‘Ini menyakitkan.
Tapi dengan bodohnya aku terus bertahan.
Ini mencekik, tapi aku memilih mati perlahan, dan bertahan dengan sehelai rambut.’
Hari ini, masih seperti hari biasanya, Hana selalu bangun dengan harapan yang hampa. Pagi yang dulu biasanya dia habiskan untuk berbincang bersama pria itu, kini tak pernah bisa dia rasakan lagi.
Jika dulu, dia akan selalu bertegur sapa, lalu saling melempar senyum, tapi tidak untuk saat ini.
Semua hal yang pernah terjadi dimasa lalu hanya seperti sebuah angan percuma dalam sebuah ruang khayalan.
Hana menyadari jika rasa cintanya pada Vin membuahkan hasil panen yang buruk. Dia dibenci dan dijauhi oleh pria itu. Persahabatan mereka berubah menjadi sebuah derita dan neraka secara bersamaan.
Hana tak ingin membuang waktunya, wanita itu bergegas bangun dari ranjang tidurnya. Tak lupa dia membereskan tempat tidurnya yang besar tapi hanya dia yang berada di ranjang itu.
"Ck ...." Hana menggelengkan kepalanya, semuanya sangat salah saat ini. Semua yang dia lalui terasa hampa dan tak berarti. Bahkan untuk hidup saja terasa sulit.
Hana mengingat beberapa kalimat yang tak bisa dia hapus dari memorinya.
‘Kau memang memiliki ragaku, tapi hatiku tak akan pernah menjadi milikmu!’
Ucapan yang Vin lontarkan padanya waktu itu masih terus dia ingat. Kalimat super menyakitkan, dan sudah menjadi pertanda jika semuanya tidak akan berjalan dengan mudah.
Cukup sudah ... cukup untuk mengingat hal bodoh. Sekarang waktunya untuk menyiapkan diri, menghadapi hari baru, menghadapi neraka yang entah akan memberikan hukuman seperti apa.
"Aku merindukan apa yang tak bisa aku rindukan, aku mencintai apa yang tak bisa aku miliki, apa aku salah?" Hana melemah, senyum tadi berubah menjadi isak tangis pilu. Mencintai seseorang itu sangat menyakitkan, apalagi saat orang itu tak pernah memandang cinta yang kita miliki untuknya.
...
Vin baru saja bangun dari tidur lelapnya, pria itu membuka matanya perlahan, cahaya matahari masuk kedalam kamarnya melalui celah tirai putih yang belum tertutup sempurna oleh tirai merah marun miliknya.
Vin merasakan pergerakan kecil dalam dekapannya, pria itu tersenyum menatap seorang wanita yang kini sedang terlelap dalam pelukannya.
Wanita yang dia cintai dan dia lindungi selama ini, wanita yang berhasil membuatnya mengenal apa itu cinta, wanita yang mematahkan semua hati wanita yang mencintainya dulu, wanita yang berhasil memporak-porandakan seluruh hidupnya dalam hitungan detik.
"Engg ...." Wanita itu semakin mengeratkan pelukannya pada Vin, membuat pria itu tersenyum bahagia.
Dia tak pernah bisa merubah perasaannya pada wanita itu, cinta yang dia rasakan tak pernah lekang oleh waktu, dia tak bisa meninggalkan wanita itu.
Walau pada kenyataannya cinta yang dia miliki tak pernah mendapat restu dari keluarga besarnya. Tetapi tetap saja ... wanita itu tak akan ia lepaskan. Melawan keluarga, berbohong demi kebahagiaan mereka, itu bukan hal yang sulit.
Namanya Adela, wanita yang dinikahinya satu tahun lalu pada sebuah gereja kecil di Busan. Wanita biasa yang membuatnya sadar jika hidup itu terlalu berharga untuk hanya sekedar bermain.
Adela perlahan membuka matanya, mungkin tak ada bedanya ketika dia membuka atau menutup. Pandangan matanya tetap saja hampa, dan semua hanya ada kegelapan.
"Selamat pagi, Adela," sapa Vin sambil mengecup lembut kening wanita itu.
Adela tersenyum, lalu meraba wajah pria itu, menyentuh bibir tipis yang bau saja memberikan ciuma mesra padanya.
"Selamat pagi, Vin. Senyummu sangat indah. Aku bisa merasakannya, bibir ini tersenyum, dan mata ini memandang kearahku," ucap Adela sambil meraba bibir dan kelopak mata Vin.
Vin memegang tangan Adela yang berada diwajahnya, lalu mencium tangan wanita itu penuh cinta.
Adela tersenyum bahagia, dia sangat bahagia dengan cinta yang Vin berikan.
"Aku akan membantumu mandi dan mengganti pakaian, serta menyuapimu sebelum berangkat ke kantor," ucap Vin lembut.
Iya ... Vin tak pernah lengah mengurus Adela, semua karena dia mencintai wanita itu, dia tak ingin Adela merasa kekurangan.
Setiap hari dia akan selalu melayani istrinya, dan juga akan selalu dengan sabar mengurus Adela tercintanya itu.
"Adela, hari ini Aku akan pulang agak malam, aku akan meminta Clara dan Syahara mengunjungimu. Mereka akan menemanimu sampai aku pulang." Vin membelai wajah cantik Adela, ia memberikan kelembutan kepada wanita itu, tentu saja samil tersenyum manis.
Walau pun Adea tidak melihat semua itu, tetapi karena rasa cintanya yang tulus, ia berjanji akan selalu memberikan semua kehangatan dan kelembutan pada wanita buta tersebut.
"Ya, doaku selalu besertamu, aku mencintaimu," ujar Adela dengan begitu lembut.
"Baiklah, aku juga sangat mencintaimu. Ayo kita harus mandi." Vin segera mengangkat tubuh istrinya, ia kemudian menuju ke kamar mandi, dan akan membersihkan wanita tercintanya di dalam sana.
...
Hana baru saja selelsai mandi, wanita itu memutuskan untuk membaca buku yang ada dikamarnya. Ia meraihnya, lalu membuka lembar pertama. Senyumnya langsung merekah, dan dengan asyik ia memulai harinya yang tergolong sangat indah itu.
Jika kalian bertanya bagaimana ruangan yang dimiliki Hana, maka akan dijelaskan saat ini.
Hana tinggal di bawah mansion besar milik Vin, ruang bawah tanah pada kedalaman lima puluh meter. Ruangan itu memiliki satu ruangan besar, rak buku berjajar rapi di sana, dengan semua jenis buku yang sangat Hana sukai.
Jangan lupakan desain ruangan yang terhubung langsung dengan ranjang dan tiang pada ranjang yang dihiasi dengan kain sutra berwarna putih, ruangan itu memiliki cat berwarna merah marun, rak buku yang berwarna cokelat tua.
Sofa yang nyaman juga ada di sana, dengan meja baca yang ada pada sudut ruangan. Hana juga memiliki dua ekor kucing yang selalu bermain di kamar miliknya, menemaninya, dan kadang menjadi teman bicara untuknya.
Bukan rahasia jika Hana dulunya adalah wanita yang juga tak bisa lepas dari minuman beralkohol, di pojok ruangan terdapat mini bar dengan lemari kaca yang berisi sekumpulan wine mahal dan berbagai jenis minuman lainnya. Ada pula sebuah TV besar dan tertempel dengan sempurna didinding ruangan itu.
Kamar mandi yang besar dengan semua kemewahannya juga ada di ruangan tersebut.
Hana sering menghabiskan waktunya hanya untuk memandang matahari dari bawah, ada pintu yang didesain khusus dalam ruang bawah tanah. Ada sebuah taman kecil, di atas beratapkan kaca sehingga sinar matahari bisa masuk.
Hana tak pernah keluar dari sana, semua yang dia inginkan ada. Dia juga tak berani keluar karena Vin tak akan membiarkannya. Hana hanya bisa keluar jika Vin menginginkannya.
Hana kini sedang membuka lemari panjang yang berada didekat perapian hangat dalam ruangannya, memandang jajaran baju yang ada di dalamnya.
‘Aku hidup dalam sebuah Mansion bak istana, tapi aku hidup tanpa cinta dan pengakuan dari suamiku.’
Sungguh kasian, semua kemalangan itu bagaikan bola api yang membakar seluruh tubuh Hana, dia benci akan semua kenyataan, tak bisakah Vin membuka hatinya untuk dirinya?
Tak bisakah pria itu mencoba menerimanya hanya sekali, dan merasakan cinta yang dia miliki walau hanya sehari?
Hana kembali menangis, kenyataan menyakitkan tapi selalu dia jalani, dia akan mencoba bertahan meski hanya rasa sakit yang dia dapat.
...
Saat ini Vin sedang menuruni anak tangga yang menuju keruang bawah tanah dalam mansion, pria itu tak ingin Adela yang kini ada di meja makan tahu jika ada orang lain di mansion ini selain mereka dan seluruh pelayan yang ada disana.
Derap langkah Vin terus saja menggema, di antara dua buah tembok yang berjarak beberapa meter, dan membetuk sebuah lorong panjang dengan penerangan yang remang.
"Melelahkan," ucap pria itu sambil terus melangkah kedalam sana. Dia meminta izin pada Adela untuk memanggilkan seorang pelayan baru, yang tentu dikhususkan untuk melayani Adela.
Tak terasa saat ini Vin sedang berdiri di depan sebuah pintu, terdengar alunan musik lembut yang menggema dari dalam sana.
Vin membuka pintu itu tanpa mengetuknya terlebih dahulu, matanya melihat pintu di seberang sana terbuka, menampilkan sebuah taman mini yang ada di bawah tanah. Cahaya matahari masuk dengan bebas walau terhalang atap kaca. Di atas atap kaca itu terdapat sebuah kolam dengan air yang jernih dan berisikan ikan-ikan hias yang tentu juga mahal.
Vin melangkahkan kakinya perlahan, alunan melodi ini adalah alunan musik dari satu lagu kesukaannya, lagu pertama yang dia sukai, dan dinyanyikan seorang gadis yang juga adalah sahabatnya dulu.
Vin berhenti, menatap kearah wanita yang kini sedang memainkan piano di antara bunga-bunga disana.
Sedikit tersenyum, tapi semua itu tak bertahan lama. Vin mengubah pandangannya menjadi benci. Dia benci dan sangat membenci wanita yang kini memejamkan matanya sambil memainkan jemarinya diatas piano itu.
"Sial, aku tak bisa membiarkan dia bebas dengan mudah. Tidak Vin! Ingat ... dia adalah orang yang menyebabkan semua ini terjadi," ucap Vin pelan.
Pria itu melangkah cepat, kakinya semakin membawa tubuhnya mendekat kearah Hana.
"Berisik! Jangan pernah mainkan lagu itu lagi, p*****r!" bentak Vin.
Hana membuka matanya lebar, jemari yang sedang memainkan piano terhenti juga.
Wanita itu mengalihkan tatapannya pada Vin, sedikit tersenyum canggung pada pria yang kini menatapnya tajam.
"Ma-maaf, tapi aku tak tahu jika kau akan datang ke sini," ucap Hana agak gugup.
"Kau akan melayani Adela, dia adalah kekasihku, istriku, dan orang yang akan terus aku cintai."
Hana termenung, hatinya remuk dan hancur. Jika Vin memang sudah menikah, kenapa dia tak menolak semua perjodohan yang dilakukan keluarga mereka?
Hana juga kaget dengan kenyataan yang baru saja Vin katakan.
"A-adela?" Hana mengulang nama wanita yang baru saja dia dengar.
Vin menarik napasnya kesal, lalu menjambak rambut Hana.
"Akh ...." Ringis Hana saat anak rambutnya berada dalam genggaman Vin.
"Dengarkan aku, hanya kau dan pelayan dirumah ini yang tahu tentang Adela, jika sampai keluargaku atau keluargamu tahu, maka tamatlah riwayatmu," bisik Vin.
"Akh ... sa-sakit, lepaskan rambutku," pinta Hana. Wanita itu sampai menutup mata saat tangan Vin semakin menarik rambutnya dengan begitu kasar.
Tak bisakah pria itu bicara biasa saja, dan memperlakukannya dengan biasa?
Kenapa ... kenapa harus ada emosi dan kemarahan setiap kali mereka berjumpa?
"Berjanjilah dan bersumpahlah jika kau tak akan mengatakannya pada siapapun!" desak Vin.
Hana hanya meringis menahan sakit pada kulit kepalanya, dia marah, dia benci dan dia tersakiti.
Tapi sekali lagi, selalu ada kata maaf untuk seorang Vin, wanita itu bahkan tak bisa menyalahkan suainya atas semua derita yang dia terima.
Cinta yang teramat besar membebaskan Vin dari rasa dendam dan rasa benci dari Hana.
Beruntung sekali, bukan? b******n tak tahu malu dan sopan santun sepertipria itu, mendapatkan istri berhati malaikat, tetapi sedikit bodoh karena diperbudak perasaan konyolnya sendiri.
"Baik, baik aku berjanji." Akhirnya kalimat itu terucap dengan lancar dari bibir Hana, bahkan wanita itu beberapa kali menarik napas untuk mengucapkan apa yang hatinya dan otaknya tolak.
Vin melepaskan jambakkannya pada rambut Hana, lalu memandang kearah tangannya yang kini menggenggam beberapa rambut yang rontok.
"Ck ... kau sangat menjijikan. Bagaimana bisa seorang pimpinan perusahaan besar, memiliki putri yang sangat tak berperasaan sepertimu?" cerca Vin lagi.
Pria itu meraih korek dari dalam sakunya, lalu membakar anak rambut yang ada di tangannya.
Hana hanya diam, wanita itu menundukan kepalanya, tercium dengan jelas bau rambut yang terbakar.
"Akan menyenangkan jika kau mati dengan cara dibakar. Kemungkinan anjing-anjing di mansion ini akan menyukai dagingmu," ujar Vin.
Yang diajak bicara hanya menunduk, namun air matanya menetes deras dan membasahi tanah pada taman buatan itu.
"Bersiaplah, kau akan melayani Adela mulai hari ini. Ahhhh ya, jika dia bertanya siapa kau. Kau harus menjawab, jika kau adalah seorang pelayan baru, jangan katakan namamu siapa, carilah nama yang cukup pantas untuk seorang p*****r sepertimu." Vin membalik tubuhnya, lalu berjalan dengan santai menuju pintu keluar dari taman buatan tersebut.
Vin berhenti di depan pintu lalu tersenyum sinis di sana. "Jangan lupakan, jika sore ini kita harus pergi kerumah orang tuaku, berlakulah seakan kau bahagia. Poleslah wajahmu dan gunakan pakaian yang mahal. Bertingkahlah seperti wanita berkelas, jangan seperti seorang p*****r. Setidaknya penampilanmu tak akan membuatku malu." Setelah mengucapkan hal seperti itu, Vin langsung meninggalkan Hana. Ia merasa puas, sangat puas, bahkan ingin mengulangnya lagi.
...
Adela saat ini sedang duduk sambil tersenyum, para pelayan juga sedang menunduk hormat saat Hana memasuki ruang makan dalam mansion besar nan mewah tersebut.
Hana menatap lekat kearah seorang wanita yang kini sedang duduk sambil tertawa, atau sesekali tersenyum dengan semua candaan yang Vin berikan.
Sesekali juga Vin menyuapi Adela dengan penuh kasih sayang, atau memberikan minuman pada wanita itu.
Sakit ...
Hana mati-matian menahan semua air mata yang terus saja bersarang di pelupuk matanya. Airmata yang telah siap meluncur kapan pun.
"Sayang, pelayan pribadimu telah datang," ucap Vin lembut, matanya menatap Hana tajam.
"Pelayan, hari ini kau akan melayani Nyonya Adela, dan juga aku berharap kau becus mengurus Istriku." Vin dengan sengaja mengucapkan kalimat tersebut, rasanya sangat senang ketika melimat Hana menderita.
Hana hanya mengangguk, dia tak sanggup jika harus mengeluarkan suaranya. Suara yang kini sudah sangat serak dan bergetar.
"Jika aku bicara, sebaiknya kau menjawab dengan suaramu! Bukan anggukan." Vin memamerkan wajah kesalnya, ia mengganggam gagang pisau dengan erat, dan menahan diri untuk tidak melempari Hana dengan benda tersebut.
"Ba-baik, Tuan," jawab Hana.
"Eoh ... suara pelayan itu sangat lembut. Apakah dia masih muda?" tanya Adela.
"Ya, dia masih muda, Sayang ... dia akan melayanimu dengan baik. Ehem ... aku sudah menghunungi Syahara dan Clara. Mereka akan datang sekitar jam sepuluh, jadi bersiaplah untuk mendengar semua ocehan mereka.” Vin terlihat semakin menjadi-jadi, ia kini menciumi wajah Adela, dengan mata yang sesekali melirik Hana.
“Untukmu, temani istriku sampai kedua sahabatnya datang. Apa kau mengerti?" Pria itu menatap Hana lekat, lalu tersenyum remeh.
"Aku akan berangkat ke kantor," ucap Vin lembut pada Adela.
Hana hanya tersenyum miris, apalagi yang akan dia dapatkan dalam hidupnya, dan hasil dari buah cintanya kepada seorang Vin?
Vin mencium kening Adela dengan lembut, lalu memeluk istrinya itu. "Aku mencintaimu, Adela. Sangat mencintaimu."
Saat ini kaki Hana terasa sangat lemah, dia bagai tak sanggup berdiri dan menopang tubuhnya sendiri.
Dia ingin menangis, tapi air matanya terasa enggan untuk menetes saat ini. Dia merasa tak bisa menangis dengan bebas. Hana juga sangat ingin berteriak marah, tapi dia tak punya kekuatan lebih untuk hal itu.
"Ya, dan aku juga mencintaimu, Vin," jawab Adela.
Setelah mendengar jawaban Adela, Vin melangkah pergi, tentu juga dia tersenyum menang saat melihat Hana yang teramat sangat terluka karena dirinya.
"Aku berangkat," ujar Vin lagi.
__
Apa yang salah dalam sebuah cinta?
Bukankah perasaan itu tak bisa memaksa atau dipaksakan?
Apa aku juga salah jika mencintaimu?
Apa sebesar itu kesalahan yang aku punya sampai semua ini kau jadikan sebagai hukuman untukku?