Sarah menghela napas panjang dengan masih duduk di belakang rumah tetangganya, menyuci tumpukan piring di sana yang sedari tadi belum selesai-selesai. Perempuan itu datang membantu tetangganya yang anaknya ada acara nikahan. Beberapa orang duduk di ruang tamu membuat kue, beberapa lagi ada yang memasak dan di samping dapur ada yang sedang memotong-motong daging dan juga sayuran.
Ada juga sekumpulan yang sedang makan-makan bersama sembari mengobrol seru. Sedangkan, Sarah sendirian berada di belakang dapur mencuci semua piring kotor yang ada tanpa ada satu orang pun yang membantu.
Sarah berulang kali menghela napas merasa capek juga, apalagi tubuhnya sudah tidak sekuat dulu. Ia pun ingin beranjak berdiri untuk duduk di dalam, sekedar istirahat sebentar.
"Bu Sarah, mau kemana? Ini piringnya masih banyak." Kata ibu berdaster yang sesekali sedang mengunyah kuenya di tangan. "Ah, saya mau istirahat dulu sebentar bu. Kaki saya agak keram." Kata Sarah berusaha sesopan mungkin, namun si ibu malah mencibir dengan menyelonong pergi dan langsung membicarakan Sarah pada ibu-ibu yang lain.
Nenek angkatnya Elang itu pun menghela napas pasrah saat melihat tatapan orang-orang yang kini memandangnya rendah. Apalagi ibu yang tadi berbicara dengannya, malah terang-terangan mencibir ke arahnya.
"Kalau gak mau niat bantu, ya gak usah datang dong. Dikiranya kita di sini cuma duduk-duduk aja apa ya? Kita dari tadi juga capek karena masak." Cerocosnya dengan kembali mengambil kue dalam toples.
"Biasalah, bu ... orang yang kurang berada begitu kan emang suka ngelunjak. Dia datang ke sini pasti dengar kalau Bu Rika bakalan ngasih tips buat orang-orang yang datang membantu." Sahut yang lain menyebutkan nama yang punya rumah, "sekalian aja jadi pengemis."
"Sekarang kan pengemis berkedok jadi banyak hal, bu. Secara langsung mereka gak ngemis tapi ya ngemis juga."
"Cih. Kenapa juga Bu Rika harus nerima dia sih? Bajunya aja itu, sobek di belakang punggungnya. Malu-maluin komples kita saja,"
Sarah yang berada di belakang dapur bisa mendengar semua omongan tetangga-tetangganya. Perempuan yang rambutnya sudah beruban semua itu tersenyum saja dengan kembali melanjutkan pekerjaannya. Padahal ia datang karena memang diundang langsung oleh Bu Rika. Ia juga sebenarnya tidak mau mendekati tetangga-tetangganya karena mereka semua adalah kalangan berada. Jadi, Sarah merasa sungkan sendiri. Tapi, karena Bu Rika yang datang ke rumah buat minta bantuannya makanya Sarah ke sana.
Beberapa jam kemudian pun orang-orang yang datang bertamu berhamburan pulang. Piring-piring juga sudah selesai dicuci oleh Sarah. Entah itu piring bekas makan, mangkok, gelas bahkan sampai panci besar sekali pun perempuan itu cuci bersih. Setelah cuci pun ia melap piring-piringnya dan menaruhnya pada tempatnya. Orang-orang lain sudah ke depan teras mengobrol dengan Bu Rika yang punya rumah tanpa membereskan sisa pekerjaan mereka.
Sarah melangkah ke arah meja makan, masih ada tumpukan piring kotor di sana yang membuat ia menghela napas samar. Karena sudah berjanji akan membantu, ia tidak mungkin melakukannya setengah-setengah. Ia pun kembali menggulung lengan bajunya memperlihatkan kulit keriputnya yang karena terlalu terendam air, bahkan terkelupas.
Sebuah tangan lebih dulu datang mengambil ali tumpukan piring membuat Sarah mengerjapkan matanya kaget.
"Elang?"
Elang tersenyum lebar memandanginya seakan tidak terjadi apa-apa. "Biar Elang yang bersihin ini, aku juga kan harus bantuin Bu Rika dan keluarga karena selama ini mereka sudah baik mau membiarkan kita tinggal di rumah lamanya."
Sarah memandangi itu dengan merasa terenyuh melihat cucunya kini sudah menggulung lengan kemeja kerjanya dan duduk di sana.
"Padahal suara sirine sudah dibunyikan sedari tadi, kenapa nenek belum pulang juga?" Tanya Elang masih merunduk mencuci piring. "Rumah kita kan dekat, jadi gakpapa." Balasnya dengan duduk di ambang pintu, ingin membantu Elang mencuci piring.
"Nenek duduk aja, Elang bisa selesaiin ini sendiri."
"Tapi, kamu juga kan baru pulang kerja."
"Hari ini gak terlalu ramai, jadi tenaga aku masih utuh." Katanya dengan kembali tersenyum lebar menenangkan neneknya, rasa lelah Sarah seketika hilang begitu saja. Emang obatnya hanya Elang, bisa melihat cucunya tersenyum begini adalah kebahagiaan tersendiri buat Sarah.
"Kenapa kamu bisa tau kalau nenek di sini,"
"Kakek yang bilang, jadi Elang datang jemput nenek ke sini."
Sarah tersenyum haru dengan menganggukan kepalanya pelan. "Sudah selesai, kita harus segera pulang. Sekarang kan gak pulang kemalaman," kata Elang sembari beranjak berdiri dan sekilas melirik ke arah tangan neneknya yang keriput terkena air. Pemuda itu mengalihkan pandangannya berusaha terlihat biasa-biasa saja. Apalagi setelah sampai di ambang pintu tadi ia bisa mendengar sendiri omongan tetangga-tetangannya yang membicarakan sang nenek. Karena tidak ingin neneknya merasa sedih, akhirnya memilih duduk di depan rumah sampai suasana kembali tenang lagi.
"Bu Sarah masih di sini?" Bu Rika sudah mendekat dengan mengerjapkan matanya kaget.
"Iya, bu ... masih ada piring yang kotor."
Bu Rika menipiskan bibir dengan melirik ke arah Elang, "ini uang buat Bu Sarah karena sudah cucu piring," kata perempuan itu membuat Elang langsung menahan tangan Bu Rika dengan berusaha tersenyum tenang.
"Nenek saya tulus bantuin Bu Rika di sini, jadi tidak perlu kasih uang segala." Katanya dengan meraih tangan neneknya lembut, "dan satu lagi Bu, alangkah baiknya kalau yang mencuci piring orang yang lebih muda karena nenek saya sudah tidak terlalu tahan cuaca dingin. Dan kalian hanya sibuk ngurusin makanan tanpa bantuin nenek saya,"
"Elang," tegur neneknya menepuk pelan bahu pemuda itu.
"Saya tahu kok bu, alasan ibu manggil nenek saya buat bantu-bantu ke rumah. Karena nenek saya gak bisa nolak kalau disuruh. Tapi, bukan berarti kalian bisa seenaknya. Nenek saya ke sini bukan sebagai pembantu tapi tulus membantu," ujar Elang dengan rahangnya yang mengeras walau kemudian menganggukan kepalanya sopan. "Saya minta maaf kalau omongan saya terlalu kasar, kalau begitu saya dan nenek pamit pulang." Lanjut Elang lalu menoleh pada neneknya dengan menyempatkan tersenyum lembut.
Sarah pun membalas tersenyum dengan sekilas menganggukan kepalanya sopan pada Bu Rika yang masih merasa tertohok dengan ucapan Elang.
Elang dan neneknya pun melangkah keluar dari rumah megah itu. Pemuda jangkung itu masih memegang tangan neneknya erat dengan memperlambat jalannya agar menyesuaikan dengan langkah berat neneknya yang sudah tua.
Elang berhenti saat mereka kini berada di ujung jalan menuju rumahnya. Di depan mereka sekarang ada tanjakan yang lumayan tinggi, ada anak tangga yang pegangannya hanya dari kayu itu pun sudah lapuk karena terus-terusan diguyur hujan dan terkena panasnya terik matahari.
"Nenek naik ke punggung, Elang." Ujar pemuda itu sudah duduk merunduk membuat neneknya menggelengkan kepalanya menolak.
"Nenek masih bisa jalan, lagian kan nenek berat, kamu juga pasti capek."
"Buruan, nek. Sebelum Elang berubah pikiran," katanya masih mencondongkan tubuhnya membuat Sarah mau tidak mau mendekat dan mengalungkan tangannya pada sang cucu.
"Apanya berat? Ini nenek ringan banget, pasti kurang makan gara-gara mikirin Elang, kan?" Ujar pemuda itu dengan perlahan menaiki undakan tangga, sesekali memperbaiki tubuh neneknya pada punggungnya. "Kan emang begini beratnya, orang tua kan kulit sama tulangnya pasti sudah keriput ... makanya ringan." Elang sontak terkekeh dengan menganggukan kepala membenarkan.
Keduanya pun sudah berbelok ke gerbang kayu rumah, lalu menutupnya rapat. Kakeknya menyambut dengan tersenyum lebar melihat istri dan cucunya kini sudah sampai di rumah dengan selamat.
"Sirine dari tadi sudah bunyi, kenapa kalian baru pulang?"
"Tidak apa-apa, rumah kita juga dekat."
Burhan menaikan sebelah alisnya dengan melirik leher Elang yang nampak ada luka di sana.
"Elang, kamu berkelahi sama siapa?" Sarah yang hendak masuk kamar langsung menoleh kaget dan mendekat. "Itu leher kamu luka?"
Elang masih gelagapan dengan mengusap leher belakangnya pelan. "Sama vampire," nenek dan kakeknya sontak melebarkan mata lalu menarik sang cucu untuk duduk terlebih dahulu. "Terus kamu ada luka lain selain ini? Kenapa bisa sampai ketemu sama vampire lain?" Elang menggelengkan kepalanya tidak tahu juga. "Elang dalam perjalanan mau pulang, tapi tiba-tiba dihadang sama vampirenya."
"Terus, kenapa kamu bisa sampai di rumah? Apa karena sesama vampire makanya dia lepasin kamu?" Tanya kakeknya masih cemas, "bukan, tadi aja dia mau bunuh aku. Untungnya ada vampire baik yang datang nolongin saat aku lagi kesakitan."
Sarah mengusap bahu Elang merasa lega, karena cucunya bisa pulang dengan selamat.
"Apanya yang sakit, biar nenek coba obatin?"
"Sakit yang ini beda, nek. Elang ngerasa sakitnya dari dalam tubuh Elang." Jelasnya membuat Burhan dan Sarah saling pandang dengan makin mendekat serius, "vampirenya kuat banget ya sampai tubuh bagian dalam kamu juga kesakitan." Gumam Sarah merasa cemas.
"Bukan, sakitnya bukan karena vampire itu."
"Terus?" Tanya kakeknya masih kebingungan, Elang meneguk ludahnya kasar sembari menipiskan bibir. "Elang tadi sempat berubah, taring aku, sama mata aku benar-benar berubah jadi vampire." Jelasnya dengan merunduk dalam merasa cemas kalau kakek dan neneknya akan ketakutan.
"Apa ada pemicunya sampai kamu bisa berubah seperti wujud aslimu?" Tanya kakeknya berusaha tenang, "enggak tahu, Elang juga masih bingung. Yang jelas Elang berubah saat organ dalam aku serasa terbakar. Jantung Elang juga seperti mau meledak." Jelasnya membuat kakeknya mengernyitkan dahinya berusaha mencerna apa yang terjadi. "Ah, sama satu lagi ... Elang ngelihat dua anak kecil,"
"Anak kecil ngapain malam-malam di sana?"
"Bukan, nek. Di ingatan Elang, kayaknya itu potongan ingatan Elang, tapi aku gak kenal siapa dua anak kecil itu."
Kakeknya melirik sang istri yang masih menggenggam tangan Elang erat. "Anak kecil yang bagaimana?"
"Salah satunya terluka, dan yang satunya lagi pergi .... dan tempatnya itu di goa."
Burhan menganggukan kepalanya paham, sudah mengerti sekarang. Kalau pemicu Elang bisa kembali berubah wujud adalah potongan masa lalunya.
*****
Damar menggebrak mejanya kasar sampai berkas-berkas di atas meja berhamburan jatuh ke lantai membuat Dean dengan sigap memungut kembali merapikannya.
"Dia bilang apa? Dia bilang kita harus menutup kasus ini karena mereka menemukan bukti kalau korban-korban beberapa hari ini melakukan bunuh diri, bukan dibunuh?!" Kesalnya sudah tidak sadar meninggikan suaranya.
"Kita harus patuhi perintah atasan, senior. Kalau tidak, kita berdua akan dapat masalah." Kata Dean berusaha bersikap tenang.
"Emangnya menurut kamu masuk akal? Ada korban dengan lehernya yang ada bekas gigitannya dan juga jakaran, apalagi jantungnya tidak ada. Apa itu masuk akal kalau mereka bunuh diri?!" Sentak Damar sudah hilang kendali dengan menatap Dean tajam.
Pemuda jangkung itu menarik diri takut dengan menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Bingung juga berada dalam situasi ini, ia merasa dilemah. Tidak mengikuti perintah atasan ia akan dipecat. Tidak nurut sama senior ia akan kena masalah. Posisinya terlalu sulit sekarang.
"Atasan pasti nutupin sesuatu, gak mungkin mereka berbuat sejauh ini. Pasti mereka berusaha menyembunyikan pelaku sebenarnya." Kata Damar sudah mendudukan diri dengan menghela napas kasar, berusaha bersikap tenang tapi tetap saja emosinya masih belum bisa stabil.
"Sudah jelas kalau pelakunya adalah vampire," kata Dean menyahuti membuat Damar melirik ke arahnya.
"Seyakin itu kau kalau vampire itu beneran ada?"
Dean menganggukan kepalanya yakin, "emangnya senior gak ngerasa aneh, cuma vampire yang bisa ngambil jantung manusia sampai tubuh mereka kering begitu. Apalagi di leher mereka ada bekas taring kan, pasti vampire itu juga mengisap darah para korban sampai habis." Kata Dean merasa yakin dengan apa yang dikatakannya. "Bumi sekarang lagi sakit, jadi banyak hal yang bisa muncul untuk memporak-porandakan isinya. Bahkan, manusia sekalipun." Lanjut Dean dengan meneguk ludahnya kasar.
"Saya ... masuk kepolisian karena ada tujuan lain," ujar pemuda itu dengan menatap Damar lurus, "keluarga saya mati dibunuh oleh vampire, saat itu saya pulang telat karena ada kelas malam. Sampai di sana, saya menemukan orang tua dan kakak perempuan saya sedang digerogoti vampire." Lanjut pemuda itu lagi dengan matanya yang mengembun. "Saya ingin ... menangkap vampire-vampire itu dengan tangan saya sendiri." Katanya dengan menggebu-gebu. "Saya akan cari cara agar mereka semua bisa musnah dan meninggalkan bumi secepat mungkin." Damar mengerjapkan matanya memandangi pemuda di depannya itu yang terlihat mengucapkan perkataannya dengan sungguh-sungguh. Terlihat sekali, juniornya itu masih menyimpan dendam.
"Kalau begitu mari kita menemui kepala polisi, minta agar kita bisa menyelidiki ulang kasus yang belum tuntas ini."
Dean menganggukan kepalanya menurut dengan tersenyum lega. Akhirnya bisa menceritakan masalahnya yang selama ini ia tutup rapat. Entah kenapa ia jadi merasa ingin saling terbuka dengan sang senior yang terlihat tidak menanggapi curhatannya. Walau terlihat tadi ada kecemasan di wajahnya.
"Sekarang kita ke sana," ajak Damar sembari melangkah lebih dulu dengan berbelok ke arah ruangan yang kini berada di hadapan mereka.
"Apapun yang terjadi, jangan sampai goyah."
"Baik, senior."
Damar menghela napas sejenak lalu mengetuk pintu pelan, kemudian membukanya lebar membuat dua orang di dalam sana yang sedang mengobrol pun jadi menoleh kaget.
"Kau sedang apa di sini?" Tanya pria berperut buncit itu sudah berdiri. "Saya hanya ingin menyampaikan keluhan, saya menolak untuk menutup kasus pembunuhan kemarin. Tolong beri saya kesempatan untuk membuktikan kalau sebenarnya korban-korban kemarin dibunuh ... bukan bunuh diri. Emangnya masuk akal orang yang bunuh diri bisa ngeluarin sendiri jantungnya dengan tangan kosong?" Ujar Damar sama sekali tidak memberi atasannya untuk berbicara.
"Kau ini kenapa lagi, kita kan sudah membahas masalah ini tadi. Kenapa sekarang kau ungkit lagi. Sudah kembali kerjakan kasus-kasus lain, jangan terobsesi dengan kasus yang sudah ditutup ini." Damar menghela napas kasar mendengar jawaban yang tidak memuaskan itu. "Coba bapak posikan diri bapak sebagai keluarga korban, gimana kalau bapak ngelihat anak, atau istri bapak meninggal seperti itu? Apa bapak masih bisa berpikir kalau itu aksi bunuh diri?" Sahut Dean sudah maju membuat atasannya itu mengulum bibir menahan u*****n.
"Kau ini, menyumpahi anak istriku meninggal?"
"Sudah, sudah jangan terlalu ribut begitu." Kata sosok yang masih duduk di sofa, tangannya masih menggenggam gelas tehnya. Lelaki itu beranjak berdiri dan menolehkan kepala membuat Damar menaikan sebelah alisnya merasa aneh dengan aura orang di hadapannya itu. Tatapan matanya seperti kosong, senyumannya juga terlihat menakutkan dan juga ada lingkaran hitam di bawah matanya. Dan juga kulitnya yang pucat pasi, seperti terbangun dari kematian.
"Jadi, kalian ingin menangani kasus pembunuhan kemarin?" Tanya sosok itu tenang dengan masih mengembangkan senyuman ambigunya.
"Iya, karena terlalu mencurigakan ... kasus sepenting itu malah langsung ditutup tanpa ada alasan kuat." Sahut Dean dengan tatapan yakinnya.
"Alasan kuat? Kalau saya bisa dapatin alasan kuatnya, apa kalian mau menyerah sama kasus-kasus ini?" Kata lelaki itu dengan menaikan sebelah alisnya bertanya. "Apa emangnya?"
Lelaki itu merunduk, mengambil berkas di atas meja dan menyodorkan pada Damar di depannya. "Silahkan dibaca, biar kalian paham kenapa kasus ini ditutup." Ujarnya dengan nada tenang.
Dean mengernyitkan dahinya dengan perlahan mendekat ke arah Damar yang sudah membuka amplop cokelat dalam tangannya. Keduanya mulai membaca rentetan tulisan itu dan beberapa foto orang-orang yang ditemukan meninggal beberapa bulan terakhir.
"Ada jenis obat terlarang yang baru, yang kalau dipakai mereka bisa sampai kehilangan akal sehatnya. Bisa melukai diri sendiri sampai separah itu, bahkan beberapa kasus ada yang sampai membenturkan diri pada kendaraan yang sedang melaju." Jelas orang itu dengan masih tersenyum tenang, kembali duduk pada sofanya dengan sejenak menikmati teh hangatnya.
Damar masih membolak-balikan kertas dengan rahang mengeras masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang.
"Jadi, sudah dipastikan kalau mereka yang ditemukan meninggal kemarin adalah pemakai." Damar menggigit rahangnya belum bisa terima, "terus bagaimana fakta tentang bekas gigitan pada leher mereka itu?" Sosok itu terkekeh pelan dengan menggelengkan kepalanya lemah.
"Itu bekas suntikan yang melebar karena cakaran mereka sendiri, jadi jangan salah paham." Kata orang itu lagi dengan menyenderkan bahunya pada sofa.
"Jadi, maksud anda ... vampire itu tidak ada?"
"Vampire? Kau kira ini dunia fantasi? Jangan terlalu banyak nonton drama jadinya terbawa sampai dunia nyata." Ujar sosok itu sekilas memperbaiki dasinya, "saya tau kalian sekarang memang lagi semangat-semangatnya menangani kasus, makanya kalian terlalu terbawa suasana sampai tidak mau merelakan kasus ini ditutup." Damar mengeraskan rahang sembari melemparkan tatapan tajamnya pada orang di depannya itu.
"Dia ini sebenarnya siapa? Kenapa dia tau semua tentang kasus ini?"
"Heh! Dia ini kepala polisi, hormat sedikit." Damar sontak mengerjapkan matanya kaget dengan sekilas melirik lagi sosok yang terlihat sebaya dengannya itu. "Namanya Bapak Fathur, kepala polisi di cabang kita." Jelas atasannya lagi sudah tersenyum berbinar memandangi Fathur yang terlihat sekilas tersenyum padanya.
Damar dan Dean masih berdiri di tempatnya, keduanya enggan melangkah keluar karena masih belum bisa terima dengan alasan dan juga fakta yang ada. Tidak sesuai dengan apa yang beberapa hari ini mereka dapatkan. Seperti mereka sengaja mau menutupi kasus-kasus dan mengkambing hitamkan korban yang sudah meninggal.
"Kalau tidak ada lagi yang ingin kalian sampaikan, keluar sekarang. Ada yang mau saya bahas dengan Pak Fathur."
Damar dan Dean pun dengan berat hati melangkah keluar, walau sekilas melirik ke arah sofa. Fathur hanya mengangkat tangan, melambai kecil pada keduanya.
"Berasa ada yang aneh, senior." Ujar Dean saat mereka sudah berada di koridor.
"Bukan berasa ada lagi, tapi memang ada." Sahut Damar dengan mengernyitkan dahi berusaha memutar otak, "sekarang kita hanya perlu ikuti kemauan mereka buat gak ikut campur sama kasus ini." Kata Damar membuat Dean mendecak samar.
"Terus maksud senior, kita nyerah aja gitu?"
Damar menggelengkan kepalanya pelan, "bukan, kita hanya perlu membuat mereka percaya kalau kita sudah ngikutin kemauan mereka." Dean masih tidak paham karena senior berbicara berputar-putar. "Kita akan selidiki kasus ini diam-diam, hanya ... kita berdua." Mata Dean membulat sempurna dengan mengedarkan pandangannya takut ada yang mendengar obrolan mereka.
"Kalau sampai atasan tau, bukannya kita akan dipecat?"
"Itu konsekuensinya, saya tidak akan memaksa kau buat ikut. Itu terserah kau, karena pilihan ada di tangan kau." Dean mengerjap-ngerjapkan matanya samar berusaha menimbang-nimbang membuat Damar yang masih menunggu merasa jengah sendiri.
"Kau bilang keluargamu dibunuh sama vampire kan? Bukannya sekarang saatnya kau membalas dan mencari tau kebenarannya?" Damar berusaha membujuk dengan kerlipan penuh harapnya.
"Tapi, senior ... kita bakalan kena masalah kalau benar-benar nekat begini."
"Berarti kau menolak ya,"
"Bukan nolak juga, senior .... hanya saja," Dean menjeda omongannya dengan menipiskan bibir, "hanya saja?" Ulang Damar masih menunggu.
"Selain karena mau mencari tau tentang vampire, profesi ini juga sangat saya sukai. Makanya kalau sampai dipecat ... rasanya," Dean merunduk dengan bahu melemas membuat Damar mendecak saja.
"Berarti kau menolak,"
"Kalian sedang apa?" Keduanya tersentak kecil dengan memandangi Fathur yang baru saja keluar dari ruangan atasan mereka.
"Hanya mengobrol saja," balas Damar dengan berusaha tersenyum.
Fathur menoleh pada Dean dengan perlahan mendekati pemuda itu, menjulurkan tangannya memperbaiki kerah kemeja Dean.
"Profesi ini terlalu berharga untuk kau korbankan hanya demi mencari tau tentang apa yang sebenarnya tidak ada." Ujar lelaki itu masih tersenyum samar. "Seberapa pun usahamu mencari tau tentang vampire itu ada atau tidak, kau hanya akan menemukan zonk. Dan saat itu kau akan menyesali pilihanmu sekarang, jadi anak muda .... sebelum itu terjadi, pikirkan baik-baik." Lanjutnya lalu melangkah pergi begitu saja dengan sekilas melirik Damar dan tersenyum ambigu.
Damar sontak mendecak merasa tersinggung begitu saja, dan melirik ke arah Dean yang terlihat bergetar kecil.
"Kenapa?" Tanya Damar mendekat karena melihat wajah pucat pemuda itu.
"Saya setuju dengan rencana senior,"
Damar mengangguk saja walau merasa aneh dengan ekspresi Dean yang mencurigakan.