Vampire Darah Campuran

3010 Words
Arthur berdiri di depan gerbang kampus masih belum berani melangkah kakinya masuk. Beberapa mahasiswa sudah memadati aula untuk melakukan pemeriksaan seperti yang sudah diinformasikan kemarin. Pemuda itu menghela napas samar, meremas jemarinya kuat. Bukannya apa-apa, hanya saja Arthur takut kalau bertemu Alex dan teman-temannya lagi di dalam sana. Ia tidak ingin dijadikan samsak hari ini. Apalagi terakhir kali ada anak bodoh yang nekat menolongnya. Arthur terperanjat kecil saat mendengar bunyi klakson mobil di belakangnya membuat ia sontak menepi memberi mobil sport itu jalan. Ia bisa melihat ada Alex di dalam mobil terlihat melambai manis ke arahnya. Sekuat apapun Arthur menghindar pasti akan kena juga. Ujung-ujungnya ia pasti akan bertemu lagi dengan orang yang membuatnya ketakutan setiap melihatnya. "Arthur!" Arthur sontak melangkah mendekat dengan meremas tali ranselnya, menghampiri Alex yang sudah melangkah keluar dari mobil setelah memarkirkannya di parkiran kampus. "Kau kenapa takut-takut, begitu? Harusnya kan kau langsung datang kalau dipanggil. Itu kan yang biasanya binatang peliharaan lakukan?" Kata Alex sudah mengalungkan tangannya pada bahu Arthur. "Jadi, setiap aku panggil kau harus langsung datang. Jangan lelet kayak tadi, mengerti?" Arthur kembali menganggukan kepalanya dengan kepala yang masih merunduk dalam. "Sekarang harus periksa dulu, sebenarnya malas banget ikutan kegiatan begini ... tapi ya mau bagaimana lagi. Kita harus tetap menjadi murid teladan," katanya sudah melangkah cepat menyeret Arthur yang hanya pasrah saja. Keduanya pun sudah berdiri di ambang pintu aula, memandangi muka ketakutan beberapa murid lain karena tangannya harus disayat. "Kau tidak takut kalau tanganmu disayat?" Alex bertanya dengan menoleh pada Arthur yang hanya menggelengkan kepalanya pelan. "Benar juga, kau kan sering aku sayat ya tangannya. Jadi, sudah terlatih sejak lama. Berarti kau harusnya berterima kasih padaku, benarkan?" Lanjut Alex masih berisik dengan terkekeh sendiri sembari mengangkat tangan saat kedua temannya mendekat menghampirinya. "Kau sudah diperiksa?" "Sudah, nih." Kata temannya sembari menunjukan lengannya yang sudah diperban. "Ck, aku tidak mau periksa sebenarnya. Tapi, karena sudah ada surat resmi dari kampus jadi mau tidak mau harus ikut. Sialan!" Umpat Alex dengan menghela napas kasar. "Sakit banget, aku sampai keringat dingin." Ngadu temannya dengan bergidik sendiri, "tapi untungnya tadi langsung diobati sama senior cantik. Luka aku seketika sembuh," kekehnya dengan tersipu membuat Alex dan satu temannya lagi bergidik jijik ke arahnya. Suara langkah kaki mendekat membuat mereka semua yang berada di aula entah kenapa jadi kompak menoleh. Seorang gadis datang dengan langkah anggunnya, rambut panjang gelombang yang dibiarkan terurai, sosok itu mengenakan blouse putih v-neck dengan rok sepahanya dan juga sepatu high heelsnya. Tidak lupa tas selempang kecil sebagai pemanis. Semua mata cowok-cowok berbinar memandangi sosok cantik itu yang terlihat berhenti di ambang pintu membuat Alex yang terpana jadi berdehem samar berusaha bersikap cool. "H-hai," sapanya dengan menjulurkan tangan namun gadis itu malah membuang muka dan mengacuhkannya. "Arthur?" Alex tersentak kaget saat gadis cantik itu malah mengenali Arthur yang terlihat menatap sosok itu datar. "Kau kenal dia?" "Dia teman sekelas," "Oh ya? Emang ada manusia secantik ini dikelas kau, kok aku tidak tau." Kata Alex dengan mengernyitkan dahinya bingung sekaligus merasa menyesal kenapa tidak dari dulu dia tahu. "Kau ganggu, Arthur ya?" Tuduh gadi itu dengan menatap Alex tajam. "Enggak, aku sama Arthur adalah teman baik. Iya kan, Arthur?" Alex mencengkram bahu pemuda berkacamata tebal itu kuat mengancam. "I-iya." "Benar kan, kita teman dekat jadi ... kenalin namu aku Alex." Kata pemuda itu masih belum menyerah. Gadis itu pun menjulurkan tangannya dan menerima uluran tangan Alex yang sudah tersenyum tampan padanya. "b******k," umpat gadis itu dengan menggengam erat tangan kanan Alex sampai pemuda itu teriak kesakitan membuat kedua temannya menoleh kaget. "Kau mungkin bisa membodohi orang lain dengan tampang sok sucimu itu, tapi jangan berharap kau bisa membodohiku." Kata gadis itu lagi sembari menoleh pada Arthur yang hanya menghela napas panjang. Alex mengumpat kasar dengan meraih bahu gadis itu menahannya kuat, "siapa yang menyuruh kau pergi begitu saja?" katanya dengan rahang mengeras. "Lepasin!" "Kau akn kukasih pelajaran, mengerti?" Alex sudah mengambil ancang-ancang ingin menampar, Arthur yang melihat jadi membelalakan matanya, dan beberapa mahasiswa yang sedari menyaksikan keributan mereka jadi makin mendekat dan tegang. Alex mendecak samar saat tangannya kini digenggam kuat oleh sosok jangkung di sebelahnya yang sudah menatapnya tajam. "Kau mau memukul perempuan di sini, dan didepan banyak orang. Kau bisa ditahan kalau melakukan ini, apalagi ada banyak saksi di sini." "Kau siapa? Berani-beraninya datang menganggu!" "Saya polisi yang bertugas soal insiden pembunuhan kemarin, dan saya masih ada urusan di sini. Tadinya mau saya biarkan saja, tapi kau sudah terlalu keterlaluan." Kata sosok yang tidak lain adalah Dean itu. "Kau ngapain di sini?" Tanya Damar yang baru balik dari kamar mandi membuat Dean langsung tersenyum masam dan menarik tangannya dari lengan Alex. "Tadi ada kejadian yang tidak enak dilihat makanya saya hentikan." Ujar pemuda itu dengan menipiskan bibir. Arthur merunduk samar dengan melangkah mendekat, "saya minta maaf, ini semua salah saya karena membuat keributan." Ujarnya dengan menganggukan kepalanya kembali meminta maaf. Damar mendecak saja dengan menyuruh mereka bubar dan kembali melakukan saja pemeriksaan yang dilakukan pihak kampus itu. Damar sudah menarik Dean keluar dari aula, menyeretnya sampai ke parkiran sekolah. "Kau kenapa harus ikut campur soal murid di sini?" Tanya Damar sudah mengintrogasi. "Anak itu mau memukul perempuan, saya jadi teringat adik saya ... makanya saya gak biarkan." Damar mendengus samar dengan memegang alisnya merasa penat. "Lain kali jangan terlalu berurusan dengan mereka, tugas kita adalah menuntas insiden pembunuhan kemarin. Kalau sampai kita berbuat kesalahan dan mencari gara-gara dengan mahasiswa di kampus ini, bisa-bisa kita dipaksa berhenti buat nanganin kasus ini." Ujar Damar panjang lebar dengan berkacak pinggang. "Baiklah, lain kali saya akan lebih berhati-hati." **** Elang terlihat menghembuskan napasnya samar membuat kedua pipinya membulat. Pemuda bertubuh kurus itu melirik lengannya yang tadi disayat kecil oleh para senior di kampus guna mencari tahu apa ada vampire yang berkeliaran di sana atau tidak. Hampir saja ia ketahuan kalau saja regenerasi lukanya tidak terlalu cepat seperti vampire-vampire lain. Ia bahkan masih melihat bekas lukanya sampai sekarang. "Pelayan!" Elang sontak tersadar dari lamunannya lalu mendekat pada meja sudut yang baru saja memanggilnya. Salah satu dari mereka menyodorkan selembar uang ratusan pada Elang yang sontak menatapnya berbinar. "Terima kasih, tapi anda tidak perlu begini." Kata Elang walau tidak bisa menyembunyikan ekspresi senangnya. "Bicara apa anak ini? Tolong berikan saya rokok mentol di minimarket dekat sini, burun!" Titahnya dengan mengibaskan tangan. Elang melongo langsung di tempatnya. "Tapi, kalau anda harus pergi beli sendiri." Jelas pemuda itu dengan suara agak bergerar takut, melihat orang yang menyuruhnya barusan berbadan besar dan tatonya banyak. Bisa dibilang seorang preman. "Kau mau aku hancurkan restoran ini? Aku ini pelanggan di sini! Cepat pergi belikan?!" Ngamuknya sudah berdiri membuat Elang menoleh ke arah konter kasir dimana ada managernya di sana yang langsung mengibaskan tangan menyuruhnya pergi sana. "Baik, saya akan pergi belikan." Elang pasrah saja dengan berjalan lesu dan menyempatkan membuka aprroannya dan menaruhnya di atas meja samping tempat sampah. Pemuda jangkung itu pun sudah melangkah keluar dengan berjalan menyusuri trotoar. Berhubung minimarket tidak terlalu jauh dari tempatnya bekerja, jadi tidak apa-apa. Anggap saja ini sebagai sesuatu hal yang baik. Ia jadi bisa menolong orang lain. Elang pun sudah melangkah masuk dan tersenyum samar pada kasir yang menyambutnya. Ia pun menyebutkan merek rokok lalu menyodorkan uang untuk membayar. Suara sirine terdengar nyaring di luar sana membuat Elang tersentak kaget dan langsung melirik jam dinding di hadapannya. Tertera jam 11 malam di sana dan itu tandanya ia harus segera bergegas pulang. Kasir minimarket pun dengan cepat menutup minimarket dan berlari pergi begitu saja setelah Elang berada di luar. Ia pun berlari tergesa-gesa dengan menggenggam erat rokok pada tangannya. Setelah sampai di tempat kerjanya ia tersentak kecil melihat restorannya sudah ditutup begitu saja dan customer yang menyuruhnya tadi sudah tidak ada. Sembari menetralkan napasnya yang ngos-ngosan Elang duduk merunduk dengan mengusap wajahnya kasar. Apa setakut itu mereka terhadap vampire? Sampai orang yang terlihat seperti preman tadipun pergi begitu saja meninggalkan rokok dan uang kembaliannya. Padahal masih ada vampire yang tidak menyakit manusia dan lagipula belum tentu beneran vampire yang melakukan pembunuhan akhir-akhir ini. Bisa saja ada yang memfitnah kaumnya, agar vampire dibenci oleh banyak orang. "Ck," Elang mendecak dengan tersenyum kecut. Terlalu menjunjung tinggi harga dirinya sebagai seorang vampire. Padahal sudah terlihat jelas sekali kalau korban-korban yang meninggal itu ada bekas gigitan dan cakaran seperti yang biasa dilakukan vampire. Hanya saja, Elang tidak ingin membenci sebangsanya. Karena ia juga adalah seorang vampire. "Aku harus pulang sekarang, kalau tidak nenek dan kakek pasti cemas." Gumamnya dengan beranjak berdiri dan mulai melangkah cepat sembari mengedarkan pandangannya ke sekitar yang sudah sepi tidak berpenghuni. Bahkan, tidak ada satu kendaraan pun di jalan raya. Benar-benar kosong melompong. Elang kerja di restoran tadi hanya pada shift malam saja. Biasanya sampai jam 10 tapi karena ada customer yang seperti preman tadi memaksa dilayani sampai jam 11 kurang makanya ia dan teman-temannya yang lain terpaksa menuruti. Dan sampai tidak sadar kalau sirine sudah dibunyikan. "Gelap banget," gumamnya dengan berbicara pada diri sendiri. Elang masih melangkah tenang dengan rokok pada tangan kirinya, rokok milik preman tadi. Ia pun mempercepat langkahnya merasa mendadak merinding. Apalagi ia seperti berada di kota mati yang tidak ada penghuninya. Karena suara samar-samar orang pun tidak ada, apalagi kendaraan yang biasanya melewatinya kini tidak terlihat lagi. Elang tersentak kaget, saat sesuatu melesat di depannya secepat kilat dan kini berdiri di hadapannya dengan tatapan membunuh. Pemuda itu masih mengerjapkan matanya kaget dengan memandangi sosok vampire yang sudah mengeluarkan taringnya dan matanya berubah warna menjadi merah darah. "Kau masih berkeliaran malam-malam begini, berarti kau ingin menjadi santapanku." Kata vampire itu lalu melesat maju dan mencengkram leher Elang sampai terbentur pada dinding restoran di belakangnya. Apapun yang terjadi maafin Kak Lian, ya? Elang melebarkan matanya kaget saat sekilas melihat seorang anak ditinggal oleh kakaknya. Ditinggal setelah dilukai dan dibenturkan pada goa. "Siapa ... dia?" Gumamnya masih berbicara sendiri tanpa menyadari kalau vampire tadi masih mencengkram lehernya kuat sampai kuku-kukunya menusuk leher Elang. Elang meringis samar, bukan karena kesakitan karena cengkraman vampire di depannya itu atau pun karena dibenturkan pada dinding tembok dengan kuat. Ia merasa tubuhnya panas, dari dalam seperti organ-organnya terasa aneh membuat ia kesakitan sekarang. "Kau belum terlalu ku sentuh baik-baik, tapi sudah kesakitan begini." Kata vampire itu dengan tersenyum miring. Elang kembali menepuk-nepuk dadanya merasa tidak tenang dengan tenggorokannya yang terasa seperti sedang terbakar. Bayangan anak kecil tadi masih menghantuinya membuat ia kembali kesakitan setengah mati. "Baiklah, akan aku selesaikan kau secepat mungkin," Elang tidak mendengar karena masih sibuk dengan tubuhnya yang seperti terbakar. Vampire di depannya sudah merunduk dan mengarahkan taringnya pada leher bawah Elang dan ingin menggigitnya. Namun, vampire itu terlempar begitu saja saat Elang menepis tangannya membuat dinding trotoar sampai retak karena benturan vampire itu. Elang merunduk dengan masih berusaha mengendalikan tubuhnya yang terasa aneh tidak seperti biasanya. Bahkan, ia merasa ada sesuatu yang aneh pada dirinya. Ia beranjak berdiri memandangi pantulan dirinya pada kaca restoran yang membuat ia tersentak sendiri. Ia berubah sekarang ... bertransformasi sebagai vampire dengan mata merah darahnya. Sibuk dengan rasa sakitnya, Elang sampai tidak tahu kalau dua vampire kini tengah bertarung di depannya. Vampire yang satunya entah datang dari mana dan kini berusaha melindungi Elang dari serangan. Beberapa menit kemudian, vampire yang menang pun perlahan mendekat dan merunduk di hadapan Elang yang masih tersiksa. "Kendalikan dirimu," ujar sosok itu dengan meraih tangan Elang dan menggenggamnya lembut. "Pikirkan hal-hal yang menyenangkan buatmu," lanjut sosok itu lagi masih setia di depan Elang. "Dan sekarang ... pejamkan matamu," tambahnya membuat Elang menurut saja. Setelah itu pun Elang membuka mata dan mengerjap-ngerjap samar merasa kembali normal. Taringnya sudah menyusut dan hilang. Mata darahnya tadipun sudah berubah kecokelatan seperti biasa dan tubuhnya yang terasa panas tadi sudah tidak ia rasakan lagi. Berkat bantuan sosok di depannya ini. "Kau ... harus belajar mengendalikan kekuatanmu," "Kekuatan? Saya gak punya kekuatan." Elak Elang berusaha menghindari tatapan sosok di depannya itu. "Aku lihat semuanya, kau bisa melempar vampire tadi sampai jalanan retak, itu karena kekuatan kamu." Elang mengerjapkan matanya kaget dengan melongokan kepala melihat trotoar di depannya yang memang retak lumayan besar itu. "Kau merasa tubuhmu panas seperti terbakar kan?" "Iya, benar." "Itu karena kekuatanmu tidak diasah dan terlalu lama dipendam. Kalau kau sewaktu-waktu hilang kendali seperti tadi, bukan hanya orang disekitarmu yang akan terluka tapi kau sendiri juga." Jelas sosok itu masih menatap Elang teduh, "jadi sekarang mulailah dari hal-hal kecil, seperti memunculkan taringmu seperti tadi." Elang meneguk ludahnya dengan mengernyitkan dahinya bingung. "Ta-tapi, anda siapa? Kenapa mau menolong saya?" Tanyanya takut-takut dengan perlahan beranjak berdiri. "Saya hanya kebetulan lewat dan melihat kau sedang diserang vampire tadi," "Berarti anda vampire juga?" "Hm, benar." Elang menganga kecil merasa takjub ternyata masih ada vampire baik hati yang bisa ia temui. Buktinya vampire dengan tubuh jangkung itu mau membantunya. "Tapi, kenapa tubuhmu seperti tidak kasat mata ... masih terlihat seperti tidak bisa disentuh. Hanya seperti bayangan," "Ah, ini karena tubuhku belum sempurna." Elang mengernyitkan dahinya bingung, sebenarnya ingin bertanya lebih jauh tapi ia merasa ragu sendiri. Selain karena sosok di depannya itu orang asing, juga karena ia tidak ingin terlalu ikut campur dan lancang. "Sebaiknya kau pulang sekarang, keluargamu pasti sedang menunggu." "Iya, terima kasih sudah menbantuku." Ujar Elang sudah menganggukan kepalanya sopan lalu perlahan melangkah menjauh. Ia sekilas mengusap rambutnya ke belakang dengan kembali memicingkan matanya berusaha mencari tahu sebenarnya dalam ingatan yang sempat terlintas tadi itu siapa. Kenapa dua orang itu terasa familiar baginya. Dan kenapa saling melukai satu sama lain, padahal mereka terlihat seperti saudara. Sebenarnya siapa yang muncul dalam ingatannya itu, Elang ingin mencari tahu. Karena saat mengingat itu tadi tubuhnya mendadak panas. Ia tidak tahu kenapa sampai tubuhnya sampai bereaksi seperti itu. Pokoknya, Elang harus mencari tahu. **** Dalam sebuah ruangan remang-remang cahaya itu terlihat seseorang kini menikmati jamuan makan malamnya. Pria berumur 40-an tengah mengisap lengan dua perempuan yang kini dengan senang hati menyodorkan lengannya pada sosok yang bertelanjang d**a itu. Setelah puas mengisap darah gadis-gadis itu, Jeremy yang biasa disapa manis oleh gadis-gadisnya kini merebahkan tubuhnya di atas kasur sembari memasukan beberapa pil ke dalam mulut lalu kembali meraih lengan gadis lainnya dan mengisap darah mereka lagi, sebagai pengganti air minum. "Kalau badanku semakin kuat, aku bisa kan bertemu pemimpin The Ark yang katanya menjadi penguasa para vampire itu?" Ujarnya dengan menyenderkan kepalanya pada bahu gadis cantik di sebelahnya. "Kemungkinan bisa tuan, tapi sekarang banyak yang bilang kalau pemimpinnya hilang atau lebih tepatnya bersembunyi." Jelas laki-laki berbadan tegap itu kini berdiri di samping kasur Jeremy. "Kenapa dia sembunyi, apa dia takut? Atau tidak punya kekuatan lagi?" Jeremy terkekeh senang dengan mengerjap-ngerjapkan mata hitam pekatnya yang bersinar itu. "Ada yang bilang kalau dia sedang mencari seseorang." Jeremy menaikan alisnya tinggi dengan menegakan tubuh, "seseorang? Siapa?" tanyanya masih memandang orang yang sudah bekerja lama dengannya itu. "Orang yang pernah dia bunuh keluarganya, tapi anak itu satu-satunya yang selamat." Jeremy mengernyitkan dahinya bingung berusaha memahami apa yang sedang terjadi, "emang seistimewa apa anak itu sampai penguasa vampire mencarinya?" sosok berkemeja rapi itu menghela napas samar. "Dia vampire ODD-EYE," Jeremy sontak melebarkan matanya kaget dengan langsung tergelak begitu saja membuat semua yang berada dalam ruangan itu saling pandang dengan bergidik merinding. "Jadi, vampire yang katanya sudah meninggal dari puluhan tahun yang lalu itu ternyata masih hidup?" "Iya, tuan." Jeremy menganggukan kepalanya merasa antusias, lalu beranjak dari tempat tidurnya dengan melangkah ke arah jendela kamarnya. "Kalau pemimpin The Ark tengah mencari vampire berdarah murni dan bermata odd itu. Kita pun harus bergerak cepat, agar kita bisa mengambil alih kursi penguasa dan bisa menguasai bumi dan seisinya." Kata Jeremy menggebu-gebu. "Kalau kita berusaha mencari vampire itu berarti kita sedang mengangkat bendera perang terhadap The Ark. Karena mereka yang mengincar vampire itu pertama kali. Apa tidak mengapa?" Jeremy menganggukan kepalanya pelan dengan bersenandung senang. "Lagipula The Ark tidak ada apa-apanya, hanya menang terlahir lebih dulu. Kalau saja aku terlahir sebagai vampire sejak awal, mungkin aku akan sekuat mereka." Ujar Jeremy membanggakan diri. "Sekarang pun, aku sudah bisa mengendalikan kekuatan dan bisa dengan gampang mempermainkan pikiran lawanku. Jadi, tidak apa-apa kalau harus berperang dengan mereka." Tambah Jeremy percaya diri. "Apa sekarang saya harus memulai menyelediki vampire odd-eye itu?" Tanya pemuda berambut merah di sampingnya. "Hm, atau kita buat pesta saja ... kalau memang vampire odd-eye itu masih ada, dia akan datang dengan sendirinya ke pesta yang kita buat." Kata Jeremy dengan tersenyum miring, memikirkan ide gilanya. Jeremy masih mengembangkan senyum membuat kedua taringnya terpampang nyata kini. Taring yang masih terlihat ada bekas darahnya, bahkan disudut-sudut bibirnya masih belepotan darah gadis-gadis tadi yang disedotnya. "Tadi ada telepon dari kepolisian?" Jeremy menghela napas samar, "pasti mereka cuma minta stock darah kan? Kalau tidak mengkonsumsi itu mereka bisa mati." Laki-laki itu mengangguk membenarkan ucapan tuannya. "Kepala polisi yang bernama Fathur meminta bantuan, dia ingin bertemu dengan anda. Ingin meminta darah anda sebagai stock mereka ke depannya, mereka hanya ingin sekantong saja agar bisa bertahan lebih lama." Jeremy menggelengkan kepalanya pelan. "Biarkan saja mereka tersiksa seperti itu, semakin kau manjakan mereka maka akan semakin lancang mereka terhadapmu." Gumam Jeremy dengan meregangkan otot kepalanya. "Tapi, Fathur sudah berjanji akan melindungi organisasi kita dari jangkauan publik. Dan akan selalu melepaskan kita kalau sampai ketahuan membangun organisasi legal begini." Jeremy mendecak kasar dengan mata hitam pekatnya yang menyala. "Siapapun dia itu tidak penting, kau mau menurutiku atau manusia bodoh itu?" Laki-laki itu pun sontak meneguk ludahnya kasar dengan menggelengkan kepalanya berulang kali. "Bagus, jangan membangkang ... kalau kau membangkang begini. Bisa saja aku sedot darahmu sampai habis, berhubung darahmu juga terbilang manis." Kata Jeremy dengan tersenyum miring, "ti-tidak, tuan ... saya minta maaf. Saya tidak akan melakukannya lagi. Saya akan menuruti apa yang tuan katakan." Gagapnya sudah merundukan kepalanya takut. "Jadi, segera laporkan sama Fathur ... kalau kau masih mau hidup, lakukan seperti biasa." Kata Jeremy lagi dengan menatap jauh pemandangan di depannya. Ia menganggukan kepalanya senang, kalau ia bisa bertemu lebih dulu dengan vanpire odd-eye itu ia bisa menjadi vampire terkuat. Dan mungkin saja akan menjadi penguasa dari semua vampire yang ada. Ia tidak ingin diremehkan lagi karena kekuatannya yang terbatas dan hanya bertahan dalam kurun waktu tertentu. Karena itu ... dia membutuhkan darah dan jantung vampire odd-eye agar ia bisa menjadi vampire seutuhnya. Karena Jeremy adalah vampire berdarah campuran.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD