Waktu terus berjalan, namun Kirana merasa hari itu terlalu panjang untuk dilalui. Ia duduk di meja makan dengan teh yang sudah mulai dingin, sementara pandangannya kosong menatap piring berisi roti yang tak tersentuh. Air matanya masih mengalir perlahan, tanpa suara, seolah tubuhnya sudah terlalu lelah untuk menangis dengan keras.
Pikiran Kirana melayang ke momen-momen indah bersama Adam. Betapa setiap pagi selama dua tahun terakhir, ia selalu menyiapkan sarapan untuk suaminya, meski hanya sekadar roti dan kopi hitam. Betapa mereka selalu tertawa bersama di meja makan kecil itu. Namun kini, meja yang sama terasa begitu sunyi, penuh luka.
Tiba-tiba suara bel rumah berbunyi, memecah keheningan. Kirana mengangkat wajah, menghapus air matanya dengan cepat. Siapa yang datang di pagi hari seperti ini? Dengan langkah berat, ia menuju pintu.
Ketika pintu terbuka, Kirana terkejut. Adam berdiri di sana dengan raut wajah penuh penyesalan. Di tangannya ada kantong plastik berisi makanan.
“Kirana,” ujar Adam pelan, suaranya serak. “Aku tahu kamu belum makan apa-apa sejak semalam. Aku bawakan bubur dan s**u hangat untukmu.”
Kirana memandang Adam dengan tatapan tajam, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Perasaan marah, kecewa, dan sedih bercampur menjadi satu.
“Kenapa kamu masih di sini, Mas?" suara Kirana akhirnya keluar, meski terdengar bergetar. “Bukankah seharusnya kamu bersama Citra?”
Adam menghela napas panjang. “Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Aku tahu aku sudah salah, Kirana. Tapi aku tidak bisa membiarkanmu terus menyiksa diri seperti ini.”
Kirana tertawa kecil, namun tawa itu penuh kepahitan. “Menyiksa diri? Kamu pikir ini aku yang menyiksa diri? Kamu yang menghancurkan segalanya, Mas! Kamu yang membawaku ke titik ini!”
Adam terdiam, tak mampu menjawab. Ia tahu apa pun yang dikatakannya tidak akan mengubah keadaan. “Aku tidak akan memaksa kamu untuk memaafkan aku sekarang. Aku hanya ingin kamu makan sesuatu dulu, Kirana. Kamu harus menjaga kesehatanmu.”
Kirana menghela napas, menutup pintu di hadapan Adam tanpa mengatakan apa-apa lagi. Ia kembali ke dapur, meninggalkan Adam berdiri di luar dengan kantong plastik makanan yang masih di tangannya.
Di luar, Adam meremas kantong plastik itu. Ia merasa buntu. Kirana adalah perempuan yang ia cintai, tetapi keputusannya telah menghancurkan segalanya.
Sementara itu, Kirana duduk kembali di meja makan, menatap teh yang sudah sepenuhnya dingin. Pikirannya penuh dengan pertanyaan. Haruskah ia terus berjuang mempertahankan pernikahannya? Ataukah ia harus menyerah dan mulai memikirkan kehidupannya sendiri tanpa Adam?
Isak tangis Kirana kembali terdengar, menyelimuti kesunyian rumah kecil mereka. Di luar jendela, hujan mulai turun perlahan, seolah ikut merasakan kesedihan yang tak berujung.
Ketika jam dinding menunjukkan pukul dua siang, bel rumah kembali berbunyi, memecah keheningan di dalam rumah yang terasa mencekam. Kirana, yang masih tenggelam dalam pikirannya sendiri, mendesah pelan. Dengan langkah gontai dan wajah kusut, ia berjalan menuju pintu, tanpa tenaga maupun keinginan untuk berurusan dengan siapa pun.
Begitu pintu terbuka, pemandangan di depannya membuat napasnya tercekat sejenak. Adam berdiri di sana, dengan Citra di sampingnya. Wanita itu mengenakan gaun berwarna lembut yang tampak sengaja dipilih untuk menonjolkan kesan anggun. Senyumnya terulas tipis, seolah memprovokasi.
“Mau apa lagi kalian?” tanya Kirana dengan nada datar, mencoba menyembunyikan gemuruh emosi yang kembali menguasai dirinya.
“Kirana,” Adam memulai dengan suara pelan, nyaris memohon. “Tolong izinkan kami masuk. Aku ingin bicara baik-baik. Tetangga mungkin melihat jika kita terlalu lama di luar.”
Kirana mendengus. “Apa yang perlu dibicarakan lagi? Semalam aku sudah mendengar lebih dari cukup.”
“Ini penting, Kirana,” Adam melanjutkan, menatap Kirana dengan tatapan penuh harap. “Aku tidak ingin ada kesalahpahaman lebih jauh. Aku janji, ini tidak akan memakan waktu lama.”
Awalnya, Kirana tetap berdiri di tempat, tangannya yang memegang daun pintu mulai gemetar. Ada rasa marah yang berkecamuk dalam hatinya, tetapi ia juga tahu bahwa pertengkaran di depan rumah hanya akan menjadi bahan gosip tetangga. Setelah beberapa saat menimbang, Kirana akhirnya menghela napas panjang.
“Baiklah,” katanya dingin, membuka pintu sedikit lebih lebar. “Masuklah.”
Adam tersenyum lega, sementara Citra hanya melangkah masuk tanpa sepatah kata, dengan dagu terangkat sedikit lebih tinggi dari sebelumnya. Kirana berjalan lebih dulu ke ruang tamu, membiarkan keduanya mengikutinya dari belakang.
“Jadi, apa yang ingin kalian bicarakan?” tanya Kirana begitu mereka semua duduk. Ia tidak menatap Adam maupun Citra, hanya memandang lurus ke meja di depannya, mencoba menguatkan hati.
Adam mengusap tengkuknya dengan gelisah. “Kirana, aku tahu ini berat untukmu. Tapi aku harap kamu bisa mendengarkan penjelasan kami.”
“Kami?” Kirana tersenyum miring. “Lucu sekali. Kau sekarang bahkan bicara atas nama dia?”
Citra yang sejak tadi diam, kini angkat bicara. “Mbak Kiran, saya sama sekali tidak berniat menyakiti Mbak. Saya hanya...” Ia berhenti sejenak, memasang wajah sedih. “Saya hanya ingin Mas Adam bertanggung jawab. Saya tidak bisa menjalani ini sendirian, apalagi dalam keadaan seperti ini.”
Kirana mendengus. “Keadaan seperti ini? Kau bahkan tidak memiliki bukti apa pun. Kau datang dengan cerita kehamilan, dan dia langsung percaya. Hebat sekali permainanmu.”
“Sudahlah, Kirana,” potong Adam, suaranya mulai terdengar memohon. “Citra tidak salah. Semua ini salahku. Aku membuat kesalahan, dan aku mencoba memperbaikinya. Aku tahu aku mengecewakanmu, tapi aku tidak bisa meninggalkan dia begitu saja.”
Kirana tertawa kecil, tapi tawa itu dipenuhi kepahitan. “Memperbaiki? Kau menyebut menghancurkan hidupku sebagai memperbaiki sesuatu? Kau pikir membawa perempuan ini ke dalam rumah kita adalah bentuk tanggung jawab?”
Adam tidak mampu menjawab. Ia hanya bisa menunduk, merasa semakin terpojok oleh ucapan Kirana.
“Mas Adam bilang aku akan tinggal di sini,” Citra kembali berbicara, kali ini dengan nada yang lebih tegas. “Aku juga istri sah Mas Adam, dan aku punya hak untuk tinggal bersamanya.”
Kirana bangkit dari duduknya, wajahnya penuh emosi. “Hak? Kau bicara soal hak di hadapanku, perempuan tidak tahu malu? Kau pikir aku akan membiarkanmu merebut semuanya dariku begitu saja?”
Citra menunduk, seolah merasa bersalah. Namun Kirana tahu, di balik wajah itu, ada kepuasan tersembunyi.
“Sudah cukup!” suara Adam membelah udara, mencoba menghentikan ketegangan yang semakin memuncak. “Kirana, tolong. Aku hanya ingin semua ini berjalan dengan baik. Aku tidak ingin ada permusuhan di antara kita.”
Kirana menatap Adam dengan tatapan terluka. “Berjalan dengan baik? Kau pikir semua ini akan berjalan dengan baik setelah apa yang kau lakukan? Kau sudah menghancurkan semuanya, Adam. Dan sekarang kau memintaku untuk menerima dia?”
Adam menghela napas berat, lalu berkata dengan nada penuh penyesalan. “Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, Kirana. Aku hanya ingin bertanggung jawab pada semuanya.”
Kirana memejamkan mata, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu, berbicara lebih jauh hanya akan menguras emosinya. “Dengarkan aku baik-baik, Mas," katanya akhirnya. “Aku tidak akan pernah menerima perempuan ini di rumahku. Jika kau tetap memaksakan kehendakmu, aku yang akan pergi.”
Setelah mengatakan itu, Kirana berjalan meninggalkan ruang tamu, meninggalkan Adam dan Citra yang hanya bisa saling pandang dalam kebisuan.