Setelah percakapan singkat yang lumayan alot di galeri itu. Banyak sikap Tari yang mendadak berubah, gadis itu terang-terangan berkomunikasi dengan Arya sementara Hendra ada di dekatnya, atau sekadar bercerita pada Nilam tentang Arya.
Seolah ingin mengenalkan pada seisi kediaman Soedjatmiko perihal Arya yang disukai Tari. Humaira sampai geleng-geleng melihat Tari. Tak ada yang bisa dilakukan oleh Humaira selain menjadi penengah diantara Hendra dan Tari.
Dua orang dengan watak yang sama. Keras kepala dan berani! Tari sendiri yang dididik menjadi seperti itu, ditempa oleh ajaran ayahnya untuk mengatakan dan mengekspresikan apa yang tidak ia suka.
Mendadak Arya Wijaya menjadi pembicaraan hangat di wilayah pembantu, banyak orang yang langsung stalk akun media sosial milik Arya dan kembali terkagum.
Sementara yang sudah pernah melihat Arya mengantar Tari bakal bilang kalau pria itu terlihat lebih tampan aslinya.
Bagaimana enggak coba, cowok yang cakepnya sudah kayak Arjuna, dengan mata teduh yang tajam, alis bagaikan petir, tinggi menjulang— semua orang akhirnya tahu, Arya memang tak setampan Abimanyu yang gantengnya sekelas dewa, namun pria itu tetap saja mempunyai pesona sebagai pria seksi dengan tubuh tegapnya.
Hendra terdiam saat bisik-bisik pembantu mendadak berhenti begitu ia melintas di dapur, hanya secuil yang dapat ia tangkap dari pembicaraan mereka.
"Sayang kalo keluarga ini menolak sosok Arya!"
Benar-benar bikin sakit kepala, pria tua itu tak menyukai sosok Arya karena kasta! Sementara anaknya tergila-gila oleh Arya seolah pria itu adalah satu-satunya.
"Lebih baik mempersilakan Arya kesini dulu, Yah, daripada ngeliat Tari menggila kayak gini," saran Humaira. Sebagai Ibu jelas ia tak bisa memilih suaminya saja, anaknya juga butuh dibela, diberi kesempatan.
"Dia sudah beda kasta dengan kita. Kalo pun harus nikah dengan cowok lain, suaminya harus orang berada sama seperti kita," tegas Hendra tak terbantahkan.
Humaira tersenyum, sebagai orangtua, terkadang memilih mantu karena materi bakal menjadi masalah besar, padahal niat baik para orangtua adalah masa depan anaknya bakalan terjamin. Hanya itu.
"Kasih kesempatan buat Arya, Yah. Yang dicari Tari adalah keadilan, Tari nggak pernah nolak ketemu Abi, sekarang Ayah harus adil untuk siap bertemu pria itu."
Hendra melengak. Seorang suami yang memiliki istri tegas, pintar, tanggap, dan bijak adalah suatu anugerah. Keberadaan Humaira di sisi Hendra bukan hanya sebagai seorang istri, ia juga seorang ibu bagi Tari, seorang pemikir nasib puluhan pembantu di rumah mereka.
Dan yang namanya cowok akan luluh dengan permintaan dari sang Istri. Dianggukannya kepala pria tua itu lalu mengibaskan tangannya pada Humaira.
Wanita itu tersenyum lebar. Diizinkan secepat ini oleh Hendra adalah sebuah kejutan besar yang nggak pernah diduga. Wanita itu segera menemui anak gadisnya, setelah berhari-hari diam tak berbicara padanya, agaknya kabar gembira ini akan membuat Tari kembali berbicara padanya.
Dari seluruh ruangan yang disisir oleh Humaira, akhirnya ia bisa menemukan Tari di belakang rumah, tengah video call dengan Arya sementara tangannya juga sibuk menulis di laptop.
Begitu melihat Humaira datang, Tari langsung menegakkan badannya, seolah enggan dengan kehadiran yang tiba-tiba.
Tari melengos. "Kenapa kesini?"
Humaira mengusap puncak kepala gadis itu. "Ibu mau bicara sama Arya loh, masa kamu gitu?"
Tari melirik wajah Arya yang masih menunggunya dengan sabar, gadis itu sejenak melihat wajah Arya. "Aku tutup dulu ya," pamit gadis itu mendapatkan anggukan dari Arya, lalu sambungan terputus.
Kedatangan ibunya saja sudah tidak baik, apalagi kalau bisa berbicara sama Arya, Tari hanya takut sesuatu yang nggak seharusnya didengar oleh Arya keluar dari mulut ibunya. Dan antisipasi paling tepat adalah mematikan sambungan sebelum Humaira berbicara.
"Kenapa dimatiin?" tanya Humaira heran. Padahal ia sudah tahu wajah Arya yang sempat juga menatapnya dengan sopan saat kedatangan Humaira tadinya.
"Aku cuma nggak pengen Arya denger makian Ibu," jawab gadis itu jutek.
Humaira menyentuh lembut rambut anaknya, gadis itu benar-benar marah dengannya. Tari memang selalu seperti ini kalau tidak seperti ini maka bukan Mentari-nya lagi. Gadis itu akan berusaha kuat, berjuang sendiri untuk mendapatkan dukungan dari banyak orang atas satu pilihannya.
"Arya siap main ke sini?" tanya Humaira tiba-tiba.
Tari terdiam dalam elusan lembut ibunya. Apakah Arya siap main ke sini? Pertanyaan yang terasa dadakan dan cukup memberikan efek terkejut paling kuat karena ia bisa melihat Humaira tersenyum lembut.
"Tapi, Ayah nggak bakal suka liat Arya, Tari yakin banget."
"Ayah mau menemui Arya. Seperti kamu rela menemui Abi. Itu kan yang kamu pengen?" tebak Humaira.
Tari mengangguk. Diam-diam ia berterimakasih pada Humaira yang sudah memahaminya begitu dalam, ia memang butuh keadilan akan sesuatu yang telah diajarkan oleh ayahnya.
Humaira menatap Tari sekali lagi,enangkup kedua pipi gadis itu dan menyorotnya serius, kedatangan Arya kali ini adalah sebuah undangan, dalam peraturan Soedjatmiko kesopanan adalah yang utama.
"Arya-mu itu cepat dikasi tau, tapi Tar, yang harus kamu inget, meskipun Ibu sudah bisa membantu kamu untuk membiarkan Arya ke sini, Ibu nggak bisa lagi membantu kamu untuk membujuk hati Ayah. Semua keputusan harus kamu terima.
"Contohnya keputusan yang mana?"
"Soal weton pasangan."
***
Arya nggak bakal berhenti berdecak setelah pulang nanti, karena berdecak di tempatnya bikin kepala-kepala di dekat mereka tertoleh ke arahnya.
Dan tebak di mana Arya sekarang? Mentari' s home!
Cowok itu sampai rela izin pulang lebih awal dari kerjaannya daripada mengukur waktu Alda sebuah kesempatan. Terbukanya tangan Soedjatmiko nggak bakalan lama. Begitu dikontak oleh Tari, ia langsung melesat ke rumah, mencari setelan yang pas untuk dipakai saat ke rumah Tari.
Crazy, seperti cewek lainnya yang kadang bingung harus pakai apa, akhirnya Arya memilih kemeja batik Pekalongan yang pernah dibelinya barengan Ratih, kemeja biru membuatnya berkali lipat keren— setidaknya itu menurut Arya setelah ia turun dari motornya dan mendapati bisik-bisik dari pembantu Tari disertai tatapan terpana.
Tari muncul dari dalam dengan senampan minuman padahal gadis itu bisa menyuruh pembantunya menyajikannya.
"Nggak usah repot-repot, kamu duduk aja sini." Arya menepuk space kosong di sampingnya.
Gadis itu menganggukkan kepalanya, nggak bisa menjabarkan kebahagiaan yang saat ini menderanya, baru pagi tadi Humaira meminta Arya datang, siang ini Arya akhirnya datang dengan beraninya.
Menatap mata ayah Tari dengan lembut namun sama tegasnya.
Yang Tari tahu, nggak bakalan ada baku hantam di rumahnya kali ini, tapi yang Tari nggak tahu, apakah telah terjadi penindasan pada Arya setelah melihat tajamnya mata Hendra pada pria itu?
Humaira yang baru saja tiba langsung terpukau dengan Arya. "Walaaah, Wijaya tenan iki, Yah." Ibu mengulurkan tangannya untuk dicium oleh Arya.
Wanita paruh baya itu duduk di depan Arya. Melirik bagaimana tangan Tari sudah melingkar di lengan Arya, agaknya membuat Humaira tersenyum. Terlalu sembrono namun tak bisa menghentikan tingkah Tari.
"Wetonmu apa, Le?" Seolah menjadi password untuk bisa berbicara selanjutnya, kalimat Hendra tersebut terlalu mengejutkan.
"Selasa Legi, Om." Mendengar jawaban Arya, Hendra langsung melirik Humaira di sampingnya, seolah membunyikan kode.
"Selasa Legi itu pendek. Cuma 8 hasilnya, sedangkan Tari ini 18. Paling besar dan nggak ada yang ngalahin," jelas Hendra panjang lebar. "Ketemunya juga buruk," lanjutnya.
Arya terdiam. Belum-belum sudah diperingatkan tentang weton mereka yang tidak pas, sementara itu, Tari tidak terima, gadis itu menunjukkan hasil wetonnya dengan Arya.
"Weton pasangan kita 26. Dapetnya Ratu. Itu bagus banget katanya, Yah," bela Tari mencoba memperlihatkan hasil hitungannya.
Hendra mengibaskan tangannya. "Itu cuma hitungan di google. Sedangkan, hitungan di Kudus ini, jumalh 26 iku elek. Nggak baik. Dapetnya kebo gerang."
Humaira menelan ludahnya, bakalan terjadi peperangan kalau masih diteruskan perdebatan antara ayah dan anak ini.
"Konsekuensinya apa?" Pertanyaan Arya lebih dulu menyela, membuat tiga orang di depannya menoleh serentak.
Hendra meminum tehnya sebentar. "Kalo kalian masih punya orangtua lengkap, maka akan ada yang kalah satu, kalo nggak sakit ya meninggal."
Tari tercekat.
"Pernikahan weton sepasang 26 ini kalo dilanggar sama saja ganti rugi dengan nyawa," imbuh Hendra sekali lagi.
Arya makin terdiam. Sudah sampai di sini saja ia tak bisa berkutik, bahkan wetonnya bersama Tari tak bisa bersatu, namun cengkeraman Tari di lengannya membuat Arya tahu, gadis itu sudah menumpukan semua harapannya pada Arya.
"Di Pati weton sepasang 26 nggak seburuk itu, saya harap perbedaan ini bakal mematahkan mitos weton 26 itu buruk," bantah Arya membuat Hendra menaikkan alisnya.
Pria itu sudah akan meledak saat tahu Tari malah semakin merapat pada Arya setelah tahu jumlah dan konsekuensi dari weton mereka. Humaira tahu banget, Tari nggak bakalan melepas Arya begitu saja setelah lama terpisah.
Sebelum sesuatu terjadi, wanita itu segera bertindak, menjadi penengah, yang monggarkan waktu dan kewaspadaan. Diusapnya pundak Hendra lembut. "Yah, namanya juga anak muda. Rasa sukanya jangan dipenggal kayak gini. Tari ini sudah lama pisah sama Arya 3 tahun, terus ketemu lagi. Gimana nggak jodoh coba?" ungkap Humaira mengalihkan pembicaraan.
"Arya ini temen Tari di SMA. Kerjanya jadi admin toko, pas banget tuh, Yah, bisa ambil alih toko kita nantinya," jelas Ibu seolah mempromosikan Arya dengan segala kepintarannya.
Seolah membiarkan pembicaraan yang tadi menguap, akhirnya Hendra mengembuskan napas panjang. Ada sesuatu yang setidaknya mencoba untuk dilupakan sejenak.
Hendra mengangkat secangkir teh melatinya, menyeruputnya sebentar lalu menganggukkan kepalanya. "Toko apa yang kamu pegang, Ar?" tanya Ayah membuat Arya mengangkat kepalanya.
"Di bagian sembako, Om. Sebenarnya banyak yang saya pegang. Saya juga ngurus dua kedai, satu kafe yang baru saja dirintis atasan saya."
Seperti interview pekerjaan pada HRD, pertanyaan Hendra lebih mirip mewawancarai pelamar pekerjaan daripada pelamar anaknya yang bakal jadi mantu.
Namun, sikap Hendra yang sedikit melonggar itu lah yang kemudian membuat Tari semakin tersenyum lega. Setidaknya masih ada harapan bagi Arya, sementara tatapan ayah semakin kagum dengan pencapaian Arya.
Hendra mengembuskan napasnya, sedikit kelegaan terpancar di sana, ada raut kagum, bangga, dan tak menyangka. Arya Wijaya tidak seburuk yang ia pikirkan.
"Seenggaknya aku lega, punya dua anak yang pinter ngurus toko kita nanti ya, Buk," ucap Hendra pada Humaira di sampingnya.
Tari ternganga. Jangan bilang ayahnya sudah membuka jalan lebar untuk Arya?
Namun, tatapan Hendra tak bisa ditebak, Tari pun nggak akan pernah tahu bagaimana perasaan Hendra sebenarnya, namun yang pasti dari ucapan ayahnya itu, Tari tahu bahwa Arya punya kesempatan.
Humaira tersenyum lebar. Sepertinya akan berjalan sukses setelah melihat Hendra seakrab itu pada Arya. Apalagi, Arya tuh punya tampang kali, nggak malu-maluin juga kalau ia menjadi menantu Soedjatmiko.
Tari melempar tatapan pada ibunya, meminta waktu berduaan pada Arya di rumah ini. Seolah paham dengan tatapan Tari, Humaira berdeham, menoleh pada suaminya.
"Ibu baru ingat, Tirto minta Tari datang ke toko, tapi mendingan Ayah aja deh yang ke sana," ucap Humaira dengan lembut.
Hendra melengak. Langsung berdiri dan mengangguk, pria tua itu menoleh pada Arya sebentar. "Anggap saja rumah sendiri, ayah mau ke toko sebentar, kalian ngobrol aja dulu jangan buru-buru ya, Ar."
Arya tersenyum mengangguk. Sementara Tari tersenyum dan spontan memeluk Arya, Humaira juga spontan mendongak menatap suaminya. Ada sesuatu yang janggal baginya atas sikap suaminya.
"Kenapa tiba-tiba Ayah akrab sama Arya? Udah nyesel galak sama anak baik itu?" tanya Humaira heran.
Namun, jawaban dari Hendra sungguh membuat mulut Humaira terdiam rapat setelah mendengarnya. "Bukan. Weton pasangan mereka sudah jelas buruknya, aku sengaja ngasih kelonggaran pada mereka, biar Arya masuk ke keluarga kita juga."
"Aku cuma pengen Arya mendengar setidaknya seratus orang berbicara, kalo weton mereka nggak bakal bisa bersatu di pernikahan."
Hendra Soedjatmiko bukanlah orang yang mudah ditaklukkan, harusnya Arya paham itu dan Tari tahu banget soal itu!
***