‘Cinta itu buta, dan aku juga sudah buta karena rasa cintaku padamu. Vin ... adakah saat kita bisa seperti dulu lagi? Apakah kau bisa menyisihkan satu hari hanya untuk mengenang kisah indah kita yang dulu?’
Hana menghela napasnya panjang, ia baru saja selesai menulis kata-kata bodoh di buku hariannya. Wanita itu menatap pada lembaran buku, ia kemudian menghela napas, dan menahan air matanya agar tak tumpah.
Rasa rindunya kepada sosok Vin begitu besar, ia juga ingin menghabiskan waktu walau hanya sebentar saja. Bicara baik-baik, membuang kebencian yang sudah ada selama ini.
Tapi ... itu jelas sebuah kemustahilan. Vin membencinya, bahkan mungkin pria itu akan senang jika ia mati.
Ahhh ... memikirkannya saja sudah membuat Hana tak mampu. Ia menghentikan semua pikiran bodohnya, kemudian memijat keningnya. Wanita itu kemudian berdiri, dan menuju ke arah tempat tidurnya.
Kepalanya terasa begitu sakit, ia perlu tidur, dan ia juga memerlukan ketenangan agar tetap bisa bertahan dari semua cobaan hidup yang berat.
...
Di tempat yang begitu jauh dari Hana, seorang pria sedang berdiri tegak sambil menatap foto seorang wanita. Ia tak henti-hentinya tersenyum, bahkan tangannya juga sedang mengelus wajah wanita di dalam foto.
Pria tampan itu menghela napas, kemudian kenangan indah di antara mereka mulai berputar, dan menyisakan rasa bahagia di dalam hatinya.
“Dami, apa kabarmu? Aku sangat rindu, aku juga sangat ingin bertemu denganmu.” Pria itu kembali mengulas senyum manis, ia terlihat begitu bahagia kala menyebutkan nama wanita di dalam foto. Jantungnya berdetak begitu cepat, membuktikan jika hanya dengan mengingat dan menyebut nama wanita itu saja sudah membuatnya bergetar.
Pria itu kemudian menghentikan senyumannya, sekarang ia malah merasakan duka yang begitu dalam. Pikirannya melayang, lalu rasa sesak mulai menyerang. Ia nyaris menangis saat ini, beruntung saja berhasil mengendalikan diri.
Rasa yang membuatnya tersiksa adalah cinta, perasaan yang hanya bertepuk sebelah tangan, lalu menyisakan ribuan luka. Ia yang selalu berjuang demi wanita itu, ia yang selalu menyayangi, dan ia yang selalu tulus untuk mencintai malah ditinggalkan.
Pria itu kemudian beranjak pergi, ia memilih duduk, lalu bersandar dengan mata yang menatap ke arah jendela kaca. Pria itu menghela napas panjang, menatap langit-langit ruangan.
“Apa jika aku kembali kau akan melihatku kali ini? Apa kau bisa membuka pintu hatimu? Dami ... aku sungguh mencintaimu, aku sangat mencintai dan menginginkanmu. Apa yang harus aku lakukan agar kau melupakan pria itu? Apa yang harus aku lakukan untuk membuatmu lupa akan kenangan buruk beberapa tahun silam? Katakan ... katakan apa yang harus aku lakukan. Dami ... aku gila, aku sangat gila.”
Pria malang itu kemudian memukul dadanya, ia memejamkan matanya lagi, dan mengingat semua ucapan Dami di masa lalu. Wanita itu hanya menganggapnya sebagai teman, wanita itu tidak akan pernah bisa mencintainya sebagai seorang wanita kepada pria.
Tok ...
Tok ...
Tok ...
Pria itu kemudian menghentikan semua tingkahnya, ia membuka mata, lalu menatap ke arah pintu. Segera saja ia duduk dengan benar, memasang wajah angkuhnya, lalu mengatur penampilannya agar terlihat lebih baik lagi.
Setelah siap, pria itu langsung saja menghela napas.
“Masuk!”
Pintu terbuka, masuklah seorang wanita cantik berusia sekitar tiga puluh tahun. Wanita itu langsung membungkuk, lalu pada detik selanjutnya berdiri tegap. “Tuan, saya baru saja menyelesaikan laporan yang Anda minta.”
“Letakkan di atas meja, dan kau boleh keluar sekarang juga.”
Wanita itu terpaku, ia sungguh ketakutan pada sang CEO muda nan tampan di hadapannya. Jujur saja, sejak pria itu mengambil alih perusahaan, semua orang menjadi khawatir, bahkan ada yang mengatakan dirinya tak lagi merasa nyaman dan aman.
Mereka banyak yang mengeluh mengenai sikap pria tersebut, bahkan semua orang bertambah takut saat sang pria memecat beberapa petinggi penting di perusahaan.
“Apa kau ingin aku memecatmu?” tanya pria itu.
Sekretaris itu kaget, ia langsung memucat. “Tidak ... maafkan saya, Tuan.”
“Letakkan, lalu keluar.”
Wanita malang itu langsung melakukan tugasnya dengan baik, ia kemudian beranjak pergi, dan merasa hidupnya nyaris saja berakhir tragis. Sungguh menyeramkan, bahkan Dewa Kematian juga bisa saja takut kepada pria tersebut.
Sesudah wanita itu berlalu pergi, di dalam ruangannya pria itu segera meraih ponselnya. Ia merasa bosan dengan semua pekerjaan, lalu memutuskan untuk menghubungi seseorang.
Tangannya dengan cepat menari pada layar ponsel, dan setelah selesai mengetik pesan, segera saja ia mengirimkannya pada seseorang.
“Hah ... membosankan sekali,” ujarnya.
...
Hana kini sedang duduk dengan kepala tertunduk, ia berada di kamar yang Adela dan Vin tempati. Rasa sesak masih begitu terasa, bahkan saat ini rasa itu sudah semakin memenjarakannya. Hana melirik kiri dan kanan, ia bisa melihat isi kamar dan cara penataannya yang sudah pasti diatur sendiri oleh Vin.
Selain melihat cara penataan kamar yang benar-benar sesuai dengan selera Vin, Hana juga harus melihat foto Adelan dan Vin yang terlihat begitu bahagia. Mulai dari foto pernikahan, foto biasa, dan masih banyak lagi foto yang sangat ia yakini diambil saat Adela masih bisa melihat.
‘Mereka terlihat sangat bahagia, mereka juga begitu serasi.’ Hana tersenyum getir, rasanya ia sedang dicekik oleh seseorang saat ini.
Hana yang sudah tak ingin menyakiti diri sendiri memalingkan tatapannya kepada Adela. Ia kemudian bertanya, “Kakak ... kenapa kau bisa buta?”
Adela hanya tersenyum kecil. Haruskah ia mencerita kejadian naas itu pada Hana? Haruskah ia membuka aibnya dan juga Vin kepada pelayannya itu?
“Ma-maafkan pertanyaanku. Ti-tidak perlu menceritakannya, aku ... aku hanya sedang penasaran, dan aku menjadi sangat tidak sopan. Maafkan aku, maaf.”
“Maafkan aku, Hana. Aku sungguh belum bisa menceritakannya. Apa kau marah?” tanya Adela.
Hana segera menggeleng, ia tidak marah, ia sungguh memahami apa yang Adela rasakan. Sungguh berat jika harus menceritakan keadaan yang sebisa mungkin ingin kita lupakan, apalagi kejadian yang ada telah merenggut banyak hal berharga.
“Hana?”
“Y-ya ... tidak masalah, Kakak. Aku bisa memahaminya, jangan terlalu dipikirkan.” Hana berusaha meyakinkan Adela jika ia baik-baik saja, ia tentu tak ingin wanita itu salah paham dengan reaksinya beberapa saat lalu.
Adela yang mendengar jawaban Hana tentu saja merasa lega. Wanita itu kemudian menatap ke arah dinding, tatapan yang begitu hampa. Ia menghela napas, lalu kembali tersenyum agar tidak semakin menderita dengan keadaannya yang cacat.
“Hana, bisakah kau menceritakan tentang kisah cintamu padaku?” tanya Adela.
Hana menelan ludahnya kasar, ia bahkan tak tahu harus memulai ceritanya dari mana. Wanita itu menggaruk kepalanya yang sama sekali tak gatal, ia kemudian menarik napas panjang, lalu mengembuskannya secara perlahan-lahan.
“Apa kau juga keberatan?” tanya Adela.
“Baiklah, aku akan menceritakannya sedikit.”
Adela merasa senang, ia kemudian meraba sekitar, dan saat menemukan tangan Hana ia segera menggenggamnya. “Terima kasih, aku sangat siap mendengarkannya.”
-FLASBACK ON-
Sore yang indah di sebuah pantai, kedua anak adam dan hawa sedang berjalan sambil bergandengan tangan. Keduanya memamerkan senyum bahagia mereka, Sedangkan matahari sedang bersiap kembali ke dekapan malam, tertidur di sebelah barat dan mengarungi mimpi sampai ke sebelah timur.
“Kenapa ingin ke pantai hari ini?” tanya Hana, ia menatap pria yang ada di sampingnya, lalu berharap mendapatkan jawaban secepat mungkin.
“Hana,, aku hanya ingin mengatakan jika aku mencintaimu. Apa itu aneh?”
Hana tersenyum. “Itu bukan hal yang aneh, aku juga merasakan hal yang sama, dan aku suka saat kau membawaku ke tempat ini.”
Pria itu menghentikan langkah, ia kemudian menatap Hana yang juga menatap padanya. “Aku akan selalu mencintaimu, aku akan menjagamu, dan aku akan selalu ada untukmu.”
Hana merasa tubuhnya gemetar, pernyataan cinta itu sangatlah tulus, apalagi kala ia mengamati dengan saksama manik mata pria tersebut.
“Benarkah?” tanya Hana. Ia sengaja mengeluarkan kata itu, ingin melihat seperti apa pria itu meyakinkan dirinya.
“Ya, aku sangat serius.”
“Vin … apa yang bisa menjadi bukti jika kata-kata itu memang benar?”
Vin segera meraih tangan Hana, meletakannya pada d**a sebelah kiri. “Apa kau merasakannya? Aku selalu seperti ini jika bersama denganmu. Detakannya terus dan terus melaju, bahkan aku sangat gila dan rasanya ingin mati ketika tidak melihatmu. Aku ingin selalu dan selalu bersamamu, aku tak ingin berpisah denganmu. Selamanya hanya kita, selamanya tanpa adanya orang lain.”
Hana yang merasakan detak jantung Vin tak bisa menahan senyumannya, ia merasa sungguh bahagia. Vin membuatnya terbang sampai ke surga, pria itu … ya … pria itu membuat terus dan terus jatuh cinta.
Hana memejamkan matanya, selain merasakan bahagia, kini wanita itu juga harus menahan rasa sakit kala jantungnya berdetak dengan sangat cepat. Ia berusaha tetap bertahan agar Vin tidak menyadarinya, ia kemudian membuka mata, dan mengulas senyuman.
Air matanya menetes begitu saja, rasa sakit semakin menyiksa, dan rasanya ia nyaris mati.
“Hana, apa kau sakit?” tanya Vin.
“Tidak … aku … aku terlalu bahagia,” balas Hana dengan penuh dusta.
“Hana, apa kau ingin menikah denganku?” tanya Vin.
“Hana yang mendengar pertanyaan itu mengangguk, lalu Vin juga langsung menciumnya. Wanita itu semakin merasa kesakitan, lalu ia tetap berusaha membalas ciuman Vin meski rasanya nyaris mati.
Ketika Hana tak bisa lagi bertahan, ia langsung menutup mata, dan berakhir tak sadarkan diri.
-FLASBACK OFF-
Adela tertawa kala mendengar Hana bercerita, ia tak menyangka jika saking gugup dan senang Hana hampir saja terkena serangan jantung.
“Jadi kau malah pingsan pada saat-saat terakhir. Astaga, Hana, apa itu ciuman pertamamu?”
Hana yang bisa melihat senyuman Adela merasa senang. Ia kemudian menjawab, “Ya, aku mengira akan mati saat itu. Jantungku terasa semakin sakit, napasku begitu berat, tubuhku sangat gemetar. Aku menangis hebat karena bahagia, lalu saat dia menciumku, aku malah tak sadarkan diri. Sungguh … itu sangat memalukan bagiku, Kakak.”
Adela yang mendengar itu kembali tertawa, ia sungguh merasa lucu dengan reaksi Hana. Entah bagaimana Hana melewati harinya setelah kejadian itu, yang ia yakini wanita itu pasti nyaris mati karena mendapat ledekan dari pria yang diceritakannya itu.
“Jadi, siapa nama pria itu?” tanya Adela yang sudah berhasil menghentikan acara tawanya.
Hana langsung tegang, ia tak tahu harus menjawab seperti apa.
“Namanya rahasia,” balas Hana.
“Kau jahat sekali, padahal aku ingin sekali tahu namanya.”
“Eum … aku akan memberitahukannya lain waktu. Sekarang, Kakak harus menceritakan juga bagaimana kisah bersama suami Kakak,” balas Hana.
“Baiklah, aku kana menceritakannya saat kau juga mengatakan nama pria itu padaku,” ujar Adela.
Hana merengut, tetapi ia segera merasa sangat gugup karena melihat Vin yang sudah berdiri di dekat pintu. Wanita itu menjadi pucat, ia menundukkan kepalanya.
Takut … dirinya sangat takut. Vin sedang menatapnya begitu tajam, pria itu mungkin saja marah besar karena ceritanya beberapa saat lalu.
“Vin, aku tahu kau sudah datang. Apa kau menguping pembicaraan kami?” tanya Adela. Wanita itu bisa menyadari kehadiran Vin hanya lewat aroma tubuh pria itu. Parfum yang sering Vin gunakan sangat khas, begitu berbeda dari parfum lainnya.
“Menyebalkan, apa aku harus berdiri lebih jauh lagi agar kau tak mengetahui kehadiranku?” tanya Vin. Ia kemudian menghampiri Adela, dengan cepat pula pria itu langsung menghadiahkan ciuman pada kening istrinya yang buta itu.
Hana menarik napas panjang, ia kemudian mengalihkan tatapannya ke arah lain. Hatinya menjerit, jiwanya kembali merana saat ini. Kapan … kapan Vin bisa melakukan hal yang sama padanya?
Air mata Hana tumpah begitu saja, tetapi dengan cepat ia langsung menghapusnya. Wanita itu menarik napasnya lagi, lebih panjang, dan mengembuskannya dengan sangat tenang.
“Keluarlah, aku ingin bicara dengan istriku.” Vin melirik Hana.
“Saya permisi,” ujar Hana.
Adela hanya mengangguk, sedangkan Vin sudah menyeringai.
Hana yang sudah melangkah ke arah pintu segera mempercepat gerakan kakinya, ia kemudian membuka pintu, lalu menutupnya dengan perlahan.
Hatinya kembali hancur, melihat bagaimana semuanya terjadi. Ia menangis, lalu berlari ke arah tangga.
‘Tuhan … ini sangat sakit. Aku sudah tak mampu, sungguh … aku rasanya ingin mati!’