"Lo gila?!" pekik Lesti nggak tanggung-tanggung membuat semua pengunjung kafe menatap ke meja mereka.
Tari buru-buru membekap mulut sohib bangsadnya itu. Punya sahabat bermulut segede kuda nil mah gini.
Siang itu, setelah berhasil membujuk Lesti yang kerjaannya lagi padat-padatnya, akhirnya Tari bisa menculik sohibnya itu barang setengah jam untuk bertemu di Gravitasi.
Berada dalam keputus asaan yang membuatnya hampir stress, tak ayal akhirnya ia membagi semua masalah ini pada Lesti. Ia tak tahu harus bagaimana lagi menyikapi masalah kali ini. Mengapa harus terjebak dalam perjodohan yang membuatnya tak bisa berkutik.
Bukan karena keluarganya mendukung penuh atas perjodohan ini, namun karena si Player Abi itu yang sempurna tanpa celah.
Harusnya, Tari bisa saja marah besar dan menolak perjodohan ini seperti anak gadis pada umumnya, namun ia lupa dengan siapa ia dijodohkan.
Abimanyu Rakyan Kreshna! Cowok dengan segala pesonanya yang dibuat untuk menindas orang. Menolak Abi sama saja membiarkan dirinya dicaci maki kalau matanya buta. Katarak. Lamur. And that's the reason why she's afraid to do that.
Dan demi apapun, Tari nggak pengen pembatalan perjodohan ini harus dirinya yang menjadi pribadi jelek di mata dua keluarga, kalau pun harus adil, setidaknya Abi juga harus ikut mempunyai cela, punya sisi buruk gitu maksudnya.
"Tolong gue, Leees, pliiiis," pinta Tari nggak ada akal lagi buat menghadapi sosok Abimanyu.
Lesti mengembuskan asap rokok ke langit-langit. Chiko bakalan ngamuk berat sama Tari kalau tahu ia tak mencegah pacar tersayangnya itu merokok.
Sohib Tari itu menyorot gadis itu dengan muka sebal. "Terus gue bisa apa, Tar? Kecuali misal bokap gue temen sepermainan bokapnya Abimanyu, udah pasti gue pura-pura jadi orang ketiga yang bakal nikung Abi dari lo."
Tari tertawa. "Sialan lo, Nyet. Tapi, plis, Les, mikir sekali lagi buat gue, udah buntu banget gue tuh harus gimana biar nggak ada lagi perjodohan bangke kayak gini."
Lesti mengisap rokoknya dalam, lalu ia mematikan puntung rokoknya cepat, gadis itu meraih wine di depannya sebelum berkomentar panjang.
"Menurut gue, kenapa lo nggak nerima perjodohan ini duluan sih? Begitu udah jalan, lo baru nyari celah biar bisa nunjukin sisi buruk Abi?" usul Lesti membuat kening Tari berkerut.
Tari balas berdecak. "Lo bakalan terpesona banget sama peran Abi, dia kalem banget woe. Anjir, lah, totalitas banget dia main peran, mana pake mutusin Grace yang bohay itu."
Mata Lesti melotot. "k*****t! Bangsad! Bege! Anjir lah woe!" Tari mengangkat satu bibirnya mendengar deretan umpatan keluar mulus dari mulut Lesti.
Emang daebak banget itu cewek kalau disuruh maki, ngumpat, apalagi disuruh tawuran.
"Itu cowok kayaknya niat banget nindas lo sampe nikah deh, Tar," ungkap Lesti bikin Tari makin melotot.
Anjir, lah, membayangkan bagaimana mereka menikah saja sudah kacau, apalagi sampai mikir ditindas Abi setelau menikah. RIP Mentari Lakshmi!
Kayaknya hidup Tari bakal bertahan sampai usia 20 tahun saja. Lupakan segala wishlist yang bisa membuatnya bahagia di ulang tahunnya ke- 21 nanti. Memikirkan sisa masa hidupnya di umur ini saja ia tak tahu apakah masih bisa hidup sebagai manusia normal setelah kedatangan Abi dalam hidupnya.
"Leeess, bantuin gue buat batalin ini doong, lo nggak pengen liat gue gila, kan? Depresi terus bunuh diri di kamar?" racau Tari mulai hiperbola.
Lesti memutar bola matanya. "Terus apa yang bisa gue lakuin biar bisa nolongin lo? Masa iya gue harus bakar ban depan rumah lo sambil teriak, tolak penindas berkedok putra bangsawan!"
Bahkan sampai waktu 30 menit itu habis, Tari tak juga menemukan cara yang pas agar bisa mendepak Abimanyu jauh-jauh. Lesti belum bisa memberikan pencerahan, untuk itu segala sesuatu, nasib, dan untung ruginya Tari hanya bisa dipasrahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Mereka berpisah di Gravitasi dengan muka Lesti yang berkerut penuh harapan pada Tari agar gadis itu bertahan barang sejenak atas satu ide yang mendadak muncul dalam otak Lesti.
"Orangtua lo cuma pengen liat anaknya punya pacar. Kenapa nggak nyoba nyuruh Arya main ke rumah lo biar Romo Soedjatmiko bisa mempertimbangkan kembali perjodohan ini setelah tau lo udah ada pacar?"
Dan itu lah yang dipikirkan oleh Tari. Tidak segampang menyuruh Arya untuk datang ke rumahnya, masuk kediaman Soedjatmiko dalam posisi tidak dikenali, status keluarga lebih rendah daripada Tari akan membuat pria itu menjadi bulan-bulanan cercaan ayahnya.
Ia paham betul, bahwa pemikiran sang Ayah adalah kasta. Menikah dengan kasta lebih rendah yang artinya Tari rela begitu saja mencopot nama ningratnya begitu sudah menikah.
Gadis itu mengembuskan napas panjang. Setidaknya ia harus melakukan dulu rencana ini.
***
Sementara itu, saat makan malam, Tari mulai berlagak aneh. Gadis itu makan dengan anggun, diam, nggak banyak tingkah, nggak ngomong-ngomong. Hendra— ayahnya itu melirik anak gadisnya yang mendadak jadi arca Ken Dedes yang membatu dengan cantik.
Humaira— ibunya melirik anaknya lewat ekor mata, kelihatan banget ada sesuatu yang ingin disampaikan gadis itu dengan persiapan mental masih kacau.
"Kenapa, Tar? Kalo mau ngomong ya ngomong aja, Ibu dengerin kok," pancing Ibu masih dengan kunyahan seolah memberikan kesempatan pada Tari didengar tanpa ditatap.
Tari langsung meletakkan sendok serta garpunya begitu saja di piring, gadis itu menatap kalut pada dua orang yang duduk di depannya. Jari-jemarinya bertaut, dia bersumpah kalau ada situasi menegangkan sampai kehabisan oksigen, maka berbicara dengan Hendra adalah salah satunya.
"Yah, Abi baik banget ya?"
Hendra langsung mendongak, baru kali itu, Tari melihat pria tua itu bisa tersenyum saat mendengar nama orang lain. Pertanda baik bahwa Abimanyu telah diterima oleh keluarga ini. Jelas banget itu mah, posisi cowok itu menguat!
"Gimana? Jalan sama Abi nggak seburuk pikiran kamu, kan?" tanya Hendra membuat senyum palsu Tari tercetak.
Nggak buruk emang, karena kali itu ia bisa menjadikan Abi b***k angkat-angkat barangnya, tidak tahu nanti setelah menikah apakah Tari masih bisa membuat Abi senurut itu, atau justru dirinya yang bakalan jadi babu buat pria itu.
"Gimana kalo ada cowok lain yang pengen main ke sini?" tanya Tari tak hanya membuat Hendra berhenti makan, Humaira sampai tersedak mendengar kalimat Tari.
Hendra menautkan kesepuluh jarinya lalu menatap Tari dengan kedua lengan menumpu kepalanya. "Boleh. Kalo Pengen main ya main aja, karena itu temen kamu." Pria tua itu berhenti sejenak hanya untuk melihat ekspresi Tari yang kemudian menatapnya dengan mulut ternganga ingin meralat sesuatu.
"Tapi, kalo itu cowok ada maksud lain kepada Soedjatmiko, berarti Ayah harus mikir dan buat seleksi ketat apakah cowokmu itu pantas jadi menantu Soedjatmiko." Kalimat itu diucapkan dengan halus seperlunya namun tak pernah lupa menjejakkan nada ancaman di sana.
"Oke. Arya nggak kayak Abi, jadi tolong jangan mempersulit dia pas main ke sini," pinta Tari sudah memberikan batasan pada sikap orangtuanya.
Hendra terkekeh. Anak gadisnya ini sepertinya mulai keras seperti didikannya, terbukti Tari menjadi lebih berontak saat rencana perjodohan ini resmi disetujui dari pihak pria.
"Abimanyu adalah lelaki yang paling pantas buat kamu dan masa depanmu. Kalau ada yang sebanding dengan Abi, Ayah rela bahkan Tan pertimbangkan. Jadi, punya usaha apa saja cowokmu itu?"
Tari hampir tidak percaya bahwa perjodohan ini juga mempunyai maksud terselubung untuk menukarkan Tari demi kejayaan usaha Soedjatmiko. Pantas saja, Abi mendapatkan hati ayahnya tanpa celah.
Nggak bakal kaget juga kalau akhirnya melihat ayahnya itu menjual Tari pada konglomerat lain supaya usaha Soedjatmiko semakin berkembang, menumbalkan anak sendiri lebih mudah daripada mencari tumbal lain, kan?
Tari mendengkus, gadis itu menatap dingin pada sorot mata tua yang terus mengintimidasinya. "Dia nggak dari keluarga kaya, bahkan terbilang biasa saja. Tapi, Tari bisa jamin bahwa Arya lebih baik tindak-tanduknya daripada Abi."
"Punya usaha apa dia?" tanya Hendra mulai meninggikan suaranya.
Tari balas menantang tatap tajam dari pria itu. Meski sempat gelagapan tetap juga gadis itu menyembunyikan gentar yang terdengar dalam kalimatnya. "Sayangnya dia cuma seorang pekerja toko yang kerjanya memasok barang ke luar kota. Tapi, ia seorang taat beribadah."
"Lancang kamu jadi keturunan Soedjatmiko! Siapa yang nyuruh nyari cowok rendahan kayak gitu?" Hendra membanting sendok yang dipegangnya. Tari tersentak.
"Ayah pernah bilang sama Tari, kalo nyari pasangan harus rajin ibadahnya, harus baik perangainya. Tari nurut, apa perbedaan Abi dan Arya kalo gitu?"
Beruntung pria itu tak punya riwayat penyakit jantung yang bisa membuatnya kambuh mendadak setelah mendengar pengakuan Tari. Anak itu duduk dengan sorot sama kerasnya meski terlihat nyalinya mulai menciut.
"Keluarga Abi— mereka dari keluarga ternama, punya usaha di berbagai kota. Usaha mereka di Pati pernak-pernik kuningan, butik besar di Semarang, mereka juga mempunyai brand yang bakalan di promosikan dan bersaing ketat di Jakarta sana."
Tari merasakan degup jantungnya tak bisa lagi berdetak sempurna. Ia sudah membuat amarah ayahnya memuncak akibat ungkapannya kali ini, namun setidaknya mereka harus tahu seperti apa sosok Arya. Setidaknya membiarkan pria itu hadir di keluarga mereka.
"Uang bisa dicari, kan, Yah? Toh, Arya cuma nggak bisa menuhi satu persyaratan dari Ayah. Cuma satu dan itu nggak kalah sama Abi," ucap Tari mengukuhkan pendapatnya.
Hendra menegang, Humaira di sampingnya menyentuh lengan suaminya. "Yah, jangan keras-keras sama Tari," bisik wanita itu. Hendra menepis tangan istrinya lembut lalu kembali menatap Tari dingin.
"Suruh dia ngomong langsung sama Ayah! Jangan gegabah suka sama orang. Pikirkan masa depan, mau saja pacaran sama lanangan kere!"
Hendra tak menghentikan sedetik pun cercaannya meski Humaira sudah menarik suaminya untuk beristirahat, Tari terdiam di meja makan. Ia tak pernah dimaki oleh ayahnya, tak juga pernah dimarahi, tak pernah merasakan gebrakan pada meja makan, tidak pernah dihina juga.
Menjadi putri kecil keraton adalah hal paling indah, semuanya terasa tanpa beban. Teman sepermainan pun tak pernah penuh dengan syarat. Namun, sekarang Tari mulai paham, bahwa menjadi perempuan dewasa tak seindah saat dulu. Apalagi soal cinta, hidupnya seolah sudah diatur hanya untuk siapa saja. Sudah dipersiapkan untuk siapa.
Untuk itu, malam itu pula diketiknya satu pesan untuk seseorang dalam gugu tangisnya.
Bawa aku pergi kalo bisa.
***