Part 9

2064 Words
Setelah malam itu, beberapa hari kemudian Naya memberitahunya tentang surat gugatan perceraian yang sudah berbubuh tanda tangan istrinya dan melemparinya foto-foto mesranya dengan Ralia. Meninggalkan kediaman Samudra bersama senyum kepuasan seolah duri dalam daging Eva Samudra telah tercabut. “Dia menyayangi Mama dengan tulus!” kelakar Noah saat ia baru saja pulang dari kantor dan mamanya malah menyambutnya dengan surat sialan itu. Seharusnya ia senang, perpisahan ini akan membuat keduanya berhenti saling menyakiti, tapi Naya sudah terlanjur memporak-porandakan dunianya. Meninggalkan remahan hatinya yang sudah tak tertolong. Dan ia tak akan membiarkan wanita itu melenggang seenak hati begitu saja. Dengan tanpa menunggu sedetik pun untuk berpikir, ia merobek surat perceraian itu tanpa ampun. Melemparnya ke lantai menjadi remahan sampah. Mamanya tersentak hingga menahan napas selama beberapa saat melihat uraian kertas sebagai akhir keberhasilannya, kini terhambur tak berarti. Dalam sekejap, keberhasilannya menjadi sebuah kegagalan. Eva Samudra menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya dengan perlahan. Menenangkan hati dan pikirannya, tapi tetap saja kata-katanya keluar dengan pedas dan penuh cibiran. Jauh dari kata tenang. “Ya, setulus uang yang telah kau berikan padanya untuk pengobatan ibunya yang matrealistis dan uang belanja kakaknya yang serakah. Bersenang-senang di hotel dan klub malam dengan pria tak jelas. Seperti yang istrimu lakukan.” “Naya tidak seperti itu.” Hatinya berkata penuh keyakinan meskipun apa yang terjadi selalu meragukan penglihatannya. “Dan apa pun itu, aku tak akan peduli pada setiap sen yang kuberikan padanya.” “Lalu untuk apa dia menyembunyikan tagihan kartu kreditnya darimu?”  dengus Eva semakin gencar menyerang putranya. Memang butuh pukulan yang keras untuk menyadarkan sihir wanita kumuh itu pada anaknya. Benar-benar wanita penyihir. “Karena aku tidak pernah mempertanyakan hal itu dan tak akan pernah peduli.” “Kau begitu naif dan bodoh, Noah.” “Apa Mama lupa, apa tujuanku kembali ke rumah ini? Jika bukan karena Naya, aku tak akan sudi menginjakkan kaki di lantai rumah ini seumur hidupku. Ingat?” Seketika wajah Eva memucat, kehilangan kata-kata untuk sesaat. “Ya, kau mengorek kekayaan keluarga kita demi wanita itu.” “Apa Mama keberatan aku melakukan itu? Karena jika ya, aku bersedia melepaskan semua yang kumiliki bahkan yang melekat di tubuhku dari atas ke bawa hanya demi Naya.” Wajah Eva semakin memucat, oleh ketakutan yang datang semakin intens. Kali ini ia benar-benar kehilangan kata-kata. “Mama tidak mampu mendapatkan kasih sayangku sebagai seorang ibu yang telah melahirkanku, tapi setidaknya Mama bisa membelinya. Lakukan itu selagi aku bersedia melakukan apa pun untuk Naya. Karena jika tidak, seumur hidup aku tak akan pernah mengenal rasanya memiliki seorang ibu.”   “Kau benar-benar dibutakan oleh w************n itu, Noah!”  sembur Eva benar-benar murka. Noah berbalik dan pergi. Mengabaikan dan meninggalkan Eva dengan kedua wajah merah padam dengan kebencian yang semakin menumpuk pada seorang Kinaya Magaly.  Dendam yang begitu besar dan haus pembalasan pada wanita yang tak pernah dianggapnya menjadi menantunya itu. Dua hari penuh, Noah mengabaikan semua pekerjaan kantornya dan mengerahkan seluruh sumberdayanya sebagai seorang Noah Samudra untuk mencari Naya. Wanita itu bersembunyi dengan baik dan ia tahu siapa yang bergerak di belakang istrinya. Namun, tanpa bukti ia tak ingin mendatangi pria itu seperti orang t***l. “Kediaman Banyu Atmadja. Meena Apartment 709.” Noah mendongak ketika papanya muncul dan tiba-tiba menyebutkan salah satu gedung apartemen milik Samudra Group. Dan tentu saja nama itu begitu terukir di kepalanya. Di sanalah ia pernah membuat keributan besar karena membawa kabur calon pengantin wanita. Beruntung ibu dan kakak Naya adalah wanita matrealistis yang serakah dan tak berpikir dua kali untuk membatalkan pernikahan Naya dan Banyu demi umpan yang lebih besar yang ia lemparkan.   “Kau terlalu sibuk dipenuhi emosimu, Noah. Itulah sebabnya kau tak tahu dia bersembunyi di bawah hidungmu sendiri,” tambah Willy Samudra. “Selesaikan masalah kalian, sementara Papa yang akan mengurus pekerjaanmu.” “Tapi ...” Willy berhenti ketika Noah hendak bangkit. “Hanya sementara. Apa pun yang terjadi pada rumah tangga kalian, kau tetap harus kembali pada perusahaan. Jangan jadikan Naya sebagai alasan untuk meninggalkan perusahaan.” Noah mengangguk kecil. Hanya satu pilihan yang dimiliki Naya. Wanita itu akan kembali pada pelukannya. Jika ia masih harus tetap berada di dalam Samudra Group, maka Naya pun harus berada di tempat yang sama dengannya. Tidak ada pilihan lain lagi. Pun dengan penderitaan wanita itu. Tidak seperti pertama kali ketika Noah memasuki lobi apartemen ini. Kali ini semua petugas bergegas menyambutnya dengan wajah dipenuhi senyum. Mengenal dengan baik pada siapa mereka bekerja. Dan itu sangat memudahkannya langsung menerobos tempat tujuannya. Noah tak memedulikan semua perhatian itu, ia langsung menuju lift dan menekan angka tujuh. Sampai di atas, ia tak perlu lagi mendobrak pintu apartemen pria busuk itu. Karena kini keduanya sudah berdiri di hadapannya dan bersiap masuk ke dalam lift yang ia tumpangi. Cih, jadi mereka berdua bersenang-senang selama ini?   Tidak tahukah bahwa istrinya itu telah membuat harinya berantakan selama dua hari ini? Dan sekarang malah tampah baik-baik saja, bahkan ditemani oleh pria lain, huh? “Noah?” Naya tersentak kaget. Begitu pintu lift terbuka dan melihat wajah suaminya. Yang tampak merah padam dan sangat jelas menunjukkan kemurkaan yang teramata besar. Noah sudah menyiapkan hati akan menemukan pemandangan yang mengejutkan. Namun, melihat secara langsung istrinya dan pria lain saling berdekatan seperti itu ternyata rasanya berpuluh-puluh kali lipat lebih menyakitkan. Memeras hatinya yang terbubuhi luka di mana-mana. Seketika amarah yang menguasainya, menjadi tak terkendali. Tak ada cara untuk menahan amarah itu tetap bertahan, ia butuh meluapkannya. “Apa yang kau lakukan di sini, Noah?” Naya menguasai ekspresinya. Berusaha terlihat setenang mungkin dengan pertemuan tak terduga ini. “Kau tahu jawabannya, Naya,” desis Noah. Menarik lengan Naya masuk ke dalam lift dengan kasar tapi tertahan dengan pergelangan Naya yang dipegang Banyu. Membuat Noah melepaskan tatapan membunuhnya kepada Banyu. “Lepaskan!” “Kau menyakitinya.” Banyu menarik Naya kembali keluar dari lift, tapi karena cekalan tangan Noah sangat kuat di tangan Naya yang satunya. Membuat Naya meringis kesakitan menghadapi kekuatan dua pria di antaranya. Cukup sudah, pria itu berani menyentuh Nayanya di depan hidungnya. Noah melepaskan lengan Naya, maju satu langkah dan melemparkan satu tinjunya tepat di hidung Banyu hingga pria jangkung itu terhuyung ke belakang dengan darah mengucur membasahi bibir atas. Tak cukup sampai di situ, Noah masih menambah dua pukulan telak di rahang yang membuat Banyu semakin tak berkutik. “Hentikan, Noah!”jerit Naya. Mendorong Noah menjauh dan hendak membantu Banyu berdiri. Namun, cekalan keras tangan Noah menahan gerakannya dan menyentakkan tubuhnya masuk kembali ke dalam lift. “Lepaskan aku!” “Tidak akan pernah,” desis Noah sambil menekan tombol lift agar pintunya tertutup. “Urusan kita sudah selesai, Noah. Apalagi yang kauinginkan?” “Kau membuangku karena lebih memilih merendahkan diri pada pria itu?” “Dia tidak ada hubungannya dengan kehancuran pernikahan kita.” “Apa kau sudah tidur dengannya?” Pertanyaan dingin Noah penuh tuduhan yang terelakkan. “Apa?” Naya tak percaya akan mendapatkan pertanyaan sekotor itu dari bibir Noah. Sudut matanya mulai menangis. Tak menyangka Noah bahkan berpikir serendah itu tentang dirinya. “Apa kau tidur dengannya saat kita masih bersama?” Sekuat tenaga Naya menahan air matanya jatuh meskipun hatinya sudah mengucurkan darah. Tanpa mampu menggerakkan satu patah kata pun dari bibirnya. “Apa anak yang kaubunuh itu bukan milikku?” Plaakkk ... Naya tak bisa menahan lebih banyak lagi tuduhan tak bermoral Noah. Tanpa sadar tangannya melayang, mendaratkan satu tamparan keras di pipi Noah. “Banyu berusaha membeli cintaku tapi dia tidak pernah merendahkan diriku seperti yang kau lakukan, Noah. Aku menyesal pernah lebih memilihmu daripada dia.” Tamparan Naya sama sekali tak berarti apa pun. Hati Noah jauh lebih tercabik membayangkan semua pertanyaan yang keluar dari bibir Naya menjadi kenyataan. Naya benar-benar telah menguasai hatinya lebih besar daripada yang ia kira. “Maka juallah cintamu padaku mulai sekarang.” Pintu lift terbuka, Noah menarik paksa lengan Naya dan menyeret istrinya keluar dari lift. Melintasi lobi yang sepi dan hanya ada beberapa petugas keamanan. Tak ada yang berani mencegahnya atas tindakan kekerasan yang ia lakukan pada Naya. Mereka cukup pintar untuk tak mencari masalah. “Lepaskan aku.” Naya meronta. Satu tangannya berusaha melonggarkan cekalan keras Noah. Berusaha membebaskan tangan yang satunya. Tak peduli jika rontaannya hanya memberikan rasa sakit yang lebih. Air mata yang membanjir di wajahnya sama sekali tak menyurutkan sikap kasar dan menimbulkan rasa iba di hati Noah. “Semua sudah berakhir. Seperti yang kauinginkan, bukan?” “Tidak,” desis Noah penuh peringatan. Mata birunya menggelap tertutup badai dan wajahnya memerah oleh kemarahan yang sangat besar. “Ini tidak akan berakhir mudah seperti yang kauinginkan.” Noah memberi isyarat pada sopir untuk membuka pintu mobil bagian depan. Lalu mendorong Naya untuk duduk. “Aku yang akan menyetir.” Naya berniat membuka kembali pintu mobil ketika Noah berjalan memutari mobil. Namun, sopir yang berdiri di samping mobil, ternyata dibayar sangat mahal oleh sang pewaris tunggal Samudra Group. “Pasang sabuk pengamanmu!” Naya hanya mampu terisak semakin dalam. Telapak tangan yang tertangkup di wajah sama sekali tak menghentikan air mata yang turun dengan deras. Noah terpaksa memiringkan badan dan menarik sabuk pengaman tempat duduk Naya. Mengabaikan tangisan wanita itu yang semakin tak terkendali. Lalu memutar kunci dan mengemudikan mobil menuju jalanan yang lengang. Sambil melonggarkan dasi yang terasa mencekik leher dan membuatnya susah bernapas. “Apa lagi yang kauinginkan, Noah?” Noah menoleh. Menjawab dengan setengah berteriak. “Kau. Hanya kaulah yang kuinginkan, Naya. Tidak ada yang lain.” “Kau sudah meninggalkanku. Kau mengkhinatiku. Kau jugalah yang menyingkirkanku dari kehidupanmu!” teriak Naya di antara tangisannya yang masih tersisa. Amarah kembali meledak. Wajah Noah semakin gelap dan kedua tangannya mencengkeram setir begitu erat. Ingatan dan penyesalan yang berkelit di pikiran Noah membuat kepalanya terasa berat seperti tertindih beban seberat seribu ton. Ia telah menghancurkan semuanya, ia akui itu. Sekali lagi, ia telah menghancurkan kehidupan bahagianya dan ia sangat tahu hal itu. “Aku membencimu, Noah. Sangat membencimu hingga bernapas di dekatmu saja terasa sangat menyiksaku.” Mobil melaju dengan kencang bersamaan dengan emosi Noah yang semakin meluap dan tak terkendali. Naya merasa ngeri dengan kecepatan mobil yang tak terkendali. Mereka berada dalam bahaya. Ia berada dalam bahaya. “Turunkan aku!!!” Naya berteriak nyaring sambil melepas sabuk pengamannya. Saat itulah bunyi klakson yang sangat keras memecah udara tegang dan panas di antara mereka. Semuanya terjadi sebelum mereka sempat menyadari apa yang tengah menghantam mobil bagian depan mereka.  Tubuh Naya terhentak kuat ke arah depan, kepalanya membentur kaca depan mobil hingga pecahannya menyebar ke segala arah dan tubuhnya terpelanting keluar. Sedangkan tubuh Noah yang tertahan sabuk pengaman, tetap terpaut dengan jok. Tangannya terangkat menggapai tubuh Naya yang melayang keluar menembus kaca mobil dengan sia-sia. Kepalanya yang menghantam airbag tak membuatnya lolos dari pecahan kaca dan hentakan kuat dari tabrakan tersebut. Tubuhnya tak mampu bergerak sekeras dan sebanyak apa pun keinginannya. Berperang melawan kegelapan yang mulai menyerang, matanya berusaha melihat tubuh Naya yang tak bergerak. Darah merembes dari kepala dan membasahi wajah wanita itu. Bercampur air mata yang masih tersisa di wajah pucat itu. Pandangannya turun lebih bawah, tak hanya kepala Naya yang berdarah. Darah juga mengalir di antara kedua kaki Naya. Membasahi dress bagian bawah istrinya. “Naya,” lirih Noah di antara desis mesin dan airbag yang mengempis. Kesadaran perlahan terenggut paksa darinya. Lalu kegelapan memberinya tidur yang lelap dan ketenangan yang tak pernah ia dapatkan seminggu belakangan ini. Noah merasakan hunjaman ribuan jarum mengingat rentetan peristiwa malam itu hingga kecerobohan yang membawa Naya pada kecelakaan dan melenyapkan buah cinta mereka di rahim Naya. Ya, tentu saja darah dagingnya sendiri. Bahkan seharusnya ia tak lebih t***l lagi hingga melakukan tes DNA dengan janin yang sudah tak bernyawa. Katakan b******k, ia memang sebrengsek itu. Ia tak bisa menghentikan pikiran-pikiran liar yang mengembara di otaknya ketika bayangan-bayangan Banyu dan Naya meracuni otaknya. Tak bisa menghentikan setan yang mengelabui dan menghancurkan kepercayaan dalam cinta dan pernikahannya dengan Naya. Kebersamaan Banyu dan Naya nyata terpampang di depan wajahnya. Ditambah bukti-bukti tak terelakkan pertemuan mereka yang semakin intens, membuat perselingkuhan Banyu dan Naya semakin jelas menjejak di pikirannya. Noah mempererat pelukannya. Membuat Naya menggeliat dan mengerang pelan karena merasa tak nyaman. Tetapi kemudian wanita itu semakin merapatkan pelukan pada dirinya. Mencari kenyamanan dan kehangatan dari tubuhnya. “Maafkan aku, Naya,” ucapnya lirih disertai kecupan di ujung kepala Naya. “Aku sungguh-sungguh minta maaf.” 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD