Part 18 (Flashback)

1532 Words
“Hai, bagaimana harimu?” Sebuah lengan kekar yang tiba-tiba mengalung di leher membuat Naya tersentak dari lamunannya. “Baik. Kau?” Naya menoleh dan menjawab sesingkat mungkin. Bahkan satu kata terakhirnya pun terdengar basa-basi. Benaknya masih bergelayut memikirkan kata-kata mama dan kakaknya untuk berhenti menemui Noah. Bahkan ia mendapatkan beberapa pesan dari Banyu yang akan menjemputnya di kampus dan mengajaknya makan siang, dan ia tidak tahu harus menjawab apa. Sejak kemarin, Banyu terlalu sering menghubunginya, membuatnya canggung dan memilih mengabaikan ponselnya.   Senyum Noah mengembang memenuhi wajahnya.  “Tidak lebih membosankan dari pada kemarin. Aku juga harus segera ke bengkel. Ada beberapa mobil yang harus kuperbaiki.” Naya mengangguk. Menyunggingkan senyum setulus mungkin untuk Noah meski hatinya dipenuhi dilema. Dan ketika ia mendongak, menatap cukup lama wajah Noah yang sedikit berkeringat dan tampak sisa-sisa kantuk di mata, sepertinya pria itu baru bangun dari tidur di perpustakaan kampus. Naya menyentuh dadanya dan debaran di hatinya masih sama seperti yang ia rasakan ketika jatuh cinta pada Noah. Bahkan berdebar lebih keras dan semakin menguat. “Apa kau sudah makan siang?” Naya menggeleng. “Kalau begitu aku akan mengantarmu pulang dan kita bisa mampir di warung langganan kita. Bagaimana?” putus Noah sekaligus menawarkan. Naya memasukkan ponselnya ke dalam tas lalu mengangguk. Membiarkan lengan Noah masih tetap melingkar di lehernya, lalu keduanya berjalan menuju tempat parkir motor di sebelah barat kampus. Tak cukup jauh, dan Naya lebih banyak diam saat Noah bercerita gadis-gadis jurusan lain yang masih tak berhenti mengiriminya hadiah-hadiah. Yang kemudian hadiah-hadiah itu ia jual pada teman-temannya yang kebetulan sedang malas pergi ke kantin untuk mengisi perut. Naya sudah lelah memperingatkan Noah untuk tak menerima hadiah tersebut jika memang tak bisa memenuhi harapan para gadis yang terang-terangan memuja Noah. Karena Noah pasti akan berdalih dengan alasan tak bisa memberikan cinta pria itu kecuali untuk seorang Kinaya Magaly. Alasan yang kontan membuat wajah Naya memerah oleh rasa malu dan mulutnya terkatup rapat. Bahkan Noah mengatakan, uang tambahan tersebut cukup untuk membayar biaya makan selama beberapa hari saat tidak bekerja, demi meluangkan waktu kencan mereka yang harus disesuaikan oleh waktu Naya. Pekerjaan paruh waktu Naya sebagai penjaga kasir supermarket di pusat kota membuat Naya tak memiliki banyak waktu luang untuk bersenang-senang. Dan Noahlah yang selalu mengalah. “Kau tak banyak bicara,” tanya Noah tiba-tiba sambil menyuapkan mie ayam terakhirnya ke mulut dan melihat makanan Naya yang belum berkurang setengah. Sejak mereka sampai di warung pinggiran jalan langganan Noah sepuluh menit yang lalu, Naya sama sekali tak bersuara, begitupun saat di perjalanan. “Dan selera makanmu yang aneh. Apa ada yang mengganggumu.” Naya mendongak, terkejut menemukan isi mangkok Noah yang sudah tandas sedangkan miliknya hampir utuh sepenuhnya. Biasanya pria itu hanya menunggu sejenak sebelum Naya menghabiskan mangkuknya juga. “Maaf, hanya ... beberapa tugas yang membuatku pusing.” “Tugas apa? Kau tahu aku bisa membantumu kapan saja, kan?” Alasan yang salah, Naya membatin. Kecerdasan Noah tak perlu dipertanyakan. Meski pria itu sering membolos kuliah demi pekerjaan paruh waktu, Noah sering kali membantunya menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya dengan mudah dan cepat. Terkadang membuat Naya terheran, bagaimana dengan otak secerdas itu, Noah sering kali mengulang kelas. Naya menggeleng dengan cepat. “Aku tak ingin merepotkanmu.” Noah menarik genggaman tangan Naya ke dalam bibirnya. Mengecup punggung tangan Naya dan memasang raut terluka ketika berkata, “Kau benar-benar mengecewakanku, Naya.” “Aku hanya ingin berusaha untuk diriku sendiri.” “Itu melukaiku.” Suara Noah teredam punggung tangan Naya yang menempel di bibirnya, menutupi sedikit senyum menggoda yang tersamar di sudut bibirnya. Naya tertawa. “Kau tahu itu satu-satunya hal yang tak ingin kulakukan untukmu.” “Aku mencintaimu.” Sesaat kata-kata Noah membuat Naya terpaku. Hanya butuh satu kata cinta baginya untuk meluapkan segala dilema yang mengakar di hatinya. Baiklah, ia sudah memutuskan pilihannya. Ia akan memperjuangkan Noah. Ia tak akan melukai Noah dan ia tak akan memutuskan Noah hanya karena keinginan mama dan kakaknya. “Aku juga mencintamu, Noah,” balasnya dengan setulus hati. Getaran ringan dari arah tas Noah mengalihkan kebahagiaan yang meliputi keduanya. Noah merogoh saku celana jeansnya dan menempelkan ponsel di telinga. Satu tangannya menurunkan tangan Naya dari bibirnya tanpa melepaskan genggamannya. “Hallo?” “...” “Kapan?” “...” “Nanti malam?” “...” “Baiklah. Kirim alamatnya.” “Siapa?” tanya Naya setelah Noah meletakkan ponselnya di meja. “Deni.” Kerutan muncul di kening Naya. Deni dan kirim alamatnya adalah gabungan kalimat yang mengacu pada ketidakberesan. Noah pasti baru saja berhenti bekerja dari salah pekerjaan paruh waktu pria itu. “Hanya pekerjaan paruh waktu lainnya. Aku baru dipecat dari cafe –entah apa namanya- kemarin malam.” Benar, kan? Mulut Naya membuka tak percaya. Masalah apalagi kali ini yang dilakukan Noah hingga dipecat dalam waktu tak cukup satu minggu. Naya sudah terlalu sering mendengar Noah berganti pekerjaan dalam seminggu sekali atau dua kali. Dan mungkin, hampir semua toko di kota ini sudah pernah menjadi jejak-jejak karir Noah. “Ya, aku mengatakan tak tertarik menerima pernyataan cinta terang-terangan salah satu pelanggan yang baru kutemui. Pengawas sialan itu langsung mengusirku tanpa gaji hanya karena pernyataan tak masuk akal wanita itu. Apa kaupercaya aku melakukan tindakan tak bermoral pada wanita tak cantik itu di depan umum? Selain pakaian dan tas mahalnya, mukanya membuatku sakit kepala.” Keterkejutan Naya berubah menjadi tawa. Cara Noah menjelaskan dengan mata yang berputar dan ekspresi konyolnya tak pernah menahan tawa Naya. “Kau benar-benar jahat, Noah.” “Aku sudah melakukan segala cara untuk tidak terlihat begitu tampan, apakah menurutmu usahaku masih kurang?” Naya semakin terbahak. Noah pun ikut tertawa. Namun, tawa itu terhenti oleh dering ponsel Naya di meja. Sekilas Noah melihat nama ‘Kak Meisya’ di layar ponsel Naya. Ia pun melepas tangan Naya dan memberi kekasihnya waktu untuk mengangkat meski tawa Naya mendadak digantikan oleh kepucatan. Ekspresi yang selalu terpasang ketika mama atau kakak Naya memanggil. Sama ketika salah satu anggota keluarganya datang untuk bertemu atau sekedar menghubungi ponselnya. Mungkin, hal itulah yang membuatnya dan Naya bisa sedekat ini. Mereka sama-sama terkucilkan dari keluarga dan mereka saling bersandar ketika tidak ada keluarga yang bisa memberi keduanya bahu sekedar melepas lelah atau berbagi gundah.   “Jadi, dia pria yang bernama Noah itu?” Suara Meisya terdengar penuh celaan. Wajah Naya membeku. Kepalanya berputar mencari-cari keberadaan kakaknya di sekeliling mereka dan terkejut menemukan mobil merah kakaknya terparkir di seberang jalan. Bagaimana kakaknya bisa menemukan keberadaannya? “Tawa kalian membuat mataku sakit, Naya. Apa kau sudah menyelesaikan urusanmu dengannya? Karena kau mengabaikan tawaran Banyu, sebaiknya aku memajukan janji temu kita. Kita akan mencari gaun yang cantik untuk kencan pertamamu dengan Banyu nanti malam di Joanna Dining.” “Na ... nanti malam?” “Ya, Mama berjanji pada Banyu akan membawamu nanti malam beberapa menit yang lalu. Sangat beruntung menemukanmu secepat ini, karena waktu kita tak banyak. Jadi, cepat keluar sekarang juga.” “Tapi, Kak.” “Keluarlah sekarang atau kakak yang akan masuk dan menyeretmu di hadapannya, Naya?” ancam Meisya yang sudah tak sabar berbasa-basi dengan Naya lebih lama lagi. “Baik, Kak.” Naya menurunkan ponselnya meski tahu kakaknya sudah memutus panggilan tersebut sebelum dia sempat membuka mulut untuk menjawab. “Ada apa?” tanya Noah melihat kemuraman di wajah Naya melenyapkan sisa-sisa tawa kekasihnya hanya dalam hitungan detik. “Aku ... ada janji dengan kakakku dan dia sudah menjemputku,” gumam Naya lirih dan menghindari bertatapan dengan mata Noah. Ia tahu pria itu akan menyadari keanehannya dari sikap sekaligus tatapan matanya. Noah selalu sensitif dan seakan pria itu memiliki radar untuk mendeteksi masalah di hidupnya. Noah memutar kepala mengikuti arah pandangan Naya, melihat mobil merah yang terparkir di seberang jalan dan merasa firasat buruk muncul ketika kaca mobil terbuka. Wanita itu, -yang sudah pasti Meisya- yang tengah duduk di balik setir mobil, tak segan-segan melemparkan tatapan tak suka begitu menangkap pandangan Noah. Dan jawaban serta gestur Naya yang seolah menyembunyikan sesuatu darinya membuat Noah semakin curiga. Naya tak pernah dekat dengan kakaknya. Bahkan beberapa kali Noah menemukan bekas luka atau lecet di tubuh Naya karena perbuatan entah mama atau kakak Naya. Naya selalu berkeras bahwa luka tersebut karena terjatuh atau terbentur dan alasan lainnya yang tak masuk akal. Selama ini Noah diam karena merasa Naya belum siap untuk terbuka padanya seutuhnya. Noah sendiri tak ingin membuat Naya terdesak dan merasa tak nyaman dengan pertanyaannya. Dan mereka perlu saling terbuka dengan perlahan.  ‘Jadi wanita itu yang membuat Nayanya terluka?’ Mata Noah menyipit. Bahkan wajahnya sudah terlihat begitu licik. Tak perlu mendapatkan pengakuan Naya atas jejak tangan yang membekas di tubuh Naya. Pelakunya sudah jelas. “Noah, sepertinya aku harus pergi.” Naya menyangkutkan tasnya ke pundak dan beranjak. Noah tersadar, mendongak dan segera menyambar tas miliknya sendiri. Merogoh saku celana, mengeluarkan dompet, dan meletakkan lembaran berwarna merah di meja dengan cepat sebelum berjalan mengikuti Naya keluar dari warung. “Kauyakin baik-baik saja?” tanya Noah setelah berhasil menangkap pergelangan tangan Naya di pinggir jalan raya. Naya mengangguk pelan, meski lebih banyak menunduk dan hanya sekilas membalas tatapan Noah. “Hubungi aku setelah sampai di rumah.” Noah meremas lengan Naya, memastikan wanita itu mengingat kalimatnya dengan baik. Sekali lagi Naya mengangguk. Noah menunduk, menarik Naya dalam pelukannya sejenak dan berkata, “Pergilah.” Naya menengok ke arah kanan dan kiri sebelum menyeberang jalan. Noah mengangguk sekali ketika Naya menatapnya dari kejauhan sebelum benar-benar masuk ke dalam mobil. Cukup lama ia tertegun menatap bagian belakang mobil yang mulai melaju menjauhinya. Membawa kekasihnya pergi. Ponselnya bergetar sekali, Noah membaca pesan yang tertulis dari Deni. Joanna Dinning – Joanna Hotels Lt. 9 Noah mengerutkan kening, mengingat-ingat di mana tepatnya lokasi hotel bintang lima itu. Di pusat kota? Noah bisa mencari tahu nanti. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD