Part 20 (Flashback)

1414 Words
Jambakan tangan Meisya di kepala Naya membuat Naya tak bisa menahan isak tangisnya. Saat kakaknya menyeret melintasi ruang tamu, genggaman itu semakin mengetat dan membuat Naya pusing. Meisya membuka pintu kamarnya, membanting tubuh Naya ke kasur. “Jika sampai perjodohan ini batal karena tindakan bodohmu, aku benar-benar akan menghancurkan wajah cantikmu, Naya.” Meisya menuding wajah Naya dengan maniknya yang berkobar. Nanya terisak pelan setengah berbaring di kasur. Kakaknya itu murka luar biasa setelah tadi di restoran menyeretnya dari hadapan  Noah untuk membawanya kembali pada Banyu di ruang makan pribadi. Namun, ternyata Banyu sudah berdiri di lorong, menyaksikan semua kejadian itu dan tampak sangat kesal. Kemudian menyuruh mereka langsung pulang ke rumah karena tak tahan melihat air mata Naya yang tak bisa berhenti. “Mulai sekarang, kau tak perlu pergi kuliah lagi.” Air mata yang membanjiri seluruh raut muka Naya sama sekali tak membuat hati Meisya iba. Karena memang wanita itu sama sekali tak memiliki naluri. Meisya melangkah ke meja belajar Naya yang ada di dekat jendela. Mengambil semua buku-buku Naya dan memasukkannya ke dalam kotak tas besar yang ada di atas lemari. Wajah Naya terdongak, melompat dari kasur dan menghampiri kakaknya. “Kak, Naya mohon.” Naya menahan lengan Meisya, yang sekuat tenaga langsung dihempaskan oleh Meisya yang memang memiliki tubuh tinggi dan lebih besar dibanding Naya. Tubuh Naya kali ini terpelanting di lantai dan kepalanya membentur dipan kasur. “Kau hanya membuang-buang uang dan tenagamu, Naya. Sekarang kau tak perlu belajar, apalagi bekerja. Kau hanya perlu merawat wajah dan tubuhmu agar Banyu memaafkan ketololanmu dan tak berubah pikiran untuk menikahimu.” Naya yang masih meringis dan menyentuh dahinya yang sepertinya berdarah, terkesiap kaget. “Me ... menikah?” “Ya, mama dan orang tua Banyu sudah sepakat akan menjodohkan kalian. Mereka akan secepatnya menentukan tanggal pernikahan. Jadi, jika semua rencana sempurna ini gagal karena otak dungumu, kau sendiri yang akan menerima akibatnya. Kami akan membuatmu menikahi siapa pun pria yang menginginkanmu. Tak peduli jika kau berakhir menyedihkan menjadi simpanan seorang pria tua bangka.” Naya menangis tersedu. Semua sudah berakhir. Cintanya dan Noah terenggut dengan paksa oleh keserakahan kakak dan mamanya. “Mana ponselmu?” Meisya mengulurkan tangannya ketika sudah selesai memasukkan semua buka Naya ke dalam tas dan menutupnya. Naya hanya diam. Melirik tas kecilnya yang terjatuh di lantai dekat pintu. “Berikan padaku sekarang, Naya!” geram Meisya mulai kehilangan kesabaran dan semakin mendekat ke arah Naya. Naya menggelengkan kepala menolak memberikan pada Meisya. Ia perlu menghubungi Noah dan menjelaskan semuanya. Ia tak menyerah. Ia akan meminta pria itu menyelamatkannya dan kabur dari rumah bila perlu. Atau mereka bisa melakukan kawin lari. Meisya menggeram. Matanya menelusuri setiap sudut kamar sempit Naya dengan liar. Lalu saat menemukan tas milik Naya yang tergeletak di lantai, Meisya pun bergegas memungut tas tersebut. Disusul Naya yang mencoba merebutnya dari tangan sang kakak. Tetapi, lagi-lagi Meisya menghempaskan tubuh Naya dengan mudah. Mengeluarkan ponsel Naya dari dalam sana dan membawanya keluar. Bersama tumpukan-tumpukan buku Naya di meja belajar. Naya hanya bisa menangis tanpa daya, air matanya yang tak berhenti membuat matanya bengkak. Selama tiga hari Naya dikurung di kamarnya. Makanan diantar tiga kali sehari. Terkadang mamanya, kakaknya, dan paling sering Arfa. Adik laki-lakinya itu akan berlama-lama, menemaninya makan dan mengajaknya mengobrol. Tetapi tak bisa melakukan banyak hal untuk menolong Naya. Naya sendiri menolak setiap bantuan kecil yang diberikan untuknya, karena tahu mama dan kakaknya pasti mengancam akan memberhentikan biaya kuliah Arfa. Dan ia tak ingin adiknya ikut-ikutan berhenti kuliah seperti dirinya. Di dalam kamar, Naya hanya makan dan tidur. Satu buku pun yang ingin ia gunakan untuk membuang bosan sama sekali tak disisakan oleh kakaknya. Kakaknya bersikeras menganggap itu sebagai hukuman, dan jika ingin siksaan ini cepat berakhir, sebaiknya ia mulai menjernihkan otaknya dan menikah dengan Banyu. Sore itu Meisya membangunkannya dengan kasar. Menyuruhnya cepat mandi dan  melempar gaun berwarna biru laut di kasurnya lalu bergegas keluar setelah mengatakan Banyu akan datang tiga puluh menit kemudian. Naya tak beranjak dari tempat tidur. Malah kembali berbaring memunggungi pintu tanpa menyentuh gaun indah yang diletakkan kakaknya di pinggir kasur. Saat Meisya datang tiga puluh menit kemudian untuk memberitahu kedatangan Banyu, wanita itu murka luar biasa. Menemukan Naya masih berbaring di ranjang dengan pakaian lusuh yang entah berapa hari tak diganti. Naya yang masih mengantuk, seketika terbangun dari tidurnya. Terkesiap kaget ketika badannya ditarik terbangun, lenganya dipelintir dan ada tangan lain menarik kuncir rambutnya dari belakang. “Auuwww,” rintihnya kesakitan. “Apa kau sengaja melakukan ini?” “Naya tidak mau pergi!” tantang Naya mengumpulkan segala keberaniannya untuk menolak kehendak kakaknya yang semena-mena. “Kaupikir aku bertanya dan meminta pendapatmu? Huh?” Naya mencoba melepaskan genggaman tangan Meisya dari rambutnya meski tahu itu tindakan yang sia-sia. “Pergilah kenakan bajumu! Banyu sudah menunggumu.” “Tapi Naya tidak mencintai Banyu, Kak.” “Jadi kau masih lebih memilih anak ingusan berandalan itu dibanding Banyu yang sudah jelas bisa menutupi kemiskinan keluarga kita dengan kekayaannya?” “Noah tidak seperti yang kakak pikir.” “Oh ya? Yang kutahu, anak itu tidak bisa memberikan kakak uang untuk mencukupi kebutuhan kita. Apa kaupikir uang bisa jatuh dari langit?” “Naya tidak mau menikah dengan Ba … Aauuuwwww.” Naya tak berhenti mencoba menantang kakaknya. Tarikan jemari kakaknya di rambut Naya semakin keras. Kepalanya terdongak dan lehernya terasa sakit. Lalu wajah kakaknya mendekat dan bibirnya berbisik penuh ancaman. “Yang kutahu, kau akan berdandan dengan sangat cantik, mengenakan pakaian yang sudah kakak pilih, menemui Banyu di bawah, dan merayunya untuk segera menetapkan tanggal pernikahan kalian. Apa kau mengerti?” Lalu menyeret Naya ke kamar mandi dan menahan tubuh wanita itu di bawah shower. Meisya menyalakan shower air dingin, sedikit mendongakkan wajah Naya ke atas sehingga air mengguyur wajah Naya dengan keras. Naya tergelegap, kesulitan bernapas dengan air yang masuk ke hidung dan mulutnya secara bersamaan. Setelah puas melampiaskan kekesalannya, Meisya melepas cengkeramannya di rambut Naya dan mendorong Naya hingga jatuh di lantai. “Bersihkan dirimu sekarang juga jika tidak ingin aku yang melakukannya untukmu.” Meisya mundur ke belakang, berdiri bersandar di wastafel menunggu Naya. Memastikan bahwa adiknya itu benar-benar melakukan perintahnya dengan patuh.   ***     Banyu mengajak Naya makan malam di restoran bintang lima seperti sebelumnya, tapi kali ini mereka memilih meja outdoor dengan pemandangan langit malam bertabur bintang dan pencahayaan yang diatur remang. Suasana yang romantis berkebalikan dengan suasana hati Naya yang gelap dan masih tergugu dalam tangisan meskipun manik wanita itu sudah tak basah. “Hari ini kau tak banyak bicara,” gumam Banyu memecah keheningan yang Naya pertahankan sejak dari rumah, sepanjang perjalanan dalam mobil, hingga mereka duduk di sini. Naya masih diam. Banyu mengamati raut sedih yang sama sekali tak disembunyikan oleh Naya. Ia tahu pikiran apa yang menggayuti hati wanita itu. Banyu pun bertanya, “Apa kau mencintai pria lain?” Naya mengangguk tanpa ragu dan memberi Banyu tatapan sendu meminta belas kasihan dan membatalkan niat pria itu untuk menikah dengannya. “Apa kau bagitu mencintainya?” Lagi Naya mengangguk. Berharap pengakuannya benar-benar meluluhkan hati Banyu. Banyu terkekeh. “Kenapa kau tertawa?” tanya Naya dengan polosnya. Banyu berhasil memancingnya untuk membuka mulut. “Aku bisa saja terluka mendengar penuturanmu, Naya. Tapi, aku akan memakluminya. Aku memahami posisimu. Kau dipaksa oleh mama dan kakakmu untuk menikah denganku dan aku pun dipaksa oleh mereka serta  kedua orang tuaku.  Jujur aku tak sampai hati menolak perjodohan ini. Mamamu orang yang baik.” Naya tersentuh akan kebaikan hati Banyu, hanya Banyu satu-satunya orang yang mengganggap kakak dan mamanya adalah orang yang baik. Karena, kebanyakan orang saat melihat kakak dan mamanya, selalu mencibir jijik dan menganggap mereka berdua adalah parasit yang tak punya muka. “Lalu pria yang kaucintai, dia tak terlihat akan memperjuangkan dirimu. Dia sama sekali tak datang ke rumahmu untuk mencoba membujuk mamamu. Apakah menurutmu dia menghargai cinta kalian seperti yang kaulakukan saat ini. Maaf jika kata-kataku sedikit kasar, aku hanya mengungkapkan pendapatku.” Naya terdiam. Mencerna kalimat Banyu dengan hati yang teriris. Apakah Noah menyerah terhadap dirinya? Seketika pertanyaan itu menyudutkan Naya. “Marilah kita berteman dengan baik. Aku berjanji akan menjadi teman hidupmu dan perlahan kita bisa mulai menerima pernikahan ini seutuh hati kita. Bagaimana?” Naya tetap terdiam. Hatinya mulai ragu dan goyah akan keyakinannya terhadap Noah. Seharusnya Noah mencarinya. Seharusnya Noah mendatangi rumahnya dan membujuk mama dan kakaknya. Seharusnya Noah memperjuangkan dirinya. “Kau tak bisa menolak keinginan kakakmu, dan pernikahan ini membahagiakan mereka. Aku juga akan mengirim Arfa ke Australia dan dia bisa melanjutkan sekolahnya di sana. Setidaknya kau bisa memanfaatkanku dalam pernikahan ini, kan.” Hati Naya terasa teriris, bagaimana Banyu bisa setenang itu menyuruhnya memanfaatkan kekayaan pria itu untuk memuaskan keserakahan kakak dan mamanya. “Tapi ...” Banyu membawa tangan Naya dalam genggamannya. Meremas tangan mungil dan pucat itu, menyalurkan keyakinannya. “Mamamu sudah menetapkan tanggal pernikahan kita. Seminggu dari sekarang. Pikirkan baik-baik penawaranku.”   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD