Setelah melihat bagaimana romantisme antara Arya dan Tari, jujur saja hati Abi ikut terbakar. Bagaimanapun juga ia adalah cowok yang akan dijodohkan dengan Tari, harusnya gadis itu berusaha mencintainya bukan berusaha mengusirnya.
Dan apa yang dilihatnya semalam? Di taman yang sepi pada sebuah gazebo dua orang— cowok dan cewek lagi berduaan, pas Abi datang mereka tengah ciuman?
Anjis man, kalau Abi tahu sejak awal Tari bisa ciuman mungkin sudah habis bibir mungil itu dilumat Abi saking menggodanya. Membayangkan Arya yang sudah sejak dulu bisa memagut habis bibir gadis itu agaknya membuat Abi geram.
Sudah berapa kali mereka berciuman?
Namun sekarang yang terpenting bukan itu, bukan masalah berapa kali mereka sudah ciuman, persoalan yang lebih penting adalah bagaimana bisa memisahkan Arya dari Tari.
Pagi itu, di depan kediaman Soedjatmiko, Abi berdiri dengan kedua lengan dimasukkan ke dalam saku. Pria itu bersandar pada Alphard putihnya, bahkan sejak pria itu tahu bahwa bergaya di depan keluarga Soedjatmiko itu penting untuk bisa mendapatkan restu, Abi rela memuseumkan Jeep kesayangannya untuk kesan sebagai calon mantu berwibawa.
Mata Abi menemukan Tari tengah berjalan keluar, diikuti oleh beberapa pembantu malah membuatnya kewalahan, akhirnya ia meminta Nilam untuk mengikat rambutnya. Tari dengan segala trademark-nya yang membuat gadis itu berbeda.
Ikat rambut biru, gelang tali biru, tas biru, sweeter crop top yang berpadu dengan jeans dan kets yang berwarna senada.
Tari tampak biasa saja sebelum ia melihat kedatangan Abi di depan gerbang kebesaran Soedjatmiko. Gadis itu mendecakkan lidahnya, lalu mengibaskan tangannya menyuruh Mbak Nilam untuk pergi.
Abi melangkah lebar-lebar, menghampiri Tari yang akhirnya berbalik kembali duduk di teras. Mukanya jutek dan malas banget tiap bertemu Abi. "Ngapain ke sini? Salah liat hari ya, ini kan masih Jum'at, bukan malam Minggu," komen Tari membuat Abi menyunggingkan senyum.
Lama-lama gadis ini membuatnya gemas. Tari tuh nggak pernah bisa akur dengannya, jangankan bisa ngomong baik-baik, rasanya kurang afdhol kalau ngomong sama Abi nggak pakai urat. Tari sendiri yang bilang kalau ngomong sama dia harus ngegas, itu bukan masalah bagi Abi mengingat betapa Abi dulu pernah g****k banget membully gadis itu.
Sekarang biar dia juga bisa merasakan bagaimana perasaan Tari saat turunan ningrat dibully layaknya anak biasa.
"Aku mau ngajak keluar, sekalian mau ngomong penting," ucap Abi ingin menjelaskan, namun tatapan Tari yang ogah-ogahan tampak tak peduli pada Abi yang kini duduk di sampingnya. Gadis itu bahkan lebih fokus pada kesepuluh jarinya yang habis dicat cantik oleh Mbak Nilam.
"Alaaaah, ngomong aja nggak usah ngajak keluar, bisa langsung to the point, aku orangnya enakan," tolak Tari membuat Abi langsung mengangkat kedua alisnya tinggi.
Abi nggak pernah yang namanya ditolak, dipaksa, dijadikan babu, tapi demi Tari, sekali lagi demi bisa membuat hati gadis itu luluh padanya kayaknya Abi harus mengeluarkan banyak strategi dan kesabaran, termasuk ya kayak situasi ini.
"Tapi aku pengen ngajak kamu jalan keluar juga, Tar," pinta Abi sekali lagi, pria itu mempertahankan senyumnya untuk bisa membuat Tari sejenak luluh atau bahkan terpesona pada senyum maut milik pria itu.
Tari menoleh, menatap tegas pada mata Abi yang terlihat sekali memaksa meski senyumnya tersungging indah. Gadis itu ikut tersenyum miring. "Nggak mau! Aku bilang nggak mau ya nggak mau! Pergi aja sendiri, lagian kalo mau pergi aku pengennya ke taman dan rumahku udah kayak taman jadi mending ngomong di sini aja," tandas Tari pengen dijitak.
Abi menganggukkan kepalanya, begitu melihat ketegasan di mata Tari, pria itu akhirnya mengalah, kalau saja bukan di rumah Soedjatmiko, anak gadisnya satu ini sudah habis dicium, dipeluk Abi sampai nggak bisa napas saking gregetnya Abi pada Tari.
"Setelah aku pikir-pikir, kayaknya orangtuaku bakal datang ke sini nanti malem buat ngelamar kamu," jelas Abi dengan muka berwibawa padahal ia tahu setelah ini Tari bakalan meledak.
"Bocah edan!" umpat Tari langsung, gadis itu menoleh, menatap Abi dengan saksama, jangan tanya gimana perasaannya, otaknya, dan pikirannya saat ini? Tari hampir linglung mendengar perkataan Abi.
"Siapa yang mau nikah sama kamu, Bi? Cowok yang bahkan aku nggak tau suka apa enggak sama aku? Plis, ini dunia bukan n****+ yang awalnya benci jadi cinta. Benci ya benci, mana mungkin aku jadi suka sama kamu. Mimpi!"
Terlalu panjang dan menyakitkan, Abi termangu lama, luka hati Tari padanya belum sembuh, sementara ia mendengar bahwa Tari memang tak pernah menerima cowok manapun karena takut disakiti, trauma seperti ini lah yang kemudian membuat gadis itu tak bisa membuka hati selain pada seseorang yang dikehendaki.
Lalu, bagaimana mungkin ia yang dulu pernah menempatkan Tari sebagai objek utama dalam pembullyan mendadak melamar gadis itu? Kalau dipikir-pikir, Abi emang sableng, nggak ada otak, dan memalukan diri.
Tapi, bagaimana bisa menjelaskan pada Tari dan meyakinkan gadis itu kalau saat ini perasaan itu mulai tampak sejak melihat Tari sebebas, seceria, dan setegas itu dalam hidup.
Mempunyai Tari sama saja memiliki dunia ini, gadis itu terlalu luar biasa dibanding dengan deretan mantan Abi yang fantastis namun setipe itu. Manja dan matre!
"Kamu nggak pengen nyoba buat suka sama aku—"
"Nggak ... nggak, aku nggak minat," sela Tari bahkan sebelum Abi menyelesaikan kalimatnya. Pria itu mengernyit, Tari menolaknya dengan gamblang, tapi ia tak bisa marah.
Inilah keanehan kedua selain fakta menyukai Tari membuat Abi juga ikut terkejut atas hatinya sendiri.
Tari bangkit, membawa serta sling bag mousedeer-nya lalu meninggalkan Abi begitu saja, tak menghiraukan keberadaan pria itu meski saat itu tatapan nanar dari Abi masih bisa tertangkap jelas di mata Tari.
"Tapi, aku tetep minta orangtuaku datang ke sini meskipun kamu udah nolak aku, Tar. Kamu nggak boleh menggagalkan niat baikku buat melamar kamu," teriak Abi membuat Tari menghentikan langkahnya.
Tanpa berbalik, gadis itu mengembuskan napas, rupanya Abi juga bisa sekeras ini dalam mengejar seseorang, entah itu dengan motif atau memang ia khilaf.
"Kamu baru melamar dan aku bisa nolak kapan aja lamaran itu. Segampang itu, kan?"
Kalimat itu membuat Abi terhempas jauh dari kewarasan. Tari sudah membuatnya hilang akal!
***
Abimanyu memang nggak pernah main-main dengan ucapannya, karena begitu melihat satu set baju di atas kasurnya, ia paham bahwa di bawah sana ada acara perjamuan. Lamaran Tari!
Kain batik Pekalongan berwarna biru aqua, lalu kain tenun bercorak kereta kuda yang berwarna lebih gelap sebagai bawahan dan riasan yang tampak natural namun membuat gadis itu kelihatan awet muda, agaknya Tari tahu ada apa di balik persiapan Nilam yang tampak buru-buru.
Tari menatap pantulan dirinya pada kaca di depannya, Nilam di belakangnya masih sibuk menata rambutnya, menggelungnya dengan gelung yang pas di wajah Tari.
Membuat gadis itu tampak fresh dan rapi, sedikit anak rambut dibiarkan jatuh di kedua pelipisnya. Matanya yang tampak lebih coklat membuat tatapan Tari semakin menawan.
Gadis itu memejamkan matanya, dia nggak tahu lagi gimana bisa membuat Hendra tak mengekangnya dengan memilihkan jodoh Tari sementara gadis itu sudah punya pria lain.
Tari berbalik, menatap Nilam yang tampaknya tahu kekalutan nona cantiknya, itu juga bisa dirasakan oleh Nilam karena gadis itu pun belum menikah atau bisa dikatakan akan menikah dengan bahagia bersama orang yang dia cinta.
"Aku nggak suka perjodohan ini, Mbak," rengek Tari. Bibir gadis itu sudah melengkung mewek begitu melihat riasan rambutnya selesai.
Ditatapnya Tari dengan segala bentuk keprihatinan, sedih, kasihan, dan kasih sayang. Bagi Nilam, Tari adalah adik kecilnya, gadis yang menjadi satu-satunya teman bagi Nilam sementara kasta mereka jelas berbeda.
Melihat Tari sedih karena nasib cintanya, agaknya membuat Nilam ikut terpuruk, masalahnya Tari akan menjadi lebih pendiam padahal sejak dahulu ia sudah bersusah payah membangkitkan Tari untuk bisa seceria ini lagi.
Beban mental baginya mempunya tekanan pada keluarganya.
"Mbak Nilam tau kan, Abi tuh nakal banget sejak kecil, dia seneng banget ngejek aku sama temen karena dia nggak pernah tau aku dari keluarga apa dulunya," adu Tari seperti anak kecil, gadis itu memeluk pinggang Nilam erat.
"Tapi, kan itu dulu, Tar, siapa tau begitu sudah dewasa, Abi jadi mencintaimu tulus, kita nggak pernah tahu."
Iya, kita nggak pernah tahu. Bahkan saat Nilam mengucapkan 4 kata terakhirnya, ia juga ikut sangsi pada kalimatnya sendiri, ia juga tak pernah tahu apakah bisa seseorang yang benci dan berwatak penindas bisa berbuat baik karena jatuh cinta? Dibilang jatuh cinta, agaknya wajah kriminal Abi terlalu keras untuk menerima cinta.
Lalu bagaimana ia bisa mencintai Tari secepat itu? Proses yang sangat mustahil bukan?
Nilam terkejut begitu melihat Tari berkaca-kaca, gadis itu menahan dengan sekuat tenaga air matanya, ikut merasakan kekalutan Tari bukan hanya pada perjodohan ini saja.
"Kalo pun benar dia suka sama aku, aku nggak suka sama dia. Aku cuma suka sama Arya. Kenapa harus ada dia sebelum Arya sempat kesini coba?" tanyanya seolah menyalahkan waktu.
Nilam mengusap pundak Tari lembut, menenangkan gadis itu. "Kamu bisa menolak di lamaran ini."
Tari mendongak, menatap mata Nilam tajam, seolah meminta keyakinan atas satu kalimatnya tadi, sementara itu Nilam tidak yakin setelah ini nasibnya masih bisa mujur di rumah ini atau bahkan setelah acara lamaran nanti ia dan simboknya bakal diusir dari sini kalau Hendra Soedjatmiko tahu ia lah yang membisiki Tari untuk menolak.
Suasana di ruang tamu tampak ramai, Abi dengan setelan jas yang membuat wajahnya terlihat semakin tampan membawanya pada kepercayaan diri melangit.
Sebentar lagi, jangankan Arya, cowok manapun tak ia izinkan untuk menyentuh Tari-nya. Gadis itu benar-benar membuat Abi kehilangan akal saking cintanya. Ia menyukai Tari karena sikap gadis itu, karena tenangnya, dan hoho, somebody, cuma cowok bermata lamur yang nggak suka sama Tari, kalo pun mereka suka pasti nggak berani menghadapi ayah Tari yang kelewat galak kayak macan itu.
Abi merasakan dengan jelas, saat degup jantungnya hampir berhenti berdetak saat dua tahun lalu ia dipilih ayahnya untuk mengambil satu bisnisnya dan tepuk tangan tamu membuatnya jumawa, lalu saat beberapa penghargaan dari relasi perusahaan atas promosi yang membuat produk duet mereka yang laku keras, lalu malam ini?
Baru melihat Tari turun dari tangga saja sudah membuat jantung Abi berdetak cepat, ia tak pernah merasakan hal ini pada Grace, Lolita, Liora dan mantannya itu. Sihir ajaib apa yang dibawa Tari?
Nugraha tersenyum melihat Tari sudah duduk di samping Hendra. Acara itu resmi dimulai dengan pembukaan dan salam hormat keluarga mereka.
"Kedatangan keluarga kami ke sini untuk melamar Mentari Lakshmi Soedjatmiko, apakah Tari bersedia menjadi istri Abimanyu?" tanya Nugraha pada Hendra.
Ayah Tari itu melirik anak gadisnya yang menunduk terdiam beku di tempat, Hendra tersenyum. Gadis itu terlihat manut. "Coba lihat saja, semua jawaban saya serahkan pada Tari, semoga tidak mengecewakan keluarga Nugraha," kekeh Hendra.
Memang, kesialan tidak ada yang tahu kapan datangnya, karena begitu Tari mengangkat kepalanya, bisa dirasakan dari tatapan gadis itu menusuk ke arah Abimanyu. Seolah benci yang dikumpulkan menjadi satu lalu siap diledakkan.
"Tari menolak lamaran ini!" tegas gadis itu membuat Hendra Soedjatmiko menoleh cepat. Bahkan, Abimanyu ikut mengangkat kepalanya dan terkejut atas jawaban gadis itu.
"Tari nggak mau menikah dengan seorang penindas, pembully, pria rasis populer, bukan begitu Abi? Sejak SMP kamu menargetkanku sebagai objek bully-an, kenapa sekarang mencoba melamar? Ingin lebih leluasa menyiksaku dengan pernikahan?"
Rentetan kalimat itu bagaikan peluru tajam yang dilancarkan Tari, merobek hati Abi, menguak luka Nugraha, dan menyakiti Hendra.
"Tariii," desis Hendra meminta anaknya berhenti berbicara.
Tari menoleh, menyorotkan tatapan permohonan pada Hendra. "Yah, aku tau ayah nggak bakalan rela kalo aku nikah sama penindas, tapi tolong pikir apa ayah ingin menyelamatkan pertemanan dan mengorbankan Tari?"
Nugraha menoleh, menatap Abi yang terduduk diam. Rukmini— ibu Abi ikut menatap anaknya dengan tatapan menghakimi. "Bener itu, Bi?"
Abi terdiam tak percaya, semua perbuatannya diganjar habis dalam acara lamaran kali ini, malu banget rasanya. Namun, ia tak bisa menyalahkan Tari sebagai korban. Gadis itu sudah terluka sejak lama.
"Itu bener. Tapi sekarang Abi udah suka sama Tari, tulus," katanya lemah. Abi mengangkat kepalanya menatap Tari. "Kasih aku waktu buat nunjukkin kalo aku suka sama kamu, Tar."
Tari terdiam. "Aku nggak bisa buka hati buat cowok yang udah nyakiti aku. Untuk kedua kalinya." Final. Tandas. Dan tegas.
Ucapan Tari tak terbantahkan, bahkan Hendra tak bisa lagi membela Abi di depannya, anak gadisnya itu bagaimanapun adalah anaknya yang butuh dibela saat sakit. Kekecewaan saat Tari menolak lebih sakit lagi saat mendengar Abi lah luka masa lalu Tari.
Gadis itu bangkit, pergi berlari lalu membanting pintu.
Hendra menghela napas berat. Hati Tari rapuh, sementara Abi adalah cutter tajam yang menggores hati gadis itu, percuma saja lamaran ini dilakukan jika Tari masih kesakitan.
Didorongnya kembali cincin di depan Hendra. "Jari manis Tari masih keberatan dengan emas yang diberikan Abi. Silakan kalian kembali ke sini di lain waktu."
"Lamaran ini ditolak."
***