18. D-DAY

2269 Words
Tanpa disadari, rupanya waktu berjalan lebih cepat dari yang dibayangkan. Pesta dansa tahunan SMA Star One akan dilaksanakan besok malam, tepatnya pukul tujuh malam. Segala persiapan sudah dipikirkan oleh seluruh peserta yang menghadiri acara ini, tak terkecuali dengan Kana. Cewek itu merasa sangat bahagia dan beruntung. Pasalnya, ia sudah mendapatkan gaun cantik yang diberikan secara cuma-cuma oleh emaknya Elang. Tentu saja awalnya Kana merasa tidak enak dan pemberian tersebut terlalu berlebihan karena mengingat jika baru pertama kalinya ia bertemu dengan wanita itu. Tapi, dikarenakan emak dan Elang membujuknya agar Kana menerima hadiah tersebut, dengan perasaan terlampau senang, Kana pun menerimanya. Tak lupa pula ia mengucapkan terima kasih. Dan kini, Kana sedang duduk di kamarnya dengan gaun Cinderella yang berada ditangannya. Senyumannya mengembang sempurna, membayangkan jika ia memakai gaun ini dengan Elang yang menjadi pasangannya, membuat Kana tersipu malu. Suara dari ponsel tiba-tiba saja terdengar, membuat lamunan Kana terpecah begitu saja. Cewek itu meletakkan gaunnya di kasur, kemudian bangkit berdiri dan melangkah mengambil ponselnya. Sebuah panggilan baru saja masuk, membuat Kana tersenyum tipis sewaktu menyadari siapa gerangan orang yang sedang mencoba menghubunginya ini. Langsung saja, tanpa berpikir lebih lama lagi, Kana menggeser tombol hijau di sana dan mengarahkan ponselnya ke daun telinga. Sambungan telepon pun terhubung, dan sebuah suara dari seberang sana langsung saja menginterupsi gendang telinga Kana. "Assalamu'alaikum Princess cantikku." Sebuah suara berat dari seberang telepon membuat ujung bibir Kana berkedut hingga menciptakan senyuman tipis. "Walaikumsalam, ada perlu apa? Tumben banget nelpon," tanya Kana datar. Terdengar decakan pelan dari sambungan telepon. "Kok jawabnya gitu? Nggak asik ah, ulangi dulu." "Ulangi gimana?" "Harusnya Kana jawab gini, 'walaikumsalam pangeran gantengku', kayak gitu. Biar porsinya pas, masa Elang lagi nyoba romantis, tapi Kana nggak bisa nyeimbangi. Kan jadi oleng." Kana mendengkus, dikarenakan tidak mau memperpanjang perkara, Kana pun menuruti kemauan Elang. "walaikumsalam pangeran katakku," ujarnya sambil terkekeh kecil. Elang berdecak kasar, "tuh kan gitu. Jangan salahkan Elang kalo ngambek, ya? Awas aja kalo nanti Kana mohon-mohon minta maaf." "Dih, gitu aja ngancem. Kebiasaan." "Buruan jawab salam yang bener, Elang mau ngomong penting nih," desak Elang. "Walaikumsalam pangeran gantengku," ujar Kana dengan nada yang ia buat sok imut. Tujuannya hanya satu dan nggak lebih, yaitu agar cowok yang meneleponnya ini merasa senang dan puas. "Makasih," jawab Elang, terdengar sangat riang. Kana kini membayangkan cowok tersebut yang lagi tersenyum di seberang sana. "Kana tau nggak?" "Tau kenapa?" tanya Kana sembari berjalan pelan menuju ranjangnya, ia mendudukkan dirinya di tepi kasur. Dahinya berkerut sambil menunggu Elang mengatakan sesuatu. "Bahwa di sini, disalah satu belahan bumi, ada seseorang yang lagi kangen. Kira-kira, Kana tau nggak siapa itu orangnya?" Kana tersenyum mendengar kalimat yang Elang katakan tersebut. Bibir bagian bawahnya sudah ia gigit dengan kuat. Ia kemudian menggeleng meskipun Elang tidak melihatnya. "Enggak, siapa yang kangen, ya?" "Mau denger ciri-ciri orang yang lagi kangen itu nggak?" Untuk kedua kalinya, Kana mengangguk pelan. "Boleh." "Ciri-ciri yang pertama, orang itu lagi berdiri di balkon kamar. Wajah gantengnya menatap langit, lebih tepatnya natap bulan. Kana tau kenapa orang itu natap bulan?" "Kenapa? Karena lagi pengin?" "Salah, karena orang yang kangen itu lagi lihat wajah cantik yang tersenyum di dalam bulan itu. Dan wajah cantik itu Kana tau nggak siapa orangnya?" "Enggak tuh, emangnya siapa?" "Pengin tau banget nggak?" "Siapa?" tanya Kana sesantai mungkin agar terdengar tidak terlalu berharap. Padahal saja sadari tadi jantungnya sudah berdebar kencang. "Orang yang sekarang lagi ngomong sama Elang lewat telepon. Itu wajah cantik yang Elang lihat di bulan," jawab Elang santai, membuat pipi Kana sukses memerah bak kepiting rebus. Ia memegangi dadanya yang berdebar kencang. Sialnya lagi, bibirnya sedari tadi sulit menghilangkan senyuman. "Elang tebak saat ini Kana lagi senyum-senyum, ya? Hayo ngaku?" "Enggak, siapa yang bilang?" "Nggak usah bohong. Pasti tebakan Elang bener banget, kan?" "Udah ah, tadi katanya mau ngomong penting apa?" ucap Kana, sengaja mengubah topik pembicaraan, alasannya hanya satu, yaitu jika gombalan Elang terus berlanjut, ia akan dipastikan dibuat melayang. "Oh itu, Elang cuma mau ngomong kalo Kana siap nggak buat acara besok?" "Siap nggak siap ya harus siap, kan? Acaranya kan cuma besok." "Iya sih, tapi kalo Elang nggak sabar banget pengin cepet-cepet besok." "Kenapa bisa gitu?" "Mau lihat Princess yang paling cantik dong. Kalo bisa sih sekarang aja juga boleh acaranya, duh nggak sabar banget." Kana terkekeh kecil sambil menggeleng lemah, "mana bisa sekarang? Ada-ada aja lo." "Eh, itu emak udah teriak-teriak dibawah, gimana dong?" ucap Elang panik. "Emangnya ada apa?" "Disuruh makan bareng," jawab Elang. Nada suaranya terdengar tidak bersemangat. Tentu saja bisa begitu, sesi mengobrol dengan Kana sangat jarang terjadi. Kana terdiam sambil menatap lantai kamarnya. Ia berpikir betapa enaknya berada diposisi Elang yang mempunyai ibu penyayang. Entah kenapa, hatinya terbesit rasa iri. Cowok itu selalu mendapatkan luapan kasih sayang. Sementara Kana sendiri sangat jarang mendapatkan itu setelah orangtua kandungnya meninggal. "Kana, halo? Kana?" "Eh, iya?" "Kok ngelamun?" "Eh nggak kok," ucap Kana seraya tersenyum kecil. "Tadi ngomong apa?" "Emak nyuruh makan malam, tapi entaran aja deh. Belum lapar, lagian Elang masih pengin ngobrol sama Kana." "Iya, terserah lo." "Oh iya, Kana kenapa milih Elang buat acara besok? Kenapa nggak si Nanta? Dia juga ngebet banget pengin jadi pasangan Kana." "Nggak tau sih, gue cuma nurut sama kata hati." "Berarti hati Kana milih Elang gitu?" "Ya gitu." "Berarti sekarang nama Elang tertulis dihati Kana, gitu ya?" "Itu mulut ngomong terus, nggak pegel apa?" "Hehe maaf, jadi gimana? Benar kan nama Elang udah tertulis di hari Kana?" "Menurut lo gimana?" "Ya Elang nggak tahulah, yang punya hati kan Kana. Jadi cuma Kana yang bisa rasain sendiri." "Hmmm." "Kok gitu doang ngomongnya? Ada nggak nama Elang dibagian hati Kana?" "Ada, tapi sedikit." "Lho kok sedikit?" "Kalo kebanyakan nggak baik," jawab Kana datar. "Nggak pa-pa deh kalo sedikit, yang penting nama Elang udah ada di hati Kana. Tapi ada lho sesuatu yang kebanyakan, justru malah baik." "Apaan?" "Rasa cinta Elang buat Kana." Detik itu juga Kana mengembangkan senyumannya. Hatinya berdesir lembut, dadanya bergejolak menerima ucapan tulus tersebut. Jantung Kana semakin cepat melompat ke sana ke mari. Sumpah, cowok itu selalu saja membuatnya terbang seperti ini. Kana yang memang tipikal orang yang mudah sekali bawa perasaan, tentu saja langsung melting mendengar gombalan seperti itu. "Kana?" "Iya?" "Elang tutup dulu ya telponnya? Emak udah teriak-teriak tuh dibawa, Elang takut tenggorokan emak bakal pecah kalo Elang nggak turun. Ketemu besok, ya?" "Iya gih sana." "Jangan lupa tidur tepat waktu, nggak usah mikirin Elang ganteng di sini. Kita nanti ketemu di mimpi, good night Kana kesayangannya Elang." Tut ... Kana melempar ponselnya ke atas kasur, kemudian ia membenamkan wajahnya di bantal dengan pipi yang sudah semerah tomat matang. *** Elang menghela napas panjang sembari menatap bosan ke arah layar televisi dihadapannya. Ia kemudian berdecak jengkel, tatapannya pun beralih menatap emaknya yang justru sangat fokus menonton suara hati istri disalah satu channel televisi. Kesal, Elang pun mengambil bantal sofa dan melemparkannya ke arah wanita tersebut. Emak segera menoleh dengan bola mata melotot, disusul suaranya yang berseru tajam. "Bisa diam nggak? Ini lagi seru banget!" ucapnya jengkel. "Gantian dong mak, masa nontonnya itu mulu sih?" ujar Elang sambil menyenderkan punggungnya di sofa. Dengan ogah-ogahan ia kembali menatap layar televisi yang kini memperlihatkan seorang wanita yang sedang menangis karena sudah di talak oleh suaminya. Emak diam, tidak menggubris ucapan Elang lagi. Sorot matanya semakin fokus menatap layar 24in dihadapannya. Bahkan, waktu Elang memperhatikan emaknya, wanita itu tidak berkedip cukup lama, membuat Elang mengira jika emaknya itu sudah berubah menjadi manekin hidup karena disorot sinar lampu alien. "Maaakk! Gantian buruan, Upin ipin udah main jam segini. Lagian yang emak tonton itu tiap hari main, bahkan sampai tiga kali. Udah kayak makan aja dah!" Elang mengoceh panjang lebar sambil mencuatkan bibirnya. Kepala Emak langsung berputar ke samping. "Upin Ipin juga tiga kali tayang dalam sehari. Sama aja, mending kau diam daripada baju buat pesta kau nanti malam bakal emak sita!" Elang semakin menekuk masam wajahnya. Emaknya ini benar-benar keterlaluan. "Ancam aja teros sampai mampus. Ngeselin banget dah. Lagian yang emak tonton itu alurnya udah ketebak banget tau! Gitu aja masih ditonton, kayak nggak ada tontonan lain aja." "Woy diem!" Emak menjerit kesal seraya melempar bantal sofa hingga mendarat mulus di wajah Elang. Elang kini hanya bisa pasrah dan mengerucutkan bibirnya. s**l sekali, harusnya saat ini ia duduk anteng sambil nonton si kembar berserta kawan-kawannya. Tapi apa daya, remot televisi sudah berada ditangan Emak. Bahkan, emaknya itu memeluk erat benda tersebut. Udah kayak anaknya saja! "Kok emak nggak ngalah sih sama anaknya? Tua-tua harusnya tau dirilah, bagi remotnya." Emak membisu, tatapannya masih fokus ke arah depan. Membuat Elang mengepalkan tangannya dan menggertakkan giginya. "Nah mampus tuh, nyesel kan lo minta cerai. Sukurin!" Terperenyak kaget, Elang menatap emaknya yang tiba-tiba menyeletuk dengan suara keras. Membuat Elang geleng-geleng kepala dan mengelus dadanya. "Mak! Buruan bagi remotnya! Elang mau lihat Upin Ipin mungut telor milik si tua Bangka tok dalang. Pasti lagi seru banget tuh." "Udah emak bilang diam! Jangan ribut ah, buruan sana pergi. Gangguin aja dari tadi, nggak lihat emak lagi fokus nonton apa? Belajar aja sana yang benar daripada otaknya kosong kayak tong kerupuk." Tangan Elang bergerak memegangi dadanya. Ia pun berakting pura-pura kehilangan napasnya dan kini ia megap-megap. Emaknya ini memang asal ceplos saja kalau ngomong. "Buset Mak, Elang langsung sesak napas gara-gara omongan emak yang nyelekit banget. Sakit Mak hati Elang. Tapi sayang, nggak berdarah!" "Buruan pergi!" Elang pun bangkit dari duduknya dengan hati yang sepenuhnya terpaksa. Ia berhenti sejenak untuk menatap emaknya yang kini kembali fokus pada acara yang sedang ditonton. Entah datang dari mana, tiba-tiba sebuah ide meluncur di otaknya, senyuman tipisnya mengembang. Elang berjalan mengendap-endap hendak menuju keluar rumah. Dengan hati-hati, ia pun membuka pintu agar suara dari derit pintu tidak sampai membuat Emak tergelak dan melihatnya. Elang kini berhasil keluar dari rumah. Dan langkahnya kemudian terhenti. Tatapannya mendongak ke atas melihat sebuah box listrik. Elang pun menjulurkan tangannya, dan meng-klik tombol off di sana. Seketika saja aliran listrik di rumah besar itu langsung padam. "ELAANGGGG! NGGAK ADA AKHLAK BANGET KAU JADI SETAN, YA?! BURUAN NYALAIN LAGI BOX LISTRIKNYA!" Elang memegangi perutnya seraya tertawa terbahak. "Mampus kau Mak!" *** "Sumpah, bagus banget gaun punya kita. Makasih banget ma," ucap Lana histeris sambil memeluk sebuah gaun untuk pesta dansa yang akan berlangsung malam ini. Luna melompat kecil berulang kali, bibirnya terus melengkung menciptakan senyuman manisnya. "Iya ma, aku suka banget sama gaun ini. Makasih banget," ujarnya senang. Lalu, kedua cewek itu memeluk mamanya dengan erat, yang disambut mamanya dengan suka rela. "Sama-sama sayang, mama seneng banget kalo kalian suka." Tidak lama setelah itu, Kana muncul dari arah dapur dengan membawa sebuah sirup. Mamanya baru pulang dari pusat perbelanjaan, dan tanpa disuruh Kana segara membuatkan minum untuk ibunya. Karena ia tahu, wanita itu pasti haus. Kana meletakkan gelas berisi sirup di meja. "Nah gitu dong peka! Nggak usah diteriaki dulu baru bertindak." Wanita itu berujar sambil tersenyum sinis menatap Kana. Kemudian ia mengambil gelas dihadapannya dan meminumnya hingga sisa setengah. "Ma, gaun buat Kana mama beli nggak?" tanya Luna, yang langsung membuat wanita itu menatap Kana. Napasnya terhembus panjang. "Beliin gaun buat anak ini?" Telunjuk wanita itu mengarah kepada Kana. "Kamu kira harganya cuma dua puluh ribu? Emangnya dia siapa? Enak banget dapat gaun cantik kayak punya kalian. Kerja aja malas-malasan gitu." Kana menggeleng pelan, ia berusaha tersenyum lebar meskipun hatinya nyeri mendapatkan kata-k********r tersebut. Berpura-pura tegar adalah keahliannya. "Nggak pa-pa kok Bu, Kana udah punya sendiri." "Lo udah punya?" Lana bertanya dengan alis memicing, yang dengan segera dijawab Kana angguk kepala cepat. "Pasti jelek banget gaunnya," celetuk Luna. "Iya pasti jelek, mungkin baju pelayanan yang dia punya hahaha ..." Wanita itu tertawa terbahak setelah selesai mengolok Kana. Diikuti tawa pecah dari Lana dan Luna. Kana hanya bisa diam, dan perlahan ia berbalik badan dan kembali ke dapur. Kana berhenti di depan tempat cucian piring ketika air matanya merembes keluar. Tapi, buru-buru ia mengusapnya ketika kata-kata ayahnya terngiang dikepalanya. Jangan mudah kebawa perasaan sama orang lain hanya mereka mengejek atau menghina kamu. Kamu harus tersenyum, nggak usah peduliin apa kata-kata orang lain yang bakal buat kamu sakit hati. Karena sejatinya, kita nggak bisa selalu membuat orang lain suka kepada kita. Sementara Kana yang sedang berada di dapur, Lana dan Luna saling berpandangan di ruang tengah. "Gue kepo deh sama gaunnya Kana," ujar Luna. "Gue juga nih, kayak apa sih punya dia?" timpal Lana. "Pasti nggak sebagus punya kalian. Emangnya dia dapat duit dari mana buat beli gaun cantik?" Wanita yang duduk di hadapan Lana dan Luna tersenyum remeh. Kemudian ia bangkit dari duduknya, "mama mau ke kamar dulu. Capek." "Gimana kalo kita lihat punya Kana? Gue kepo banget sumpah. lo setuju nggak?" "Kenapa nggak?" Keduanya saling melempar senyuman lebar, hingga akhirnya mereka berdiri dari duduknya dan berjalan menuju dapur. Dapat mereka lihat jika Kana baru saja mencuci piring. Terlihat cewek itu tengah mengelap tangannya. "Kana," panggil Lana datar. Kana mendongak, kemudian menjawab alakadarnya. "Iya?" "Mama nyuruh lo buat nyapu di belakang rumah. Buruan sana," jelas Luna memaksa. Kana melenguh sejenak. "Iya sepuluh menit lagi, aku capek. Mau istirahat bentar." "Mama nyuruhnya sekarang, bukan nanti! Jangan malas-malasan jadi orang. Buruan sana sapu yang bersih." Luna berjalan dan menarik tangan Kana agar segera pergi ke halaman belakang rumah. Menghela napas panjang, Kana pun segara berjalan untuk menyapu halaman. Padahal ia butuh istirahat meskipun sejenak. Ia ingat kata-kata dokter Farhan agar dirinya tidak terlalu kecapean. Lana dan Luna saling ber-tos ria. "Yuk buruan kita masuk ke kamar Kana. Kita lihat gaun punya dia." "Ayo!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD