KAU DAN DIA

1603 Words
‘Dalam diam aku hanya bisa memandangmu, merekam setiap tawa dan juga senyummu.’ __ Hana masih duduk dengan tenang di sofa dalam bilik kamar sepi miliknya, sesekali bibirnya tertarik keatas, dan membentuk sebuah senyuman manis di bibir tipis pucatnya. Di depan sana, sebuah televisi sedang menyala. Kini dia sedang menyaksikan acara dari salah satu stasiun yang kerap menayangkan Vin, orang yang diakui sebagai seorang suami. Ini sudah sebulan sejak pernikahannya dan Vin, tapi segalanya masih tetap sama, dingin dan sangat berbeda. TOK ... TOK ... TOK ... Suara ketukan pintu membuat Hana mengalihkan tatapan matanya, entah siapa yang ada di luar sana, tetapi Hana hanya berharap ada kabar baik. Ia ingin mendengar hal yang lebih manis dari hari kemarin, atau melihat senyuman hangat dari seseorang yang dekat dengannya. Wanita itu kemudian menghela napas, dan saat merasa dirinya jauh lebih baik Hana mengulas senyuman manis. "Masuk," ucap Hana agak keras. Wanita itu mematikan TV yang sedari tadi menyala. Pintu itu terbuka dengan lebar, seorang wanita paruh baya dengan pakaian khusus pelayan masuk kedalam sana. Wanita itu membungkuk hormat pada Hana, dalam sekejap ia juga berdiri tegak dan tersenyum.. "Nyonya, Anda ditunggu Tuan di meja makan," ucap pelayan itu agak gugup. "Apa kau tak bercanda, Pelayan Shin?" tanya Hana pada pelayan pribadinya itu. Ia tak menyangka hari ini akhirnya tiba juga, dirinya ... ya ... dirinya dan Vin akan bertemu, mereka bisa saja membiacarakan banyak hal menarik. "Tentu tidak, Nyonya. Saya baru saja berpapasan dengan Tuan," jawab pelayan itu sopan. Hana hanya mengangguk mengerti, dia juga heran, apa gerangan Vin mengajaknya makan bersama disana? Biasanya pria itu tak akan memanggil atau menemuinya jika tak ada yang terlalu penting dan mendadak. "Nyonya, saya permisi," ucap pelayan itu berpamitan kepada Hana. "Ya, dan terima kasih," jawab Hana, wanita itu tersenyum, senyum miris yang selalu menutupi semua kegundahan di hati kecilnya. Pelayan Shin berlalu pergi, tak lupa dia juga menutup pintu ruangan itu. Sepeninggalan pelayan Shin, Hana membereskan penampilannya. Ia mengikat rambutnya rapi, memoles wajahnya dengan sedikit make-up, dan menggunakan baju terbaik yang ia punya. Tak menunggu lama, wanita sudah siap keluar dari ruangan yang menjadi tempat dia menghabiskan waktu. Hana membuka pintu ruangan, didepannya kini hanya ada lorong yang bercahaya remang. Lagi dan lagi Hana hanya tersenyum miris, ia merasa sedih dengan keadaannya sendiri. Hana kemudian menepis semua pikirannya, ia melangkahkan kaki, menyusuri lorong yang akan mengantarnya pada tangga keruangan atas. Ruangan bawah tanah yang dihuni olehnya sangat nyaman. Sampai dia lupa jika dia hidup dibawah sebuah mansion mewah milik seorang pria yang juga adalah suaminya. Suami? Perasaan dan status itu itu hanya Hana yang mengakui, tidak dengan Vin. ... Vin duduk dengan tenang di meja makan, pria itu memandang tajam kearah pintu yang akan dilalui juga oleh Hana. Ada rasa kesal karena wanita itu sangat lama, dan ia sudah tak tahan jika harus menunggu lagi. Fiuh ... Helaan napas lelah itu entah sudah berapa kali terdengar di sana, sudah jelas pula helaan napas itu menjadi pertanda bosan. Vin memegang gelas berkaki panjang, lalu meneguk cairan wine yang ada di dalam gelasnya. Tepat saat cairan itu telah habis, Vin langsung menelannya. Pria itu menatap Hana yang baru saja datang, matanya memandang Hana penuh emosi. "Apa kau pikir aku punya banyak waktu untuk menunggumu, Hana?" tanya Vin dengan nada dingin. Hana yang mendengar ucapan suaminya menunduk, ia takut, dan tahu Vin akan kembali melakukan hal kasar kepadanya. “Wanita tak berguna.” Vin menatap Hana tajam, lalu ia meraih gelas dan memerhartikannya beberapa saat. Pria itu melempar gelas yang berada ditangannya kearah Hana. BRAK! Suara gaduh itu menggema nyaring, Hana hanya diam, menatap nanar kearah gelas kaca yang telah pecah. Ia tak pernah berpikir jika Vin akan melakukan hal itu, ia tak menyangka jika pria ituu ingiin menyakkitinya lebih dari yang sudah-sudah. “Jalang!” maki Vin. "Maaf, aku terlambat," ucap Hana sambil menunduk. Ketakutan? Jelas saja dia takut. Dia tak ingin mendapat celaan dan juga kekerasa fisik seperti terahir kali Vin memanggilnya. "Lupakan! Ada hal yang lebih penting. Bersiaplah besok sore, karena ibu ingin aku membawamu kerumah untuk acara makan malam keluarga," ujar Vin dengan wajah masam, pria itu pada dasarnya lelah harus beramah tamah dan mendrama segala situasi didepan keluarganya. Tapi dia tak bisa berbuat apapun, ancaman demi ancaman terus dia terima dari ibunya selama ini. Sejak Hana hadir dalam hidupnya, semua hal berubah menjadi mengesalkan. "Baik," hanya itu jawaban yang mampu Hana ucapkan, bahkan kini dia merasa semakin ketakutan. Matanya menatap ke arah lantai, dan melihat jelas kaca yang sudah terberai. Vin berdiri, sungguh dia tak tahan jika harus berada lama dalam satu ruangan dengan Hana, Wanita yang tak pernah bisa dia terima hadir dalam hidupnya. Vin melangkah pergi, saat berpapasan dengan Hana pria itu hanya berlalu. Tanpa bertanya atau berkata apapun. "Kaka, apa ... engg ... apa ayah dan ibuku juga akan hadir?" tanya Hana sebelum Vin benar-benar melangkah pergi dari sekitarnya. "Tentu," Jawab Vin dingin. Pria itu melangkah lebih cepat, ia tak ingin terus mendengar suara Hana. Besok adalah neraka baginya, dan dia tak ingin berada dineraka itu hari ini. Bagi Vin, Hana adalah neraka hidupnya, sumber penderitaan yang tak pernah bisa digantikan oleh penderitaan lainnya. Pria itu sama sekali tak mempunyai hati untuk Hana. Jika dulu dia masih sangat menyayangi wanita itu, semua berubah setelah perjodohan sialan yang dilakukan oleh keluarganya. Sepeninggalan Vin, Pelayan Shin menghampiri Hana, wanita paruh baya itu memungut pecahan gelas yang masih berada tepat didekat nyonya mudanya itu. "Nyonya, sebaiknya Anda kembali ke kamar. Saya tak ingin kondisi Anda menjadi semakin buruk," ucap pelayan itu pada Hana. "Baik. tapi, bisakah malam ini kau menemaniku Pelayan Shin?" tanya Hana. "Tentu, saya akan selalu ada untuk Anda, Nyonya," jawab pelayan itu lembut. Hana yang mendengar kesanggupan sang pelayan tentu saja senang, ia menghapus air matanya, lau berusaha untuk tersenyum. Tak berapa lama, Hana melangkah pergi. Sakit di hatinya masih sangat terasa. Vin tak pernah memperlakukannya dengan baik, kecuali di depan keluarga besar mereka dan didepan orang banyak. Vin selalu akan mencercanya saat datang kerumah, dan akan melakukan kekerasan fisik pada dirinya. ... Aku mungkin tak bisa lagi melihat senyum indahmu, tapi aku masih bisa mendengar suaramu, merasakan kehadiran dan cintamu. __ Adela saat ini sedang duduk sambil tersenyum pada seorang pria yang ada didepannya, wangi tubuh pria itu jelas saja membuatnya tenang. Suara pria itu menjadi nyanyian bagi hari-hari sepinya, nyanyian paling indah dalam hidupnya. Dia memang tak bisa melihat kehadiran pria itu, tapi dia bisa merasakannya, getaran cinta masih sangat terasa dalam hatinya. "Adela, apa kabarmu sayang?" tanya seorang pria sambil memegang lembut tangan Adela. "Aku selalu baik-baik saja, kau yang membuat aku terus merasa baik dan juga merasa sangat dicintai," jawab Adela denngan nada yang sangat lembut. Senyum indah wanita itu selalu terpampang dengan manis dibibirnya. "Maaf, aku terlalu lama pergi bekerja hari ini, maaf tak menemani hari-harimu," ucap pria itu lembut. "Jangan merasa bersalah, bukankah kau harus bekerja? Untukku dan juga untuk masa depan kita.". "Kau memang istri terbaik, aku sangat mencintaimu, Adela." Pria mencium lembut tangan mungil yang ada dalam genggamannya, lalu meletakan kepalanya di pangkuan Adela. Sedangkan Adela, wanita itu hanya tersenyum dengan pandangan matanya kosong. Saat sang suami meletakan kepala di pangkuannya, Adela membelai lembut rambut suaminya. Hangat, semua beban yang ada dalam hidupnya seakan runtuh saat ini, kenyataan kini dia tak bisa melihat wajah suaminya membuat Adela merasa hampa, dia merasa takut jika suatu saat suaminya akan pergi meninggalkannya. Tapi sekali lagi, pria itu membuatnya yakin jika mereka akan terus bersama dalam waktu yang sangat lama, bahkan sampai maut memisahkan mereka. "Suamiku, apa kau sudah makan?" tanya Adela lembut. "Humm ... aku sudah makan, tetapi aku sangat merindukan masakan istri tercintaku ini," jawab Pria itu. "Maaf, keadaanku sangat menyusahkanmu," ucap Adela sedih, wanita itu menundukan kepalanya. "Ssst ... aku mencintaimu, sudah cukup dengan kehadiranmu, aku merasa bahagia. Mungkin aku masih bisa hidup tanpa makan masakan buatanmu, tapi aku tak bisa hidup tanpamu." Pria itu mengelus pipi istrinya, ia merasa sangat senang kala bisa melihat wanita itu tersipu malu. "Kau terlalu banyak memberiku kata-kata manis." Adela tersenyum lagi. "Maaf, aku membuatmu merasa bersalah barusan." "Aku tak merasa kau bersalah, akulah yang bersalah. Seharusnya aku bisa membahagiakan dirimu, tapi ini apa? Aku buta, bahkan untuk melihat wajahmu aku tak bisa." Wanita itu terlihat sedih, jelas saja ia merasa jika kehadirannya menjadi beban bagi sang suami. "Kau memang tak bisa melihat wajahku lagi. Tapi aku, hatiku, dan cintaku hanya milikmu, hanya kau yang memiliki aku." Pria itu menggenggam tangan istrinya, ia mengecup tangan putih wanitanya dengan lembut, dan tersenyum kala mendengar detak jantung istrinya berpacu denngan sangat cepat. "Terima kasih, aku sangat mencintaimu, aku mencintaimu, Vin." Adela berusaha menahan air matanya, tetapi ia tak bisa. Ia malah menanngis semakin deras, tubuhnya juga bergetar. Tak menunggu lama Vin langsung menghapus air mata Adela, lalu mencium lembut kedua belah mata istrinya. "Jangan menangis, karena tangismu adalah nerakaku." Pria itu mengecup lembut bibir Adela, membuat sang istri memejamkan matanya. Ciuman singkat yang masih saja membuat jantung keduanya tak berdetak dengan baik. "Aku berjanji, akan menemukan donor mata untukmu, dan saat itu tiba aku akan membawa kemanapun kau ingin pergi. Maaf jika aku terlalu sibuk dan banyak melupakan waktuku bersamamu." "Ya, aku akan menunggu saat itu tiba," balas Adela lagi dan lagi. Keduanya saling berpelukan, mereka melupakan jika didunia ini masih banyak manusia yang hidup, dunia ini bagai hanya milik mereka sendiri. Pernikahan yang mereka jalani selama satu tahun ini, membuat mereka semakin saling memerlukan dan juga mencintai. Mereka selalu bisa lupa dengan semua kesakitan yang dirasakan kala bersama. Kau surgaku, dan aku surgamu. Kau nafasku, dan aku juga nafasmu Kau detakan jantungku, dan aku juga detakan jantungmu. Cinta memang gila, tapi itulah yang kau dan aku rasakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD