Starla turun ke bawah, menuju dapur. Ada Bi Njum di sana yang langsung mengambil alih apa yang Starla bawa. Obrolan singkat dan hangat antara Starla dan Bi Njum membuat Bintang kembali tersenyum.
Bukan hanya dirinya yang merasa nyaman, ternyata orang rumah juga merasa hangat akan kehadiran Starla di sini.
Gadis itu benar-benar sebuah keajaiban. Anugerah terindah yang pernah ada dalam hidupnya.
***
Naik kendaraan roda dua ditemani Bintang yang sibuk menyetir. Angin yang sejuk membawa Starla pada kedamaian. Gadis itu memegangi jaket Bintang.
Setelah menunggu Bintang mandi dan dirinya juga mandi di kamar tamu. Mereka berdua bergegas pamit untuk pulang. Bukan, Bintang mengantar Starla untuk pulang. Cowok itu memakai celana selutut dengan jaket hoodie merah. Sedangkan Starla memakai setelan piyama karena gadis itu yang meminta. Bunda memberikan piyama masa mudanya, dibalut dengan hoodie putih milik Bintang. Baju sekolah ia bawa serta hoodie lain milik Bintang yang sudah kotor karena dia kenakan sebelumnya.
Starla menikmati hari ini. Ia melupakan rumah untuk sejenak. Menghirup udara segar, ia berteriak, "Bintang, stop!" Tepat di sebelah telinga Bintang. Tanpa dosa Starla membuat telinga Bintang berdengung sebentar.
Si lawan bicara berhenti. Kemudian Starla langsung turun dengan hati-hati dari motor.
"Ngapain?" Bintang bertanya, memarkirkan motornya. Mengikuti ke mana Starla pergi. Starla malah menunjuk sebuah badut yang duduk di pinggir jalan yang tadi ia lewati. Di ujung sana, badut itu duduk. Melepas topeng yang besar di kepalanya. Starla berlari, menghiraukan Bintang yang ingin kembali bersuara.
"Halo, permisi." Starla berjongkok di depan badut itu. Si badut langsung bertemu dengan wajah Starla, sedikit terkejut ekspresinya.
Starla juga terkejut. Ia refleks mengulurkan tangannya, membelai lembut ke arah pipi serta jidat badut itu.
"Pasti pusing, ya?" Badut itu terdiam. Mata Starla berkaca-kaca. Gadis itu mendongak, melirik Bintang yang hanya berdiri saja.
"Bintang." Bintang mendekat. Setetes cairan bening yang Starla tahan dari tadi menetes begitu saja membuat Bintang gelagapan.
Ada apa dengan Starla?
"Bintang." Starla berdiri, melirik sekilas badut yang terlihat kelelahan.
Bintang mengusap air mata Starla, ia mengerti sekarang. "Lo mau minta apa?"
"Bintang, gue boleh minjem uang Lo? Tolong juga, gue minta tolong beliin obat untuk orang hebat itu. Sama, air minum dan makanan. Boleh nggak? Nanti besok gue gan—"
Bintang langsung memeluk Starla. Mendekap gadis itu yang tersedu-sedu. Hati Starla perih rasanya, entah kenapa ia menangis melihat badut yang ia sebut orang hebat itu.
Bintang menenangkan Starla. Kemudian dia meminta Starla jangan ke mana-mana dan tetap duduk di dekat badut itu. Starla mengangguk.
Bintang mendekati motornya, berlalu meninggalkan Starla dan orang hebat itu.
Setelah kepergian Bintang. Starla duduk di dekat badut. "Bapak, bolehkah saya memeluk Bapak?" Starla kembali berkaca-kaca. Melihat wajah lelah sekaligus luka-luka di wajah Bapak tua berkostum badut itu membuat hatinya perih. Sangat perih.
Bapak itu menggeleng karena ia merasa dirinya sangat kotor dan bau, tidak pantas untuk dipeluk Starla. "Jangan Neng. Nanti kamu bau, soalnya bapak bau Neng. Nanti baju kamu yang mahal itu kotor lagi."
Starla menjerit dalam hati. Ia meluncurkan tangisannya. Bahunya naik turun semakin terguncang. Nggak tahu kenapa Starla sedih banget.
Setelah beberapa menit pergi, Bintang kembali dan turun dari motornya, berjalan pelan mendekati Starla. Ia berhenti sejenak menatap dua orang yang saling berpelukan.
"Neng—"
"Pak, biarkan aja ya."
Si bapak berkostum badut itu menurut. Menikmati pelukan Starla dalam diam.
Satu manusia lain tersenyum hangat, melihat Starla begitu tulus tanpa rasa takut memeluk seseorang yang tidak ia kenal. Hati Bintang semakin yakin jika dia bukan menyukai gadis itu melainkan sangat mencintainya.
"Wah, kalian pelukan nggak ngajak-ngajak, nih?" Itu suara Bintang. Cowok itu rupanya menenteng 3 kantong plastik besar di tangan kanan dan kirinya.
Starla melepas pelukannya dari si Bapak. Mendongak mencari sang empu pemilik suara khas milik cowok yang akhir-akhir ini bersamanya, kemudian dia tersenyum. Sisa air matanya mengering tertiup angin. Kemudian Starla berdiri, menghadap Bintang dengan lembut.
Cewek itu maju lebih dekat membuat Bintang memundurkan tubuhnya sedikit. Menahan napas, Bintang berdiri kaku saat Starla berjinjit dan semakin dekat dengan wajahnya.
"Terima kasih ganteng." Starla menepuk lembut kepala Bintang. Tersenyum manis di depan cowok itu sampai tak bisa membuat Bintang berkutik. Dadanya bergemuruh hebat, sampai nggak sadar Starla sudah memindahkan 3 kantong plastik yang dia bawa dan membawanya ke hadapan si Bapak.
Belum bisa sadar dari kenyataan, Bintang salting sendiri. Barulah setelah beberapa detik saat Starla menarik tangannya, ia ikut berjongkok dan duduk di sebelah kanan si Bapak. Starla ada di sebelah kiri, mereka mengapit bapak yang duduk di tengah.
"Rumah Bapak di mana, Pak?" Starla bertanya, si Bapak awalnya ragu untuk menceritakan semuanya. Namun, beliau akhirnya mengungkap sesuatu yang membuat Starla kembali meluapkan emosinya.
Starla tipe orang yang mudah tersentuh. Dia akan merasa terenyuh pada suatu hal yang sangat menyentuh sanubarinya.
Memeluk kembali si Bapak setelah mendengar cerita singkat yang menyentuh, Bintang yang hanya diam menatap wajah Starla itu tersenyum penuh arti. Hatinya ikut mencelos.
"Sudah malam, ayok Bapak kita antar pulang." Starla tersenyum, sedangkan si Bapak menggeleng tidak mau merepotkan. Dan sekali lagi Starla mendekat ke arah si Bapak.
Lalu, berbisik, "Pak, biar aku sering maen. Boleh ya Pak? Tolong banget." Starla memundurkan wajahnya, memasang wajah memohon dan sangat ingin. Beberapa detik hanya diam, wajah tulus Starla membuat sang Bapak luluh.
Mereka bertiga berjalan menyusuri trotoar jalan yang sepi. Bintang yang menjalankan motornya, membawa kantong-kantong plastik itu dengan pelan membututi keduanya. Dari belakang, Bintang menatap punggung Starla, ikut tersenyum saat gadis itu berceloteh ria dengan si Bapak yang ramah. Seolah mereka berdua adalah anak dan Bapak kandung.
Untuk kesekian kalinya Bintang menyatakan dia telah jatuh hati pada gadis yang belakangan ini bersamanya.
***
Setelah mengantar Bapak tadi sesuai alamat yang diberitahukan. Starla dan Bintang memilih untuk pulang. Bintang mengantar Starla sampai depan rumah. Sudah pukul 10 malam rupanya, gadis itu turun dari motor. Mengucap terima kasih tak lupa memberikan senyum termanis yang ia miliki.
"Makasih ganteng!" Starla memasang wajah menggemaskan tanpa sengaja membuat Bintang refleks meneguk salivanya. Cowok itu gugup dan salting kembali, sedangkan si pelaku dag-dig-dug hatinya itu hanya biasa saja, justru senyum-senyum yang semakin membuat Bintang ingin mengarungi doi.
"Jangan senyum kaya gitu!" Bintang meraup wajah Starla, membuat si pemilik senyum manis tadi kebingungan.
"Lho kenapa?"
"Pokoknya jangan senyum kaya tadi."
"Iya kenapa? Kan senyum itu sedekah."
"Senyumnya dikit aja jangan banyak-banyak."
Starla heran. Ada apa dengan Bintang ini? Starla tidak peka, Bintang mengalihkan topik pembicaraan.
"Udah sana masuk. Lo ada tugas nggak, cepet kelarin."
"Ah, iya lupa! Ada beberapa hal yang harus gue kerjakan." Starla nggak curiga sama tingkah Bintang yang udah bener-bener gemes banget sama doi ini.
"Tuh kan, sana masuk!" Antara ingin cepat-cepat enyah dari hadapan gadis yang membuatnya berdegup dan salting. Atau memang peduli sesama teman, Bintang pokoknya sekarang harus mengusir senyum Starla dari pikirannya.
"Yaudah gue masuk dulu. Makasih ya!" Starla melambaikan tangan, lagi-lagi tersenyum manis. Menutup gerbang dengan santai tanpa merasa bersalah sudah membuat Bintang lelah.
Lelah jatuh cinta dalam diam.
Gemas sendiri, Bintang memukul dadanya. "Sialan dibilang jangan senyum kaya gitu keras kepala banget. Dasar nggak peka banget, gue baper anjir!" Bintang merancau sendiri, gemas banget sama si doi. Meraup wajahnya guna melepas wajah manis Starla yang menempel di mata dan pikirannya.
Setelahnya ia terkekeh sendiri. Jatuh cinta membuatnya harus seperti orang tak waras, random dan aneh jadinya.
Tapi, tunggu dulu. Apakah ia benar-benar mencintai Starla atau hanya sekedar suka dengan senyumannya?
Bintang butuh kepastian untuk keraguannya. Perasaan yang hadir tiba-tiba itu harus dia pastikan lebih dalam.
Menyukai atau sekedar kagum karena candu sama senyum Starla?
***
Sampai di rumah. Bintang memilih mencuci mukanya. Mengganti pakaiannya, lalu merebahkan diri.
Mengecek ponsel yang tidak ada notifikasi dari seseorang yang ia tunggu. Padahal satu jam yang lalu ia bertemu, tapi masih pengen aja komunikasi. Jatuh cinta benar-benar membuatnya gila begini.
Untuk mengusir rasa gelisahnya. Bintang menyembunyikan wajahnya di bawah bantal. Lalu, beberapa menit kemudian ia terlelap di alam mimpi.
Sedangkan di kamar yang remang-remang. Starla masih terjaga untuk melakukan hal yang harus dilakukan. Dari habis mandi dan makan, dia belum selesai juga. Kepalanya mendadak terasa pening.
Semua yang ada di atas meja, ia bereskan. Kemudian, menyatukannya ke dalam box berukuran sedang. Meletakkan benda itu di samping meja, ia menarik diri untuk ke balkon.
Pemandangan malam menjelang tengah malam sangat menenangkan. Tidak ada bintang, hanya bulan yang bersinar sendirian di atas sana. Starla tersenyum manis, berdiri memeluk dirinya sendiri, mengeratkan sweater kebesarannya. Memejamkan mata, lalu membuka netranya kembali sebentar untuk menengadah sedikit ke atas sebelum kembali ditutup kembali. Rambut yang ia uraikan sedikit tersapu angin yang begitu terasa lembut menusuk kulit. Wajahnya yang lelah terasa lebih segar, udara yang ia hirup dengan nikmat membuatnya tenang.
"Aku bersyukur," lirihnya.
***
"Starla!"
Sebuah suara yang mengusik pendengarannya. Membuatnya harus membuka mata. Masih memeluk diri sendiri, Starla berdiri di posisi yang sama. Ia kemudian pelan-pelan melepaskan pelukan itu, dengan hati-hati berbalik menghadap sumber suara.
"A-ayah." Satu kata yang berhasil membuat seseorang di hadapannya mengepalkan tangan kuat-kuat. Tanpa menunggu waktu, seolah tidak mau menunggu. Seseorang itu berjalan cepat ke arahnya, lalu dengan kuat tangan yang tidak pernah memeluknya merenggut dengan paksa rambut putrinya.
Menariknya dengan kuat, rahang-rahang yang mengeras itu bergelatuk hebat di seluruh giginya. Meninggalkan jejak merah padam pada wajah yang tak pernah mau menatap lembut Starla.
"Sudah saya bilang, kamu memang pembawa sial."
"Dari mana saja kemarin dan sekarang baru pulang?"
"Kamu kira hidup ini semaumu? Sudah dikasih tempat hidup enak, terus mau jual diri?"
"Star—"
Bugh!
Benturan hebat melukai kepala Starla. Tangan yang tertekuk berbunyi kretek. Starla hampir saja meneteskan cairan bening yang menumpuk. Ia menatap seseorang di sana yang berdiri angkuh dan penuh kebencian. Starla menatap lelaki itu tak habis pikir.
Memegang tangannya yang terasa sakit. Dan membiarkan kepalanya yang berdenyut hebat itu meradang. Starla berdiri dengan hati-hati, menatap sosok lelaki yang ingin ia peluk itu dengan tersenyum miris.
"Ayah, kenapa Ayah nggak bunuh Starla aja sekarang?"
Lelaki itu mendekat, menuding wajah Starla dan menyemprotkan kalimat-kalimat sadis yang kerap sekali ia dengar.
"Saya bisa saja bunuh kamu dari dulu sebelum kamu ada di dunia ini. Tapi, wanita yang saya cintai itu yang selalu menghalangi saya."
Tersenyum penuh kebencian, lebih mirip seringaian yang menakutkan, Ayah mendekat ke Starla. Mengambil alih leher Starla. "Tapi, boleh juga hari ini kamu mati. Tidak ada yang tahu, nanti saya akan berasalan bahwa kamu bunuh diri. Gampang, kan?"
"Ya itu ide bagus!" Ayah mencengkeram leher Starla, membuat Starla mulai kehabisan napas. Kesakitan di kepala dan tangannya tidak ada apa-apanya. Ia menatap kedua mata ayahnya yang tersenyum puas melihat dirinya kesakitan di hadapannya begitu dekat.