"Lo tau semalem Radit dateng ke rumah gue bareng siapa?"
Kepala Sheryl mendekat saat Fani berbisik dengan muka serius banget, seolah apa yang diucapkan oleh Fani kali ini adalah rahasia negara yang nggak boleh dibocorkan kepada pihak manapun.
"Radit dateng barengan Helena ya?" tebak Sheryl spontan mendapatkan toyoran keras dari Fani, itu cewek kalau ngomong asal nyambar aja.
"Helena kan udah ada di rumah sakit Sher, ya ampun, jangan ungkit Helena lagi lah." Selain ini bukan urusan Helena, pun ini bukan cerita tentang Helena lagi, dan Fani tahu bahwa cerita tentang Helena telah usai.
"Ya terus sama siapa dong, lagian Radit tuh nggak pernah yang namanya deket sama cewek gue selama ini, malah gue pikir dia penganut kaum Sodom."
Tuh, kan, asal omong nggak tuh, sebelumnya yang belum kenal Sheryl, mohon harus terbiasa karena sohib Fani yang satu ini tuh punya mulut tapi nggak ada filter, jadi ya kebiasaan lah kalau ngomong suka kelancor gitu.
Fani tersenyum ada raut kepuasan, harapan, dan juga kelegaan saat akan mengatakan satu kalimat yang pastinya membuat Sheryl tercengang.
"Semalem Radit dateng barengan anak bimbingnya ... Aruna."
***
"Nanti makan siangnya barengan ya, nunggu gue, jangan kemana-mana lagi, nggak boleh ilang-ilang lagi." Una manggut-manggut saat Angga memperingatinya dengan kalimat panjang lebar.
Angga menolehkan kepalanya menatap Una dengan alis terangkat. "Pasti nggak didengerin tuh."
Una langsung cemberut, gadis itu menatap Angga dengan bibir menipis. "Denger koook," belanya.
Angga mengacak-acak rambut Una dengan gemas. "Jangan main-main lagi sama cowok lain kayak semalem," peringat Angga lagi.
"Kenapa?"
Entah polos atau emang b**o, yang pasti pertanyaan itu harusnya tak perlu ditanyakan lagi. Karena sudah pasti yang namanya pacar wajar kalau cemburu lihat ceweknya jalan sama cowok lain selain dirinya, dan Una masih menanyakan hal itu?
"Gue cemburu, Na, kalo lo pengen jalan, bisa bilang sama gue, gue jabanin kok," pinta Angga dengan mata melembut.
Melda yang duduk diantara mereka berdua cuma bisa memalingkan mukanya menahan mual atas drama romantis yang memuakkan baginya. Seharusnya hal ini sudah biasa buatnya namun tetap saja melihat kebucinan mereka tak urung membuat Melda ingin segera enyah dari tempat tersebut.
Memang apa enaknya sih jadi kaum jomblo diantara orang yang tengah berpacaran, apalagi ngeliatin yang 'uwu-uwu' kayak gitu.
"Please deh, kalian tuh bisa nggak sih nggak perlu bucin kayak gini di depan gue, astaga, mual gue," teriak Melda dari belakang.
Angga menolehkan kepalanya menghadap Melda yang ada di belakangnya, cowok itu tersenyum tipis lantas menyipitkan matanya. "Ngerusak suasana aja lo."
"Makanya cari pacar dong, hari gini masih aja betah jomblo," sindir Angga bikin Melda pengen jitak kepala cowok itu.
"Mentang-mentang sekarang udah punya Una bisa songong ya lo, gue dukunin kalian berdua sampe putus, nyesel gak tuh?"
Una ngakak. Angga mendecak sebal. Well, Una bakal jelasin dulu sebelum terjadi salah paham. Kenapa Angga dan Melda sering banget bertengkar dan keliatan deket banget?
Orang akan beranggapan bahwa Melda punya special something diantara dia dan Angga, namun yang orang-orang tidak tahu adalah kenyataan bahwa Melda sahabat kecil Angga, sementara Una adalah orang baru di antara mereka berdua, jadi kalaupun melihat Melda lebih akrab dengan Angga maka itu adalah hal yang wajar.
Bahkan bisa dibilang Melda adalah Mak comblang bagi Angga dan Una.
"Anaconda di perut gue bisa teriak lagi dengerin kalian bertengkar," keluh Una dengan muka nahan kantuk.
Angga menatap Una, melihat gadis itu menopangkan dagunya pada kedua lututnya. Masih pagi, Una sudah mengantuk padahal mereka masih dalam perjalanan menuju kantor, belum juga sampai.
"Mulai manja deh," cibir Melda memalingkan mukanya.
Una mesem doang. "Enggak kok, siapa bilang?"
"Masa iya?"
Una mengangguk. "Gue nggak manja kok, bener," ucapnya sungguh-sungguh. Melda mengiyakan saja, perlu bukti kuat agar ia bisa percaya dengan omongan sableng Una.
Angga tersenyum kecil. "Nanti pas sampe kantor pengen digandeng apa digendong?" tawar Angga perhatian.
Una nyengir. "Digendong sampe depan lift ya?"
Angga mengacak-acak rambut Una penuh sayang, sementara Melda sudah benar-benar mengambil satu kresek untuk memuntahkan isi perutnya.
Anjir, jangan sampai ia nemu pasangan yang lebih bucin dari ini!
Baru saja sampai kantor saat melihat sedan yang amat dikenalnya berhenti di parkiran, lantas pengemudinya turun dengan wajah dingin yang seperti biasanya ditampilkan oleh Radit.
Di posisi mengantuk yang teramat, entah bagaimana bisa kedatangan pria itu bagaikan sebuah cafein yang membuat mata Una berpijar, kantuknya hilang, dan senyumnya terbit seperti ada semangat yang mengaliri tubuhnya.
Angga baru saja turun, masih menggendong tas milik Una dan membawa tas kerjanya ketika ia melihat dengan mata kepalanya sendiri Una tersenyum melihat ke arah Radit.
"Na," panggil Angga mengusik fokus gadis itu. Seperti tersadar, Una langsung menatap Angga dan menunjuk Radit di belakang mereka.
"Gue nyamperin Radit dulu ya, kalian duluan aja nggak papa, sampe ketemu pas makan siang nanti lagi—" baru saja ingin melangkah namun jagalan tangan dari Angga membuat langkah terhenti seketika.
Gadis itu menoleh cepat melihat bagaimana raut Angga mengeras dan terlihat tak suka dengan tingkah Una. "Lo lupa apa yang udah gue bilang tadi?" tanya Angga membuat Una harus berpikir keras.
Kening gadis itu berkerut sebelum akhirnya ia melepas dengan paksa cekalan tangan Angga di lengannya. "Ini tuh cuma Radit loh, Ga, nggak usah sekhawatir itulah."
"Tapi—" Una terburu hilang, menghampiri Radit yang berjalan dengan santai melewati mereka saat Angga terpana melihat dengan gamblangnya gadis itu tersenyum ke arah Radit.
Melda di belakang Angga cuma bisa menggelengkan kepalanya. "Udah, jangan dimasukin ati, Una bilang nggak ada apa-apa diantara dia dan Radit," hibur Melda membuat kepala Angga terlengak sejenak menatap sohibnya itu.
Ada keprihatinan di wajah Melda saat melihat raut kaku Angga. "Dia bisa ngertiin perasaan gue nggak sih, gue cemburu loh."
Sepertinya Melda belum menjelaskan pada Angga selama ia berpacaran dengan Una, Angga dan Una memang baru berpacaran satu bulan, wajar kalau cowok itu belum tahu betul bagaimana sifat Una.
Gadis ceroboh, kekanakan, seenaknya, dan asal cetus saat bicara itu memiliki seribu keberuntungan dengan terkabulnya segala permintaan, termasuk permintaan saat Angga harus menjadi pacarnya.
Namun bukan itu poinnya, melainkan sifat Una yang satu ini. Selain karena Una merasa bahwa dirinya diberkati Tuhan karena sejak lahir selalu hidup enak, ia jadi tidak belajar menghargai pengorbanan dan perasaan orang lain.
Melda mendekati Angga, menepuk pundak cowok itu dengan pelan, seperti tepukan menenangkan, tepukan yang disukai oleh Angga karena ia merasa Melda selalu memiliki cara terbaik untuk solusi dari masalahnya.
"Gue sebagai sohibnya Una minta maaf banget tapi gue janji bakal ngasih tahu soal ini, dia emang suka seenaknya kayak gitu, tapi mana berani ia selingkuh?"
Angga menangkap tangan Melda lalu mengembuskan napasnya panjang dan berat. "Gue harap lo juga ngajarin Una buat peka sedikit," pinta Angga dengan wajah penuh harap.
Melda mengerutkan dahinya. Permintaan Angga yang satu ini seperti beban maha berat bagi Melda, gadis itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Dalam kamus hidup Una nggak ada kata peka," kata Melda serius.
"Terus yang ada apa?"
"Pe'a."
***