8. Bukan Prioritas

1581 Words
Kalau semua orang bertanya dengan Arya, apakah ada special something antara dirinya dengan Ratih, maka dengan tegas ia menjawab tidak! Itulah alasan yang membuat banyak cowok akhirnya berupaya mendekati gadis itu dengan berbagai cara. Ada yang sampai tergila-gila dengan kecantikan gadis itu, ada pula yang sampai menyuap Arya dengan rokok kretek agar rela memberi tahu sedikit saja rahasia tentang Ratih, lalu yang lemah tak berdaya hanya bisa mencintai dalam diam gadis itu, melihatnya diserbu banyak cowok dari berbagai sisi. Agaknya, Ratih juga heran, banyak orang yang jelas niat padanya, namun cowok bernama Arya ini justru memperlakukannya istimewa namun sebagai teman saja! Teman. Jadi, tolong garis bawahi. Arya memang kelewat baik, jadi katakan saja Ratih yang terlalu baper dengan sikap pria itu. Maksudnya, apa nggak ada perasaan secuil pun untuk Ratih padahal mereka bersama selama bertahun-tahun. Selalu ada. Selalu menatap Arya dengan memuja. Namun, pandangan Arya terhadap cewek kadang tak bernilai, terlalu kosong sampai membuat pria itu tak berminat, kalau pun berminat sudah pasti Arya bakalan mengusir dua cewek yang kini duduk di kedua sisinya, lalu menggoda pria itu untuk sekadar menatap mereka. Ratih yang baru saja datang dari membeli makanan langsung melotot melihat aksi dua cewek nggak guna itu di depan Arya. "Heh! Minggir kalian, jangan ganggu dia!" seru Ratih sambil melotot. "Anjir, pacarnya galak amat," komentar salah satu dari mereka, melihat Ratih yang kini menarik kedua tangan cewek di samping Arya buat berdiri menjauh dari cowok itu. Arya menyunggingkan senyumnya, melihat Ratih yang kebiasaan jadi pawangnya. Itu cewek emang galak banget kalau disuruh kayak gini, padahal hatinya baik banget. Dan Arya nggak keberatan dengan usaha Ratih yang terkadang terlalu ekstrem saat menemukan cewek bebal yang pengen deketin Arya. Begitu kedua cewek tersebut menghilang dari pandangan, Ratih langsung melirikkan matanya tajam. "Kamu bisa nggak sih sekadar ngusir dua cewek atau minggir biar nggak digodain?" tanya Ratih sebal. Maksudnya, Arya tuh ... astaga, emang itu anak nggak ada inisiatif gitu buat ngusir cewek, kayaknya sifat cueknya permanen. Dan dia pikir dengan cuek bisa bikin cewek kapok apa ya? "Aku nggak seganteng itu sampe digodain mereka," balas Arya enteng mengambil sebuau apel merah dari kantongnya lalu menggigitnya kecil. Ratih mengembuskan napas panjang. Kan, keras kepala? "Mereka nggak mikir ganteng atau enggak, tapi kalo sampe kamu digrepe-grepe tapi nggak ada penolakan, kamu yang bakalan bayar mereka satu jam 300 ribu!" "Anjir lah!" Arya ngakak dengan ucapan Ratih yang terlalu gamblang menjelaskan. Saat itu mereka ada di alun-alun kota Pati, jangan tanyakan seperti apa di sana? Biasa saja, apalagi ini bukan malam Minggu, berteman dengan minuman dingin yang baru saja dibeli Ratih keduanya ngemper di rerumputan tanpa alas. Arya duduk meluruskan kakinya, melihat kepadatan jalan lalu mendongak menatap langit tanpa bintang. "Rasanya enak banget, padahal cuma duduk kayak gini doang nggak ngapa-ngapain, tapi kalo duduknya sama kamu tetep aja beda," celetuk Ratih pelan. Arya menoleh, memahami kode yang dikirim oleh Ratih sebagai ungkapan perasaan pada pria itu. Cowok itu mengangkat satu sudut bibirnya, tersenyum miring dengan segala upaya keras Ratih yang semakin tak bernilai di matanya. "Iya. Enak banget dan suatu hari nanti aku bakal ngajak Tari buat duduk kayak gini, nikmati malam, ngebiarin dia nyanyi dan aku metik gitar," ucap Arya sedikit melamun. Ratih menoleh. Tari lagi, gadis itu mendadak selalu muncul dalam percakapannya dengan Arya akhir-akhir ini. Jangan tanyakan bagaimana perasaannya saat tahu ada orang yang menyaingi keberadaannya di hati cowok itu. "Semisal suatu saat nanti ada satu kejadian di mana aku dan Tari dalam bahaya, siapa yang bakalan kamu tolong pertama kali?" Pertanyaan itu adalah bentuk kecemburuan yang berusaha diungkapkan dengan nada paling menantang. Arya tahu, gadis di sampingnya ini tak pernah melawan Arya lebih dari biasanya, namun kali ini, begitu mendengar nama Tari dan mendengar langsung Arya menyukai gadis lain. Ratih benar-benar berjuang keras untuk mendapatkan fokusnya kembali. Memang apa yang bisa dijawab oleh Arya. Posisi Ratih dan Tari saja jelas berbeda, mereka mempunyai ruang di hati Arya, namun jelas di posisi mana harusnya Ratih berada. Arya menoleh, menatap manik hitam milik Ratih yang tersorot lampu kota. Ia sudah menemukan jawabannya! Sebelum satu pesan masuk dari seseorang membuatnya langsung berdiri seketika. "Rat, aku harus ke Kudus sekarang, Tari lagi butuh aku. Kamu pulang sendiri nggak apa-apa ya? Besok aku janji deh traktir kamu makan, oke?" Arya berlarian mengambil jaket serta kunci motornya dengan kesetanan. Meninggalkan Ratih yang kini terpana. Menatap nanar pada Arya yang sudah berada di kejauhan. Melambaikan tangannya saat pria itu sudah menyalakan mesin lalu mengendarainya dengan gila-gilaan. "Hati-hati, Ar!" serunya terlambat. Ratih tak perlu tahu jawaban Arya, karena pria itu sudah menjawabnya dengan jelas. Tak perlu menunggu lama untuk mendengar kalimat yang disusun Arya, karena cara pamit itu sudah jelas. Membedakan dan menjelaskan, Arya pernah selalu ada untuk Ratih, itu karena mereka dekat, namun tak pernah sekalipun ia melihat seseorang yang bisa membuat Arya berlarian dengan kesetanan seperti ini kecuali satu gadis yang belum dikenalnya. Kenyataan bahwa ia bukan prioritas Arya sejak dulu, membuat Ratih sadar, bahwa dengan Arya tak cukup bersama, tak cukup candaan, gadis itu pikir dekat dan bersama akan menumbuhkan perasaan, kenyataannya salah. Karena sekarang ia tahu, hadirnya ia di samping Arya hanyalah sebuah keinginan yang terbentuk dalam dirinya, ia yang suka Arya bukan Arya menyukainya. Meskipun terlihat bagaimana ia akhirnya bisa menjadi salah satu cewek yang dekat dengan Arya, agaknya tidak mempan membuat Arya mengakui gadis itu sebagai ceweknya kecuali dalam waktu pura-pura. Ratih mendongak menatap langit, seperti saat malam itu, saat keduanya baru selesai bekerja dan duduk lemas di rerumputan alun-alun juga. Arya memejamkan matanya, melipat kedua lengannya untuk menumpu kepalanya, cowok itu tidur sejenak di rumput dingin yang menusuk punggungnya. "Ar, aku pengen beli camilan, sumpah, dari siang nggak makan kecuali bubur ayam pas lewat di Semarang tadi." Arya membuka matanya sekejap, melirik arloji di tangan kirinya sekilas lalu mengangguk lemah pada Ratih. "Cari makanan aja dulu, aku tunggu di sini." Tanpa menunggu lama, Ratih langsung melesat, jangan tanyakan betapa laparnya ia saat 8 jam perjalanan tanpa makan dan tanpa istirahat, duduk di mobil terjebak macet, kepanasan, dan mengantuk adalah perpaduan paling a***y karena nggak bisa merebahkan badan. Malam itu juga selepas memakirkan kembali mobil di toko, keduanya langsung melesat ke alun-alun kota hanya untuk istirahat merebahkan badan. Kebiasaan lama mereka dan sudah disepakati tanpa berkata lagi. Pundak Ratih baru saja ditepuk oleh seseorang, gadis itu menoleh mendapati satu cowok tersenyum ke arah Ratih. "Sendirian, Rat?" tanya Dito sembari merangkul pacarnya. Sengaja banget kayak bilang— gue ada pacar baru nih! Ratih tersenyum sembari menganggukkan kepalanya. "Iya, kamu liat sendiri kan aku sendirian belinya." "Aku pikir udah ada pacar baru, Rat," kekeh Dito bikin senyum Ratih kembali tersungging segan. Minta ditonjok kayaknya ini cowok, nggak bagus ceritanya kalau ia menonjok Dito tepat di depan pacar barunya. Bagus kalau cuma nangis doang, kalau sampai dikasuskan ke polisi bisa habis dia dikira menganiaya anak orang. Namun, siapa sangka, sekonyong-konyongnya Arya datang mendorong pintu Alfamart dan menghentikan sejenak drama bertemu mantan yang pamer bojo itu. "Ratih, udah belom?" Arya masih belum paham situasi sebelum gadis itu menatap Dito dengan senyuman. "Oh iya, Ar, ini Dito dan Dit ini Arya," ucap Ratih sembari melihat kedua cowok yang sama menjulangnya itu dengan tatapan tidak tahu harus bagaimana. Arya menunduk menatap Ratih yang terlihat banget mukanya kesiksa, kalau sudah begini ia tahu banget, Dito ini bukan teman biasa, meski tidak kenal Dito namun Arya tetap merangkul bahu Ratih dengan erat. "Arya Wijaya, pacar baru Ratih baru 2 bulan." Bukan cuma Ratih, Dito dan cewek barunya itu juga terkejut menatap Arya. Arya gitu, sudah berulang kali Ratih bilang, aura Arya tuh kuat banget bahkan Ratih bisa ingat dengan jelas tatapan ganjen milik pacar Dito yang melirik Arya sampai mereka hilang di tikungan. "Heran, ada cowok yang pamer pacar biar apa coba?" tanya Arya begitu keduanya menghilang dan lengan cowok itu diturunkan dari pundak Ratih. "Dia tuh mantan paling pinter. Dulu pas masih barengan suka banget jadi rival, heran pas pacaran malah berasa saingan di kelas pas ada ulangan." Arya ngakak, lalu ia terdiam. "Terus gimana sama temen sekelas? Maksudnya, aku sebagai cowok aja bisa bilang kalo Dito lumayan lah, emang selama pacaran nggak pernah gitu dapet masalah sama temen sekelas?" Ratih mengerucutkan bibirnya, menggali ingatan tentang kisah mereka. "Enggak ada, mungkin karena mereka udah liat aku sama Dito nggak bakal bisa bersama ya? Jadi nggak ada masalah dan mereka tinggal nunggu kabar putus dari kita." "Anjir lah! Mungkin gitu. Bagus deh, seenggaknya kamu nggak pernah disakiti sama temen sekelas." Ucapan Arya mendadak berubah sendu, mata pria itu juga menatap langit gelap malam itu. Ratih tersenyum kecil. "Kenapa? Pernah ada masalah sama mantan juga?" Saat itu, Ratih menyesal sekali karena tak memahami barang sedikit pun atau justru memang ia tak sadar bahwa jawaban Arya kali ini adalah ungkapan perasaan pria itu yang terbalut aroma dramatis. "Iya. Pernah nggak bisa nyelamatin satu cewek pas pacaran. Kalo bisa muter waktu, aku cuma pengen balik ke masa itu terus janji nggak bakalan jadi pengecut yang ninggalin itu cewek sendirian di musuh banyak orang." Ratih menoleh, menatap Arya serius. "Sumpah Ar, cowok cakep kayak kamu nggak pantes mengsedih kayak gitu. Nggak pantes sumpah." "Terus pantesnya?" Ratih menaikkan satu alisnya. "Player pematah hati banyak cewek!" Spontan Arya menoyor kepala Ratih. "Bocah edan! Bagus kamu nggak jadi korban perasaanku." Harusnya malam itu Ratih mengingat dengan jelas bahwa Arya pernah menyinggung gadis maya itu sejak dulu. Dan harusnya ia sadar, bahwa Arya memang tak ada perasaan padanya. Hadirnya Ratih memang sebagai pengisi waktu Arya disaat pria itu ingin terbebas sejenak dalam bayang masa lalunya. Tidak lebih. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD