Kenangan itu bagaikan kopi, terasa pahit namun candu untuk dirasa, dan kerinduan ini semakin mengental, mengendap di bawahnya.
Tari menghela napas panjang. Pernah nggak, yang namanya suka sama orang, terus dekat banget sudah kayak orang pacaran mau seriusan, dijaga dengan sepenuh hati seperti anak sendiri, tapi ujung-ujungnya malah bikin sakit hati.
Ya selingkuh, ya nge-ghosting, ya mainin.
Dan itu lah alasan kenapa saat ini Tari masih saja nyaman hidup sendiri. Ketakutannya pada cowok akan ditinggalkan dan tak dihargai perasaannya cukup memberikan trauma mendalam.
Sekali lagi, kadang ia sudah putus asa dan berharap bahwa ada satu cowok yang akan datang kepadanya lantas menawarkan keseriusan untuk hidup bersama, but, yeaaah, ini tuh hidup!
Nggak realistis, kalian banyakan nangis!
Mau sampai kapan pun, Tari yang lugu, cantik, unyu nan kalem itu kerjaannya cuma mendiami tempat tidurnya. Menulis dan menulis.
Gimana mau dapet cowok coba?
Kalau pun ada panggilan untuk keluar itu pasti— Tari melirik ponselnya saat satu panggilan masuk.
"Tar, makan siang bareng yuk!"
Tari menutup laptop di depannya seketika. "Ya udah iya, jam berapa? Dimana?"
"Di kafe biasanya aja. Ntar gue jemput elo deh kalo kerjaan gue udah selesai."
"Ampun deh, Les, ntar gue bisa kesana sendiri nggak usah lo jemput!" tolaknya mentah-mentah.
Ya gimana enggak nolak coba, selama beberapa tahun ini setelah ia putus dengan mantan terakhirnya yang laknat itu, hanya Lesti lah yang menemaninya kemana-mana.
Berdua kemana-mama barengan Lesti, ia harap orang-orang nggak akan mikir mereka adalah dua lesbi yang lagi nyuri-nyuri waktu buat ketemuan.
"Tar, gue ada cerita baru. Hangat banget tau nggak, dan gue yakin banget lo pasti suka!" Suara Lesti di ujung telepon sana terdengar nyaring banget.
"Palingan juga jadi sampah."
Lesti ngakak. "Eh, nggak ya, gue beneran mau ngasih lo surprise nih, makanya gue nggak sabar banget liat ekspresi lo nantinya."
Kalau nggak cowok ini pasti soal konser, karena Lesti, sohib gesreknya itu adalah manusia dengan dua pemikiran dominan di otaknya. Kalau nggak mikir soal cowok ya pasti mikir di mana Ed Sheeran konser.
Dan itu benar-benar dia hafal meskipun logatnya si Lesti sudah kayak orang mau ngasih tahu dimana letak harta karun.
"Cepetan yaa, gue tunggu sampe jam 12 nanti, nggak usah molor, bos gue lagi bawel soal kerjaan nih." Ucapan itu menjadi akhir dari percakapan sebelum akhirnya Lesti memutuskan sambungan.
Dan siang itu juga, di tengah teriknya matahari dan hiruk pikuk di sebuah cafe, Tari datang kepada Lesti yang melambaikan tangan ke arahnya dengan wajah semringah.
Ada sesuatu tak biasa yang membuat ia menjadi segirang ini. Gadis itu memanggil seorang pelayan sebelum akhirnya kembali menatap Tari dengan sorot berbinar.
"Lo kenapa sih?"
Lesti menggelengkan kepalanya. "To be honest, gue tau banget kalo lo ada trauma sama yang namanya cowok—"
Tuh, kaaan, Tari bilang juga apa. Kalau Lesti sudah segirang ini, sudah pasti bahas cowok, nggak mungkin tiba-tiba dia bahas sesuatu yang lebih penting dan menguntungkan.
"Lo bahas apa sih?" sewot Tari langsung.
Selain cowok, topik paling dihindari Tari adalah pembahasan masa lalu. Ia benar-benar ingin melupakan dua kejadian yang membuatnya semakin membenci cowok dan tak memberikan kepercayaan lagi padanya.
Lesti tersenyum kalem. "Tar, gue tau Ahim udah bikin lo kayak gini, tapi gue percaya kalo lo masih punya cerita cinta belum kelar dengan seseorang."
Dari kalimat itu, Tari tak ingin lagi berharap bahwa nama yang tiba-tiba muncul di benaknya terlontar dari mulut jahannam Lesti.
Dengan mulut bergetar dan tatapan nanar yang kini tergambar jelas di wajahnya, Tari bertanya, "Siapa?"
"Arya Wijaya."
Dammit! Bahkan ketika nama itu diucapkan kembali, gulungan cerita masa lalu seolah otomatis terputar dalam otaknya, dalam putaran memilukan yang cukup ampuh membuat matanya tiba-tiba berkaca-kaca.
Mengapa?
"Tar." Suara Lesti sengaja dinadakan untuk menyadarkan gadis itu dari lamunan terperihnya.
"Ada apa?"
"Gue nemu dia lagi."
Ketemu? Tari bahkan ingin tertawa, untuk sebuah tawa yang kemudian disadarinya sebagai bentuk tangis bernada seceria mungkin, namun gagal.
Mengapa disaat hatinya sudah porak-poranda dan tak ingin lagi menemukan satu alasan untuk kembali, satu nama itu muncul lantas membuat harapan Tari kembali tumbuh?
Nama yang dibenci sekaligus didendamnya dalam kerinduan. Untuk sebuah 'maaf' yang belum tersampaikan, untuk sebuah cara pamit yang indah.
Meski pamit itu disampaikan dengan cara terbaik, perpisahan tetaplah satu hal yang paling menyakitkan.
"Lo nggak usah bahas dia," lirih Tari menunduk.
Berharap kepada kedua telinganya kini tuli dan tidak lagi berfungsi dengan baik. Nama itu masih mempunyai atmosfer tersendiri saat diucapkan, saat dilontarkan dengan nada paling hati-hati.
"Dia nanyain elo, Tar."
Oh, s**t!
Dunia, mengapa harus sekejam ini cara bercandamu? Tari bahkan sudah membekukan hatinya untuk siapapun, untuk apapun, dan dinding kokoh itu berhasil dibangunnya selama bertahun-tahun.
Tapi, satu nama sialan itu datang di hari secerah ini bagaikan petir disiang bolong.
Tari menekan kedua tangannya pada kedua sisi kursi cafe lantas memejamkan matanya dengan penuh, berharap kepada otaknya agar tak lagi berteriak meminta sebuah kehidupan baru untuknya yang kini telah tenang.
"Dia nggak mungkin nanyain gue." Berkali-kali ia mengulang kalimat itu dari mulut mau pun hatinya.
Berulang kali.
Lesti menggenggam erat tangan Tari lantas tersenyum.
"Perpisahan lo sama dia waktu itu bukan salah dia, bukan juga salah lo. Semua perpisahan bisa berjalan lewat perantara apapun, mau sejauh apapun lo nolak yang namanya perpisahan, semua perpisahan bisa diwujudkan dari banyak hal. Begitu pun dengan pertemuan lo kali ini, mau sekeras apapun lo nolak, hati lo bersikeras ingin tahu keadaannya meski lo sendiri pengen menulikan telinga." Usapan Lesti di punggung tangan Tari cukup membuat keretakan itu semakin tergambar nyata.
Terlihat gamblang dan transparan.
Hatinya yang rapuh itu kemudian memerintahkan untuk memberi sebuah senyuman terpedih yang dapat dilihat Lesti.
"Gue nggak mau lagi, ini pasti sulit buat gue, gue nggak bisa mengulang kayak dulu lagi, dia udah totally benci sama gue. Kalo dia mau ketemu kenapa dia nggak nyari gue langsung, kenapa dia nggak bilang sama gue langsung, kenapa—" Lesti meletakkan satu telunjuknya di depan bibir Tari.
Sohibnya itu menyorot gadis di depannya dengan sorot sendu. Pasti terasa sakit ketika dua orang yang tengah jatuh cinta harus dipaksa berpisah.
Terlalu sakit rasanya ketika ingin bersatu namun harus berperang pada waktu, terlalu sakit memang ketika sudah saling mencinta namun semuanya harus luluh lantak diterjang oleh beberapa orang yang berdiri bilang tak suka.
Mau sekuat apapun berlari meninggalkan lantas berharap menemukan yang baru, kenyataan bahwa nyaman dan perasaan tak bisa digantikan meski orang lain mempunyai banyak kemiripan.
"Kalau ada best couple saat itu, mungkin kalian lah yang bakalan menang, gue bilang kayak gini karena gue tau sorot seperti apa yang diberikan Arya sama lo, dia sayang banget sama lo, Tar."
Bullshit!
Sayang banget?
"Elo nggak usah ngehibur gue, gue nggak sesedih yang lo kira," sanggah Tari saat sohibnya itu memicingkan matanya dengan tajam.
Tari akan membenci Lesti karena gadis itu yang paling tahu bagaimana cara Tari berbohong. Gadis itu memalingkan mukanya saat melihat Lesti masih saja melihat Tari dengan tatapan tajam.
"Gue pikir juga kayak gitu, Tar. Gue pikir tiga tahun berpisah, dia udah kenal banyak cewek, at least, udah pernah nidurin cewek atau pernah berkencan dengan banyak cewek. But, yeaah, gue iri banget sama lo," jelas Lesti dengan senyum tipis, "gue Inget banget, ketika dia bilang sama gue. Mau sejauh apapun dia pergi, ujung-ujungnya elo yang dia cari."
Tari mengambang diantara kesadaran yang sudah nyaris menguap.
Arya, cowok itu bahkan dengan gampangnya mengurai kalimat manis yang ujungnya membuat Tari menangis.
"Pembohong!"
Lesti tersenyum, ia melirik arloji di tangan kirinya lantas mengamati ponselnya. Dari gelagat Lesti yang sepenuhnya mencurigakan seperti itu, Tari cukup waspada dengan sekitarnya.
Mulanya, ia berpikir bahwa semuanya aman, sebelum saat dengan tiba-tiba saja Lesti menggenggam tangan Tari.
"Gue harap lo bijak dan jujur sama hati lo," ujar Lesti pelan.
"Gue nggak—"
"Gue nggak minta pendapat lo soal ini, yang gue minta kejujuran hati lo, kalian pernah bertemu saat ego masih berperan, sekarang kalian udah gue anggap pantas buat berpikir kembali menata masa depan atau mungkin membiarkan semuanya terbuang menjadi serakan masa lalu."
Ucapan Lesti memancing kepanikan di wajah Tari, gadis itu spontan menajamkan penglihatannya ke seluruh penjuru cafe.
"Jangan bilang lo—"
Terlambat. Mendadak sepasang sepatu berhenti di dekat meja mereka, Tari tak juga mengangkat kepalanya, ia justru memejamkan kedua matanya saat dengan tiba-tiba satu suara ikut menyela.
"Udah lama, Les?"
Lesti di depannya tersenyum lebar lantas menepuk-nepuk pundak orang tersebut. "Lumayan sih, gue tinggal dulu ya, boss gue lagi bawel nih, makanan udah gue pesenin. Gue doakan semoga sukses sampai hari H."
Mereka tertawa dibarengi kehilangan Lesti.
Degup jantung Tari menggila saat kursi di depannya yang semula di duduki oleh Lesti ditarik oleh orang tersebut, ia mendaratkan tubuhnya yang besar itu di kursi tersebut lantas meletakkan kedua tangannya di atas meja.
"Hai, Tar, lama udah nggak ketemu."
Suara itu, nada itu, nama Tari yang diucapkan dengan pelafalan yang lembut membuat Tari semakin menunduk dengan tangis yabg susah payah ia hentikan.
Sialnya, air mata itu sungguhan turun saat tangannya berusaha mengusap. Sebuah jari lebih dulu mengangkat dagunya, dan hilanglah dinding kokoh Tari.
Saat itu juga pecah sebuah tangis dalam diam, disaksikan oleh kerinduan tak terbacakan. Ia merasakan sebuah ibu jari mengusap air matanya perlahan.
"Kita baru ketemu, jangan nangis. Aku menepati janjiku buat balik, jadi tolong jangan buat aku sedih liat kamu kayak gini."
Runtuhlah dunia Tari saat itu juga.
***