30. UMPAN?

1671 Words
Kana membuka pintu utama rumahnya, lalu ia masuk ke dalam, bersamaan dengan itu suara ibu terdengar begitu lantang dan keras, membuat Kana terkejut dan berhenti melangkah. "Pak tolong kasih saya kesempatan lagi, saya mohon pak." Kana diam di tempat dengan air muka bingung. Sebenarnya ada apa di sini? Kana tidak berani mengambil langkah. Ia berdiri gemetar di depan pintu. Ia melihat ibu yang sedang memohon kepada seorang pria. Lana dan Luna juga ada di sana, duduk mengapit ibu. Kana tidak bisa melihat wajah siapa laki-lakinya yang duduk di sofa itu. Kana diam dengan jantung yang terpompa keras. Pasti ada yang tidak beres di sini. Ibu terlihat memohon. Sedangkan raut wajah Lana dan Luna nampak ketakutan. Mobil yang ada di depan rumah berarti bukan milik Ibu, melainkan milik laki-laki tidak dikenal tersebut. "Mau sampai kapan nunda kayak gini? Utang kalian itu udah besar sama saya. Tiap bulan selalu nambah. Saya nggak mau tau, lunasin utang itu sekarang juga. Saya sedang butuh uang itu, perusahaan saya udah kacau." "Pak, beri ibu saya kesempatan," ucap Luna. "kita pasti bakal bayar semuanya, tapi kita butuh waktu. Kita nggak bisa bayar semua utang itu sekarang." "Nggak bisa!" ucap tegas laki-laki itu. "Utang kalian udah nunggak hampir tiga ratus juta sama saya. Saya nggak mau tau!" Kana kaget mendengar informasi tersebut. Ibu punya hutang sebanyak itu? Kana tidak bisa berpikir secara logis. Ia ikut merasa takut dan cemas. Bagaimana hutang itu bisa dibayar lunas sekarang? Itu tidak mungkin. Ibu tidak punya uang sebanyak itu. Kana bingung harus apa sekarang. "Pak, tolong. Saya nggak punya uang sebanyak itu untuk saat ini. Saya perlu waktu, saya mohon bapak ngerti keadaan keluarga saya." "Oke," jawab laki-laki itu. "Saya bakal kasih kalian kesempatan," jawabnya cepat. Wajah ibu langsung berubah cerah. Begitupun Kana, Luna, dan Lana yang langsung menghembuskan napas lega. Tapi sayang, kelegaan itu hanya bertahan beberapa saat saja. "Nanti sore saya bakal ke sini lagi untuk nagih hutang kalian." Tidak menunggu bantahan lagi, laki-laki itu segera bangkit dari duduknya, menatap wanita dihadapannya dengan tatapan berang dan kesal, lalu berbalik badan dan pergi. Laki-laki itu berhenti sejenak ketika berhadapan dengan Kana, mereka saling pandang, sebelum akhirnya laki-laki berpakaian licin itu kembali berjalan keluar rumah. Sudah jelas, dugaan Kana salah mengenai mobil yang terparkir di halaman depan. Itu bukan mobil baru ibunya, melainkan punya laki-laki itu. Kana menutup pintu dan berjalan mendekat ke arah keluarganya. "Ibu ...." Kana memanggil lirih, "ibu punya hutang sama orang itu?" tanya Kana baik-baik. Jujur, sebagai seorang anak, meskipun bukan anak kandung, Kana ikut merasa sedih. Ibu mendongakkan kepalanya, tak terkecuali dengan Lana dan Luna. Kedua cewek kembar identik itu menatap Kana jengkel. Dari dulu mereka memang tidak suka dengan Kana. Ibu yang semula memijit keningnya karena pening, kemudian menatap Kana dengan kilatan mata tajamnya. Kobaran api terlihat begitu kentara. Wanita itu kemudian berdiri dari sofa, lalu melayangkan tamparan untuk Kana. PLAK! "Apa kamu bilang tadi, ha?!" Wanita bergincu merah menyala itu berteriak kasar di depan wajah Kana. Kana yang terkejut karena mendapatkan sebuah tamparan keras hanya bisa diam dan menahan rasa perihnya. Gigi wanita itu bergemeretak kesal. "Berani-beraninya kamu ngomong kayak gitu ke saya! Bodoh!" Kana mengusap pipinya yang semakin panas. Ia menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. Ia hanya bertanya, kenapa Kana malah kena marah dan tamparan? Kana merasa tidak bersalah. "Kana cuma nanya Bu," ucap Kana lirih. "Saya bukan ibu kamu!" Wanita itu membalas telak, membuat Kana menunduk takut bercampur sedih. Kemudian, wajah Kana terangkat kembali karena ibu menyengkeram mulutnya. Tatapan Kana yang lemah, bersirebok dengan sorot mata tajam milik ibu tirinya. "Dan kamu harus ingat, saya nggak pernah utang sama laki-laki tadi. Yang utang itu bapak kamu, bukan saya. Harusnya bapak kamu yang harus bayar utang itu." Menjeda ucapan untuk mengambil napas panjang, wanita itu kembali berkata. "Dan harusnya kamu yang bayar utang itu semua karena kamu anaknya. Dan gara-gara utang itu, saya jadi pusing mikirnya." Kepala Kana terlempar ke belakang ketika wanita kejam itu melepaskan tangannya di bibir Kana. Kana menunduk, air matanya tidak bisa ia bendung lagi. Kana sedih sekaligus merasa sesak. Kana tidak memikirkan soal tamparan tadi. Ia tidak masalah mendapatkan karena hal itu. Ibu terlihat pusing memikirkan hutang ayah Kana. Tentu saja Kana merasa kasihan kepada ibu tirinya tersebut. Kana tidak tega, tapi ia sendiri tidak tahu harus bertindak apa dan bagaimana. Secara tidak langsung, Kana lah penyebab ibu, Lana, dan Luna merasa bingung seperti sekarang ini. Kana menyalahkan dirinya karena itulah faktanya. "Kana janji bakal cari cara buat lunasin hutang itu Bu," pinta Kana akhirnya. "Gimana caranya?" tanya Luna. "nggak usah sok deh lo, emangnya tiga ratus juta itu uang yang sedikit. Lo tau sendiri kan itu banyak? Emangnya lo bisa apa?" "Tau nih, bikin kesel aja!" sambung Lana jengkel. Kedua cewek itu menatap Kana sinis. Kana kembali menunduk. Benar, apa yang dikatakan mereka tidak salah. Kana hanya banyak omong saja. Tidak mudah untung mendapatkan uang sebanyak itu. Bahkan sulit sekali. Kana tidak bisa berpikir lagi. Beberapa saat, Kana kemudian memberanikan diri untuk menatap ibu tirinya yang sedang mondar mandir sambil menggigit bibirnya. Kana kasihan kepadanya. Rasanya jarum jam bergerak terlalu cepat. Tahu-tahu saja sekarang sudah pukul empat sore. Kecemasan melanda Kana dan ibu tirinya. Laki-laki itu sebentar lagi pasti akan datang lagi, menagih hutang yang tidak sedikit itu. Mereka tidak punya uang. Mustahil mengumpul tiga ratus juga yang hanya diberi waktu beberapa jam saja. Tidak lama kemudian terdengar suara mobil. Kana disuruh membuka pintu oleh ibunya. Mereka tahu, kalau sekarang mereka kabur ataupun sembunyi, masalah bakal semakin membengkak, bukannya selesai seperti apa yang diharapkan. "Bagaimana dengan kesempatan yang saya berikan, udah nemu solusinya?" Laki-laki penagih hutang itu langsung berbicara sehabis dipersilakan untuk duduk di sofa. Semuanya menunduk takut, tak terkecuali dengan Kana. Dari ujung matanya, Kana melirik tubuh ibu tirinya yang bergetar. Wanita itu terlihat sangat ketakutan. "Saya pikir kalian belum menemukan solusinya," ucap laki-laki itu lagi setelah keheningan mengambil alih suasana. Ia berdehem sebentar. "Saya nggak tahan dengan ini semua. Saya muak dengan anda nyonya. Saya udah kasih waktu bahkan lebih lama dari ini. Kurang baik apalagi saya kasih waktu. Pergi ke mana aja anda selama ini sampai lupa utang lima tahun yang lalu!" Tidak ada yang menjawab kemarahan itu. Membuat laki-laki itu kesal. "Oke, saya terpaksa bakal ambil rumah ini sebagai tebusan. Dan saya minta kalian semua angkat kaki dari rumah ini!" Empat kepala langsung mendongak. Kana terkejut, dadanya langsung berdebar mendengar ucapan tegas itu. Pikirannya kacau, hatinya mencelus. Perutnya mual. Gurat terkejut bahkan lebih kentara diwajah ibu tiri Kana. Wanita itu langsung menangis, Lana dan Luna juga saling berpelukan. Kana mengepalkan tangannya dengan erat. Masalah apa lagi sekarang? Ke mana mereka akan tinggal setelah pergi dari rumah ini. Dan apakah Kana diperbolehkan ikut oleh ibu tirinya? Kana takut. "Tolong saya pak, jangan sita rumah ini," teriak ibu histeris sambil menumpahkan semua air matanya. "Saya janji bakal bayar utang itu secepatnya. Kasih saya kesempatan pak. Saya yakin bapak nggak sekejam ini." "Tapi sayang nyonya, saya memang orang yang kejam. Jadi, saya kasih waktu kalian sampai malam ini untuk berkemas, terus pergi dari rumah ini. Saya akan ke sini besok pagi untuk memastikan kalau rumah ini udah kosong." Laki-laki itu tidak memberikan satu kesempatan lagi. Kana meneteskan air matanya, ikut menangis seperti anggota keluarganya yang lain. Apalagi ibu yang terlihat sangat terpukul karena rumah ini adalah harta yang dimiliki satu-satunya. Tidak mau pergi dan menjadi gelandangan, ibu sampai rela berlutut dan memeluk kaki laki-laki itu. Ibu terus memohon, mengeluarkan semua tangisnya. Laki-laki itu terus bergerak, sedangkan ibu ikut terseret. Sepertinya permohonan ibu tersebut tidak ada artinya. Tangis histeris Lana dan Luna memenuhi ruang tamu, sedangkan Kana sebisa mungkin untuk menahan suaranya. Ibu masih berusaha menahan langkah laki-laki itu sampai di depan pintu. Hingga akhirnya ibu mendongak ketiga si penagih hutang berhenti melangkah. Napasnya terhela panjang. "Bangun!" Ibu kandung Lana dan Luna itu segera berdiri ketika mendengar seruan itu. Ia menatap laki-laki dihadapannya dengan wajah penasaran. "Saya punya penawaran yang bagus, saya bakal anggap utang anda lunas semuanya nyonya, asalkan anda menyetujui penawaran itu." Tergiur. Wajah ibu langsung berubah. Tangisnya sudah berhenti walaupun sesenggukan belum kunjung reda. Ia menatap dalam laki-laki dihadapannya ini. "Apa itu?" "Dia!" Jari telunjuk Laki-laki tersebut mengarah kepada Luna. Ia tersenyum, "anak nyonya cantik, dari awal saya udah jatuh cinta sama ketiga-tiganya. Saya bakal anggap utang Anda lunas asalkan putri nyonya itu nikah sama saya." "Nikah?!" Luna berteriak keras, ia memandangi kembarannya sekilas, lalu berpelukan. "Aku nggak mau! Aku masih mau sekolah dan kuliah, aku nggak mau nikah muda!" "Luna ...." Wanita itu menatap Luna. Luna membalas tatapan ibu dengan garang. "Apa Bu? Ibu tega sama Luna? Ibu tega mau jual Luna demi nutupin utang itu? Ibu nggak boleh lakuin itu, Luna nggak ma— "LUNA!" Ibu berteriak keras, melotot dan menggertakkan giginya kepada anaknya itu. Luna kembali menangis, lalu memeluk Lana erat. "Kamu harus mau, turuti apa katanya. Hanya ini jalan satu-satunya. Kamu harus mau!" "Luna nggak mauuu," erang Luna sambil mengentakkan kakinya ke lantai. Ia menangis dalam pelukan Lana. "Ibu jangan egois gini, kita nggak salah apa-apa, kenapa ibu tega sama Luna?" Jengah dengan keputusan ibunya yang terkesan gegabah, akhirnya Lana membantah. "Nggak ada cara lain Lana, emangnya kamu punya caranya?" Ibu menantang, sedangkan Lana langsung diam. "Gimana? Nggak punya, kan?" Kedua cewek itu menangis. Sementara Kana, yang berdiri tidak jauh dari kedua saudari tirinya, menatap kasihan kepada Luna. Kenapa ini semuanya terjadi? Kana tidak mau keluarganya menderita, hanya kepada mereka Kana bisa bergantung. Kana menunduk. Air matanya turun membasahi pipinya. Rasanya tidak adil jika Luna mendapatkan kesengsaraan ini. Tiga ratus juta adalah hutang ayah Kana. Beberapa saat setelah itu, Kana mendongakkan kepalanya dan menghapus jejak air matanya. Seharusnya bukan Luna yang dijadikan umpan, Harusnya Kana. Karena Kana lah yang memiliki hubungan darah dengan ayahnya. Kana menarik napas panjang. "Kenapa anda nggak milik saya aja? Saya mau nikah sama anda asalkan anda nepatin janji anda untuk lunasin semua hutang itu. Saya siap jalanin semuanya."

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD