan sama gadis populer ini, tapi mau gimana lagi, temennya dari SD sampai sekarang yang paling awet dan kenal sama juteknya Tari ya Lesti doang. Kemana-mana suka barengan. Langkah mereka menerobos kawanan cowok yang duduk di dekat tangga, kelihatan banget bagaimana terpaksa dan tersiksanya wajah Tari saat itu. Hampir saja Tari berlarian sepanjang tangga tanpa mengambil napas, begitu sampai di depan pintu kelas baru lah gadis itu berani mengembuskan napasnya. Lesti di depannya meringis lebar. "Gimana sensasinya?" "Biasa aja." Tari melenggang masuk ke dalam kelas yang masih kosong, beberapa bangku terisi dengan tas, namun sebagian besar masih kosong tanpa penghuni. "Muridnya di kelas IPA cuma dikit ya? Emang bener, kan gue kelas IPA dua?" tanya Tari memastikan, masalahnya pas pengumuman pembagian kelas, ia tak tahu ditempatkan di mana. Lesti lah yang mengabarinya satu kelas di IPA dua. "Belum pada dateng kali, ini kan baru ceweknya." Sebentar-sebentar, baru ceweknya? Sepertinya ada yang salah dengan ucapan gadis itu. "Maksud lo ada cowoknya juga?" Mata Tari melotot. Lesti mengangguk mantap. "Welcome to IPA dua, Mentari gue." Oh, God! Apa-apaan ini? Baru saja ia mengeluh dalam hati, suara gemuruh hebat membuat Tari panik seketika, entah dari mana datangnya gerombolan cowok dan cewek masuk ke dalam kelas itu, buru-buru gadis itu berlari barengan Lesti buat nyari bangku yang pas. Baru saja ia meletakkan tas di atas bangku, mendadak seseorang menabrak bahunya keras, Tari meringis. Sakit banget woe! "Eh lo—" Suara Lesti meninggi, Tari duduk di bangkunya dengan cepat sembari memegang bahunya yang ditabrak seseorang barusan. Gila aja sih, ditabrak orang tapi kayak dicium truk, keras banget, itu orang apa robot Mesir sih? Satu tangan tiba-tiba hadir di depan Tari, menjulur begitu saja, mata Tari segera menjalar dari tangan menuju wajah orang tersebut. Seraut wajah dengan naungan alis hitam mencuat bagai petir, sepasang mata teduh, dan senyum kecil memamerkan deretan gigi putihnya. Sosok menjulang itu menatap Tari dengan sorot bersalah. "Sorry banget ya, gue tadi buru-buru banget." Tari masih terbengong, ia berkedip dua kali dan tersadar cowok ini lah yang membuat bahunya menjadi sesakit ini. "Nggak apa-apa kok," jawabnya gugup. Cowok itu tersenyum lagi, menatap tangannya yang belum juga menerima jabatan dari Tari. Ditariknya kembali tangan pria itu. "Sorry banget, kalo lo masih marah sama gue, nama gue Arya, Arya Wijaya." Tak mendapatkan jabatan tangan Tari, pria itu masih saja setia berdiri di samping gadis itu dan mengenalkan namanya. "Gue—" "Mentari, kan?" penggal Arya kalem. Tari melongo, buru-buru ia mengangguk, menyadari kalau mungkin Arya tahu dari nametag di bajunya. "Bangku gue paling pojok belakang sana," tunjuk Arya pada Tari. "Terus?" "Kalo lo masih marah dan minta tanggung jawab buat bahu lo, bisa langsung dateng ke sana. Jangan lupa ya, nama gue, Arya." *** Arya Wijaya. Pertemuan itu membekas di ingatannya, menjadi memori manis yang paling diingatnya. Dan malam ini, pesan singkat dari inbox f*******: nya membuat Tari langsung tergagap. Berusaha untuk tetap tenang di kasur lantas tidak melayang menjauhi gravitasi. Baru saja tangannya ingin mengetik balasan, pesan baru muncul menyusul yang tadi. "Tar, kalo kamu marah boleh, tapi aku tau akun kamu dari Lesti." "Jangan marah sama Lesti ya, marah aja sama aku." "Eh, jangan marah ding, kita kan baru ketemu lagi masa mau marahan?" Pesan itu membuat Tari tersenyum, ada sesuatu yang rasanya lega, buncah, bahagia, entah antologi rasa macam apa ini, namun dengan cepat Tari mengetik satu balasan dengan cepat agar sosok itu tak lagi pergi. "Baik, Ar. Jangan pergi lagi ya." Dan kisah cinta yang belum kelar ini resmi dimulai. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD