Suasana rumah terasa sunyi. Kirana masih terduduk di tepi ranjangnya, memeluk lutut sambil menatap kosong ke jendela. Angin malam berdesir, tetapi udara di dalam kamar terasa begitu berat, seperti menyimpan ribuan emosi yang tak tersalurkan.
Di ruang tamu, Adam membaringkan tubuhnya di atas sofa dengan mata yang tertutup, namun pikirannya penuh dengan keruwetan. Hatinya diliputi rasa bersalah yang semakin hari semakin dalam. Pikirannya berputar-putar memikirkan wajah Kirana yang tadi penuh luka, namun ia juga tak bisa mengabaikan Citra. Situasi ini membuatnya terjebak di antara dua hal yang sama-sama sulit.
Baru beberapa menit ia mencoba memejamkan mata, ponselnya yang berada di atas meja bergetar. Suara dering memenuhi ruangan yang tadinya hening. Dengan enggan, Adam meraih ponselnya. Nama “Citra” muncul di layar, membuat napasnya tertahan sesaat.
Adam mendesah berat sebelum mengangkat panggilan itu. “Ada apa, Citra? Malam-malam begini?” suaranya terdengar lelah, nyaris berbisik.
Dari seberang telepon, suara Citra terdengar serak, seperti orang yang sedang menangis. “Mas Adam... aku nggak kuat. Perutku sakit sekali. Tolong... tolong ke sini, ya?”
Adam langsung duduk tegak di sofa. “Kamu sakit? Sudah coba minum obat dulu? Atau aku teleponkan dokter?” tanyanya khawatir.
“Nggak usah, Mas... cuma Mas yang bisa aku andalkan sekarang. Aku takut sendirian di hotel. Aku butuh Mas di sini,” suara Citra terdengar semakin memelas.
Adam meremas rambutnya sendiri. Ini situasi yang sulit. Hatinya ingin menolak, tapi ada suara kecil di kepalanya yang berkata bahwa ia bertanggung jawab atas Citra dan kehamilannya. Adam berusaha memberi pengertian. “Citra, aku nggak bisa keluar malam ini. Kirana...” ia berhenti sejenak, merasa kalimatnya tak akan bisa dimengerti oleh Citra. “Aku harus di sini. Besok pagi aku pasti ke sana.”
Namun Citra menangis makin keras. “Mas, aku beneran sakit! Aku nggak bohong. Kalau ada apa-apa sama aku atau anak ini, apa Mas bisa memaafkan diri Mas sendiri?”
Ucapan itu membuat Adam terdiam. Kata-kata Citra menghantam tepat di titik lemahnya, sebuah tanggung jawab. Ia merasakan bebannya semakin berat, seperti dipaksa memikul sesuatu yang belum tentu benar adanya.
“Baiklah... aku ke sana,” akhirnya Adam menyerah. Suaranya nyaris bergetar.
Citra berhenti menangis tiba-tiba, suaranya berubah lebih lembut. “Terima kasih, Mas Adam. Aku tunggu di sini, ya.”
Adam mengakhiri panggilan itu dengan napas panjang. Sekarang ia dihadapkan pada kenyataan pahit. Ia harus meninggalkan rumah ini malam-malam setelah semua kejadian yang baru saja terjadi. Tapi suara lirih Citra memaksanya untuk menuruti naluri tanggung jawab itu.
Dengan langkah hati-hati, Adam berdiri dari sofa dan mengambil kunci cadangan dari laci kecil dekat televisi. Ia menatap ke arah pintu kamar Kirana. Hening, tidak ada suara dari dalam kamar. Seketika hatinya terasa lebih berat. Ia tahu, keputusannya untuk pergi akan membuat luka di hati Kirana semakin dalam.
“Maaf, Kirana...” gumamnya lirih sebelum melangkah keluar.
Di dalam kamar, Kirana masih terjaga. Matanya menatap kosong ke pintu kamar yang masih tertutup rapat. Namun suara samar derit pintu depan yang terbuka membuatnya tersentak.
“Mas Adam?” bisiknya pelan.
Perlahan, ia berdiri dan membuka pintu kamar. Ruang tamu kosong. Sofa yang tadi ditempati Adam terlihat rapi, tanpa tanda-tanda suaminya masih di sana. Kirana berjalan ke dekat jendela dan melihat ke luar. Samar-samar ia melihat bayangan Adam melangkah cepat menuju mobilnya, membuka pintu, lalu pergi meninggalkan rumah dengan tergesa.
Kirana berdiri mematung. Dadanya terasa sesak seketika. Ia menggigit bibirnya untuk menahan air mata yang mulai menggenang.
“Bahkan setelah apa yang terjadi malam ini... kamu masih memilih dia,” lirihnya sendirian.
Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan lagi. Kirana berjalan kembali ke kamar dengan langkah gontai, lalu menjatuhkan dirinya di atas ranjang. Isakannya pecah malam itu, tanpa ada siapa pun yang mendengarnya.
Di perjalanan, Adam memegang kemudi dengan tangan gemetar. Jalanan malam itu sepi, tetapi hatinya ramai oleh berbagai suara yang berteriak dari dalam dirinya. Ia merasa bersalah pada Kirana, tetapi di saat yang sama, ia merasa bertanggung jawab atas Citra.
“Aku cuma ingin semua ini selesai. Aku cuma ingin melakukan hal yang benar,” gumamnya, entah kepada siapa.
Mobil melaju kencang menuju hotel tempat Citra menginap. Namun Adam tidak menyadari bahwa malam ini, ia telah membuat luka di hati Kirana semakin dalam. Luka yang mungkin sulit ia sembuhkan dengan kata maaf saja.
Sesampainya di hotel, senyum manis Citra menyambut Adam dengan penuh suka cita. Ia sudah mengenakan lingerie super seksi, seolah siap menanti pria yang akan memangsanya malam ini.
“Mas, akhirnya kamu datang,” ucap Citra. Seketika ia daratkan ke dua tangannya di pinggang Adam.
Adam mendesah lemah. Ia lepaskan tangan itu dari pinggangnya lalu Adam mulai mendudukkan bokongnya di tepi ranjang. Bahkan tubuh seksi Citra tidak mampu meruntuhkan kegelisahan hatinya saat ini.
Citra berjalan mendekat. “Mau aku buatkan teh?”
Adam menggeleng, lalu merebahkan tubuhnya di atas ranjang. “Aku mau istirahat,” ucapnya singkat.
Citra menyeringai licik. Perlahan ia naik ke atas ranjang lalu merebahkan tubuhnya di samping Adam. Kepalanya ia letakkan di atas bahu kanan Adam. Dengan lembut, Citra mulai membelai ke dua pipi Adam.
“Jangan terlalu dipikirkan, Sayang… Malam ini aku akan membuatmu Bahagia,” lirihnya dengan napas memburu.
Adam tidak mampu mengendalikan dirinya. Rasa rindu yang mendalam kepada Kirana, membuat birahinya bergejolak. Ia putar wajahnya lalu ia tatap wajah cantik Citra yang sudah memelas dengan menggigit bibir bawah secara sensual. Adam pun seketika mendaratkan bibirnya di atas bibir Citra yang kini memang sudah menjadi istrinya walau hanya sah secara agama.
Citra membalas perlakuan itu. Perlahan, ia buka kancing kemeja Adam. Ia biarkan suaminya menyapu lehernya dengan ciuman-ciuman manja penuh gairah. Citra begitu menikmati perannya. Sebuah seringai licik kembali terukir di bibirnya. Ia merasa memang dari Kirana karena malam ini Adam lebih memilih untuk bersama dirinya disbanding Kirana—istri pertama Adam.
Sebagai laki-laki normal, Adam tentu tidak dapat mengendalikan diri jika dihadapkan dengan wanita cantik dan seksi. Apa lagi wanita itu sudah berstatus sebagai istri. Rindu yang memuncak terhadap Kirana yang sudah ia tahan selama dua minggu, ia lepaskan kepada Citra.
Malam itu, Adam sangat menikmati waktunya. Ia bahkan lupa jika di tempat berbeda, pemandangan yang kontras terlihat nyata. Adam dan Citra bermandikan keringat dalam sebuah percintaan panas, sementara Kirana merenungi nasibnya sendiri di dalam kamar dengan berurai air mata.
Kirana terisak, menyeka air mata, terisak lagi dan begitulah seterusnya. Hingga wanita itu tidak tahan, lalu berjalan menuju kamar mandi untuk mensucikan diri. Ia kadukan semua permasalahan hidupnya kepada Dzat yang mengizinkan masalah itu ada.