“Apa kau belum tidur?” Noah akhirnya bertanya setelah merasa gerakan Naya mengganggu konsentrasinya pada layar laptop di pangkuannya. Sejak ia keluar dari kamar mandi dan memilih menyelesaikan beberapa pekerjaan kantornya di ranjang daripada di ruang kerjanya. Naya tak berhenti bergerak dengan gelisah. Membolak-balikkan badannya demi mendapatkan posisi nyaman yang tak juga ia dapatkan hingga menarik perhatian Noah.
Naya membalik badan menghadap Noah. Melihat pria itu melepas kaca mata sebelum mengulurkan tangan padanya. Dahinya mengerut terbengong melihat uluran tangan Noah.
“Kau biasa memegang tanganku sebelum terlelap.” Jemari Noah mengisi jemari Naya lalu mengangkat dan mencium punggung tangan wanita itu. “Tidurlah.”
Naya tersenyum malu. “Apakah biasanya aku melakukan ini?”
Noah mengangguk. Sejak Naya mengetahui dirinya hamil, Naya memang kerap kali kesusahan tidur. Diam-diam wanita itu memegang tangannya saat ia berpura-pura mulai terlelap. Lalu, sering terbangun tengah malam dan harus terbangun di pagi hari karena perut yang bergolak ingin mengosongkan isi. Morning Sickness, itu yang dikatakan dokter kandungan ketika secara diam-diam bertanya tentang keluhan-keluhan Naya. Seperti orang bodoh, ia pergi ke dokter kandungan memeriksakan janin dalam perut Naya tanpa membawa wanita itu.
“Tidurlah, aku akan menyusulmu sepuluh menit lagi.”
Naya menarik selimut menutupi d**a dan meletakkan genggaman tangannya dan Noah di pipi. Ia tak tahu biasanya ia hanya sekedar menggenggam tangan Noah atau memeluk pria itu saat tidur. Namun, nalurinya seperti sudah mengenali kebiasaannya. Sungguh ajaib, saat otaknya tak mengingat kebahagiaan yang mereka lewatkan, tubuh dan tangannya mengingat semua hal itu. Tak lama matanya mengantuk dan ia terlelap dengan cepat.
***
Naya terkesiap. Lenganya dipelintir dan ada tangan lain menarik kuncir rambutnya. “Auuwww,” rintihnya.
“Pergilah kenakan bajumu! Banyu sudah menunggumu.”
“Tapi Naya tidak mencintai Banyu, Kak.”
“Jadi kau lebih memilih anak ingusan berandalan itu dibanding Banyu yang sudah jelas bisa menutupi kemiskinan keluarga kita dengan kekayaannya?”
“Noah tidak seperti yang kakak pikir.”
“Oh ya? Yang kutahu, anak itu tidak bisa memberikan kakak uang untuk mencukupi kebutuhan kita. Apa kaupikir uang bisa jatuh dari langit?”
“Naya tidak mau menikah dengan Ba … Aauuuwwww.”
Tarikan jemari kakaknya di rambut Naya semakin keras. Kepalanya terdongak dan lehernya terasa sakit. Lalu wajah kakaknya mendekat dan bibirnya berbisik penuh ancaman. “Yang kutahu, kau akan berdandan dengan sangat cantik, mengenakan pakaian yang sudah kakak pilih, menemui Banyu di bawah, dan merayunya untuk segera menetapkan tanggal pernikahan kalian. Apa kau mengerti?”
Naya tersentak. Rasa sakit di kepala akibat jambakan kakaknya masih terasa begitu jelas meskipun ia baru tersadar bahwa itu hanyalah sebuah mimpi. Atau itu hanya kepingan ingatan yang masih putus-putus akibat kecelakaan. Karena Naya masih ingat semua hal yang dilakukan kakak dan mamanya untuk mendekati Banyu demi kekayaan pria itu. Dan bukannya Banyu tertarik pada kakaknya, pria berumur dua puluh tujuh tahun itu malah berterus terang jatuh cinta padanya. Sesaat kakaknya sakit hati dan menyimpan dendam padanya, tapi tak menghentikan niat jahat mereka untuk menguras harta Banyu dan menjodohkan pria itu dengannya.
Naya ingin tahu apa yang terjadi dan dilakukan Noah dengan perjodohan itu hingga berakhir menjadi istri Noah. Ya, meskipun ada kelegaan karena ia juga tak menginginkan pernikahannya dengan Banyu benar-benar terjadi. Setidaknya, ia lebih mengenal Noah dibandingkan Banyu. Dan keluarganya tak perlu menjadikannya sebagai wanita penguras harta laki-laki hanya demi kemewahan yang ingin dipertahankan oleh Mama dan kakak perempuannya.
Dengan perlahan, Naya mengangkat lengan Noah yang melingkari perut dan memutar tubuh menghadap suaminya. Sesaat ia merasa semua ini hanyalah mimpi. Berada dalam pelukan Noah. Bisa menyentuh wajah pria itu sesukanya. Hingga detik ini, ia masih tak percaya semua ini adalah anugerah yang telah dilimpahkan padanya.
Noah menggeliat merasakan sentuhan di wajahnya. Matanya terbuka sedikit dan menyadari Naya juga melakukan hal sama, seketika matanya terbuka lebar dan mulai panik. “Kenapa? Apa kau tidak bisa tidur lagi?”
‘Lagi?’ Dahi Naya berkerut sedikit. ‘Apa aku sering kesulitan untuk tidur?’
“Atau kau haus?”
Naya mengangguk ketika tenggorokannya tiba-tiba terasa kering saat pertanyaan Noah selesai.
Noah beranjak duduk, menyalakan lampu nakas, dan mengambil gelas air putih yang tersedia di sana. “Minumlah.”
Naya terheran dengan rasa haus yang lebih besar dari yang ia kira setelah menandaskan isi gelas tersebut dengan cepat. Apa mungkin karena mimpi buruknya?
“Tidurlah.” Noah membawa Naya dalam pelukanya. Menarik selimut menutupi tubuh mereka dan mengusap rambut Naya.
Naya tersenyum, mimpi buruknya telah berakhir. Tanpa tahu bahwa mimpi buruk yang lain baru saja mencengkeramnya erat-erat.
***
Naya menatap lobi yang lengang itu dengan bingung. Noah menyuruhnya masuk, tapi ia tidak tahu di lantai berapa ruangan pria itu. Lalu ia mencari ponsel untuk menghubungi pria itu.
“Hai, kenapa kau belum datang juga?”
“Aku ... aku tidak tahu di mana ruanganmu.”
Terdengar desahan penuh sesal dari seberang. “Maafkan aku. Seharusnya aku memberitahumu lebih dulu. Pergilah ke bagian resepsionis.”
Naya memutar kepala mencari meja yang dimaksud Noah. Setelah menemukannya, ia memutus panggilan sepihak dan berjalan mendekat.
Wanita cantik yang bertugas di balik meja menatapnya dengan enggan ketika melihat Naya dengan tumpukan kotak-kotak makanan di tangan kiri. Lalu tertawa mencemooh saat ia mengatakan tujuan datang kemari.
“Apa Anda sudah mengatur janji temu dengan beliau?”
“Ya. Baru saja,” jawab Naya dengan lugas sambil menunjukkan ponselnya.
Wanita itu terkikik. Membuat Naya terbengong. Apa ada yang salah dengan penampilannya? Apa luka di dahinya masih begitu kentara? Atau wajahnya terlihat konyol karena antusiasmenya yang begitu kentara ingin menemui suaminya sendiri?
“Tuan Samudra tidak di sini. Sekarang.”
“Dia baru saja menelponku. Menyuruhku menemui bagian resepsionis untuk menunjukkan ruangannya. Sekarang,” tandas Naya mulai kesal. Apa ia belum pernah ke kantor Noah? Apa tidak ada yang tahu bahwa ia adalah istri Noah? Apa pernikahan ...
“Saya khawatir seseorang mempermainkan Anda, Nona.”
“Maaf, Nyonya.” Seorang pria dengan setelan hitam pekat muncul dan membungkuk sedikit sebagai salam hormat pada Naya. Terkejut, wajah si resepsionis langsung memucat mengenali si pria. Kaki tangan dan kepercayaan pemimpin perusahaan.
Naya tiba-tiba merasa canggung diperlakukan dengan sopan. Karena kebanyakan orang selalu memperlakukannya dengan kasar seperti yang resepsionis itu lakukan.
“Tuan Noah berpesan, pastikan kau mengenali wajah istrinya dengan baik, Vivi.” Kata-kata pria itu seketika membuat mata si resepsionis berkaca-kaca. “Ini peringatan pertama dan terakhir untuk kalian berdua. Jangan membuat wajah Samudra Group tercoreng karena pelayanan kalian terhadap tamu yang kurang sopan.”
“Ma ... maafkan saya.” Resepsionis itu menunduk terlalu dalam. Begitu pun temannya yang lain.
Naya merasa tak enak hati, ia merasa kehidupan seseorang bergantung pada sikap yang diberikan padanya. Sesuatu yang belum pernah terjadi. Seakan ia mengontrol dan membolak-balikkan hidup sesorang dengan jentikan jarinya. Berkebalikan dengan apa yang selama ini ia rasakan.
“Mari, Nyonya. Ruangan tuan ada di lantai tertinggi, jadi kita perlu menggunakan lift pribadi. Sebelah sini.” Pria itu mengarahkan Naya ke gedung sebelah barat. Melewati jalur khusus dengan kedua penjaga yang sepertinya bertugas mengamankan area tersebut.
Lalu perasaan asing dan tak terbiasa membuatnya menjadi kikuk. Hidupnya dan Noah benar-benar sudah berubah. Dari yang terendah hingga menjadi begitu berkuasa. Apakah mereka bahagia dengan semua kekayaan ini? Alasan apa yang membuat Noah meninggalkan keluarga pria itu? Apakah kekayaan ini yang menyelamatkannya dari pernikahannya dengan Banyu? Apakah keluarganya meminta ganti rugi secara materi pada keluarga Noah? Tiba-tiba saja pertanyaan itu muncul di benaknya.
Merasa pusing saat berusaha keras memikirkan jawaban-jawaban pertanyaannya sendiri, Naya menggelengkan kepala. Yang Naya tahu, ia bahagia berada dekat dengan Noah. Hanya itu yang harus ia pikirkan.
***