Heartbeat- 2

2143 Words
Kuliah kalo sudah kelamaan itu pasti makin sulit, apalagi kalau sudah disuruh magang! Berbulan-bulan dilempar ke kota orang, dilatih keras, dan jadi kacung! Yang namanya magang itu ya jadi kacung. Disuruh ini itu, harus kerja ini itu, bolak-balik untuk mengerjakan sesuatu yang semestinya tidak dikerjakan. Parahnya lagi, terkadang anak magang sering jadi sasaran marah atas sesuatu yang tidak mereka ketahui. Begitulah kira-kira yang disampaikan oleh Melda ketika gadis itu duduk dalam perjalanan kereta menuju Bandung. Angga: Sampe mana? Nanti pas udah sampe stasiun bilang ya, aku pake kaos warna hitam, jaket abu-abu. Pesan itu muncul setelah telepon dari Melda berakhir, menyusul pesan lain dari Ibu yang bolak-balik meminta agar Una segera menelepon begitu tiba di Bandung nanti, atau paling tidak, agar Una mengirim pesan kepada sang Ibu. Dibalasnya pesan Ibu singkat. Una bukan anak kecil lagi, Ma. Wanita paruh baya di samping Una mengintip isi pesan gadis itu. "Pasti chattingan sama pacarnya ya? Kecil-kecil jangan pacaran dulu," seloroh wanita itu. Una menoleh kaget. "Sama Ibu saya, Bu." Malah dengan polos ia tunjukkan pesan itu kepada wanita di sampingnya. Wanita itu tersenyum. "Adek kelas berapa? Masih SMP ya? Pipinya gembul banget gini, lucu ih." Oh, God! Nggak cuma sekali ia dikira anak SMP, postur tubuhnya yang mungil, putih bersih, dengan pipi gembul yang kemerahan memang sering menjadi sasaran perkiraan orang sebagai anak SMP. Rasanya tak ingin mengatakan hal yang sebenarnya bahwa ia adalah mahasiswa semester lima yang tinggi badannya mandek di umur tujuh belas. "Saya sudah kuliah, Bu." Jawaban itu segera ditanggapi sang wanita dengan senyuman paham. Lama setelahnya, begitu sampai di stasiun, Una celingukan, dibacanya lagi pesan dari Angga. "Kaos item jaket abu-abu ... kaos item jaket abu-abu," gumamnya bolak-balik sembari mengamati jubelan orang yang keluar masuk dari arah pintu. Mata Una berbinar saat ditemukannya Angga yang saat itu tengah membelakanginya. "Anggaaaa," serunya. Namun, Angga tak kunjung mendengar, Una gemas, diseretnya barang bawaannya yang berat itu dengan langkah kakinya yang cepat menuju posisi Angga berdiri. Namun, langkahnya segera menyusut begitu dilihatnya ada perempuan yang berdiri di depan cowok itu. Hati gadis itu memanas, ditepuknya bahu pria di depannya itu. Begitu menoleh, bugh! "Mampus nggak tuh! Baru aja tiga hari di Bandung udah main sama cewek aja," seru Una gemas. Perempuan di depannya melotot kaget. "Dit, ya ampun, eh dek, ini teman saya!" Una terkejut. Dihentikannya bogeman mentah yang dilayangkannya pada pria itu. Dan makin pias saat ia melihat kalau bukan Angga yang kini berada di depannya. Una mematung seketika. Mampus! Baru sampai di kota orang sudah bikin masalah, pria di depannya menegakkan badannya lantas mengamati Una dengan sorot mata tak karuan. Ada kejengkelan, gemas, horor, dan marah di sana. Hasrat ingin melumat gadis itu sampai buntung segera sirna saat perempuan di sampingnya panik melihat kondisi pria itu. "Duh, ya ampun, apa nggak cukup hati lo yang babak belur, muka nggak usah kayak gini juga kali," pekik perempuan di sampingnya panik. Una serba salah, di depan dua orang itu ia memejamkan matanya lantas mengambil tangan sang pria. "Maaf, Mas, saya bisa ganti rugi dengan mengantar mas berobat. Atau Mas-nya mau saya ganti pake uang? Biar bisa berobat sendiri?" Seolah tak sudi dipegang oleh Una, pria itu mengibaskan tangannya lantas berkata dingin, "Nggak perlu, cuma luka dikit. Makanya ati-ati, kalo lagi kalap patah hati jangan lampiasin ke orang dong!" "Yuk, Sher." Pria itu segera menggamit lengan perempuan cantik di sampingnya dengan tatapan juteknya. Una melongo. Siapa yang patah hati woe! Astaga! Gadis itu membalikkan badannya dan kembali mengingat wajah pria yang sempat digebukinya barusan. "Lumayan. Di Bandung ini, baru dia yang gue liat ganteng banget." *** Memang apa yang lebih menyakitkan dari berjuang tapi akhirnya melepaskan? Kalau cinta sejati adalah mengikhlaskan, maka berjuang dan tak dihargai itu g****k namanya. Meski sudah berulang kali Radit melihat pendar mata Fani yang layu diterpa oleh kenangannya bersama Yoga, namun sering sekali pria itu merasakan ragu dan takut untuk merengkuh hati gadis itu. Takut jika hati Fani masih saja terbuka untuk Yoga meski bibirnya berucap benci. Meski sangat meyakinkan sekali kalau gadis itu mati-matian menghindari Yoga, bukan berarti karena Fani muak, bisa jadi karena takut lukanya kembali terkuak. Perasaan seorang wanita tak semudah membaca berita harian, ramalan cuaca, atau sekalian ramalan nasib di horoskop. Perasaan itu tersimpan rapi, tersusun dalam rak-rak ingatan berlabel. Sedih, marah, benci, rindu, dan sayang. Seorang pria tidak akan pernah tahu di mana tempatnya berada. Seorang perempuan bisa menempatkan dua label pada satu objek. Mencampurkan capek dan rindu menjadi satu ramuan yang diberinya nama benci. Suka membohongi diri sendiri, membungkus rindu di dalam kata benci. Itu alasan mengapa Radit tak juga bergerak cepat merengkuh hati gadis itu, ia hanya berjalan semengalir air, sekehendak alam ingin menyampaikan apa yang ingin diperlihatkan kepada Fani. Mulanya, ia mengira bahwa semuanya telah baik-baik saja. Yoga yang kembali sendiri, Helena yang tak lagi mengusik, dan dia yang menghibur Fani. Langkah demi langkah sudah terjalin, namun siapa sangka? Kalau hidup akan berjalan sedemikian rupa. Fani masih menyimpan rasa untuk Yoga. Untuk sebuah perasaan rindu yang membawa gadis itu pada kesakitan, Radit akui bahwa sulit untuk seorang Fani bisa tegak kembali tersenyum. Untuk sebuah perasaan rindu yang pendamnya, Radit menghargai usaha Fani dengan memgembalikan gadis itu kepada Yoga. Semudah itu, kah? Orang lain belum tahu bagaimana detil dari cerita ini, karena dibalik mengikhlaskan, ada orangtua Fani yang marah dan malu, dibalik sikap mengikhlaskan ini ada orangtua Radit yang kecewa dengan sikap yang diambil oleh Fani dan didukung oleh Radit. Dibalik kata mengikhlaskan ini, ada banyak sekali rasa terimakasih yang didapatnya dari keluarga Prasti. Dibalik pilihannya untuk merelakan, ia tahu, bahwa perasaan itu memang seharusnya ada bukan karena ia harus memiliki, karena ia harus mempelajari dari semua ini. Dan setelah insiden baku hantam itu, diiringi jeritan dari orangtuanya dan berbuntut meledaknya amarah sang ayah, Radit tahu bahwa kali ini ia telah mengecewakan kedua orang sepuh yang diseganinya itu. Fani bolak-balik ke apartemen Radit untuk meminta maaf kepada orangtuanya, berusaha untuk meminta kemakluman akan hatinya yang tak bisa berpaling pada Yoga. Meski terlihat masih kecewa, tak urung ketulusan Fani disambut oleh orangtua Radit, gadis itu semakin sering datang ke apartemen Radit diiringi Yoga. Dan pagi ini, pulih sudah hati mereka. Radit mengantar ayah dan ibunya sampai di stasiun barengan Sheryl. Bukan karena pria itu tak bisa sendiri mengantarkan kedua orangtuanya ke stasiun, namun sohibnya yang baik hati dan sedikit gesrek itu memaksa ingin iku serta mengantarkan. Entah ada maksud apa, namun ia tahu bahwa Sheryl bukan orang yang ringan tangan membantu kalau tidak ada embel-embel upah. "Pasti sulit banget buat bokap nyokap lo nerima ini," ujar Sheryl sembari melambai ke arah kereta yang mulai berjalan. Radit mesem. "Lo ngomong kayak gitu berasa orangtua gue udah ngebet pengen kawinin anaknya aja." Sheryl melengos. "Ya kan emang bener, b***k ya lo pas nyokap lo bilang pengen gendong cucu?" Radit mendesah. Memang, yang namanya orangtua kalau sudah punya anak di usia yang pantas menikah itu suka ngebet. Seolah belum pernah merasakan betapa susahnya mencari pasangan. Padahal, muka Radit juga ganteng, uang juga banyak, kaya juga iya, pinter juga dapet, kerjaan ya mapan, apa yang kurang? "Kurang sholeh aja kali lo ya?" celetuk Sheryl tiba-tiba. "Masih baikan nakal daripada sholeh tapi suka selingkuh," jawab Radit enteng. Sheryl melirik sinis. "Lo salah kalo mau nyindir orang." Pria itu ngakak. "Terus definisi sholeh menurut lo gimana? Penampilan gue apa sekriminal preman? Perasan gue juga rapi, attitude juga bagus." Sheryl menopang dagu, terlihat berpikir, memang modelan Radit itu sempurna tapi alasan mengapa pria itu masih saja tidak punya pasangan adalah salah satu yang bikin penasaran. "Mungkin kekurangan lo cuma satu," katanya serius. Radit memiringkan kepalanya. Serius banget karena Sheryl mengatakan dengan sepelan dan sedatar mungkin. "Apa?" Sheryl menoleh ke arah Radit, menatap pria itu dari atas ke bawah lantas menganggukkan kepalanya dengan mantap. "Gue yakin lo kurang ibadah, kurang mengingat Tuhan, itu kenapa lo dijauhin dari cewek-cewek cantik." "Anjir! Sekalian aja gue botak terus kemana-mana pake tasbih sambil ngucap amintaba," balasnya jengkel. Sheryl ngakak. Ditepuknya bahu Radit dengan akrab. "Serius deh, gue dari tadi mikir, mungkin jodoh lo emang bukan Fani. Coba lo buka mata, buka hati lo, suatu saat nanti lo bakal nemuin jodoh versi terbaik yang dipilih Tuhan." Radit bergidik. "Minggu kemarin lo pasti abis ke gereja ya?" Sheryl langsung menabok kepala Radit. "Gue Islam, anjir!" Radit ngakak. "Lagian omongan lo udah mirip pastur aja." Mereka tengah tertawa saat dengan tiba-tiba seseorang menepuk bahu Radit, pria itu segera menoleh dan terkejut saat menerima satu bogeman mentah serta tabokan dari tas bertali besi. Mampus! Ini apa coba, luka adu jotosnya barengan Yoga kemarin baru saja mengering, ini malah dapat tonjokan tiba-tiba. Sheryl memekik kaget. Pria itu masih saja menunduk, mengamati sepasang kets mungil di depannya. Ini bukan Fani, lalu siapa yang berani menabok wajahnya dengan tiba-tiba kalau bukan Fani. Nyalinya gede ini bocah! Ia mengangkat wajah dan menemukan satu bocah mungil yang kini tampak pias menatapnya, tampak sekali gadis itu salah tingkah dengan sikap yang baru saja diambilnya. Cewek mungil dengan sepatu kets, jaket tebal, dan barang bawaan yang bikin dia susah jalan. "Ya ampun, gue salah nabok orang lagi," gumam gadis itu. Entah siapa namanya, ia juga merasa tidak kenal, tapi gadis mungil ini benar-benar tidak bisa diukur kekuatannya, meski kecil tapi bogeman darinya cukup membuat pipi Radit berdenyut nyeri. Gosong lagi deh. Radit mendesah, Sheryl di sampingnya mengamati wajahnya yang kini kembali dihiasi lingkaran biru di pipi kirinya. Lengan gadis itu menyentuh jemarinya yang besar, seperti berusaha menggenggam namun tak bisa. Radit mengibaskan tangannya. "Nggak perlu, cuma luka dikit, makanya ati-ati kalo lagi kalap patah hati jangan lampiasin ke orang dong." Tanpa sepatah kata lagi, pria itu segera menggamit lengan Sheryl dan pergi. Meninggalkan gadis itu dengan hantaman ucapannya. Sheryl menoleh ke arah Radit. "Kasian loh, Dit, itu pasti anaknya masih sekolah udah main lo bentak aja." Sheryl menoleh ke belakang lagi. Radit menghentakkan tangan Sheryl. "Lo buta? Dia yang dateng tiba-tiba nonjok muka gue, untung ini muka buatan Tuhan, mau ditonjok berapa kali juga tahan banting," omel Radit. Sheryl manggut-manggut. "Biasanya—" "Apa?" Sheryl melengos. "Galak amat lo? PMS?" Radit mendesah. Pria itu berjalan lebih dulu, meninggalkan Sheryl yang masih bermain dengan pikirannya. Ada banyak pertemuan yang ditakdirkan Tuhan buat sebuah pasangan dan cinta, di film Titanic, Jack menjadi seorang heroik yang membantu Rose untuk tidak bunuh diri dari kapal itu, di drama Faith, Kapten Choi Young menculik Yoo Eun Soo, ada banyak cara Tuhan mempertemukan sebuah pasangan. Dan kejadian tadi sudah mirip adegan di film-film di mana Radit ditonjok oleh gadis yang tidak dikenal. Ini semua pasti bukan sebuah kebetulan, pasti ada tangan-tangan alam yang telah merencanakan semua ini. Segera diikutinya langkah Radit yang jauh di depannya. Sheryl menoleh ke arah Radit yang tengah menyentuh luka kecil yang baru saja didapatnya. "Dit." "Apa?" "Kayaknya dia yang bakal jadi jodoh lo deh," ucap Sheryl tiba-tiba. Radit menghentikan langkahnya tiba-tiba membuat Sheryl melengos. Kebiasaan kalau lagi terkejut, Radit suka berhenti mendadak dari aktivitasnya. "Sinting lo!" Mata Sheryl membesar. "Yeee nggak percaya, insiden tadi tuh udah kayak di film-film tau nggak, tiba-tiba lo ditabok sama cewek yang nggak dikenal terus mereka ketemu lagi, bertengkar mulu tiap hari, dan akhirnya mereka malah saling suka," cerocos Sheryl semangat membayangkan potongan-potongan dari imajinasinya. Radit menggelengkan kepalanya mengejek. "Terus?" "Terus mereka hidup bersama dan—" "Dan itu cuma khayalan lo," potongnya cepat. Sheryl menggertakkan giginya kuat-kuat, ya gini nih kalau menghadapi orang kelamaan jomlo, sering disia-siakan, dan tak pernah dihargai. "Gue yakin itu bukan cuma kebetulan!" seru Sheryl pada Radit yang berjalan jauh di depannya. "Pasti abis ini lo ketemu sama itu cewek lagi!" Pria itu tak membalas, ia hanya menoleh sekilas sembari mengangkat jari tengahnya tinggi. Perempuan itu mengumpat. "Anjir emang, punya sohib kok gini amat, ganteng sih iya, tapi sayang hidupnya kok jadi sad boy." Sheryl berlari mengejar langkah Radit yang semakin jauh, melupakan insiden itu untuk sementara sebelum berharap kalau Radit akan bertemu dengan gadis mungil tadi. Pertemuan yang mungkin diakui orang sebagai sebuah kebetulan, dipercaya orang bahwa itu hanyalah pertemuan biasa. Namun, sekali lagi, terkadang sebuah kepercayaan membawa mereka pada kenyataan yang tak terduga. Alam bahkan bekerja lebih dari yang dipikirkan oleh Sheryl. Karena selepas itu, gadis mungil tadi masih saja berjalan membuntuti mereka dengan senyuman manis di bibirnya, sebelum satu suara tiba-tiba mengalihkan perhatiannya. "Unaaa, ya ampun, lo tuh udah mungil, kecil, masih aja suka tenggelem di lautan manusia kayak upil aja." Tanpa disangka-sangka Angga sudah berdiri di depannya menghalangi pandangan gadis itu akan dua orang yang berjalan di depannya tadi. Lenyap diantara lautan manusia, Una mengembalikan fokusnya pada Melda dan Angga. "Kayaknya kita harus cepetan tiba di kos deh," ujarnya tiba-tiba. "Kenapa?" Una menoleh ke arah paper bag yang dibawanya. "Gue bawa siomay banjir kentang kesukaan lo." Melda bersorak. Digamitnya lengan gadis itu, meninggalkan Angga yang kini jadi kuli angkat barang di belakang mereka. "Disini dingin banget, cowoknya apa lagi," celetuk Melda riang. Una tersenyum, kembali mengingat cowok yang sempat ditonjoknya. "Iya, dingin, tapi indah."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD