Satu minggu kemudian …
“Noah?” Naya terbangun dan langsung bertatapan dengan Noah yang tengah membaringkan kepala di samping lengannya dengan mata terpejam. Kedua tangan mereka tertaut, begitu erat hingga tak memberikan kesempatan bagi Naya untuk bergerak sedikit pun.
“Aaww …” Naya mengerang dan menempatkan tangannya yang terbebas di kepala. Kepalanya sangat sakit, seperti dibelah dan dihantam ribuan kali oleh palu. Entah apa yang telah menimpa kepalanya.
“Naya?” Noah terbangun dan dengan cekatan menahan tubuh Naya yang akan bangkit. “Kau tidak boleh banyak bergerak. Aku akan memanggil dokter.”
Rasa sakit itu masih membingungkannya. Namun matanya bisa melihat dengan jelas keadaan di sekelilingnya. Hidungnya bisa mencium aroma antiseptik yang memenuhi ruangan ini. Apakah aku di rumah sakit?
“Apa yang terjadi? Kenapa aku di rumah sakit?” Naya menatap bingung ruangan serba putih dan jarum infus yang terpasang di tangan kiri. Ada beberapa luka lecet di lengan yang sekilas tertangkap matanya. Lalu tangan kiri Naya terangkat, menyentuh sesuatu di kening sumber ketidaknyamanan dan salah satu pusat rasa sakit di kepalanya.
“Ada apa ini, Noah? Kenapa denganku?” tanya Naya tak bisa memikirkan apa yang telah menimpa dirinya hingga berada di tempat ini.
Noah mematung. Tangannya melayang di udara ketika berniat menekan tombol untuk memanggil dokter. Dengan gerakan perlahan, kepalanya berputar dan bertanya kembali pada Naya. “Apa … Apa kau tidak ingat kenapa kau bisa di sini?”
Naya meringis. Keberadaan dan pertanyaan Noah satu persatu membuatnya kebingungan. Apakah ada sesuatu yang harus ia ingat? Apakah pertanyaannya yang terlalu aneh? Sungguh, ia tidak ingat kenapa ia bisa berbaring di ranjang rumah sakit. Dan saat ia menguras otak untuk mengingat, mendadak kepalanya berdenyut dan membuatnya pusing.
Noah semakin tercengang. Naya tampak kesulitan menjawab pertanyaan yang seharusnya sangat mudah bagi wanita itu. Apa yang terjadi pada wanitanya?
“Aku akan memanggil dokter untuk memeriksamu.”
****
Noah tercengang. Naya tidak ingat tentang kecelakaan yang menimpa mereka. Mendadak beban yang menghimpit jantung dan otaknya lenyap dalam sedetik. Sebagian ingatannya menghilang. Ya, ini kesempatan yang Tuhan berikan pada mereka untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan mereka di masa lalu. Bahkan Tuhan berkehendak mempertahankan semua yang mereka miliki, meskipun ia harus kehilangan sesuatu yang sangat berharga untuk sesuatu yang sama berharganya. Hukum dunia memang seperti itu. Ia tak akan mengeluh.
“Apakah ingatannya akan kembali?” Noah bertanya ketika dokter menjelaskan tentang ingatan Naya yang menghilang karena benturan keras di kepala.
“Ya, hanya menunggu waktu. Perlahan semua ingatannya akan kembali.”
Noah menggangguk mengerti. Sampai ingatan Naya kembali, ia masih punya cukup waktu. Mereka punya cukup waktu untuk memperbaiki semuanya.
“Terima kasih, Dokter.”
***
“Apa yang terjadi? Kenapa aku bisa dirawat di rumah sakit?”
“Kau mengalami kecelakaan.”
Dahi Naya mengerut. Mencoba mengingat dengan lebih keras, tapi lagi-lagi kepalanya berdenyut.
“Jangan memikirkannya lagi.” Noah menangkup wajah Naya. “Kita baik-baik saja. Kita akan baik-baik saja.”
Naya mengangguk patuh. Tangannya terangkat menempel di punggung tangan Noah. Lalu menyadari ada sesuatu yang terselip di antara jemarinya. Naya menurunkan tangannya, melihat cincin dengan hiasan permata mungil berwarna biru melingkari jari manisnya. “Noah, apa ini?”
Noah terhenyak. Sebanyak apa ingatan yang Naya yang telah hilang hingga wanita itu melupaka pernikahaan mereka. Memaksakan senyum tertarik di bibir, Noah menunjukkan cincin lain yang terselip di jari manisnya. “Ini cincin pernikahan kita?”
Mata Naya melebar. Lalu kebahagiaan terpancar di wajahnya dan kedua tangannya menutup mulutnya oleh ketidakpercayaan. “Apakah kita menikah?”
Noah mengangguk. “Ya, kita menikah.”
Naya memeluk Noah. Akhirnya, impiannya menjadi kenyataan. “Apakah kehidupan pernikahan kita bahagia?”
Sekilas ada ketakutan dengan pertanyaan Naya. Namun, segera lenyap ketika Naya menjawabnya sendiri.
“Seberapa banyaknya kebahagiaan yang kita miliki, Noah? Maafkan aku melupakannya,” sesal Naya. Bagaimana mungkin ia bisa menghilangkan ingatan kebahagiaan yang selama ini ia impikan?
Noah menggeleng. “Tidak, kau tidak perlu meminta maaf. Kita akan membuat kebahagiaan yang lebih besar dari sebelumnya.” Dan membuatmu melupakan apa yang telah terjadi sebelum ini.
Naya mengangguk riang. “Aku mencintaimu, Noah. Sangat mencintaimu.”
Noah tercenung. ‘Aku membencimu, Noah. Sangat membencimu!’ Kata-kata dalam kegelapan berteriak sangat nyaring di kepalanya, dengan suara yang sama dan berlumur kesedihan yang begitu mendalam.
“Noah?” Naya mengguncang pelan tangan Noah. Pria itu mengerjap dan tersenyum lembut.
“Maaf.” Noah menunduk memberi Naya kecupan ringan di bibir. “Aku terlalu mengkhawatirkan keadaanmu beberapa hari ini hingga sering melamun.”
“Apa aku sangat membuatmu khawatir?” Senyum Naya melengkung ke bawah.
“Kau sudah bangun. Dan aku sangat lega.”
“Maaf,” lirih Naya lagi. Tangannya menangkup pipi Noah dan menyadari ada goresan cukup panjang yang sudah mengering di sepanjang rahang pria itu. “Ini …”
Noah terkejut. Lalu menyingkirkan tangan Naya dari wajahnya dan memalingkan muka. “Bukan apa-apa.”
“Apa kau yakin?”
Noah mengangguk. “Hanya kecelakaan kecil ketika mengambil sesuatu di rak garasi,” dustanya. Ada saatnya,beberapa hal tak perlu dikatakan.
Naya mendesah lega.
Noah beranjak. Menarik selimut menutupi d**a Naya sambil berkata, “Kau harus beristirahat.”
“Kapan aku sudah boleh pulang?”
“Tidak dalam waktu dekat.”
Mata Naya mengelilingi ruang rawatnya yang begitu luas. Lengkap set sofa, lemari pendingin, ac, televisi, dan satu kasur di sudut ruangan untuk penjaga. Sudah tentu ini ruang rawat VIP. Atau VVIP. “Noah?”
“Ya?”
“Berapa banyak biaya yang harus kau keluarkan untuk perawatanku?”
Noah baru sadar. “Kehidupan kita sudah membaik sejak menikah.”
“Apa kau mendapat pekerjaan yang bagus?” tanya Naya meragu. Pekerjaan sebagus apa pun, kehidupannya tak mungkin berubah sedrastis ini dalam waktu satu tahun. Apalagi Noah masih kuliah.
“Aku akan menceritakannya padamu. Sekarang, kau harus beristirahat. Okey?”
Naya mengangguk. Noah mengusap kepala Naya, mencium bibir Naya lagi. Dan tanpa sadar menahan lengan Noah ketika pria itu hendak berbalik meninggalkannya. Bahkan ia terkejut dengan reaksinya tersebut.
“Ada apa?” Noah bertanya dengan kening berkerut. “Apa kau membutuhkan sesuatu?”
Masih terbengong dengan sikapnya, Naya menggeleng. Melepas pegangan tangannya meskipun ia tak ingin. “Aku … akan tidur.”
Naya melihat Noah yang berbaring di kasur seberangnya. Mencari posisi nyaman tanpa mengenakan selimut. Tak lama, mata pria itu terpejam dan Naya ikut terlelap.
Mata Noah terbuka. Tak berhenti menatap wajah Naya yang benar-benar terlelap hingga menit-menit berlalu. Kepucatan di wajah Naya sama sekali tak memudarkan kecantikan wanita itu. Semua kesempatan ini, semua kebahagiaan ini, kali ini ia tak akan menyia-nyiakannya lagi. Naya mencintainya, ia juga mencintai Naya. Semua akan baik-baik saja. Dan ia akan membuat semuanya baik-baik saja. Mereka akan membuka lembaran baru. Kembali menulis kisah mereka yang tak terpisahkan.