Bagi Radit, mengenal Fani adalah sebuah taubat, meski nggak langsung membuat Radit rajin sembahyang lima waktu namun perlahan melunturkan kebiasaan buruk yang telah dilakoninya selama belasan tahun.
Dan perubahan besar itu semakin ditunjukkan Radit dengan tak lagi memainkan hati para perempuan, pria itu sudah bersumpah kepada Tuhan bahwa akan mencintai satu wanita dalam hidupnya.
Agaknya doanya sudah terkabul, namun menjadi boomerang bagi dirinya karena perempuan yang ia suka justru telah memilih hidup bersama orang lain.
Menjadi orang baik memang susah, berubah itu mudah namun mempertahankan itu yang paling susah.
Dan malam ini, di depan sebuah bangunan gemerlap di tengah malam, setelah beberapa bulan ia tak lagi menginjakkan kakinya di sini, akhirnya Radit kembali pergi.
Otaknya sudah tak bisa lagi diajak untuk berpikir, kenyataan bahwa tantangan dari Sheryl ditambah berita bahwa pernikahan Fani kurang sebentar lagi membuat otaknya semakin buntu, langkahnya melumpuh, dan ingin sedikit terhuyung dari kenyataan pahit ini.
Pelan namun pasti langkah Radit membawa ke area gemerlap malam, menggilakan sepatu bermereknya pada debu jalanan yang pernah mendengar sumpahnya untuk mencintai satu wanita saja di suatu malam.
Vincent.
Kedatangan Radit yang tiba-tiba membuat beberapa pelayan dan bartender di sana mengangkat satu alisnya kaget. Ada apa gerangan, masalah sebesar apa yang membuat seorang Raditya, mantan player yang sampai sekarang masih menjadi nomor satu perbincangan para wanita malam.
Melihat kembalinya Radit membuat beberapa dari mereka bersorak takjub. Pria itu sendiri sudah tak mau berpikir lagi saat mulutnya dengan lancarnya meminta sebotol chivas, vodka, dan sedikit wine putih.
Mata Radit mengedar, menatap beberapa wanita yang berbisik di dance floor, pria itu berdecih. Sekali player tetaplah player! Gue bakal buktiin kalo dalam waktu seminggu bisa dapetin satu cewek buat dipersembahkan ke hadapan Fani dan mulut anjis Sheryl.
Dammit! Mereka seharusnya tahu bahwa seorang Radit memang memiliki pesona, namun mengapa untuk merebut Fani dari Yoga, ia selalu gagal?
Radit berdecih, saat sebuah tangan membelai lembut bibirnya, seorang wanita duduk di pangkuannya dengan senyum memikat. Radit tersenyum, bahkan wanita di depannya ini saja takluk di hadapan Radit tanpa harus bersusah payah mengeluarkan rayuannya.
Mengapa seorang Fani yang diperlakukannya dengan lembut, dihormati, dijaga, dan dicintainya harus membuatnya terluka? Mengapa?
Ada banyak mengapa yang kemudian tak bisa membuat Radit berpikir jernih, apalagi saat wanita di depannya sudah menempelkan bibirnya ke bibir Radit, mengirim tegukan chivas dari mulutnya agar lebih memabukkan.
"Ingin melanjutkan ke ruangan yang lebih nyaman dari sini?" tawar wanita di depannya. Tangannya yang terlatih untuk merayu sudah membuka satu per satu kancing kemeja Radit.
Oh, God! Bahkan disaat kesadarannya hampir hilang ia masih menyesali mengapa harus memilih kemeja untuk ke sini tanpa ganti baju dulu?
Radit tak menggubris bahkan saat tangan lentik dan penuh rayuan itu mulai menelusup semakin dalam, satu tangan membelai wajah Radit, satu lagi digunakan untuk mengusap otot perutnya.
Otaknya sudah buntu, saat sentuhan panas itu membuatnya nyaris gila. Tuhan, ia tak tahu apakah harus membawa pulang wanita malam seperti ini untuk Fani?
Kalau pun harus ada ganti, sesudah seharusnya ia memilih yang sepadan, setingkat, atau justru yang lebih baik u tuk membuktikan bahwa ia juga berhak bahagia dan bisa mendapatkan yang lebih baik seperti doa mereka pada Radit.
Radit berdecih sekali lagi. Ia memejamkan matanya saat rasa panas membakar melewati tenggorokan, sebotol Vodka habis ditenggaknya, menyusul chivas, dan wine putih yang diremehkannya.
Fokus mata pria itu menatap wanita di depannya, Radit tersenyum, senyum miring dengan kesadaran yang entah hilang atau justru sedikit dipertahankan sampai pulang nanti, karena begitu kepalanya buntu ia justru menunduk dan memiringkan kepalanya untuk mencium kemabukan yang lebih dahsyat, detik kemudian, ia seperti terbangun dari tidurnya, dihempasnya wanita itu lalu berdecih.
Pria itu mengambil beberapa lembar uang lantas melemparkannya ke paha wanita tersebut. "Gue balik, vodka ini udah tawar."
Dan pria itu bangkit dengan terhuyung, berjalan keluar dengan sisa kesadaran yang dipertahankannya.
Mendadak sebuah tangan menarik pria itu sampai ditepian mobil. Mata Radit yang berkunang tersenyum, bibirnya ikut melengkungkan senyum.
Pria itu mendesah, tangannya terangkat membelai kepala di depannya. "Fan ... gue cinta mati sama lo, tapi kenapa lo suka sama pria bangke itu, hah?"
Tangannya terhenti membelai saat perempuan di depannya menunduk, menatap wajah Radit dengan sendu. "Dit, lo mabuk, gue anterin lo balik sekarang."
***
Pengapnya udara malam ditambah dengan Melda yang sekarang sudah kelelahan setelah bercerita tentang betapa manisnya cowok di kantor itu membuatnya lantas tertidur.
"Mel, gue belom ngantuk niih, jangan tidur dulu dooong," rajuk Una memaksa membuka mata gadis di depannya.
Melda berdecak, gadis itu menutup wajahnya dengan selimut. "Ya udah kalo belom ngantuk jagain kos aja sampe pagi, keliling kalo perlu."
Una menggeram gemas. "Mulut lo masih aja nyablak pas udah tidur gini ya?" ejek Una.
Tak ada jawaban. Una mendesah. Begini lah efek kalau ia meminum kopi lebih dari satu, kopi satu gelas saja sudah berhasil membuatnya terjaga semalaman, apalagi tadi ia hampir minum dua gelas kopi untuk menyelesaikan tugasnya dari Radit.
Kalau dilihat-lihat dua cangkir kopi jelas tidak apa-apanya bagi mereka, tapi bagi Una, itu jelas banget petaka saat ia minum di malam hari, karena efeknya terlalu dahsyat untuknya.
Gadis itu memilih untuk keluar, mencari udara dingin malam kota Bandung yang tak pernah tidur. Lalu lalang mobil masih sama ramainya di malam hari, kaki gadis itu berjalan semakin jauh saat ia menemukan satu bangunan besar, gemerlap, dan ia menyadari telah sampai pada sebuah club.
Muncul kepanikan saat ia berjalan terlalu jauh tanpa tahu ke arah mana pulangnya. Beruntung ia membawa ponsel. Dibukanya google map lantas diketiknya alamat kosnya.
Una menyipitkan matanya melihat rute yang tertera di google map. Gadis itu mendongak, berdesis gemas.
"Emang bener kalo gue cewek, nggak bisa baca google map," decaknya.
Gadis itu hampir menangis saat tak dilihatnya mobil melewati jalanan saat itu, padahal ia yakin sejak tadi saat ia berjalan tanpa sadar, banyak sekali mobil yang berjalan melewatinya.
Sial banget! Minta tolong sama siapa coba? Hampir menangis saat matanya menangkap sosok yang dikenalnya di depan Vincent, berjalan dengan terhuyung.
Lebih besar rasa penasaran daripada takutnya saat Una terkejut menemukan Radit yang betulan dilihatnya keluar dari club itu.
Diseretnya pria itu sampai pada sebuah mobil. Mata Radit yang kehilangan fokus menatapnya, tersenyum lantas meringis putus asa. "Fan ... gue cinta mati sama lo—"
Fan? Fani? Astaga!
Ditatapnya Radit sekali lagi, saat lengan pria itu menyentuh dan membelai kepalanya dengan kelembutan dan hati-hati, bahkan di situasi mabuk seperti ini, Radit tak kehilangan sopan santun untuk memperlakukan seorang 'Fani' dalam kelembutan.
"Dit, lo mabuk—"
Terlihat dengan jelas Radit berusaha keras untuk menegakkan badannya, dengan kecepatan tiba-tiba yang dimiliki oleh orang mabuk, Radit memeluk Una erat. Sangat erat malahan, seperti pelukan seorang pria yang takut kehilangan atau justru sebuah pelukan keputus asaan.
Deru napas Radit bercampur aroma alkohol dari mulutnya membuat Una ingin muntah di tempat.
"Gue bahkan lebih baik dari Yoga, gue nggak selingkuh, Fan. Gue cuma pengen hidup bahagia sama lo sampe tua." Radit menangis. Sebuah tangis yang ditenggelamkan seolah ia masih sadar untuk menyembunyikan tangis itu dari Una.
"Bokap sama nyokap gue bahagia banget liat gue bisa berhenti mabuk, berhenti bikin mereka nangis karena tak ada lagi perempuan yang ngadu ke mereka abis gue nodain, mereka bangga Fan," isaknya dengan suara yang naik turun.
Mempertahankan posisi pelukan, dan berat bobot pria itu saat mabuk, Una sedikit terhuyung, gadis itu bertumpu pada badan mobil.
Kepala Radit menjauh sedikit, menatap Una di depannya dengan mata berkaca-kaca. Radit memiringkan kepalanya, ada senyum yang hadir di sana. "Salah kalo gue minta lo buat jadi istri gue, Fan? Huh? Oke, gue tau nggak seharusnya gue minta lo kayak gini karena udah ada Yoga."
Una terdiam, membiarkan monolog Radit terus meluncur keluar, memang apa lagi yang bisa dilakukan oleh Una? Cukup menjaga tubuh Radit saja itu cukup.
Mendadak, wajah Radit semakin mendekat, aroma napasnya tercium lebih kuat saat kepala pria itu semakin menghapus jarak. "Izinin gue buat melakukan hal ini sekali ini saja."
Dan Radit melumat bibir Una dengan kesetanan, gadis itu terkejut, mendorong kepala Radit disaat mabuk sama susahnya mendorongnya saat sadar.
Una tak tahu harus apa, saat kedua tangannya ikut dikunci oleh Radit, ditarik ke atas dan membiarkan bibir pria itu terus melumatnya, Una memejamkan matanya.
Saat bibir Radit membasahinya, mengirim aroma alkohol itu bercampur dengan liurnya. Merasa tak bisa mendorong Radit lewat kepala Una hanya bisa memejamkan matanya dan hampir menangis ketakutan.
"Diiit, ini gue Una! Bukan Fani. Gue, Dit. UNA!" Seruan Una cukup membuat Radit tersentak lalu melepaskan dirinya, menjauh dari Una dan menatap gadis itu dengan panik.
Seperti kesadaran yang hilang dimasukkan kembali dalam raganya. Pria itu menatap Una bolak-balik, melihat gadis itu ketakutan dan menutup wajahnya. Una menangis?
Astaga! Radit mengusap wajahnya.
Disentuhnya bahu Una. "Na, gue nggak tau itu lo, gue nggak ada maksud buat nyakitin elo."
Una menggeleng, Radit menyumpahi dirinya saat tahu ketakutan Una yang melebihi batas wajar. Gadis ini—
Sangat polos.
"Gue anterin lo balik ya, Na?" Tanpa meminta persetujuan gadis itu, Radit sudah memapah Una, berusaha keras untuk sadar di tengah kondisi kepalanya yang pusing hebat.
Ia menoleh, menatap gadis yang kini sembap akibat ulahnya, Radit merutuk, harusnya ia tak melakukan hal lebih. Mabuk selalu membuatnya melakukan hal yang merugikan.
Mau sampai kapan ia masih berani mabuk kayak gini lagi?
Disodorkannya sekotak tissue saat Una justru menjauh darinya dengan ketakutan, Radit nelangsa. Pria itu menarik lengan Una, membelai kepala gadis itu dengan lembut.
"Gue udah sadar, Na. Jangan takut lagi, gue janji nggak bakal ngapa-ngapain elo," janji Radit membuat kepala Una tertoleh seketika.
Raut gadis itu berangsur membaik. "Gue pengen pulang," tegas gadis itu dengan suara serak.
Radit mengangguk cepat. "Gue anterin lo pulang, lo tidur aja ya," pinta Radit.
Mata gadis itu memicing ragu saat kemudian Radit memberikan sebuah jaket tebal untuk Una. Radit melingkupi Una dengan jaket tersebut lantas menepuk kepala gadis itu sekali lagi.
"Lo tidur aja, gue janji nggak bakal bikin lo takut lagi."
Una memejamkan matanya, gadis itu menghela napas panjang. "Gue bukan Fani, Dit, gue Una," bisiknya.
Radit mengangguk. "Iya gue tau. Gue mabuk tadi."
"Lo jangan kayak tadi, gue takut."
Radit mengangguk. "Gue janji bakal jagain elo."
Una tersenyum, sedikit tenang lantas memejamkan matanya, kepalanya berpaling menatap jendela di sampingnya. Radit menoleh saat dengkuran halus Una terdengar.
Pria itu menjambak rambutnya sekali lagi. "Radiiiit, beruntung lo nggak sampe kebablasan."
Radit membuang napasnya keras. "Untung saja nggak sampe ranjang," desahnya lega luar biasa.
***