Part 11

1630 Words
Willy Samudra masuk ke ruang makan menatap dua kursi kosong tempat seharusnya Naya dan Noah duduk bersama mereka untuk makan pagi. Kemudian beralih melihat istrinya, yang duduk sendirian memasang raut muram dan ekspresi wajah yang ditekuk ke arah piring kosong dengan tak berselera. Noah pasti menolak makan di rumah ini karena Eva membawa kembali Naya ke rumah ini –yang penuh kenangan  buruk bagi menantunya itu- tanpa seijin Noah. Yang mana tujuan istrinya membawa Naya ke rumah ini adalah agar ingatan Naya segera kembali dan membawa badai kembali menerjang ke dalam pernikahan Noah dan Naya. Ia sendiri tak bisa menyangkal niat buruk istrinya, karena selama ini diamnya disalah artikan sebagai persetujuan. Atas semua perbuatan buruk istrinya pada menantunya. “Kau tak perlu ikut campur urusan rumah tangga Noah lebih jauh lagi, Eva. Noah tahu apa yang dilakukannya dan mana pilihan terbaik untuk kebahagiaanya sendiri,” gumam Willy sambil mengambil tempat duduk di ujung meja. Eva menoleh dengan raut tak setujunya, lalu dengan suara menahan kesal, ia mengeluh, “Apa kau yakin perusahaan akan baik-baik saja setelah mengetahui kelas sosial wanita itu? Sudah cukup aku menundukkan kepala selama di pesta tadi malam. Aku tahu teman-temanku mencibir di belakangku karena wanita itu. Beruntung mereka tidak tahu tentang pernikahan mereka.”   “Sepertinya pernikahan mereka pun tak akan menjadi rahasia keluarga ini lagi.” “Aku tak akan membiarkah hal itu terjadi,” sumpah Eva dengan bibir menipis tajam. “Mungkin kau harus belajar terbiasa mengacuhkan sikap kekanakan mereka dan lebih memedulikan apa yang terbaik untuk anakmu,” sahut Willy dengan mantap. “Noah tak tahu apa yang terbaik untuk dirinya sendiri. Sudah tugas kita sebagai orang tua untuk menunjukkan mana yang jalan yang benar.” Willy menghela napas pendek. “Aku tak bisa membayangkan jika pernikahan mereka benar-benar diketahui teman-temanku. Aku tak akan sanggup mengangkat wajahku. Aku bahkan tak berani melangkahkan kakiku keluar dari rumah ini selangkah pun.” “Kau terlalu berlebihan memikirkan sesuatu yang bukan porsi kita.” Willy tak tahu cara pandang istrinya terhadap lingkungan di sekitar mereka, tapi selama orang-orang tak mengusik keluarganya, Willy Samudra tak pernah memberikan perhatian lebihnya untuk mengurusi hal tak penting seperti itu. Hal tak penting yang selalu dianggap serius dan berlebihan oleh istrinya. “Lagi pula, selama setahun memegang kendali perusahaan, Noah belajar dengan cepat serta bekerja sangat keras sehingga perusahaan berkembang sangat pesat seperti sekarang. Lebih pesat ketimbang aku yang memegangnya. Kau tahu benar siapa yang memicu semangat dan keberhasilannya. Sejak kecelakaan pun, kerjanya tak mengalami penurunan sama sekali. Aku bahkan tak punya kesempatan untuk mengeluh.”   “Apa kau membela wanita itu?” Mata Eva menyipit tak suka. Setelah putra kandungnya, apa sekarang suaminya ikut memusuhi dan memihak wanita miskin dan tak tahu diri itu?   “Naya, namanya Naya. Bukan begitu caramu memanggil seorang menantu, Eva.” Kali ini Willy menekan suaranya. Matanya mengunci manik Eva penuh peringatan. “Kau sudah kehilangan kasih sayang Noah untukmu, apa kau masih ingin kehilangan dirinya untuk kedua kalinya? Sekarang hanya itu yang tersisa, yang aku tak yakin akan bertahan berapa lama jika sikapmu masih seperti ini pada Naya.” Sekali lagi Eva kehilangan suaranya. “Aku tak akan berhenti sebelum ingatan wanita itu kembali dan menunggu apa yang akan terjadi dengan rumah tangga mereka. Aku masih punya kesempatan mengembalikan putraku kembali ke dalam pelukanku. Seperti yang kuinginkan,” tandasnya pada kalimat terakhir. Willy mengembuskan napasnya dengan keras dan dalam. Merasa lelah sekaligus iba dengan kekeras kepalaan istrinya. Jujur, pertama mengenal Naya, ia tak akan menyangkal dengan ketidaksukaannya pada wanita yang dianggapnya sebagai pemeras harta keluarganya. Yang menggunakan kecantikan untuk hidup bergelimang harta dengan cara yang mudah. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai memahami ketulusan dan kerendahan hati Naya. Memahami keadaan dan pilihan yang tak bisa ditolak oleh wanita malang itu. Cinta Naya pada Noah benar-benar tulus, tanpa syarat, dan benar-benar dari lubuk wanita itu. Satu-satunya cela yang membuat Willy begitu  menyayangkan nasib Naya adalah memiliki ibu dan kakak yang begitu serakah. Memanfaatkan Naya untuk menikahi pria kaya. Jika bukan Naya wanita yang telah menggenggam hati putra tunggalnya, mungkin ia tak akan peduli pada nasib sial Naya. Tetapi, jika bukan Naya yang menguasai hati Noah, ia tak tahu apakah akan memiliki kesempatan untuk memperbaiki hubungannya dan Noah. Karena Nayalah, Noah kembali ke rumah ini. Satu-satunya hal yang tak pernah bisa dilakukannya. “Saat ingatan wanita itu kembali, hanya wanita gila dan tidak waras yang memilih menerima suami yang telah mengkhianati dirinya dan membunuh anak mereka.” Eva mengakhiri perbincangan mereka. Berdiri meninggalkan meja makan dengan Willy yang tertegun oleh kekhawatiran yang mulai menjalari dadanya. Akan nasih pernikahan Noah dan Naya jika ingatan menantunya itu benar-benar kembali. Untuk pertama kalinya, kalimat istrinya terasa benar. Apakah Naya akan menerima Noah setelah tahu pengkhianatan Noah dan fakta bahwa Noahlah yang telah membuat wanita itu keguguran? Ia hanya mengharapkan yang terbaik untuk Noah dan Naya. Kemudian kepalanya menggeleng-geleng menatap punggung istrinya yang semakin menjauh. Kapan hati istrinya akan terbuka dan menerima Naya sebagai bagian keluarga mereka? Untuk kebaikan mereka berdua.   ***   “Kau yakin tak ingin memesan sesuatu untuk dimakan di rumah?” tanya Noah sekali lagi ketika pelayan membawakan bill ke meja mereka. Rasanya ia terobsesi untuk memenuhi kebutuhan gizi Naya. Tanpa kurang suatu apa pun. “Tidak, Noah,” yakin Naya. “Perutku benar-benar sudah kenyang.” “Mungkin kau ingin makan sesuatu saat di rumah.” Noah teringat saat membaca sebuah artikel tentang kehamilan. Biasanya ibu hamil akan makan kapan pun dan di mana pun saat mereka ingin. Bahkan tak heran saat tengah malam, wanita hamil akan terbangun karena bunyi perut yang lapar. Dan semua itu tidak terjadi pada Naya. Ia tak yakin Naya makan tiga kali sehari saat masih dalam keadaan hamil. Mengingat kata-kata dokter tentang kekurangan gizi dalam kandungan Naya, sudah jelas istrinya itu tak pernah memperhatikan asupan gizi yang masuk ke perut. Dan semua itu karena dirinya. Sikap dinginnya yang membuat Naya stres dan membuat bayi dalam kandungan istrinya ikut tertekan. Sebelum kemudian kecelakaan itu membunuh anak mereka. Sekaligus mengakhiri penderitaan yang ia berikan pada anaknya. Penyesalan kembali menyeruak membelah dadanya. “Jika aku ingin makan sesuatu di rumah, kokimu sepertinya tak akan membiarkanku kelaparan, Noah.” Naya mengingatkan bahwa ada seorang koki wanita yang dipekerjakan Noah di apartemen mereka. Yang selalu memberi Naya makanan tanpa perlu Naya meminta dan semua makanan yang dihidangkan selalu memanjakan lidahnya. “Baiklah. Jangan biarkan dirimu kelaparan,” pesan Noah sambil memberikan beberapa lembar uang pada pelayan itu dan beranjak berdiri. Membawa Naya berjalan menuju pintu keluar dengan lengan menempel di pinggang istrinya. “Naya?” Panggilan ringan dari arah belakang menghentikan langkah Noah dan Naya yang hendak menuruni tangga restoran. Naya menoleh, terkejut sesaat mendapati seseorang datang menghampiri dari arah dalam restoran. Wajah pria itu tampak tak asing di mata Naya, dan Naya bisa mengenali wajah itu dengan sangat baik. Banyu Atmadja. Dengan penampilan yang lebih dewasa dari yang ia ingat. Ia tak ingat kapan terakhir mereka bertemu. Apakah saat pernikahan mereka dibatalkan adalah terakhir kalinya mereka bertemu? Ataukah setelah itu mereka masih bertemu? Ataukah mereka masih berhubungan baik hingga sekarang? Banyu bukanlah tipe pria yang pendendam, sudah jelas hubungan mereka masih baik-baik saja, kan? Saat ini pria itu juga tengah tersenyum hangat padanya. Yang menandakan apa pun yang pernah terjadi di antara mereka, sama sekali tak menyisakan luka di hati pria itu. “Banyu?” Naya membalas sapaan Banyu meski merasakan tangan Noah yang melingkari pinggangnya semakin mengetat. Berbeda dengan Banyu yang tampak nyaman dengan keberadaan Noah, Noah sama sekali tak menunjukkan kehangatan menyambut kehadiran Banyu. “Hai, kau di sini?” Banyu mengangguk. “Ini restoran langgananku.” Naya mengangguk-angguk pelan. Sedikit merasa tak nyaman dengan kekakuan tubuh Noah di samping tubuhnya. “Bagaimana keadaanmu? Apa kau baik-baik saja?” Banyu mengabaikan ketegangan yang tampak begitu jelas di wajah Noah saat berhadapan dengannya. Ada alasan dua minggu yang lalu Naya tiba-tiba meminta pertolongan padanya dan mendatangi apartemennya. Ada juga alasan kenapa wanita itu tiba-tiba menghilang tanpa kabar setelah Noah membawa paksa Naya dan nomor Naya yang tak pernah aktif hingga sekarang. Tentu ia tak akan melewatkan kesempatan untuk bertemu Naya dan menuntut jawaban yang membuatnya tak pernah tenang memikirkan wanita itu sejak malam itu. “Aku ... baik.” Kecanggungan dengan keberadaan Noah dan Banyu di tempat yang sama semakin menjalari hatinya. Naya tahu benar bagaimana interaksi kedua pria ini yang tak bisa dibilang cukup akrab. Bahkan Noah tampak terlalu jelas melemparkan tatapan permusuhan pada Banyu meski Banyu tampak tak terlalu memedulikan sikap dingin Noah. Dan hanya memperhatikan dirinya. “Aku mengkhawatirkanmu karena tiba-tiba kau tak pernah kembali untuk membawa barang-barangmu dan nomor ponselmu tak bisa dihubungi. Aku sedikit lega bertemu denganmu di sini. Sepertinya kau baik-baik saja.” “Kita harus segera pergi,” bisik Noah sedikit menunduk dan mendekatkan bibirnya di telinga Naya. Sebelum Banyu berbicara lebih banyak dan mengetuk ingatan Naya. Pupil Naya melebar, tertarik dengan kalimat-kalimar Banyu yang tak dimengertinya. Memberinya pertanyaan-pertanyaan baru. Tak pernah kembali? Barang-barang? Ponsel? Ya, ponselnya memang menghilang karena kecelakaan itu, tapi barang-barang apa yang dimaksud oleh Banyu. Naya mencoba menggali ingatannya lagi. “Kami pergi,” ucap Noah dengan tatapan dinginnya pada Banyu. Menarik pinggang Naya menjauh dari Banyu, secepat mungkin. “Maafkan aku, Banyu. Kami terburu.” Naya belum sempat menyelesaikan kalimatnya dengan utuh saat Noah membalik tubuhnya menuruni anak tangga dan membawanya menuju mobil Noah. Banyu memandang kepergian Noah dan Naya dengan kernyitan aneh di keningnya. Bertanya-tanya dengan keanehan sikap Noah dan reaksi Naya terhadap penuturannya. Apa yang terjadi? Apa yang dilakukan Noah pada Naya? Seolah Naya tak tahu apa pun yang Banyu katakan. Bahkan Naya terlihat terkejut dengan kata-katanya. Pun dengan kecemasan yang sempat ia tangkap dalam garis wajah Noah. Seolah pria itu takut akan sesuatu dalam kalimatnya. Haruskah ia mencari tahu lebih jauh? Sepertinya hanya satu orang yang bisa membantunya. Arfa. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD