28. KEKHAWATIRAN ELANG

1937 Words
"Makasih." Kana tersenyum kepada Elang ketika menerima botol kemasan air mineral. Kana langsung meminumnya hingga habis setengah botol. Elang duduk di samping Kana, lalu mengusap pelipis pacarnya yang penuh dengan keringat sebesar biji jagung. Kana sedikit gugup, tapi ia pura-pura tidak peduli dan bersikap tenang. Elang terlihat fokus membersihkan wajah Kana. Membuat detak jantung Kana berdetak dua kali lipat lebih kuat. "Kalo masih haus ngomong ya biar Elang beliin lagi," ucap Elang. "Nggak usah, ini juga masih ada kok." Elang mengangguk mengiyakan. Tangannya kemudian bergerak merapikan rambut Kana. Saat ini mereka berdua sedang duduk di taman rumah sakit. Sampai saat ini, Elang masih kepikiran soal tangisan Kana beberapa saat yang lalu. Elang juga tidak tahu apa yang membuat Kana menangis. Oleh karena itu, Elang ingin menenangkan Kana. "Kana capek?" tanya Elang khawatir. Wajah Kana terlihat pucat, bibirnya juga kering. Elang sungguh takut jika sesuatu yang tidak baik terjadi kepada Kana. Kana membalas tatapan Elang sembari tersenyum tipis. "Enggak kok." "Tapi wajah Kana pucat," sanggah Elang. Cowok itu menatap Kana serius, tarikan napasnya memberat. Elang memperbaiki posisi duduknya, kali ini lebih dekat dan condong ke arah Kana. Digenggamnya erat kedua tangan cewek itu. "Kana ... Kalo ada apa-apa bilang ya sama Elang? Jangan pendem sendiri kalo ada masalah." Kana memfokuskan pandangannya kepada wajah Elang. Bola mata cowok itu berpendar, Kana dapat melihat gurat serius di wajah Elang. Cowok itu benar-benar takut Kana kenapa-napa. Hati Kana terenyuh. "Kita udah sepakat buat jalanin ini bersama. Kita harus saling percaya dan terbuka. Elang bakal cerita sama Kana kalau memang ada sesuatu yang memang sepantasnya diceritain. Begitupun Kana. Sekarang Kana paham?" Hanya anggukan kepala yang Kana tunjukkan. Benar, apa yang diucapkan Elang tidak ada yang salah. Mereka sudah memutuskan untuk bersama. Artinya tidak ada lagi rahasia yang dipendam. Kana bisa percaya kepada Elang. Kana ingin bercerita, tapi ia terlalu takut. Kana takut jika Elang akan meninggalkan dirinya jika cowok itu tahu apa yang sedang Kana pendam. Karena sekarang, Kana sangat membutuhkan Elang. Kana tidak siap kehilangan Elang. Kana menyayangi cowok itu. "Elang?" "Iya?" Kana menggigit bibir bawahnya sambil berusaha menguatkan diri. Ia mencoba merangkai kalimat yang tepat. "Apa yang lo suka dari gue?" tanyanya kemudian. Kana menatap Elang serius. Ia menelan ludah sebelum akhirnya kembali berkata. "Kenapa lo malah milih gue? Sedangkan ada banyak cewek diluar sana yang lebih baik dari gue?" Kana menunduk lagi, sengaja untuk menghindari tatapan Elang. Kana memejamkan matanya, entah kenapa ia sedikit menyesal sudah bertanya seperti itu. "Dari awal cuma Kana yang udah narik perhatian Elang," jawab Elang enteng. Jari tangannya bergerak, menyusuri rambut Kana. "Susah buat ngungkapinnya. Elang sayang Kana. Elang bakal terus berada di samping Kana." Kembali Elang menggenggam erat tangan Kana. "Gue nggak sempurna Lang. Banyak kekurangan yang ada didiri gue," lanjut Kana, mendongak dan kembali menatap Elang. "Gue nggak sebaik yang lo kira." "Cinta dan kasih sayang nggak mandang kekurangan atau kelebihan pasangannya. Elang nggak peduli sama itu semua. Elang cuma mau Kana. Hanya Kana dan selalu Kana." Elang menjawab lugas tanpa ada keraguan. Bola mata Kana sudah berkaca-kaca mendengar ucapan Elang. Cowok itu kemudian menarik dan membawa tangan Kana ke d**a bidangnya, membuat Kana terkejut bukan main. Bibirnya mengatup rapat. "Hanya nama Kana yang terukir di sini," ucap Elang sembari menekan telapak tangan Kana ke dadanya. Elang ingin meyakinkan Kana bahwa dirinya benar-benar serius mencintai cewek itu tanpa memandang sesuatu yang lain. Elang mengusung senyuman lebar, kemudian ia menarik tubuh Kana. Mereka berpelukan cukup lama. Kana tidak bisa membendung air matanya, ia sungguh terharu. Air matanya turun ke pipi. Haruskah Kana senang dengan pernyataan Elang beberapa detik yang lalu? Atau Kana seharusnya sadar diri kalau dirinya akan membuat Elang kesusahan. Kana tidak tahu, tapi yang pasti, suatu saat nanti, entah itu kapan, Kana akan mengungkapkan siapa dirinya. Kana hanyalah seseorang yang tidak diharapkan kehadirannya oleh siapapun. "Kana, boleh Elang tanya sesuatu?" tanya Elang pelan. Kana pun melepas pelukannya. Ia menghapus pipinya yang penuh air mata sebelum akhirnya ia mengangguk. "Elang nggak mau nebak-nebak, tapi Elang cuma mau memastikan." Elang memberi jeda sejenak untuk mengatur napasnya. "Apa ibu tiri Kana yang membuat Kana nangis? Atau kedua saudara Kana itu ngelakuin hal-hal buruk sama Kana?" Kana menggeleng. "Mereka nggak jahat." "Ngomong sama Elang ya kalo ada apa-apa?" "Iya, bakal diusahain," pinta Kana seraya tersenyum. "Gue nangis bukan karena mereka Lang, keluarga tiri gue emang nggak nganggep kehadiran gue. Tapi itu nggak jadi masalah buat gue." "Terus?" Apa ini waktunya yang tepat untuk mengungkapkan semuanya? Bahwa Kana mempunyai penyakit yang serius. Setelah menimang, Kana kemudian menggeleng. Bukan saatnya untuk membeberkan masalah tersebut. Kana dan Elang baru saja jadian. Kana ingin menikmati sedikit lebih lama waktu-waktu menyenangkan bersama Elang. Dan akhirnya, Kana terpaksa berbohong. "Gue habis nolongin anak kecil yang terserempet motor Lang. Makanya tadi gue sedih dan nangis. Gue nggak tega, untung aja dia nggak pa-pa. Ibunya juga udah datang." Kana rasa itu adalah alibi yang cukup masuk akal. "Serius?" "I-iya." Kening Elang berkerut. "Kok bisa sama, ya? Elang di rumah sakit karena habis nolongin anak kecil. Dan waktu Elang mau pulang, Elang lihat Kana. Awalnya Elang terkejut kenapa Kana bisa ada di sini." Kana bersyukur karena Elang tidak curiga dengan kebohongannya. Kana diam-diam mengembuskan napas panjang. "Gue takut ibu marah, gue mau pulang sekarang." Elang dengan sigap berdiri dari duduknya. "Biar Elang anter Kana sampai rumah. Elang mau memastikan Kana pulang dengan selamat sentosa tanpa ada luka sedikitpun." *** Sepulang sekolah di parkiran sekolah, Elang dikejutkan dengan pemandangan yang tidak mengenakkan. Bola mata Elang terbelalak lebar. "Tangan Kana kenapa lagi?" tanya Elang terkejut mendapati punggung tangan kanan Kana yang nampak kebiruan. Elang dengan sigap mengambil kedua tangan Kana dan mengelus lembut luka tersebut. Dulu tangan Kana juga terluka, dan ini adalah untuk kedua kalinya meskipun jenis lukanya berbeda. Kana hendak menarik tangannya, tapi Elang masih menahannya. Cowok itu meringis. Kana yang terluka, Elang yang merasa ngilu. Cowok itu kemudian menunduk, menatap marah kepada Kana. Ia meminta tuntutan penjelasan. "Kenapa malah diem? Tangan Kana kenapa?" tanya Elang sekali lagi, nada suaranya naik beberapa oktaf. Raut wajahnya nampak serius. "siapa yang ngelakuin ini?" "Gue nggak pa-pa Elang, cuma luka dikit aja kok," jawab Kana seraya menatap wajah Elang takut. Sungguh, Kana melihat sisi lain dari seorang Elang Sangga Pradipta. Elang dihadapannya ini bukan Elang yang Kana kenal. Cowok itu terlihat marah, garis rahangnya menguat. Tatapan tajam Elang membuat Kana mati kutu. Elang terlihat sangat menyeramkan, sisi humoris yang menempel ditubuhnya seolah hilang. Kilatan api kemarahan terlihat begitu nyata dikedua bola mata Elang. Giginya bergemeretak menahan kekesalannya. "Nggak apa-apa Kana bilang?!" murka Elang. "Tangan Kana biru kayak gini. Elang nggak suka kalo Kana terluka." Napas cowok itu memburu kencang, dadanya naik turun mengikuti irama cepat napasnya. "Sekarang bilang, siapa yang ngelakuin ini sama Kana!" "Elang ... gue nggak pa-pa, jangan berle— "Tinggal jawab apa susahnya sih?!" bentak Elang memotong ucapan Kana. Cowok itu memperhatikan air muka Kana yang terlihat ketakutan. "Siapa pelakunya?!" Kana menunduk dalam. Ia takut akan raut wajah Elang. Cowok itu terlihat sungguh marah besar. Tubuh Kana bergetar. Ia menggigit bibirnya dan menahan isak tangisnya. Kana memang salah karena sudah memancing kemarahan cowok itu. Air matanya tiba-tiba turun tanpa bisa ia cegah. "Maaf," lirih Kana. Ia dengan segera menghapus jejak air mata dipipinya. Elang memejamkan matanya, lalu mendesah panjang berusaha untuk tenang dan tidak meluapkan emosinya lagi. Ia harus bisa mengontrol diri. Tindakannya tadi membuat Kana ketakutan. Elang menyesal. "Kana ... maafin Elang," ucap cowok itu lirih, mengusap bahu Kana dengan lembut. Elang menatap nanar ke arah Kana. Ia sudah membentak Kana, Elang sudah melakukan kesalahan. Walaupun Kana berusaha untuk tidak terisak, tapi ia gagal melakukan itu. Ia menangis lirih. Elang yang menyadari hal itu semakin merasa bersalah. Tadi ia hanya merasa terlalu khawatir akan keadaan Kana. "Kana maaf ...," ujar Elang sambil meneguk ludahnya secara kasar. "Elang nggak bermaksud marah sama Kana. Elang cuma takut Kana kenapa-napa. Elang nggak suka Kana terluka. Maafin Elang yang udah keblablasan." Kana menggeleng pelan. Wajahnya masih menunduk. "Gue yang salah Lang ...." "Elang yang salah, sekali lagi minta maaf." Kana perlahan memberanikan diri mendongakkan kepala. Elang tersenyum kecil sambil mendekatkan jarinya ke sudut mata Kana yang berair. Elang menarik oksigen sebanyak mungkin. Lalu mengembuskannya secara perlahan. "Kasih tau Elang siapa yang nyakitin Kana. Elang nggak terima kalo Kana kayak gini. Elang bakal maju dan hajar siapapun orang yang berani nyentuh Kana. Siapapun itu orangnya! Elang nggak peduli. Kana-nya Elang nggak boleh disakiti." "Nggak perlu gue kasih tau pun, lo udah tau siapa orangnya Lang. Jadi tenang aja, ya?" Kana menyentuh lengan Elang. Tatapannya melemah, "gue tau lo perhatian sama gue Lang, gue tau lo nggak mau gue kenapa-napa. Gue hargai itu, tapi ...." Kana berhenti sejenak, mendongak dan mengisi paru-parunya dengan udara lebih banyak lagi. "Tapi lo nggak bisa marah sama ibu gue Lang. Bagaimana juga gue masih bergantung sama ibu. Lo nggak usah khawatir, gue bisa jaga diri. Ibu ngelakuin kayak gini karena gue yang salah, gue ceroboh dan nggak pernah belajar dari kesalahan. Gue pantas dapatin ini Lang. Nggak ada orang tua yang nggak sayang sama anaknya." "Kecuali ibu tiri Kana," celetuk Elang lugas. "Dia nggak sayang sama Kana. Kana selalu menderita. Kalo Kana salah, nggak seharusnya dia main fisik kayak gini. Elang lama-lama nggak tahan sama ibu tiri Kana. Lihat aja nanti, Elang bakal cari solusi agar ibu Kana jera." "Jangan!" bantah Kana. "Ini masalah keluarga gue Lang, orang luar nggak perlu ikut campur. Setiap orang punya masalah. Lagian gue yakin kalo lama-lama ibu bakal berhenti ngelakuin ini ke gue Lang. Gue percaya itu, gue percaya ada perubahan walaupun gue nggak bisa memprediksikan itu kapan terjadi." "Mau sampai kapan ini semua terjadi?" "Gue masih bisa bertahan Lang. Tenang aja, lo jangan berlebihan gitu. Gue yang salah, makanya ibu marah." Elang menengadah wajahnya ke atas, lalu mengerjapkan matanya. Pelupuk matanya terasa panas dan penuh air mata. Pandangan Elang juga agak mengabur. "Elang nggak nyangka kalo Kana bisa sekuat ini. Kana lebih kuat dari yang orang lain duga." Cowok itu kembali menatap Kana lekat-lekat. "Satu hal yang mau Elang omongin sama Kana." Kana menunggu kata-kata Elang keluar. "Elang bangga punya cewek kayak Kana. Elang beruntung bisa miliki Kana seutuhnya. Makasih udah percaya sama Elang Na, makasih ..." "Elang ...." Kana mencicit lirih, bibirnya bergetar. Ia menatap Elang haru, bola matanya nampak berkaca-kaca. Tubuh Elang maju ke depan, kemudian menundukkan kepala dan meraih tangan Kana. Elang mengusap kembali luka dipunggung tangan Kana. Dan, tanpa Kana duga-duga sebelumnya, Elang melakukan sesuatu yang membuat d**a Kana berdebar kencang. Cup! Elang mencium luka memar Kana sekilas. Membuat Kana terpaku dan terkejut. Kana bahkan sempat menahan napasnya. "Semoga sakitnya cepat hilang," gumam Elang. "Kana setuju hm?" Kana mengangguk. "Makasih," ujarnya pelan, lalu melanjutkan. "Adalah keberuntungan paling berharga karena gue nerima lo Lang. Gue seneng banget dipertemukan sama lo." Elang tersenyum sambil memalingkan wajahnya ke samping kiri, nampak salah tingkah karena kata-kata itu keluar dari bibir Kana. Elang lah yang justru merasa sangat beruntung karena Kana hadir menemani hidupnya. Air mata keluar dengan sendirinya walaupun Kana tidak ingin menangis. Ia dan Elang saling beradu pandang. Detik berlalu menjadi menit, mereka masih saling pandang. Degup jantung saling mengiringi, napas mereka seirama, dan desir darah yang senada. Perlahan, Elang mendekatkan wajahnya ke arah wajah Kana. Kana diam tidak bergerak. Ia tidak menghindar. Tubuhnya seolah terpaku di tempat. Hingga akhirnya, Kana pun memejamkan matanya ketika wajah Elang berjarak hanya beberapa senti dari wajahnya. Napas hangat Elang menerpa wajah Kana, membuat detak jantung Kana kian tidak terkendali. Kana merapatkan bibirnya. Lalu, detik setelah itu Elang mencium lembut kelopak mata Kana yang berair. "I love you Kana."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD