"Eh tuh ... tuh, si Pani dianter sama Yoga." Sheryl menunjuk ke depan, pada sebuah Land Rover familier di mata Radit.
Fani turun dari sana, tersenyum lembut pada pria di belakang kemudi lantas melambaikan tangannya begitu mobil itu bergerak pelan meninggalkan gadis itu.
Sheryl melirik ke arah Radit dengan senyum getirnya. "Masih belom bisa move on dari Fani ya?"
Radit membetulkan letak arlojinya lantas melambaikan tangannya ke arah Fani dengan senyum seterang matahari. Pria itu melirik Sheryl yang masih saja menyorotnya dengan tatapan prihatin.
"Lo nggak perlu kuatir sama gue, terlatih patah hati dari jaman pernikahan pertama mereka. Jangan sampe Fani tau soal gue yang hampir gila kayak gini, awas lo," bisik Radit dengan gerak bibir yang teramat cepat.
"Ampun kalian pagi banget berangkatnya," sapa Fani begitu gadis itu berada di dekat Radit dan Sheryl.
Seperti pesan Radit untuk bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, Sheryl mempoutkan bibirnya begitu Fani menggamit lengannya dan lengan Radit dengan enteng.
"Lupa ya? Temen jomblo kita ini emang suka nyari ribut pagi-pagi sama gue, Pan." Fani melirik Radit yang melotot ke arah Sheryl.
"Kok gue sih?" seru Radit tak terima.
"Ya kalo elo nggak dateng pagi-pagi ke rumah gue tadi, suami gue nggak bakalan ngambek terus berangkat pagi banget ke kantornya," omel Sheryl gemas.
Fani ngakak. Emang kebiasaan Radit tuh nyari ribut kalau ketemu Sheryl, meski begitu Sheryl tak bisa menolak keinginan cowok itu. Saking sayangnya sampai suami Sheryl sering banget mempertanyakan hubungan kedua orang itu.
Tapi, Sheryl tetaplah Sheryl. Cewek itu memang selebor banget kalau ngomong, nggak tingkahnya, nggak omongannya pasti b****k. Tapi, kasih sayangnya dan loyalitasnya pada sohibnya ini juga tak bisa diragukan.
Berulang kali Sheryl bilang, "Mau suami gue cemburu, yang namanya sohib harus diutamakan. Soal suami, kalau marah ntar juga bisa manja-manja biar marahnya adem."
"Lo udah makan, Dit?" tanya Fani menolehkan kepalanya ke arah pria itu. Radit menatap Fani sekali lagi, dengan senyum.
"Belom makan sih, niatnya pesen grabfood nanti siangan dikit," jawab pria itu kalem.
Sheryl pasang muka cemberut. "Radit doang nih, Fan yang lo tanyain, gue korbannya Radit loh, gue juga belom sarapan," rajuk Sheryl gemas.
"Gue buat sandwich kebanyakan, di rumah nggak ada yang makan, sengaja buat gue makan nanti kalo laper, mending kalian makan deh."
Fani duduk begitu mereka sampai di mejanya, Sheryl sudah menggosokkan kedua telapak tangannya dengan lidah yang berdecak tak sabaran.
"Lo emang perhatian banget, Fan," puji Radit, sengaja pandangannya dialihkan pada deretan rapi sandwich di depannya.
Sheryl tersenyum kecut. Merasakan sesuatu yang amat perih kalau mendengar ucapan Radit. Kasihan.
Yang diketahui oleh Sheryl adalah kenyataan bahwa Radit memang tak bisa membenci Fani, belum bisa move on, dan hebatnya nggak bisa yang namanya dendam sama gadis itu.
Sedikit pun setelah kejadian baku hantam itu, Radit benar-benar sadar bahwa cinta memang tak bisa dipaksakan. Toh, memang lebih baik harus seperti ini daripada mereka bersama namun, Radit harus mengalami cinta sendiri.
Semua orang juga tahu kalau Radit itu memang punya perlakuan khusus buat Fani. Meski sudah tak bisa lagi berjuang, namun tatapan Radit pada Fani tetaplah sama. Pandangan penuh cinta dari pria yang tak bisa menggapai cinta milik perempuan.
Pandangan lekat itu jelas ditangkap Sheryl tak sekali ini, namun berulang kali Sheryl memergoki pria itu menatap Fani dengan dalam, lekat, dan senyum manis.
"Dit," panggil Fani. Gadis itu menaikkan kedua alisnya dengan senyum penuh arti.
"Apaan?" Sedikit bingung dengan gelagat Fani yang tidak jelas, akhirnya Fani merengut. "Sandwich tuh enaknya dimakan sambil ngobrol terus ada anget-angetnya gitu kan?"
Pria itu bangkit dengan embusan napas panjang. "Pengen teh apa s**u, Nyonya?"
Sheryl meringis diikuti Fani yang ikut memamerkan deretan gigi putihnya. "Teh aja deh."
Pria itu mengangguk. Ia langsung menghilang untuk membuat beberapa saat. Fani menoleh ke arah Sheryl, kali ini dengan senyum.
Sheryl melambatkan kunyahannya dengan kening mengernyit heran. Fani masih mempertahankan senyum manisnya sembari terus menatap wajah Sheryl.
"Kenapa sih lo? Kesambet?"
Fani menggelengkan kepalanya cepat, ia masih tersenyum. "Nggak kok, terusin aja terusin makannya. Enak kan?" tanya Fani.
Sheryl menganggukkan kepalanya perlahan. Sepertinya ia tahu apa maksud pertanyaan Fani. Diletakkannya sandwich milik Fani di atas meja, untuk kemudian Sheryl meraih tas di sampingnya dan mengambil beberapa lembar uang dari sana.
"Segini cukup?" tanya Sheryl membuat kedua alis Fani tertaut sempurna.
"Maksud lo apaan si ngasih gue uang kayak gini?"
Gantian Sheryl yang menautkan kedua alisnya bingung atas pertanyaan Fani. "Uang ganti lah, lo nanya makanan lo enak kayak tadi cuma buat ngode kalo suruh bayar, kan?"
Spontan Fani menggeplak lengan Sheryl keras. Cewek itu mengaduh. Tuh, kan. Emang kebiasaan Fani banget kalau urusan menyiksa kayak gini.
"Lo pikir gue jualan sandwich? Aaaah, lo mah nethink mulu kalo sama gue," decak gadis itu.
Radit muncul dengan satu nampan kecil berisi tiga cangkir teh yang masih mengepulkan asap. "Muka lo kenapa cemberut gitu deh, abis diapain Sheryl?" tanya Radit mulai menyingsing satu lengan kemejanya.
Fani cemberut saja, Sheryl melengos. "Iya deh iya, berasa gue abis jahatin anak orang aja."
Pria itu duduk di sebelah Fani, ikut mengambil satu sandwich lantas menggigitnya dengan tenang.
"Gue tuh mau ngasih kabar sama kalian," ucap Fani tiba-tiba.
Sheryl mengangkat satu tangannya menghentikan Fani yang mulai mangap. Gadis itu kembali mengatupkan bibirnya begitu tahu Sheryl angkat tangan.
"Biar gue tebak dulu kabar dari lo."
Fani tersenyum mempersilakan. Biasanya Sheryl memang pintar menebak, tak jarang tebakannya selalu tepat. Apalagi untuk urusan yang membuat wajah Fani ceria sepagi ini, pasti kabar penting yang sudah bisa ditebak dengan benar oleh Sheryl.
Setidaknya itu yang diyakini Fani.
"Gue tebak ... pasti lo dapet tugas buat menghandle anak magang hari ini, kan? Terjun ke lapangan dan ninggalin tugas barang sebentar?"
Fani melengos. Gadis itu terlalu berharap pada Sheryl. Gantinya ia menatap Radit yang kini ikut menatapnya dengan kalem.
"Lo nggak mau nebak, Dit?" tanya Fani membuat pria itu mengangkat kedua alisnya.
Radit menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Nebak apa coba? Ia bahkan tidak tahu hal apa yang paling membahagiakan buat Fani selain Yoga saat ini sudah kembali pada gadis itu.
"Err ... kabar kalo Yoga udah insap ya?"
"Kan emang udah insaap."
Fani langsung menelungkupkan kepalanya ke meja. Merasa sedikit gemas dengan kedua tebakan yang salah kaprah.
Radit membelai rambut Fani lembut dengan muka tidak enak. "Salah ya, Fan?"
"Lo bakal liburan ke Bali bareng Yoga?" tebak Radit lagi.
Gadis itu menggeleng.
"Kabar kalo anak magang nggak jadi dateng ke kantor kita?" tebak Sheryl lagi.
Radit berdecak. Pria itu menatap Fani yang mulai mengangkat kepalanya. "Kita bukan peramal Fan dan kebahagiaan lo kali ini tuh banyak banget, jadi mending lo bilang aja deh."
Fani mengangguk. Memang benar apa yang dikatakan oleh Radit. Terlalu banyak kebahagiaan yang kini tengah dirasakannya, dan kebahagiaan yang satu ini jelas salah satu kebahagiaan yang bisa membuat Fani ceria setiap saat.
Ditatapnya kedua orang di depannya itu dengan tatapan lekat, ada senyum yang tercetak di bibir gadis itu. Sheryl menunggu dengan mata mengerjap, Radit kembali memakan sandwich buatan Fani.
Dihirupnya oksigen banyak-banyak. Seolah mengatakannya saja butuh usaha besar yang bisa membuatnya kehabisan napas saking senengnya.
"Kalian harus denger. Gue. Sama Yoga. Bakalan nikah bulan ini!" jelas Fani dengan menekan satu per satu katanya.
Sheryl melotot. Radit tersedak makanannya. Buru-buru pria itu mengangkat secangkir teh di depannya dan minum dengan terburu untuk kemudian menyesal saat merasakan lidahnya terbakar.
"Beneran lo mau nikah sama Yoga bulan ini?" tanya Sheryl dengan mata melotot. Maksudnya, baru kemarin gitu mereka balikan, dan sekarang sudah memutuskan untuk rujuk? Bukan, tepatnya menikah untuk yang kedua kalinya.
"Lo yakin udah siap, Fan?" Radit tak bisa menghentikan pertanyaannya yang terdengar khawatir.
Fani menoleh ke arah pria itu dan tersenyum lembut. "Gue udah yakin kali ini Yoga nggak kayak dulu lagi, Dit."
Ada senyum yang diulas oleh Fani yang kemudian membuat Radit mau tak mau harus percaya kepada Fani meski tak memungkiri hatinya seperti dihancurkan untuk kedua kalinya mendengar berita pernikahan Fani dengan orang yang sama.
Orang yang pernah menyakiti gadis itu gila-gilaan. Dan keputusan kedua ini jelas sebuah keputusan matang-matang yang pastinya sudah melalui serangkaian ultimatum, uji kesetian, dan segala bentuk penebusan dosa dari Yoga.
Meski masih takut, Radit harus memejamkan matanya, atau ia juga perlu memejamkan hatinya untuk tak lagi melirik Fani. Tutup perasaan setelah sekian lama menabung namun tak kunjung membuahkan hasil.
"Kalo lo emang udah mantep sama Yoga, gue tenang Fan," kata Radit pelan.
Fani tersenyum pada Radit dengan tulus. "Makasih selalu ada buat gue."
Radit mengangguk cepat, ada gerakan kilat yang ditangkap Sheryl saat pria itu mengusap wajahnya yang mendung, seperti kembali mengenakan topeng ceria setelah sedetik yang lalu tanpa sadar terbuka dan melebar tanpa sepengetahuan Fani.
"Soal gedung dan persiapan nikah nantinya jangan sungkan hubungi gue ya, gue bakal bantu elo," ucapnya lagi.
Fani meringis. "Gue pengen buat konsep sendiri nantinya."
"Palingan juga nggak jauh-jauh dari frozen. Gaun warna biru mirip Elsa, dan dekorasi mirip istana es milik Elsa, kan?"
Fani tertawa. "Ketebak banget ya?"
Radit tersenyum lebar. "Gemes banget tau, udah gede masih aja selera bayi."
"Tapi gue cantik, kan pake gaun Elsa?" Fani mengerjapkan matanya yang besar itu, membuat Radit harus menahan tangannya atau bahkan bibirnya untuk mencium gadis di depannya itu.
Fani menoleh ke arah Sheryl. "Elo jadi Anna—"
"Ogah! Gue udah gede, malu-maluin suami jaksa gue," tolak Sheryl mentah-mentah bahkan sebelum kalimat Fani selesai. Fani balik tertawa lagi, bahagia sekali.
Radit tersenyum pedih di sela-sela tawa yang dipaksanya untuk ada. Tidak ada yang tahu bahwa pria itu bahkan tengah berusaha keras untuk mencabut cintanya yang telah mengakar pada gadis di depannya ini.
Sekuat tenaga. Dan belum tahu pada siapa ia harus menumbuhkan cinta itu lagi. Setidaknya kali ini hatinya harus kosong, belum menerima perempuan mana pun, kecuali bayangan Fani.
Entah nanti. Entahlah.
***