Kalau ada pekerjaan yang paling sulit bagi Radit, satu-satunya yang tersulit adalah menahan diri untuk tidak memeluk Fani, mencium gadis itu atau sekadar memenjarakannya dalam lingkup kedua lengan kekarnya.
Terjebak berduaan di lift seperti ini jelas bikin Radit harus mati-matian tidak melumat bibir gadis itu sebelum ia resmi menjadi milik orang lain.
Ia melirik Fani yang tengah tersenyum menatap layar ponselnya, sudah pasti ia tengah chattingan dengan Yoga. Memang apa lagi yang bisa bikin Fani senyum gaje kayak gitu.
"Lo pulang naik apa, Fan? Bareng gue aja gimana?" tawar Radit mengingat Fani pagi tadi diantar oleh Yoga dengan Land Rovernya.
Fani menoleh sekilas lalu menggeleng dengan senyum, gadis itu menyentuh kecil lengan Radit. "Yoga mau jemput gue nih."
Radit tersenyum tenang, padahal hatinya sudah remuk redam, berulang kali ia mencoba untuk terbiasa dengan situasi seperti ini. Kenyataannya ia masih saja belum bisa merelakan gadis itu dengan Yoga.
Hari-harinya kemarin sudah seperti berjalan dalam keputus asaan, namun sekarang, setelah ia justru melepaskan Fani yang kedua kalinya, ia justru mati rasa menjalani hidup.
Kantor sudah sepi banget, saat Fani dan Radit keluar dari lift, tinggal beberapa orang saja yang tersisa. "Ntar malem tuh acaranya ada makan malem gitu di rumah, pokoknya jangan lupa ke rumah gue ya, Dit."
Radit mengerutkan dahinya. "Kalo makan malam internal ngapain ngundang gue?" Radit jadi mengernyit heran.
Fani menggeleng dengan senyum menipis. "Kalo gue bilang nyokap kangen banget sama lo ya dateng aja dong, udah dikasi sesajen pai buah masi aja nggak mau dateng." Fani berkata terus terang dengan mulutnya yang comel itu.
Radit ngakak. "Iya, gue dateng."
Mereka menatap parkiran kantor yang terlihat lengang, tersisa sedan milik Radit dan Pajero milik atasan, ada juga beberapa motor yang Radit tebak milik satpam dan office boy kantor.
Pria itu melirik arlojinya, sudah sore banget saat Fani masih rela menunggu Yoga. Meski begitu nggak mungkin juga ia meninggalkan Fani seorang diri menanti kedatangan Yoga, seperti kebiasaan lamanya yang selalu mengawasi dan menjaga Fani.
"Lo nggak pulang, Dit?" tanya gadis itu setengah kaget saat melihat Radit masih saja setia berdiri menyandarkan badannya yang menjulang itu di sisi pintu masuk kantor.
"Gue tunggu sampe Yoga dateng kesini, udah sore banget gini takut kalo cowok lo lupa," dustanya. Padahal yang sebenarnya, Radit tuh nggak mau menyia-nyiakan waktu berharga ini . Barengan sama Fani disaat gadis itu sudah jadi milik orang lain adalah keajaiban Tuhan yang kedelapan.
Masalahnya, meskipun Fani bar-bar tapi itu cewek beneran tahu banget cara menjaga diri, apalagi buat orang yang sudah disayanginya, kalau perlu ia akan melakukan kesempurnaan tanpa cela untuk pasangannya.
Itu lah yang membuat Radit nyaris gila memikirkan duplikat cewek kayak Fani tuh di mana? Gimana bisa coba mantan cewek yang gemar clubbing jadi anak rumahan yang makin bikin dia terpesona?
Fani nggak perlu susah payah menunjukkan kalau dia itu sempurna, karena dengan apa yang ia punya sudah membuatnya terlihat sempurna tanpa cela. Gadis itu tak perlu menjadi orang lain agar orang-orang bisa memujinya, karena cara Fani bertingkah sudah menunjukkan siapa dirinya.
Dan itu lah yang paling langka!
Setengah jam sudah mereka menunggu, insting Radit sudah sepakat dan penuh keyakinan kalau Yoga pasti sibuk, atau bahkan mematikan ponselnya sedangkan pria itu juga lupa punya janji menjemput Fani.
Radit pura-pura melirik arloji di tangan kirinya, lantas menghampiri Fani dan menepuk pundak gadis itu lembut. "Gimana sama Yoga?"
Fani menggeleng cemberut. "Itu anak emang selebor banget ya ampun, nggak aktif ponselnya ih!" decaknya sudah bisa ditebak Radit.
Kenyataan kalau Yoga super sibuk dan setengah pikun memang bukan menjadi kabar burung saja, ya kayak gini, memang menjadi kesempatan bagi Radit untuk mengambil secuil kesempatan emas dari Yoga.
"Tawaran gue masih berlaku nih. Gue anter lo pulang aja deh, Fan. Ini udah sore banget loh." Didukung dengan kepulangan para karyawan menyusul atasan mereka yang mendadak muncul dan melirik ke arah mereka dengan alis terangkat.
Fani menggigit bibir bawahnya ragu. Gimana enggak ragu coba, kalau ada opsi diantarkan cowok atau menunggu Yoga, tetap saja yang dipilih menunggu Yoga. Masalahnya cowok itu adalah Radit, coba saja kalau cowok itu satpam kantor sudah pasti ia rela diantarkan sampai rumah tanpa menunggu Yoga.
Daripada terjadi salah paham bukankah lebih baik ia menghindari fitnah? Tidak mau masalah besar terjadi dengannya itu jelas hal yang wajar saat ia menolak penawaran maha baik dari Radit.
Gadis itu menggaruk sisi kepalanya yang tidak gatal. "Gue bukannya nggak mau lo anter tapi—" kilatan sebuah mobil yang amat dikenali oleh Fani membuat gadis itu seketika menoleh. "Tuh, Yoga udah dateng, gue duluan ya. Dah!" Fani menepuk-nepuk lengan Radit dengan senyum cerah, lantas melambaikan tangannya pada pria itu.
Mata Radit menangkap semua hal itu, termasuk ketika Yoga menundukkan badannya lantas memencet klakson untuk berterima kasih padanya. Radit mengangguk dengan senyuman kemudian mengacungkan jempolnya dengan tenang.
Baru lah ketika Land Rover itu lenyap dari pandangannya, pria itu baru bisa kembali mengembuskan napas tanpa takut raut wajahnya seperti apa. Ia sudah mati rasa dengan kehidupan ini.
Kehadiran Fani di sisinya— meski sudah tak menjadi miliknya— setidaknya memberinya sedikit suntikan semangat, kehadiran gadis itu selalu menjadi yang terbaik buat Radit.
Setidaknya, setelah ia melepas Fani, ia tak menyesal terlalu dalam. Setidaknya, iya, setidaknya karena ia tahu bahwa perjuangannya untuk Fani sudah mencapai pada batas maksimum dan Tuhan tak merelakan.
Dan setidaknya, yang paling terpenting, Fani-nya masih dan— mungkin— terus bisa bersamanya, meski sekadar raga yang dimiliki, bukan hati.
Baru saja pria itu akan melangkahkan kakinya sebuah suara membuatnya seketika menoleh.
"Kayaknya gue salah dugaan deh. Fani bukan selingkuhan lo ya?"
***
Una menyepak pintu toilet dengan gemas. Berulang kali ia menghubungi Angga, namun dering tak berujung membuat gadis itu lelah dengan usahanya.
Melda juga kebangetan jadi orang, sudah tahu kalau ia tak tahu arah jalan pulang, masih saja ninggalin Una seenaknya.
"Duh, Na, lo udah ngilang. Angga juga udah ngilang, gue pikir lo udah balik barengan Angga," kata Melda saat gadis itu menghubungi sohibnya itu.
Bibir Una meleyot ke kanan. "Gue kan udah bilang sama elo, Nyet. Gue dikungkung abis sama tugasnya Radit sialan itu, mana sempet gue hubungi kalian coba."
"Lo nyari ojek coba."
Una mendengkus. Gadis itu mengetikkan jawaban dengan langkah tergesa keluar dari kantor. Mendadak matanya menemukan satu pemandangan paling langka dan kontan membuatnya menganga.
Di depannya, Radit dan Fani tengah berdiri, bukan, tapi Radit tengah menyandarkan badannya di sisi pintu sebelum akhirnya pria itu menghampiri Fani untuk berbincang.
Ragu untuk menghampiri, Una justru menatap kedua orang itu, saat sebuah Land Rover mendatangi Fani dan Radit cuma bisa tersenyum kecil. Tatap mata pria itu seolah memberikan gambaran yang jelas tentang situasinya.
Dugaan Una perihal Fani adalah selingkuhan Radit jelas terpatahkan dengan hal ini. Tatap mata Radit pada Fani jelas berbeda, ada sorot lembut dan sedikit kepedihan di sana, terbalut dengan senyum tenang yang terlihat rapi.
"Kayaknya dugaan gue salah deh. Fani bukan selingkuhan lo ya?"
Radit menoleh cepat saat tahu Una masih di sana, sejenak wajah pria itu terlihat kelam sebelum akhirnya pria itu kembali memasang wajah serupa arca.
"Sudah sore, harusnya semua orang sudah pulang," jawab Radit dingin.
Keinginan Una untuk tahu lebih siapa Fani membuat gadis itu tak menggubris omongan Radit. Gadis itu justru menyipitkan matanya menatap Radit di depannya.
Namun, pria di depannya ini sudah memenggal keinginannya dengan tatap tajam. Una mendesah pendek.
Gadis itu menggesekkan sepatunya ke lantai dengan menunduk. "Kalo pulang kesorean ada ojek nggak sih deket sini?" tanya Una berharap bahwa ia bisa pulang secepatnya ke kos.
Radit mengangguk singkat. "Persis di depan sana, lo bakal nemuin tukang ojek."
Una menganggukkan kepalanya, gadis itu segera berlari setelah mengucapkan terima kasih. Kepalanya menoleh ke sana kemari saat melihat kawanan tukang ojek mangkal, mendadak ia ragu menghampiri mereka setelah sekawanan pria menatap Una dengan mata nakalnya.
Bukan tukang ojeknya, tapi sekawanan pria di sebuah warung dekat dengan pangkalan tukang ojek membuatnya ragu. Ia menolehkan kepalanya menatap Radit, cowok itu sudah lenyap, mungkin sudah masuk ke mobilnya dan tak peduli lagi pada Una.
Gadis itu mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuhnya, menarik napas panjang untuk kemudian memantapkan langkahnya. "Kalo berani macem-macem, gue bakal nonjok mereka satu-satu," gumamnya memberikan tekad kuat.
Keberanian itu ia ambil setelah tahu sekelompok pria nakal bangkit dari duduknya seolah menyongsong kedatangan Una yang tiada gentar sedikit pun.
Gadis itu memejamkan matanya sebentar, berulang kali menata hatinya yang kebat-kebit.
Belum sempat kakinya menghampiri kawanan pria nakal itu, mendadak suara klakson mobil mengagetkannya, gadis itu menoleh saat tahu sebuah sedan menepi ke arahnya dan membuka pintu untuknya.
"Cepat masuk!" titah orang di balik kemudi itu.
Mata Una berbinar, tanpa menunggu lagi gadis itu langsung melemparkan badannya ke dalam mobil dan membanting pintunya dengan cepat, lantas mobil itu melesat meninggalkan sekelompok pria yang kehilangan mangsa.
Radit menoleh saat Una tersenyum lantas melongokkan kepalanya ke belakang. "Lo nggak tau ada bahaya kayak tadi? Itu cowok tukang mabuk loh."
Una menatap Radit dan menganggukkan kepalanya dengan senyuman. "Tau kok, harusnya elo tunggu gue nonjok mereka satu-satu baru muncul nawarin gue tumpangan, gue belom sempet nonjok mereka loh."
Radit mendengkus geli. Melihat ke arah tangan Una yang tampak tak seberapa itu dengan remeh. "Dengan tangan lo yang kecil itu emang lo yakin bisa buat mereka bengep?" tanya Radit disertai kekehan geli.
Una mengangguk mantap. "Belom tahu istilah Jawa ya? Kecil gini gue punya kekuatan kayak Gatotkaca. Otot kawat, tulang besi," jawab Una percaya diri banget.
Radit ngakak tanpa bisa dicegah. Una speechless mendengar satu tawa yang amat renyah di telinganya.
"Nggak nyangka ya, lo bisa ketawa, gue pikir lo bisanya tegang mulu tiap hari," kekeh Una membuat Radit seketika menyusutkan tawanya lantas kembali memasang wajah sedingin patung.
"Emang wajah gue sekaku apa?"
Una tersenyum sebentar. "Wajah lo tiap hari mah datar kayak gini." Una menirukan gaya wajah Radit dengan mata melotot dan bibir menipis tanpa senyum sedikit pun.
Radit menekan senyum tipisnya membuat Una langsung heboh. "Tuh, kaaan, nah, kayak gitu tuh." Gadis itu tanpa sadar menyentuh wajah Radit dengan jemarinya, menyentuh ujung bibir Radit yang terlihat sangat tipis.
Radit dengan spontan menepis tangan Una dari wajahnya, gadis itu gelagapan. "Sorry ... sorry gue lancang ya?"
"Nggak. Nggak apa-apa, tapi jangan lagi."
Ada awkward silence yang membuat udara di mobil menjadi semakin dingin dengan atmosfer lain diantara mereka.
"Kos lo ke arah mana?" tanya Radit memecah keheningan yang tercipta sejenak.
Una mengambil secarik kertas dari tasnya lantas memberikannya pada Radit. "Gue nggak tau jalan sini, tapi gue catet alamatnya."
Pria itu jelas mengernyitkan dahinya, ini cewek beneran magang tapi nggak tahu arah, gimana kalau dia nyasar di kota orang coba? Ceroboh namanya.
"Lo sendirian di kos?" tanya Radit pendek.
Gadis itu menggeleng. "Ada sohib gue di sana."
"Terus kenapa nggak bareng sama temen lo aja malah pulang telat kayak tadi?" decak Radit tanpa bisa ditahan.
Una langsung memasang tampang jengkel, itu cowok nggak sadar diri apa? Yang bikin Una telat juga gara-gara kebanyakan tugas dari Radit.
"Kalo gue nggak dikungkung sama pembimbing, nggak bakalan gue telat pulang kayak gini," sindir Una tajam.
Radit berdecih keras. "Seenggaknya di ponsel canggih lo itu ada aplikasi bermanfaat kayak grab biar nggak kejadian kayak gini, Stupid!"
Una mengerucutkan bibirnya. Telak dengan jawaban Radit yang tak bisa ia bantah. Gadis itu justru menatap Radit terang-terangan.
Cowok itu melirik Una sekilas. "Kenapa?"
Una mengedikkan bahunya. "Gue heran aja, kenapa lo rela nebengin gue sampe kos, gue pikir lo cuma care sama Fani doang," jawab Una kelewat jujur.
Radit tersedak air liurnya. "Atas dasar apa lo bisa ngomong kayak gini?"
Una mendekatkan wajahnya pada Radit, membuat mata pria itu harus terbuka lebar atau minimal jelas menatap Una di depannya. "Meskipun gue baru sehari di kantor, tapi mata gue nggak rabun loh. Masih normal nggak ada minus atau plus. Sikap lo sama orang-orang itu kelewat datar dan dingin, gue baru tau kalo lo bisa semanis itu sana Fani. Pasti ada special something diantara kalian."
What? Radit ternganga. Apa sejelas itu ia menyikapi seorang Fani yang istimewa?
Radit berdeham sebentar. "Itu cuma dugaan lo."
Mendengar hal itu Una jadi tersenyum lebar. "Iya itu dugaan gue, karena sekarang gue juga tau kalo lo bisa ketawa selebar itu di depan gue. Dan lo cakep banget kalo ketawa."
Dan jawaban yang terdengar tanpa basa-basi itu membuat Radit tak bisa berkata-kata.
***