Heartbeat— 15

1274 Words
Una langsung menghentakkan tangan Angga begitu sampai di meja kosong, gadis itu ikut menghempaskan tubuhnya di kursi lantas menatap Angga dengan sorot yang tak bisa terbaca. Melda mulai menyilangkan kedua tangannya di atas meja menjadikannya tumpuan karena sebentar lagi akan ada drama romantis dimana cowoknya bucin mampus dan ceweknya nggak tahu diri. "Ngomong sekarang," tegas Angga. Una mengambil napas panjang. Ini bukan kesalahannya yang berulang kali, Angga pasti memaafkan apalagi cuma nggak bisa makan bareng. "Gue dipaksa Sheryl buat makan bareng mereka." Angga menaikkan satu alisnya. "Kenapa nggak ditolak aja terus bilang kalo udah janjian sama pacar?" Una gantian menoleh kaget. Ia langsung mengibaskan tangannya buru-buru dengan wajah yang menyiratkan penolakan. "Gaa, ini cuma masalah makan siang bareng loh, nggak usah sampe bawa-bawa pacar segala ah," tukas gadis itu merasa Angga terlalu banyak khawatir kepadanya. Angga mengangguk, sementara matanya tak bisa berhenti menatap Una dengan penuh pertanyaan."Terus kenapa tadi Mbak Fani nanya sama gue, soal elo ada pacar atau enggak?" Cari gara-gara emang, Una mana tahu kalau Fani bakal nanya soal itu, apalagi mereka baru bertemu dua kali. Una melirikkan matanya, Angga masih menunggu jawaban dari gadis itu dengan sabar. "Mungkin Fani liatnya gue serius belajar, makanya dia sampe bilang kayak gitu ... ah, bener kan, Mel?" Mata Una menghunus ke arah Melda, memaksa gadis itu ikut menganggukkan kepalanya. Melda melotot. Emang susah jadi orang ketiga diantara pasangan bucin gini. "Iya bener. Una kan emang mau serius magang, Ga. Mungkin Mbak Fani mikir kenapa Una keliatan serius banget sampe nggak pernah komunikasi sama pacarnya." Angga mengangguk. Pria itu tersenyum lantas membelai lembut kepala Una seperti kucing. "Kamu jangan serius-serius makanya, belajar tuh harus sersan, serius tapi santai," pesan Angga membuat Una harus memaksakan sebuah senyum. Tuh, kaaan, coba aja cari cowok yang kayak Anggada-nya ini. Seribu banding satu, langka banget di dunia ini ada cowok yang sabarnya kebangetan. Melda memejamkan matanya, tak tahu lagi harus bagaimana mengurusi dua orang di depannya, ternyata bucin dan g****k itu terpisah garis tipis, jadi Angga yang cerdas bakalan g****k kalau udah berhadapan dengan Una. "Percaya sama gue, kan, Ga?" Una kembali membuka suara. Angga mengangguk. "Gue percaya, nggak ada apa-apa antara elo sama Radit juga gue percaya." Una terdiam, untuk yang terakhir itu, entah mengapa seolah tak ingin membuat Una mengangguk menyanggupi. Angga melirik Melda, alisnya terangkat seolah mengatakan bahwa dugaannya tentang Una yang melupakan mereka adalah hal yang tidak mungkin. Apalagi Una melupakan Angga? "Gue udah bilang, kan, mana mungkin Una sampe selingkuh sama Radit. Dia Una gue," desis Angga tepat di telinga Melda seolah menegaskan bahwa kekhawatirannya terlalu berlebihan. Melda memalingkan mukanya. "Sekali bucin ya bucin, g****k banget si Angga." *** Terngiang kembali pada tantangan Sheryl perihal menemukan cewek yang tepat untuk diajak ke acara pernikahan Fani nantinya. Radit mengambil kalender di depannya, membulati angka pada satu bulan, kalau dihitung-hitung, berganti bulan masih dua Minggu, itu artinya Sheryl memaksanya untuk menemukan cewek dalam waktu dua Minggu? Cuma cari cewek, kan? Radit mendengkus. Cari di Vincent, Marc, atau di club-club nigth lainnya juga banyak. Cewek mana yang berani menolak pesona Radit? Banyak sekali cewek yang lebih cantik dari Fani. Banyak banget cewek yang mencintainya seperti ia mencintai Fani. Ia akan membawa gadis itu untuk membuktikan kepada Fani dan Sheryl, kalau Radit, mantan player itu juga masih bisa kembali memainkan hati segenap wanita. Jangan kan di Vincent, bahkan cewek di kantor banyak yang diam-diam mencuri pandang ke arahnya, itu cukup membuktikan bahwa pesona Radit memang tak pernah luntur. "Gue bakal mengencani salah satu dari mereka, liat aja!" desis Radit menyentakkan kalender yang dipegangnya. *** Melda menghela napas untuk yang kesekian kalinya, namun Angga tak juga mengangkat kepalanya barang sejenak dari layar laptop di depannya. "Ga, semudah itu lo percaya sama Una ya?" Angga mengangguk tanpa mengangkat sedikitpun kepalanya. "Percaya." "Gue sebagai cewek aja ngerasa kalo Una tuh udah beda banget, kenapa elo nggak ngerasain sedikit pun ... kalo sekarang dia beda?" Barulah Angga mengangkat kepalanya, kali ini ada sorot tak suka dengan ucapan yang terus dilontarkan oleh Melda. "Una cuma pengen serius sama magangnya kali ini, bukannya elo denger sendiri? Dia punya tekad buat lulus dengan nilai cumlaude nantinya? Berhenti buat menuduh Una yang enggak-enggak," bentak Angga tajam cukup membuat Melda tersentak. Melda tak menyangka saja, Angga membentaknya demi Una? Hanya demi seorang gadis yang ceroboh, nggak pernah mikir perasaan orang? "Kenapa lo nggak merasa itu cuma alibi?" Angga menggeleng. "Una mempunyai pikiran yang sederhana, meski terlihat banget dia deket sama Radit bukan berarti ia suka. Ia hanya dekat karena hubungan anak bimbing dengan pembimbingnya, nggak lebih." Melda mengangguk, baiklah, ia harus menahan dan mencari tahu apa benar Una hanya menganggap Radit seperti itu, ia tak pernah berbelas kasih kepada orang yang berpotensi menyakiti Anggada-nya, termasuk jika itu sahabatnya sendiri. Una. *** Una tersenyum kala melihat Radit tengah serius menatap layar di depannya. Begitu melihat kedatangan Una, pria itu tersedak seolah kedatangan gadis itu terlalu menakutkan baginya. "Lo kenapa dateng kesini sih?" Una mengernyit, sementara Radit menghela napas menyadari pertanyaannya tidak logis. Una duduk di depan Radit dengan mata menatap lekat pada pria itu, pria itu memicingkan matanya. "Setiap kali lo natap gue kayak gitu, selalu hal aneh yang bakal keluar dari mulut lo?" Una melongo, sejenak gadis itu langsung mendesah, ia menyilangkan kedua lengannya di atas meja dan mendekatkan wajahnya pada Radit supaya pria itu bisa mendengar dengan jelas ucapan Una. "Kenapa ... tadi Mbak Fani nanya gue belom ada pacar? Pasti dia mau jodohin gue sama elo, kan?" tanya Una lantas tertawa kencang. Radit tertegun. Gadis ini menganggap seolah apa yang dikatakannya adalah lelucon, gadis itu tak pernah tahu bahwa aksi percomblangan mereka akan berlanjut, beruntung Angga datang, memunculkan eksistensinya sebagai cowok Una. Radit balik menatap Una dengan sorot serius. "Kalo misal beneran Fani punya niat kayak gitu gimana reaksi lo?" tanya Radit, ia kembali mengeluarkan tatap mata yang bisa bikin semua cewek terjerat pesonanya. Una menutup mulutnya dengan kedua tangan dan bola mata membesar. Dengan senyum yang dinilai Radit pasti cewek ini terpesona dengan tatap matanya Una membalas tatapan Radit sama tajamnya. "Elo cuma bisa natap kayak gitu sama cewek yang gampang baperan ngeliat muka cakep lo, but, itu nggak berlaku sama gue," jawab Una bikin Radit melotot. Pria itu tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Segera saja Radit membuang mukanya, pria itu mengambil air di sampingnya, lantas meneguknya dengan terburu. Shit! Jawaban macam ini cuma bisa ditemukan Radit saat bersama Sheryl dan Fani, but, coba lihat, sekarang ada lagi cewek yang sama sekali tak mempan dengan tatapannya. Tepat ketika Radit tak menatap Una, gadis itu ikut memalingkan mukanya, membuang napas lega karena hampir saja gadis itu termakan pesona Radit sebelum akhirnya berhasil untuk menahan sekelumit kalimat. "Gue mau jadi cewek lo, sumpah!" Radit melirik Una yang kini menatapnya dengan senyum, pria itu tak pernah tahu bahwa Una tengah mempertahankan senyum sombong ditengah hatinya yang kebat-kebit menahan pesona Radit. Gila ya, gimana magangnya bisa berhasil kalau ia dihadapkan dengan pembimbing keren yang membuatnya harus jaga image terus coba? Radit berdeham. "Gue cuma iseng nanya, jangan dimasukin ke hati." "Gue cuma iseng jawab, jangan dipikirin terus," balas Una. Radit tertegun. Ingin sekali menyangkal setelah melihat kemiripan Una dan Fani dalam beberapa hal. Dan hal kayak gini justru membuat Radit terasa kacau, ia terus memantapkan hatinya, ini cuma kebetulan sama. Mereka berdua memang punya sifat yang mirip, tapi tetap saja Una bukan Fani. Iya, Una bukanlah Fani. "Jadi kenapa Mbak Fani nanya gue udah ada pacar atau belom?" Una kembali mengulangi pertanyaannya yang tidak terjawab. Radit terdiam sejenak sebelum menjawab dengan singkat. "Mungkin ada yang bakal dicomblangin sama elo." Jawaban itu serta merta membuat Una berpikir dan menyimpulkannya. "Selain kerja di kantor, Mbak Fani juga biro jodoh ya?" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD