"Radiitt ... tunggu gue bentar dong."
Pria itu masih saja berjalan, tak menggubris, tak menoleh, dan ingin secepatnya berlalu dari sana. Una berdecak kesal, gadis itu berlari mengejar Radit yang saat ini bahkan sudah menutup telinganya.
"Dittt, gue tuh mau bilang, jangan masukin omongan Angga semalem, dia emang posesif sama orang yang belom dikenalnya," seru Una berusaha menjelaskan.
Berlari dari lobi kantor sampai depan lift cukup membuat Una kecapekan, gadis itu bahkan baru ingat kalau sebelumnya Angga menawarkan menggendongnya sampai depan lift.
Barulah ketika Radit masuk ke lift, pria itu menatap Una datar. Tak apa, setidaknya Radit masih mau menatapnya, itu cukup.
"Ngapain lo jelasin ke gue, itu pacar lo, bukan pacar gue."
Dan pintu lift menutup diiringi senyum Una yang semakin menyusut. Dasar Radit, itu cowok emang nggak bisa buat senyum atau minimal ramah dikit sama orang.
Una sendiri juga tidak tahu mengapa ia harus menjelaskan hal yang tak perlu kepada Radit, harusnya ia menjelaskan hal ini pada Angga, bukan pada cowok yang tidak ada hubungannya dengan dia.
Gadis itu mengedikkan bahunya, toh, setelah dipikir buat apa menjelaskan hal ini pada Angga, cowok itu tak akan marah pada Una hanya karena jalan pada Radit.
Radit hanyalah pembimbingnya dan ia adalah anak bimbing. Hanya itu, tidak lebih.
***
Pernah nggak sih kalian berpikir bahwa kecakepan seorang mantan akan bertambah berkali-kali lipat kala orang itu akan dimiliki orang lain atau bahkan sudah dimiliki orang lain.
Tak heran kalau sekarang banyak sekali muncul pelakor, orang ketiga, dan 'shepia' pasti disebabkan, pesona mantan menguat dan menimbulkan penyesalan dalam lubuk hati.
Terkadang Radit juga menyangsikan pilihan yang telah dibuatnya, mengapa ia harus memilih melepaskan Fani padahal ia bisa menjadi Yoga buat Fani.
Dan penyesalan itu semakin besar kala gadis itu dengan lancangnya duduk manis di meja Radit lantas tersenyum ke arahnya kala Radit membuka pintu ruangannya.
"Mimpi apa gue semalem, pagi-pagi udah lo sambut kayak gini, Fan," kekeh Radit, mendekati gadis itu sebelum ia mendapati seseorang lain di sana.
Radit mendengkus kala melihat Sheryl tengah bersandar di dekat jendela dan menatapnya penuh ejekan.
Dasar, cowok gagal move on!
"Gue mau nikah sama Yoga lo inget, kan, Dit?"
Pertanyaan itu lagi, boleh tidak sehari saja ia tak mendengar nama Yoga dari mulut Fani? Cewek itu terlalu bucin atau dia yang justru yang belum bisa merelakan.
"Inget kok Fan, masi bulan depan, kan?" Tanya Radit membuat Fani mengangguk. Puas dengan ingatan Radit yang selalu tajam.
Gadis itu turun, menghampiri Radit, mengangsurkan sebuah paper bag kepada cowok itu, Radit menerimanya dengan alis tertaut. "Apa ini?"
"Kain batik buat pengiring pengantin."
Pengiring pengantin? Lelucon apa lagi ini ya Tuhan, datang ke acara pengantin Fani yang kedua kali sama saja menghancurkan hatinya untuk yang kedua kalinya. Kalau bisa ia ingin hilang atau bahkan tidur seharian di hari pernikahan gadis itu.
Biar ia tak perlu mersakan sakit, marah, menyesal, dan kembali terluka atas perasaan yang dengan lancangnya masih ia jaga untuk Fani.
Tangan pria itu menarik helai kain batik, warna biru keskaan Fani seperti biasa dengan corak daun pada musim gugur. Baru disadarinya ada dua kain di sana, pria itu mengerutkan dahinya.
"Lo ngasih gue kebanyakan deh, Fan," ucap Radit sembari mengeluarkan dua kain batik dari sana.
Fani menggeleng, gelengan diiringi senyum geli yang meyembul. "Bener, kan dua. Itu buat lo sama pasangan lo."
What? Ini anak abis balikan sama Yoga makin songong, selain karena Radit belum bisa move on dari Fani, ia juga belum mendapatkan cewek yang pas buat dijadikan pasangan.
"Gue nggak ada cewek, anjir!" seru Radit ngegas.
Sheryl mendekat, menampar pipi pria itu kecil, Radit mengumpat saat merasakan sakit. Hampir saja pengen menggampar balik Sheryl sebelum cewek itu melotot galak ke arahnya.
"Lo udah ada Una gitu." Ucapan ini jelas membuat Radit terpana, tersadar bahwa kalimat ini bisa dikatakan oleh Sheryl setelah ia mendapatkan info salah dari Fani.
Radi menoleh cepat ke arah Fani, menggertakkan giginya pengen jitak kepala gadis itu. "Gue bisa jelasin ya, gue nggak ada apa-apa sama Una."
"Termasuk ngasi tumpangan?"
"Apa salahnya? Gue nggak nyulik anak orang juga.
Sheryl mengangguk. "Termasuk ngajak Una ke rumah Fani buat ikut makan malam dan ketemu sama bokap nyokap Fani?"
Sumpah! sehabis Sheryl mencecarnya, ia tak akan melepaskan Fani sebelum gadis itu bengep dengan ciuman Radit.
"Itu terpaksa juga, lagian gue cepet-cepet balikin Una."
Terakhir, Sheryl tersenyum karena kemudian pertanyaan kali ini membuat Radit tak bisa berkutik dan tak bisa menjawab.
"Tapi ngasih parfum mahal lo buat Una jelas bukan hal biasa mengingat sama gue aja lo pelit."
"Gue pernah bagiin parfum buat Fani juga kok," kilahnya. Jawaban yang g****k karena sejurus kemudian Sheryl menjambak rambut Radit tanpa ampun.
"Itu Fanii woee, kalo Fani minta apapun sama elo juga bakalan lo kasih, jangankan cuma parfum," teriak Sheryl sampai terlupa bahwa Fani masih duduk di sana menatap mereka bertengkar.
Fani terkekeh. Gadis itu mendekati Radit, jangankan buat marah atau malu pada ucapan gamblang Sheryl, gadis itu justru membantu Radit untuk melepaskan jambakan Sheryl.
Bertepatan dengan itu, pintu ruangan Radit terbuka, menampilkan seraut wajah polos milik Una yang menatap aksi di depannya.
Spontan, Radit terdiam kaku, Sheryl menghentikan seruannya, dan Fani ikut melongo. Una mengangguk kaku.
Posisi yang bikin semua orang salah paham karen Sheryl terlihat seperti orang yang tengah menjambak Radit dan posisi Fani yang terlihat memeluk Radit dari samping.
Gadis itu tersenyum kaku. "Maaf mengganggu, lanjutin aja bertengkarnya." Dan pintu kembali ditutup dari luar.
"BERTENGKAR?" beo mereka serempak.
Sheryl tertawa kencang sekali mendengar penuturan polos dari seorang Una. Bagaimana mungkin Radit bisa tahan menghadapi gadis sepolos dan sekalem itu coba?
Kita lihat saja sampai mana batas Radit nggak greget sama dedek gemes macam Una?
***
"Sampai sini apa motivasi lo lebih pilih masuk di managemen bisnis?" tanya Radit saat Una berhasil masuk beberapa menit yang lalu setelah ia mengusir Sheryl dan Fani.
Una menggaruk kepalanya. "Pengen jawaban yang jujur apa bohong?" tanya gadis itu balik.
Radit berdecak kesal. "Yang jujur lah."
"Nggak ada. Masuknya terpaksa," jawabnya enteng.
Gantian Radit yang dibuat menganga oleh jawaban gadis di depannya. "Terus ngapain lo masuk ke managemen bisnis kalo udah tau nggak suka?"
Una mendesah. "Kalo lo disuruh milih, antara kerja sesuai hobi atau kerja gede gaji pilih mana?"
"Pilih kerja sesuai hobi jelas lah," jawab Radit spontan
Una menjetikkan jemarinya. "Itu lo tau, gue suka banget sama Sastra Indonesia, tapi nggak mungkin bisa menghidupi gue dengan layak, sedangkan kerjaan dengan gaji layak jelas bikin semua terpenuhi."
"Itu berarti lo rela tertekan padahal lo tau kemauan lo di mana?"
"Itulah hidup," jawab Una praktis. "Realita memang sering memaksa kita untuk hidup di luar keinginan, harusnya lo tau banget nggak semua harus sesuai rencana kita."
Radit tertegun dengan jawaban gadis itu. Terlalu dalam, merongrong dan menyentil hati kecil Radit. Perlahan bibirnya juga melafalkan hal yang sama. Membenarkan ucapan Una barusan.
"Apa yang membuat lo bertahan dengan semua ini?"
Bibir Una bergetar sejenak sebelum ia menghela napas panjang. "Asal hidup kita terjamin dan layak dengan gaji yang aman, bukankah masih bisa melakukan hobi di luar kerjaan?" Jawaban yang sama sekali tidak berkaitan dengan sesuatu yang tengah mengacaukan benak Radit kali ini. Namun luncuran jawaban Una yang tak terduga membuat pria itu semakin membuka pikirannya yang menyempit belakangan ini.
"Realita emang sekejam itu." Dan pikiran pria itu melanglang buana pada seorang gadis di sudut pikirannya. Fani.
Perlahan Radit terkesan dengan apa yang diketahuinya, Una tak seperti yang ia kira, hanya ceroboh saja, hanya banyak tanya saja, hanya terlalu kebanyakan porsi atas segala bentuk pertanyaan yang ia punya.
Namun ada satu hal yang membuat Radit ingin bertanya pada gadis itu. "Ukuran baju lo berapa?"
"Lingkar d**a 100, panjang 60."
"Kecil juga ya."
***
Perlahan namun pasti, kedatangan seorang Una tak begitu mengganggu Radit selagi gadis itu tidak menimbulkan masalah, seperti siang ini, ketika dua kepala muncul di ruangan Radit dan memberi cengiran lebar pada pria itu, Radit berdecak melirik Una yang masih serius mengetik di depannya.
Radit melirik arloji di tangan kirinya. "Udah jam makan siang, istirahat aja dulu," katanya.
Una mendongak, menatap Radit yang mulai bangkit lantas menutup laptopnya. Pria itu meninggalkan Una begitu saja.
Sheryl melotot. "Itu Una diajak sekalian makan bareng kita."
Radit menoleh. "Nggak usah ngapain?" tolak Radit merasa nggak seharusnya Una juga ikut di meja mereka.
"Kok gitu sih?"
"Apaan sih ngajak anak bimbing segala?"
Sheryl berdecih, cewek itu menatap Fani yang menyandarkan badannya di dinding. "Liat Fan, ada yang lagi praktek senioritas di kantor."
Radit mendesah. Hello, bahkan ini cuma seorang Una, nggak harus ikut juga di makan siang mereka apa salahnya sih? Seharian ketemu Una hampir 8 jam sudah membuat Radit cukup muak, tolong lah, untuk 1 jam makan siang ia bisa terlepas dari Una.
"Tapi ini quality time buat—"
"Diem! Gue mau manggil Una ah," potong Sheryl cepat.
Emang bener, nggak ada yang bisa menghentikan cewek kalau lagi pengen banget, dan Radit nggak bisa mencegah saat cewek itu beneran menggandeng keluar Una dari ruangan. Membiarkan gadis itu menatap ragu pada sosok Radit.
Fani tersenyum. "Pasti nggak ada temen makan siang kan? Sama kita aja."
Una menolehkan kepalanya, bertanya lewat kernyitan kepada pria itu. Radit menggaruk dahinya, seolah bilang 'nggak ada yang bisa menghentikan perintah Sheryl apalagi Fani'.
"Tapi gue udah ada janji makan siang sama—"
Sheryl merangkul Una nggak mau tahu. "Batalin aja, makan siang bareng kita lebih enak kok. Apalagi Fani lagi baek hati traktir kita."
Una menghela napas. Bener kata Radit, ia tak akan bisa membantah. "Kenapa lo nggak nolak keinginan mereka?"
Radit merapatkan badannya ke arah gadis itu, berjalan mepet banget dan berbisik. "Inilah realita, semua nggak sesuai dengan rencana kita."
Baru kali itu Una menyesal telah mengucapkan kalimat bijak.
***
Di belakang empat orang yang tengah berjalan itu, Melda dan Angga menatap kepergian mereka dengan wajah datar.
Raut wajah Angga yang dingin semakin dingin saat melihat Radit mendekatkan wajahnya ke arah Una, ada sesuatu yang tersulut di sana.
Melda mendengkus. "Hebat banget ya Una, sekarang malah udah bisa deket sama Fani."
Angga mengibaskan tangannya geram. "Jangan sembarangan nyalahin Una! Sindiran lo nggak bikin gue terus marah sama dia."
Melda tersentak. "Ga, lo udah liat sendiri tadi—"
"Gue baru liat belom tanya sebenarnya gimana sama Una."
Melda bertepuk tangan dalam hatinya. Haruskah ia mengumpat bahwa Angga g****k? Cintanya sama Una besar banget, tapi cewek itu justru membuat Angga harus sakit berulang kali.
Ditatapnya punggung Angga yang berjalan di depannya, Melda mendesis kesal. "Kalo sekali ini Una bikin lo sakit, gue nggak bakal tinggal diem, Ga."
***