Heartbeat— 7

1312 Words
"Pelan-pelan makannya, Una, nggak bakal ada yang rebutan sama elo kok." Angga menggeser segelas minuman ke arah Una, membiarkan gadis di depannya masih saja terlihat rakus melahap semua makanan yang tersaji di atas meja. Kentang goreng balado, spaghetti, pisang bakar coklat, dan segelas squash lemon dingin menjadi penutup makan siang mereka. Gadis itu baru bisa mendongakkan kepalanya saat makanan di depannya tandas tak bersisa meskipun pisang bakar keju di depan Angga masih separuh dan spaghetti milik Melda masih utuh. Melda berdecak takjub dengan porsi makan Una yang nggak pernah berubah sejak dari dulu. "Cara lo makan kayak orang nggak pernah makan sampe tiga hari aja," ejek Melda sedikit terkekeh. Una mengusap bibirnya dengan punggung tangan sebelum Angga mengambil tangan Una lantas mengelap noda di bibir gadis itu dan kedua tangannya dengan telaten. "Lo tau nggak, Mel, selain pekerjaan gali kubur dan kuli bangunan, ternyata magang juga membutuhkan banyak sekali tenaga buat bisa lari-lari." Melda tertawa ngakak. Tahu banget kalau Una itu lagi ketiban sial karena mendapatkan pembimbing galak dan jutek. "Pak Radit segalak itu apa? Gue liat dia kalem banget," nilai Melda membuat Una langsung menolak mentah-mentah penilaian yang sebenarnya kontradiktif banget dengan fakta. "Omongan yang berbasis dugaan, bukan fakta emang seenaknya ya," sahut Angga mewakili apa yang dirasakan oleh Una. Gadis itu cuma bisa mengangguk, mengernyitkan dahinya saat mendengar omongan Angga yang terlalu intelektual baginya. "Maksud omongan Angga tuh, daripada banyak bacot mending liat sendiri." "Gue sama Angga malah satu tim," ceplos Melda dengan lirikan matanya ke arah pria yang kini menatap Una dengan saksama, bahkan tak berkedip, Melda jadi jengah, "pacar lo bucin amat dah, Na." "Pembimbing kalian siapa sih?" tanya Una tak menggubris ucapan Melda. "Mbak Fani, orangnya santai banget bawaannya, nggak tegang juga kayak Mas Radit lo," kekeh Melda. Emang ketiban sial bagi Una harus menjadi anak asuh Radit, pengecualian tentang Radit yang gampang salah tingkah dan sering jadi objek godaannya, itu cowok galaknya kebangetan kalau sudah beneran fokus pada kerjaan. Seolah mengerti kekalutan Una yang terbaca dari wajahnya, Angga mengambil tangan gadis itu, menyadarkan Una dari lamunannnya. "Kalo lo nggak suka sama Mas Radit, gue bisa bilang buat tukar pembimbing sama elo, gimana?" tawar Angga kelewat baik. Angga tuh pinter, berbeda jauh dengan Una yang harus belajar keras dulu baru dapat nilai baik. Kalau pun harus ganti-ganti pembimbing juga tidak akan menjadi masalah buat cowok itu. Bahkan, perjalanan magangnya kali ini saja ia anggap sebagai refreshing dari berbagai hal yang berbau kampus. Una menggeleng. Tak ingin Angga terusan berkorban buat dia. "Nggak apa-apa kok, lagian meskipun galak, Radit galaknya pas revisi tugas gue doang." Melda memejamkan matanya, menggali ingatan tentang sesuatu yang sejak tadi ingin ia utarakan. "Mas Radit tuh temannya Mbak Fani nggak sih?" tanya Melda ragu. Fani? Una terdiam sejenak. Ingatannya terlempar saat ia bertemu dengan Radit di stasiun dan saat ia bertemu di dapur pagi tadi. "Yuk, Sher." "Ayo, Fan, gue udah ambil pai sama tehnya." Iya, cewek yang ditemuinya di dapur itu lah yang bernama Fani. Tatap mata Una beralih menatap Melda. "Fani yang cakep itu kan? Hidungnya ramping? Mata lebar, kalau ketawa merdu banget," tebak Una mendapatkan anggukan dari Melda. Ada yang perlu diberitahukan pada Melda tentang kenyataan yang ada. "Lo tau nggak, Fani tuh pacarnya si Radit, tapi entah dia pacar atau selingkuhan ya, soalnya gue juga ketemu Radit di stasiun pas pertama kesini barengan cewek juga," bisik Una pelan banget seolah takut kalau gosip ini bakal nyebar dan terdengar di penjuru kantor. "Lo nggak lagi ngaco kan? Mbak Fani tuh baik banget masa iya mau jadi selingkuhan Mas Radit?" Angga menggaruk dahinya tak heran dengan kelakuan Una yang sebentar-bentar seperti informan terpercaya, dan sebentar lagi ia akan berubah menjadi ragu dengan informasinya sendiri, karena begitu Melda memberikan penyangkalan, gadis itu langsung terdiam. "Lagian kalian ngapain ngurus soal Mas Radit punya selingkuhan atau enggak sih?" cebik Angga sebal. Dia juga cowok normal, maksudnya bukan berarti kalau cowok normal harus punya selingkuhan, tapi mendengar Una ngomongin cowok selain dia yang notabenenya adalah pacar Una rasanya juga bikin sebel. Una langsung melirikkan matanya tajam pada Angga, seolah ingin berkomentar keras pada cowoknya itu. "Nggak terima kalo gender lo digosipin kita?" tanya Una galak seperti biasanya. Angga cuma bisa menggelengkan kepalanya dengan senyum kecil, Melda terkekeh melihat Angga yang lantas terdiam tak membantah ucapan galak Una. "Lagian tuh ya, cowok ganteng kayak gitu kenapa harus selingkuh sih, mencemarkan nama baiknya aja," keluh Una membuat dahi Angga semakin mengernyit. "Jadi yang lo permasalahin itu Fani atau Radit sih, Na?" Una terdiam sebentar. "Gue lebih sayang sama Fani sih, dia kan cakep tuh." "Tapi, kenapa gue liatnya kalo lo lebih sayang ke Radit gara-gara dia punya pacar dua?" Una melengos. "Ya jelas dong, cowok tuh harus bisa jaga mata, jaga hati, dan jaga diri dari godaan cewek yang terkutuk. Udah punya pacar tapi masih suka sama cewek lain. Itu namanya juga terkutuk, dan kalo ada cowok ganteng yang kayak gitu, sumpah—" Una memejamkan matanya sebentar lantas membukanya kembali dengan sorot dingin, "gue nyesel kenapa Tuhan udah ngasih kelebihan sama dia. Kalo bisa malah diambil aja kelebihan itu, misalnya aja mukanya yang ganteng jadi rusak kecakar kucing." Angga meringis. "Lo nggak gitu, kan, Ga?" tanya Una tiba-tiba. Cowok itu tersedak tawanya lantas cepat-cepat menenggak minuman di depannya dengan terburu. "Ya nggaklah, Na, apa gue keliatan kayak player, hm?" tanya Angga sembari membelai kepala gadis itu mirip kucing. Una menggeleng kencang. "Kalo beneran iya, palingan gue jadi benci banget sama lo, atau kalo perlu nggak mau ada urusan lagi sama elo." Melda meringis. "Terus kalo sama selingkuhannya, lo nggak mau ngasi hukuman juga, Na?" Una mengangguk mantap. Matanya menyipit memikirkan hukuman yang pas buat cewek kegatelan. "Ceweknya bakal gue jambak pas ketemu, gue buat dia hidup sengsara tak punya pilihan selain mati," jelas Una membuat Melda tertawa, ia sedikit melirikkan matanya pada Angga. "Ga, pacar lo sadis amat," ujarnya dengan tawa hambar. *** Mereka baru saja tiba di kantor saat dengan tiba-tiba Una mendapati Radit tengah berjalan sendirian, tak ada teman. Gadis itu melirik ke arah Angga dan Melda. "Guys, gue nyamperin Radit dulu ya?" "Harus banget patuhnya ya, Na?" tanya Angga makin geram. Una langsung melambaikan tangannya. "Enggak kok, ini emang gue mau nyamperin aja, mumpung dia lagi sendirian. Gue pergi dulu ya, Dah." Una terburu meninggalkan dua orang yang kini justru menatap kepergiannya dengan tanda tanya. Angga terdiam membeku melihat girangnya Una saat melihat Radit, Melda melirik ke arah Angga. Mengetahui apa yang tengah dipikirkan oleh pria itu. "Una lo kayaknya kena syndrom Radit deh," ucap Melda pelan. Angga masih saja mengikuti punggung Una yang berjalan bersisian dengan Radit atau bahkan tertawa saat Radit menepis tangan Una. "Kayaknya gue harus minta tukar pembimbing beneran deh sama Una," desis Angga pelan namun pasti. Melda menoleh cepat, mendengar satu bisikan sehalus angin namun dingin itu. "Kenapa gitu? Kan udah baik-baik kayak gini, Ga?" Angga menunjuk dengan dagunya. "Lo nggak liat apa, bukan Radit yang galak, tapi Una yang suka banget goda Radit." Melda mengikuti arah pandangan Angga, mendapati Una yang benar-benar asyik saat bersama Radit, seolah kedekatan itu bukanlah kedekatan anak magang dengan pembimbingnya, tapi pacar orang dengan cewek kegatelan. Melda terkekeh. "Una ... Una, dia ngomongin hukuman cewek kegatelan kayak tadi buat dia sendiri ya?" tanya Melda ironi. Angga mendengkus. "Mulut lo dijaga!" sembur Angga lantas meninggalkan Melda sendirian. Gadis itu terpasung membeku. Menatap Angga yang kemudian berjalan meninggalkan dia tanpa menoleh sedikit pun. Ada yang teriris dalam hatinya saat melihat Angga justru menyentaknya seperti tadi. Kalau boleh ia jujur, sebenarnya ia sangat iri pada Una. Punya cowok sebaik Angga, seperhatian, bahkan rela mengorbankan semuanya demi Una. Ia jatuh cinta pada cowok yang sama, iya sama. Ia jatuh cinta pada Angga, namun menjadi sahabat Una adalah satu kesalahan besar karena tak bisa merebut Angga dari sisi gadis itu. Dan itu lah yang disayangkan oleh Melda. Apa ia perlu berkhianat pada Una untuk mendapatkan Angga? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD