Marry Me, Single Daddy! – Chapter 3

1650 Words
*** Dihina karena miskin sudah merupakan sesuatu yang biasa bagi Una. Dibentak karena kesalahan yang tidak dirinya ketahui pun biasa baginya. Namun, tak dianggap ada seperti yang Arsen lakukan sekarang membuat Una kebingungan. Arsen benar-benar mengabaikannya dan hanya berbicara pada Ilia. Bahkan lelaki itu tidak menanggapinya ketika ia mengajak bicara. Una bingung dan bertanya-tanya apakah Ilia sudah memberitahu Arsen mengenai perkenalan mereka ini. Kenapa Arsen terkesan enggan mengenalnya? Kenapa lelaki itu seolah terpaksa melakukan pertemuan ini? Una tidak bisa tinggal diam. Ia pun memberi Ilia kode untuk mendahulukan dirinya. Bukan justru asyik mengobrol bersama Arsen. Dengan bakatnya, Una menendang kaki Ilia. Namun, yang dirinya tidak tahu adalah ia sedang menendang kaki Arsen. Terang saja hal itu membuat Arsen menatapnya curiga. Arsen tahu kaki itu milik Una karena Arsen melihat bagaimana gelagat perempuan itu. “Ehem!” Arsen berdehem demi membuat Una sadar apa yang sedang dirinya lakukan. Namun, Una tak juga peka. Ia pikir yang dirinya tendang kecil-kecil adalah kaki sahabatnya. Melihat bagaimana Aruna tak juga memahami maksudnya, Arsen akhirnya memilih mengalah. Ia menyingkirkan kakinya agar terhindar dari tendangan Una. Dalam benak Arsen, Una sungguh tidak memiliki etika. Juga, tidak punya sopan santun dan tata kerama. Pantas saja bersedia dikenalkan padanya. Perempuan itu benar-benar tidak punya harga diri. Senyum Arsen tampak sinis saat melihat Una kebingungan karena tak menemukan kakinya lagi. “Kenapa, Sen?” Pertanyaan Ilia mengalihkan perhatian lelaki itu. Una mengalihkan tatapannya pada Arsen, sedangkan Arsen beralih pada Ilia. Arsen mengedikkan bahu. “Ada serangga di atas kakiku. Dari tadi gerak-gerak nyari perhatian!” katanya. Dalam beberapa detik Una menyadari ia salah sasaran. Bukan kaki Ilia yang dirinya tendang, tetapi kaki Arsen. Astaga! Memalukan. Terlebih Arsen menyadari tingkahnya itu. Una tak bisa mengahalu wajahnya yang memerah ketika Ilia membalas ucapan Arsen dengan serius. “Astaga! Kok bisa sih ada serangga di tempat ini. Cepat usir, Sen! Jangan sampai pindah ke kakiku atau Una,” Una benar-benar malu sekarang. Demi apa ia tidak sengaja mendang kaki Arsen, yang dirinya tuju adalah kaki Ilia. “Sudah! Aku juga nggak sudi dia hinggap di atas kakiku. Serangga bagai benalu!” ujar Arsen yang matanya kini melirik Una. Rasanya sesuatu menusuk jantung Una. Sibuk menahan malu, ia lupa Arsen menganggapnya banalu. Serangga yang menyebalkan dan mengganggu. Una memucat. Sekarang dirinya tahu lelaki seperti apa yang sedang dirinya hadapi ini. Arsen bukan duda sembarangan yang haus akan belaian. Lelaki ini pemilih dan sepertinya sulit untuk didekati. Una merasa kerdil, tetapi ia tidak bisa menyerah sekarang. Ini baru permulaan. Sungguh tak mudah memang jika ingin berubah dari upik abu menjadi Cinderella. Di saat Una sibuk dengan pikirannya, di saat itu juga Ilia menyadari tak pernah benar-benar ada serangga di kaki Arsen. Lelaki itu hanya mengarang. Diam-diam Ilia melirik ke bawah meja. Tak jauh dari kaki Arsen ada kaki Una. Lalu Ilia mendapatkan kesimpulan. Kaki Una yang Arsen maksud sebagai serangga. Mungkin Una tidak sengaja menyenggolnya. Ilia pun kembali pada Arsen dan terkekeh. Ia bertepuk tangan. “Tapi ada banyak serangga yang juga menguntungkan,” katanya. “Lebah yang menghasilkan madu, misalnya. Madu terasa manis dan banyak sekali memiliki manfaat!” Ilia mengedikan bahunya. “Benar nggak, Na? Kamu paling suka konsumsi madu, kan?” tanyanya pada Aruna yang diam saja. Mungkin bingung harus mengatakan apa. Una akhirnya menganggukan kepala. Masih betah membungkam mulutnya. Tck! Itu suara Arsen. Ilia sungguh berniat menjodohkannya pada Una. Arsen tahu Ilia memahami maksudnya hingga mengalihkan ke hewan penghasil madu itu segala demi membela Una. “Ahh ada lagi, Sen! Serangga juga membantu bunga-bunga dalam melakukan penyerbukannya,” Ilia belum selesai. Ia masih ingin membela Una. Enak saja Arsen ingin mengganggu rencananya. Lihat apa yang sudah Arsen lakukan? Lelaki itu membuat Una terdiam dan tidak berani mengeluarkan suaranya. Tck! Sikap Arsen kadang memang sangat keterlaluan. Tak tahan dengan sikap Ilia, Arsen pun berdiri dari duduknya. “Terserah! Aku pulang duluan, Biru pasti nyari orang tuanya yang hari ini entah kenapa nggak punya perasaan!” ujarnya. Ilia sedikit salah tingkah. Ia ikut berdiri seperti yang Arsen lakukan. Sementara itu, Una diam saja. Ia tidak mengerti apa yang Arsen katakan. Bertanya pun dirinya enggan karena merasa Arsen benar-benar keberatan pada pertemuan mereka ini. “Bukan gitu, aku cuma mau kamu kenal sama Una. Siapa tahu kalian bisa cocok,” ucap Ilia. Namun, Arsen mendengus sebal. Ia melirik Una yang juga tengah menatapnya. Entah harapan seperti apa yang sedang perempuan itu lambungkan. Arsen kembali menatap Ilia. “Nggak ada yang lebih cocok seperti k … ” “Arsen!” bentak Ilia. Tak peduli dirinya ketika beberapa pasang mata mengarah ke meja mereka. “Hargain keputusan aku,” ucapnya dengan suara yang sudah kembali lembut. Arsen mengeraskan rahangnya, juga mengepalkan tangannya. Lalu setelah itu, Arsen meninggalkan restoran tanpa sempat menyantap makan malamnya. Melihat Arsen pergi membuat Ilia mengembuskan napasnya dengan berat. Matanya sayu sarat akan kekecewaan. Ilia hampir saja melupakan keberadaan Una jika Una tidak meraih tangannya. “Kenapa malah bertengkar? Arsen nggak tahu ya kalau malam ini lo mau jodohin gue sama dia?” tanya Una. Sekali lagi Ilia menghela napasnya. Ia menggelengkan kepalanya. “Arsen nggak tahu karena ya seperti yang lo lihat, dia masih mencintai mantan istrinya,” jawabnya. Una ikut mengembuskan napasnya dengan berat pula. Akan sangat sulit baginya untuk meluluhkan hati Arsen bila lelaki itu masih mencintai sang mantan. “Tapi, lo tenang aja, Na! Pokoknya gue akan bantuin lo untuk dapatin hati Arsen sampai jadi istri barunya,” Ilia meraih tangan Aruna lalu menggenggamnya. “Ini kesempatan buat lo, Na, jangan pernah berpikir untuk nyerah, okay?” Sebenarnya, Ilia juga sadar akan sulit meluluhkan hati Arsen, tetapi hanya ini kesempatannya. Una memiliki potensi dan ambisi. Teman kecilnya itu ingin menjadi kaya raya. Mereka saling menguntungkan bukan? Una kaya raya, dan ia terbebas dari beban hidupnya. “Lo yakin gue bisa masuk ke dalam hidup Arsen? Kayaknya dia menutup rapat pintu hatinya buat gue,” Aruna tampak tidak percaya diri. Jika ia nekat maju untuk mendekati Arsen, maka dapa dipastikan seberapa sering hatinya tersakiti oleh kata-kata pedas yang keluar dari mulut lelaki itu. Akan ada banyak sindiran lain yang Arsen berikan. “Yakin, Na! Lo percaya sama gue, kan? Biar gue yang atur. Lo tinggal siapin diri aja,” jawab Ilia dengan cepat. Una sebenarnya ragu, tetapi benar kata Ilia, ini adalah kesempatan emas untuknya. Alih-alih diperkenalkan dengan duda tua bangka dan buaya darat, ia justru mendapatkan Arseno Abimanyu yang genteng dan kaya raya. Una mengangguk mantap. Ia akan melanjutkan perjodohan ini. Tidak perlu jatuh cinta pada Arsen agar hatinya tak perlu terluka ketika Arsen terus menindasnya. Fokus saja pada impiannya yang ingin menjadi ratu dalam sebuah rumah tangga. “Okay! Gue percaya sama lo. Jangan kecewain gue, La. Gue siap lakuin apa aja asal Arsen bisa jadi milik gue,” putu Una akhirnya. Dengan begitu hati Ilia benar-benar terasa lega. Demi apapun ia juga akan mengusahakan yang terbaik agar Una menikah dengan Arsen. “Sekarang kita makan malam dulu. Sayang ini udah dipesan,” ucap Ilia sembari melirik beberapa makanan yang sejak tadi belum mereka sentuh sama sekali. Una kembali menganggukkan kepalanya. Tentu saja makanan ini harus masuk ke dalam perutnya. Jarang-jarang ia makan malam di restoran semewah ini. *** Semalam makan bersama Arsen dan Ilia benar-benar membuat Una kenyang. Oleh lidah Arsen, Una kenyang akan hinaan. Sedangkan oleh kantong tebal Ilia, perutnya dimanjakan berbagai makanan. Una tidak ingin mengeluh. Apapun yang terjadi dirinya harus selalu bersyukur. Pagi ini, Una kembali pada rutinitasnya. Bekerja di kafe Bagus dan menjadi pelayan di sana. Namun, kali ini pikiran Una tampak berbeda. Ia ingat kemarin Bagus menawarkan sebuah posisi baru untuknya. Una belum menemukan jawaban, tetapi hatinya berkata jangan. Sebab kelak ia akan semakin terikat dengan Bagus dan kafenya. Bagaimanapun juga Una tidak lupa bagaimana dulu Bagus memperlakukannya. Bukan mendendam, tetapi melupakan sakit hati yang pernah Bagus torehkan sungguh tidak mudah bagi Una. Namun, menolak tawaran itu rasanya sayang. Gaji yang Bagus tawarkan benar-benar menggiurkan. Jauh di atas gajinya sekarang. Una menggelengkan kepalanya. Nanti saja memikirkan itu. Bagus juga masih memberinya waktu untuk berpikir. Ia masih bisa bekerja sebagai pelayan hingga gajinya keluar bulan ini. Bagus mengatakan itu semalam lewat pesan. Dan, Una cukup bersyukur karena Bagus terlihat lebih pengertian. Melupakan sikap dan tawaran Bagus, Una buru-buru melangkahkan kakinya ketika waktu sudah menunjukkan pukul Tujuh kurang. Ia tidak boleh terlambat agar tidak mendapatkan omelan dari Bagus. Tak lama kemudian Una pun sampai di Cafe. Sudah ada beberapa karyawan yang berada di sana. Sudah siap untuk mengoprasikan kafe seperti biasa. Una menyapa mereka satu persatu, lalu ikut mengganti pakaiannya dengan seragam Café. Tidak ada bos merupakan sebuah kemenangan bagi Una karena dengan begitu ia sedikit terhindar dari omelan. Entahlah, kadang Una benar-benar bingung akan sikap lelaki itu. Sering sekali mencari-cari kesalahannya. “Na, ada teman lo yang kemarin. Nyariin, minta dilayanin sama lo sendiri,” Una terkejut saat tiba-tiba saja teman kerjanya menepuk bahunya. “Ilia?” tanyanya. Teman kerja Una yang bernama Sisil itu hanya mengedikkan bahu saja. Buru-buru Una ke depan. Ia mencari sosok Ilia. Betapa terkejut Una ketika Ilia tidak datang sendiri. Ada Arsen dan balita lelaki di sampingnya. Una merapikan diri sebelum bertemu dengan mereka. “Ada yang bisa gue bantu, La?” tanyanya mencoba menempatkan diri sebagai pelayan sekaligus teman Ilia. Ilia menoleh cepat saat menemukan Una di sampingnya. “Ahh, kita mau pesan sesuatu, Na. Ini listnya,” jawabnya sembari memberikan catatan kecil untuk Una. “Oya, roti bakarnya dibikin yang enak ya, Na, soalnya itu makanan kesukaan Biru, putra semata wayang Arsen,” ucap Ilis sembari melirik Biru. Una tersenyum ramah. Sepertinya Ilia sengaja memberi tahunya. “Siap. Kalau kesukaan Pak Arsen apa? Nanti saya buatin yang spesial,” tanyanya pada Arsen. Namun, bukan jawaban yang Una terima, tetapi dengusan bernada kesal yang Arsen berikan. Una terkekeh. Ia mengabaikan tanggapan Arsen. Lalu pamit untuk menyiapkan pesanan. Sepertinya ia benar-benar harus siap menghadapi sikap Arsen yang tampak sangat jutek padanya itu. . . To be continued. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD