11

1335 Words
Happy Reading and Enjoy~ "Pangeran, mengapa Anda tidak datang kemarin? Saya sudah menunggu Anda di sana." Aslan mendongak, menatap tanpa ekspresi wajah guru Mino. Ia bimbang apakah dirinya belajar tanpa memberitahu identitas aslinya atau memberitahunya dan membiarkan guru itu memilih ingin mengajarinya atau tidak. Ingin setia padanya atau pergi, tapi kemudian Aslan berpikir ia tidak akan menyembunyikan apa pun itu dari guru Mino.  "Kemarin sebelum pergi ke lapangan, aku menemui Ibu terlebih dahulu untuk memberikan kain yang kutenun dan di sana juga ada raja. Aku mendengar Ibu berteriak mengatakan bahwa aku bukanlah anak raja dan seharusnya aku tidak berada di sini. Ibu sama sekali tidak peduli padaku, sekarang aku tahu alasannya. Apakah sampai kapan pun aku tetap tidak bisa mendapat kasih sayang dari orang-orang di sekitarku, guru? Apa guru juga akan menjauhiku seperti Ibuku dan dan para pelayan yang lain  saat mengetahui identitasku yang sebenarnya?" Aslan menunduk ia meremas jari-jemarinya. "Jika guru juga memilih berbalik badan dan menjauhiku, aku tidak punya siapa-siapa lagi, hanya guru harapanku satu-satunya, tapi aku tidak memaksa jika guru memang ingin meninggalkanku." Ia mendengar guru Mino tertawa terbahak-bahak, lelaki tua itu mengelus rambutnya pelan. "Pikiran macam apa itu, Pangeran. Saya di sini, saya tidak menjauhi Anda, saya tidak meninggalkan Anda. Saya akan tetap setia karena saya tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Saya bisa melihat masa depan Anda, Pangeran. Anda punya masa depan yang cemerlang, Anda akan menjadi raja Alasjar dan Anda juga berhasil merebut tahta yang sebenarnya memang milik Anda. Akan saya beri tahu rahasia besar." Guru Mino menunduk dan berbisik pelan di telinganya. "Di darah Anda mengalir takdir dari harapan para Dewa dan Dewi, Anda harus bangga, Yang Mulia." Aslan langsung melihat tangannya, mencoba meneliti keistimewaan dari tubuhnya seperti yang dikatakan Guru Mino.  "Kenapa harapan Dewa dan Dewi berada di tubuhku? Jika seperti itu, seharusnya aku menjadi anak yang spesial, tapi mengapa aku berakhir menjadi anak yang dibenci semua orang?" Guru Mino menghela napas pelan, lelaki itu berjalan ke arah balkon. Menatap langit-langit dengan tatapan menerawang.  "Ada banyak hal yang belum terungkap di dunia ini, Pangeran.  Sebagian membutuhkan waktu dan sebagian lagi membutuhkan keadaan yang tepat. Anda berada di dalam dua situasi itu sekarang, masih terlalu cepat jika ingin menunjukkan bahwa Anda pantas. Saya berjanji akan membuat mereka yang telah mengucilkan dan juga berbuat kurang ajar kepada Anda menjadi abu. Saat ini kita hanya berdua, kita tidak bisa mengalahkan mereka." Tangan guru Mino terulur, menunjuk cahaya putih yang berada di ujung jalan.  "Di sana ada tempat untuk mengasah kekuatan Anda dan tempat yang bisa mengubah Anda menjadi orang yang paling kuat, tetapi ada harga yang harus dibayar. Bukan berupa materi, melainkan pengorbanan. Di sana Anda bisa tumbuh menjadi orang yang lebih bijaksana dan Anda bisa pulang ke Alasjar sebagai orang yang punya kekuatan. Raja akan menunjuk Anda sebagai panglima perang, rakyat juga akan menyukai Anda. Seluruh cinta untuk Anda, Anda sendiri tahu bahwa orang yang mempunyai kekuatan akan dihargain. Jika hal itu terjadi, maka mau tidak mau tahta putra mahkota kembali kepada Anda. Untuk mewujudkan itu semua, Anda harus pergi ikut saya. Apakah Anda percaya pada saya? Karena kita akan pergi dalam waktu bertahun-tahun, bukan satu tahun atau pun dua tahun." Aslan langsung menggenggam tangan geru Mino.  "Saat ini orang yang paling kupercayai di dunia adalah guru. Aku akan ikut dengan guru kemana pun guru pergi." Guru Mino tersenyum, ia mengusap kepala Aslan. "Saya akan membawa Anda, tapi tidak dalam waktu dekat. Kita harus mempersiapkan kepergiannya secara matang. Karena Anda mengurung diri di dalam kamar, membuat aktivitas kita ketika kabur sangat mudah. Mereka tidak akan berpikir bahwa Anda akan keluar kamar, pada saat itu, saya akan menemui Anda melalui balkon. Anda tidak perlu bawa apa pun karena di tempat itu ada banyak anak-anak yang seusia Anda. Kita akan berbelanja baju-baju dan juga keperluan Anda di pasar. Ketika menuju tempat itu jangan katakan kepergian ini kepada siapa pun."  "Pasar?" Aslan berseru antusias. Ia belum pernah keluar istana, ia juga belum pernah mengunjungi pasar. Dari cerita pelayan yang didengarnya,  mereka mengatakan bahwa pasar itu sangat ramai, penuh dengan orang yang berteriak menjualkan barang-barang. Ia ingin melihat keramaian itu.  "Apakah kita sudah bisa pergi besok?" Guru Mino tersenyum. "Belum bisa, Pangeran." Wajah Aslan berubah sendu. Guru Mino membungkuk untuk merangkulnya.  "Karena saya akan membawa seorang pangeran kabur, tentunya istana akan  gempar dan mengerahkan seluruh pasukan untuk mencari Anda. Kita harus berhati-hati atau mungkin saja mereka mengadakan sayembara untuk menangkap saya dan bisa saja saya terbunuh sebelum sampai di tempat tujuan." Bukannya terhibur. Aslan semakin menunduk. "Tidak akan ada kejadian seperti itu, karena aku hanya pangeran yang tidak diinginkan. Ibu pasti senang, dan Ayah mau tidak mau menyembunyikan fakta bahwa ia  memiliki Pangeran lain selain pangeran Ozza." "Raja Kelihatannya tidak mempedulikan Anda,  tapi saya yakin beliau pasti sangat menyayangi Anda. Jika beliau tidak menyayangi Anda, mengapa dulunya tahta putra mahkota disematkan pada Anda, sedangkan Pangeran Ozza adalah anak pertama?" "Itu karena ... karena ..." Aslan manggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, ia mendongak untuk menatap guru Mino dan tersenyum lebar. Menampakkan giginya yang putih. Menyadari bahwa perkataan geru Mino benar. "Baiklah, ini sudah malam. Sudah waktunya Anda tidur, pangeran. Saya akan mengunjungi Anda untuk memberitahukan kabar kepergian kita."  Setelah mengatakan itu, guru Mino menuruni balkon dan pergi. Aslan langsung mengemasi buku-bukunya, ia tidak akan membawa buku-buku itu karena terlalu berat.  Aslan menoleh pada kain tenun yang dibuatnya. Apa sebaiknya ia memberikannya pada ibunya sebagai hadiah terakhir sebelum kepergiannya untuk waktu yang lama? Aslan tahu pasti Ratu Adalia tidak mau menerimanya, tetapi apa salahnya ini menjadi kenang-kenangan terakhir. Dia tersenyum, lalu segera berlari ruangan Ratu. Ketika ingin masuk langkahnya terhenti saat ada tangan pengawal yang menahan langkahnya. "Anda tidak boleh masuk, pangeran. Saat ini Ratu tidak ingin diganggu oleh siapa pun." "Tapi aku ingin memberikan sesuatu yang penting, tidak bisakah kalian mengatakan bahwa aku disini?" "Maaf, Ratu sudah berpesan bahwa tidak ada siapa pun yang boleh masuk kecuali Pangeran Oza dan juga raja." "Kenapa hanya Pangeran Ozza? Bukankah aku juga pangeran dan anaknya Ratu? Biarkan aku masuk atau aku akan melaporkan kalian pada Ayah." Kedua pengawal itu saling bertatapan, hingga akhirnya mereka memberi izin dengan mengetuk pintu terlebih dahulu.  "Ratu, ada pangeran Aslan di luar, ingin bertemu dengan Anda."  Terdengar sahutan dari dalam. "Apa kau tidak dengar apa yang kubilang tadi? Aku tidak ingin menemui siapa pun!" "Tapi Ratu ada hal penting yang ingin disampaikannya." Jeda cukup lama, sebelum akhirnya kalimat persetujuan dilontarkan. "Baiklah kalau begitu, suruh dia masuk." Pengawal itu langsung membukakan pintu. Aslan melangkah masuk, Ratu Adalia duduk di kursi meja rias, ada dua orang pelayan wanita yang sedang menyisir rambutnya. Aslan membungkuk untuk memberikan salam. "Salam sejahtera kepada Ibu, aku ingin memberikan ini sebagai hadiah. Hadiah yang aku kerjakan selama dua tahun ini." Ratu Adalia langsung berpaling, menatap tajam Aslan dan kain itu secara bergantian, dia berdiri, berjalan dengan anggun, lalu menerima kain tersebut. Ratu Adalia merentangkan kainnya, melihat gambar yang ada di sana, gambar dirinya, Pangeran Ozza, raja dan juga Aslan yang tersingkir. Sudut bibirnya tertarik ke atas, dia tersenyum sinis. "Gambar yang indah, Pangeran. Ternyata kau cukup tahu diri untuk menempatkan dirimu sendiri. Aku suka hadiahnya, lumayan bagus." Wanita itu berjalan ke arah sangkar burung, ratu memang memelihara burung merpati putih di kamarnya. Ia membuka sangkar itu, lalu menempatkan kain hasil tenunan Aslan di sana, menjadikan kain itu sebagai alas untuk burung merpatinya.  Happy Reading and Enjoy~ Ratu menatapnya Aslan dan menutup mulutnya, seolah-olah menyesal. "Maafkan aku, Aslan, tapi kain ini begitu kasar. Aku tidak bisa menyentuhnya, tanganku akan berdarah dan kebetulan kain ini cocok untuk merpatiku Lily." "Mengapa Ibu tidak pernah menyayangiku? Apa karena aku bukan anak ibu, tapi aku lebih pintar daribpada Pangeran Ozza. Aku juga lebih tampan. Tidak Bisakah Ibu menerima itu semua dan mulai melirikku?" "Apa kau bilang?" Suara ratu naik satu oktaf.  "Kau bilang kau lebih pintar dari pada anakku? Kau hanya anak b***k, jangan pernah berpikir statusmu lebih tinggi, berani-beraninya kau!" Ratu berteriak, dia menghampiri Aslan dan menarik anak malang itu secara kasar. Itu awal perubahan Aslan di mulai.  Bersambung ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD