"Assalamu'alaikum, Elang ganteng udah pulang." Cowok itu berucap sambil melangkah santai menuju ke dalam rumahnya. Tidak ada sahutan dari emak, Elang mengendikkan bahu tak acuh sebelum akhirnya ia memilih langsung pergi menuju lantai atas, di mana kamarnya berada.
Paling-paling Emak lagi masak, pikir Elang. Setelah sampai di kamarnya, dengan cekatan Elang melepaskan kedua sepatunya, melemparkan tasnya dengan asal, mengganti seragamnya dengan kaos polos santai, kemudian ia langsung keluar dari kamar hendak nonton Upin Ipin seperti biasa.
Tidak mau terlambat, saat menuruni anak tangga, Elang menuruni dua-dua sekaligus untuk mempersingkat waktu. Dan setelah kedua kakinya sampai di ruang keluarga dan ia hendak mendaratkan bokongnya di sofa, tiba-tiba saja Elang terkejut bukan main. Bola matanya melotot lebar.
Bagaimana tidak shock, Elang mendapati Nana—kucing kesayangannya—yang berdiri tidak jauh dari kakinya. Tapi bukan itu yang membuat Elang terkejut, melainkan bibir Nana yang monyong.
Elang langsung memungut Nana dan menggendongnya. Ia mengangkat kucing itu tinggi-tinggi ke udara. "Lo jelek banget Na, lihat muka lo gue jadi pengin ngakak hahaha ..."
"Lagian bibir lo kenapa nih? Lo habis main sama tawon, ya?" Elang tertawa ngakak, ia menggelengkan kepalanya takjub. "Nana bloon, sukurin lo, salah sendiri mainnya sama tawon. Kena kan tuh bibir, jadi jontor semua hahaha ...'
Elang menurunkan Nana, tawa kerasnya masih terdengar. Ia terpingkal di sofa sampai lupa bahwa seharusnya ia nonton kartun kesukaannya. Bahkan, kehadiran Emak yang sudah berdiri tidak jauh darinya sambil memegang sepiring bakpao sama sekali tidak disadari oleh cowok itu.
Emak menggelengkan kepalanya melihat anaknya ini, langsung saja ia mengambil bakpao yang tertera di piring, dan menyumpalkannya ke mulut Elang, membuat cowok itu berhenti tertawa. Emak tersenyum puas, sementara Elang melotot lebar dan bersusah payah menelan makanan yang berada di mulutnya itu.
Setelah berhasil menelan satu buah bakpao berukuran cukup besar, Elang menatap Emak dengan sengit. "kalo Elang mati keselek gimana Mak? Astaghfirullah nggak ada akhlak banget, anak sendiri di sumpal bakpao, mending di kasih duit kek, apa kek gitu."
"Yee ... Kau mati emak dapat duit sama beras, lumayan dong," balas Emak gamblang, disambut desahan panjang dari Elang.
Elang tidak merasa sakit hati mendengar itu, karena ia sudah tahu sifat emaknya yang suka becanda. Elang tinggal mengikuti alur permainannya saja. Cowok itu kini mendengkus dan menggeleng-gelengkan kepalanya, tangan kanannya mengusap dadanya naik turun.
"Buset Mak, ini Elang lho anak emak. Masa Elang mati Emak nggak sedih? Jahat bener," balas Elang seraya mengerucutkan bibirnya.
Emak menggeleng pelan. "Emangnya tadi kau kenapa ketawa parah gitu? Emak pikir kau lagi kesurupan."
"Lha emak nggak tahu emangnya? Tuh lihat bibir Nana jontor. Gimana Elang nggak ngakak coba? Sampai Elang keselek rice cooker nih."
Emak langsung menggeplak kepala Elang dengan air muka keruh. "Kau itu bukannya anter Nana ke dokter malah ketawa, kena azab baru tau kau. Mau emak pecat jadi anak emak?!"
"Lha emak, yang salah kan Nana, ngapain juga main tawon. Kena sendiri kan, Elang mah nggak ikut-ikutan ya, biarin aja tuh sih Nana bibirnya kek gitu, biar sosis Elang nggak di makan."
"Bocah nggak ada akhlak!" omel Emak sambil menggeplak kepala Elang untuk kedua kalinya. Elang meringis dan mendengkus kesal. Ia menatap emak sinis.
"Ini otak udah geser sampai Afrika, jangan geplak mulu napa mak, berasa jadi samsak kepala Elang," ucap Elang masih mengelus bagian kepalanya yang terkena geplakan bar-bar Emak.
"Makanya punya mulut buat ngomong yang bener, jangan ngasal gitu."
"Kayak emak udah bener aja."
"Mau emak usir dari rumah kau? Mau ha?"
"Jangan dong! Nanti Elang tidur di mana?"
"Tidur di perbatasan Indonesia sama Malaysia aja sono."
"Padahal emak sendiri nih yang nggak ada akhlak, tapi Elang yang dituduh. Seharusnya Elang yang pecat emak, bukan malah sebaliknya."
Emak tersenyum remeh sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. "Oh sekarang udah berani bantah beneran nih. Besok uang jajan nggak bakal emak kasih, titik nggak pake spasi, koma, apalagi kata sambung! Biarin kau nggak usah jajan. Biar keluar tuh air liur kau lihat temen-temen makan di kantin. Mampus!"
Tidak mau kalah, Elang tersenyum remeh. Berdehem kecil, Elang berkata menantang, "lah bodo amat Mak. Duit Elang masih ada, emak kan kemarin ngasih duit Elang sekalian buat uang saku dua hari. Berarti buat besok masih ada dong." Elang tertawa mengejek, membuat Emak semakin geram dengan anaknya satu ini. Elang masih tertawa, bahkan ia menjulurkan lidahnya kepada emak. "wlee ... Emak kalah. Ngapain melotot gitu Mak? Nggak terima sama Elang ganteng ini? Sini maju!"
"k*****t kau, anak durhaka. Sebulan emak nggak bakal kasih kau uang jajan!" ancam Emak, ia menatap anaknya dengan wajah penuh dengan senyuman kemenangan.
Glek!
Tawa ngakak Elang langsung sirna begitu saja, ia menoleh dan menatap Emak lengkap dengan mata melotot. "wah mainnya curang nih emak, nggak boleh gitu dong. Harus sportif, satu bulan nggak jajan auto kayak papan catur nih perut."
"Bodo amat!"
Elang berdecak, "gini aja deh mak, kita main kertas batu gunting tiga kali. Kalo Elang menang Emak harus kasih uang jajan Elang dua kali lipat untuk satu hari," ucap Elang menjelaskan.
"Lha kalo emak yang menang?" tanya Emak.
"Kalo emak yang menang uang jajan Elang tetep kayak biasa. Nggak kena potongan sama sekali, terus Elang bakal beliin Emak k****g. Ukuran k****g emak berapa kalo Elang boleh tau mak!?" ujar Elang.
"Wah itu sih emak yang rugi sana sini oncom!" Terlanjur kesal, Emak menjewer telinga Elang geram membuat Elang langsung menjerit kuat-kuat.
"OPAH TOLONGIN ELANG NIH, EMAK BAR-BAR NAKAL, MUKANYA NGESELIN BANGET!"
"Kau jangan pancing emosi emak terus makanya!" ujar Emak seraya melepaskan jeweran telinganya. Ia tersenyum puas memandangi Elang yang tersiksa seperti itu. Bukan hanya telinganya, wajah Elang juga turut memerah. Membuat Emak merasa senang karena menganggap dirinya menang.
"Ya udah jadi main nggak nih?"
"Nggak! Emak nggak mood!"
"Tapi uang jajan Elang aman kan Mak?"
"Oh yaaa pasti aman dong!" balas Emak sambil mengacungkan jempol tangannya. Elang nyengir lebar mendengar itu.
"Bagus Mak, bagus! Elang suka seperti ini!"
"Maksud emak uang jajan kau aman di dompet emak! Kau tetep nggak bakal dapet, mampus kau!" Emak memandangi Elang yang sudah mengerucutkan bibirnya kesal. Sadar jika Elang sudah membuka mulut hendak membantah, buru-buru Emak menambahkan, "apa kau ha? Mau bantah? Sini maju kalo berani!"
"Terus Elang harus apa biar uang jajan Elang nggak hangus?"
"Oh gampang mah kalo itu. Kau tinggal cuci piring, nyapu, ngepel lantai, bersihin debu di jendela, cuci baju, udah itu aja."
"Sekalian aja Mak sama benerin genteng yang bocor, ngeselin banget dah!"
"Oh okelah kalo begitu, ditambah benerin genteng!"
"KAK ROOOSS, ELANG BUTUH BANTUIN NIH BUAT NGELAWAN EMAK YANG AKHLAKNYA ADA DI DENGKUL!"
PLETAK!
***
Sepulang sekolah tadi, Kana langsung pergi ke kamarnya dan menguncinya rapat-rapat. Ia sedang butuh ketenangan dan tidak mau diganggu oleh siapapun. Dan entah ini keberuntungan atau memang hanya kebetulan, ibu tirinya tidak meneriaki dirinya. Menyadari itu, Kana memejamkan mata dan bernapas lega.
Ia baru keluar dari kamar setelah jam dinding menunjukkan pukul delapan malam. Perutnya sudah keroncongan dan tentu saja ia butuh asupan makan. Kana berjalan menuju dapur, ia menghela napas sejenak dan mengambil piring.
Setiap hari, saat makan malam Kana memang tidak pernah bergabung dengan ibu dan kedua saudarinya. Bukan keinginan Kana untuk makan seorang diri, melainkan ia tidak pernah diijinkan oleh mereka. Sebenarnya Kana ingin merasakan kehangatan seperti keluarga pada umumnya, Kana ingin seperti teman-temannya. Tapi Kana sadar, bahwa ia tidak akan mendapatkan itu. Seringkali Kana menekankan pada dirinya untuk tidak terlalu memikirkan akan hal itu, ia harus bersyukur karena masih bisa makan dan tinggal di rumah.
Kana mengangkat sudut bibirnya, lalu mulai membuka tudung saji di hadapannya. Dan apa yang Kana lihat membuatnya terkejut. Bola mata Kana melotot. Di saat perutnya yang sangat keroncongan, di meja makan sama sekali tidak ada makanan sekalipun. Semua piring kosong, nasi juga tidak ada. Ada beberapa ikan yang hanya tersisa tulang dan durinya saja. Raut wajah Kana langsung berubah lesu.
"Ibu nggak sisahin makanan?" Kana bergumam lirih, bersamaan dengan itu bunyi perutnya terdengar lagi, Kana langsung memegangnya. Semakin lama jika dibiarkan tetap kosong, perut Kana akan terasa sakit.
Dengan membawa segudang perasaan kekecewaan, Kana berjalan menjauh dari dapur, lalu setelah ia keluar dari dapur, hal yang pertama kali tertangkap oleh telinganya adalah suara gelak tawa dari ibu dan kedua saudarinya. Kana tersenyum kecil, kemudian ia melangkah cepat menuju sumber suara berada, yang Kana yakini mereka sedang berada di ruang keluarga.
Dan benar, dapat Kana lihat mereka sedang menonton acara komedi di televisi. Kana berjalan mendekat.
Hampir bersamaan dengan kehadiran Kana, televisi yang menayangkan acara komedi sedang menayangkan iklan, Luna kemudian terkejut akan kehadiran Kana yang berdiri di sampingnya.
Luna melotot lebar, "eh gembel! Ngapain lo ke sini?"
Ucapan Luna sukses membuat Lana dan ibu langsung tergelak. Ibu tidak kalah terkejut dari Luna. Wanita itu menatap Kana tajam.
"Mau apa kamu ke sini? Mau nonton bareng? Dih jangan ngarep, ya!" omel wanita itu dengan ketus.
Kana meneguk ludahnya dengan kasar, meskipun sebenarnya takut, tapi Kana mencoba tenang dan memberanikan diri. "Bu, Kana mau makan tapi nggak ada nasi sama lauknya."
"Terus urusan saya apa kalo kamu belum makan?"
"Kana lapar Bu, Kana belum makan. Ada makanan lain nggak Bu?" tanya Kana.
Terdengar tawa menggelegar dari bibir wanita itu sebelum kemudian berkata memohok, "itu urusan kamu! Nggak ada hubungannya sama saya! Mau kamu belum makan juga saya nggak peduli. Salah sendiri baru keluar dari kamar."
Kana hanya terdiam mendengar itu, ia menunduk dengan perasaan kecewa.
Lana menyambung ucapan ibunya. "Kayaknya di lemari ada mi instan deh," ucapnya, membuat Kana mendongak dan tersenyum cerah.
"Lana beneran? Ada mi instan? Ya udah, kalo gitu aku masak mi aja." Wajah Kana sudah berbinar cerah, akhirnya ia bisa menemukan sesuatu yang bisa di makan.
"Emang ada sih di lemari, tapi itu kan punya kita! Enak banget lo makan mi, itu mi buat kita masak nanti," ujar Luna pula. Kemudian Lana dan Luna langsung bertos ria dan terkekeh lebar.
"Lana sama Luna udah makan?" tanya Kana.
"Ya udah lah, lo nggak lihat di dapur tadi ada bekas tulang ayam sama tulang ikan? Kalo lo mau, boleh deh lo makan, gue udah nggak butuh," ujar Lana sinis.
"Iya, biar sama kayak kucing lo," sambung Luna pula.
Baru saja merasa senang karena ada mi instan yang bisa ia masak dan makan, kini Kana harus menelan kekecewaan lagi. Ia kembali menunduk dalam.
"Terus kamu ngapain terus di sini gembel?! Sana pergi dari sini. Ganggu aja bisanya. Sana tidur biar nanti pagi nggak terlambat bangun lagi! Kamu harus masak enak buat besok, bahan-bahannya udah ada!" Dengan kejamnya, ibu mengusir Kana dengan kata-kata kurang enak didengar.
"Kalo Kana ambil dikit buat masak sekarang boleh nggak Bu? Di kulkas ada telur, kan? Kana boleh minta satu?"
"SEMBARANG AJA KAMU! ITU BUAT BESOK! MAU MAKAN APA BESOK KALO KAMU MASAK SEKARANG! t***l DIPELIHARA!"
"Tapi Kana cuma minta telur satu Bu. Kana mohon Bu ... Tolongin Kana, Kana laper banget Bu," rintih Kana memohon. Matanya sudah berkaca-kaca.
"Jangan mau ma, biar dia rasain aja tuh," ujar Luna.
"Bener tuh, sukurin!" balas Lana tidak kalah sengit, ikut mengompor. Tatapan sinisnya terlempar untuk Kana.
"Kenapa masih di sini! Buruan pergi sebelum b****g kamu saya tendang! Mau kamu, ha?" Kedua bola mata ibu sudah melotot lebar. Kana pun berbalik badan dan segera menjauh dari mereka menuju kamarnya.
Kana menutup pintu kamar dan langsung naik ke atas kasur. Ia mengambil selimut dan memilih untuk tidur. Kana memiringkan badannya ke kanan, detik berikutnya air matanya jatuh. Kana terisak lirih, perih di perutnya perlahan sudah ia rasakan.
"Ibu ... Ayah ... Kana kangen, hiks ... Kana lapar Bu, Kana pengin makan hiks ..."
Kana memejamkan matanya, hatinya berdenyut sakit, dadanya sesak, perasaannya sedih. Air matanya turun dengan jelas.
"Kana pengin ketemu ibu hiks ... Kana juga pengin ketemu ayah ... Kana pengin nyusul kalian. Boleh, ya?"
Menit berikutnya, Kana sudah menutup matanya rapat-rapat, irama napasnya semakin teratur. Ia tertidur dalam hati yang terkoyak dan perut yang kosong. Namun, matanya masih terlihat sembab penuh air mata, kedua pipinya juga basah.
***
"Ih Kana! Bangun dong lo!" Luna berucap sambil mengguncangkan tubuh Kana dengan gerakan kasar dan tidak sabar.
"Woy gembel bangun! Kebo banget tidurnya, buruan bangun Kana!" ujar Lana pula, ikut mengguncang tubuh Kana.
Merasa terusik, Kana pun menggeliat dan mulai membuka matanya. Begitu melihat siapa yang berada di kamarnya, buru-buru Kana memosisikan dirinya untuk duduk. Ia masih setengah mengantuk, rambutnya juga sedikit berantakan. Kana memandangi Luna yang melipat kedua tangannya, sementara Lana mendengkus kesal dan memutar bola matanya.
"Kalian mau ngapain ke sini? Gimana kalian bisa masuk?" tanya Kana bingung. Ia mengucek matanya, kemudian melirik jam di dinding kamarnya, pukul satu dini hari. Mereka mau ngapain datang di jam segini? Banyak sekali pertanyaan bercabang yang tertanam di benak Kana.
"Kamar lo nggak ke kunci bloon!"
"Terus?"
"Kita lupa kalo besok ada tugas matematika yang harus di kumpulin. Lo kerjakan gih, gue nggak bisa."
Kana membentuk matanya dengan lebar, kemudian menatap sebuah buku yang Lana dan Luna sodorkan. Kana belum mengambilnya. Ia memandangi saudarinya itu dengan bingung.
Kana menggeleng. "Ini masih malam, aku ngantuk. Aku nggak bisa ngerjain," ujar Kana menolak dengan lembut.
"Oh lo mau bantah perintah gue? Lo mau gue kasih hadiah, ha?" Luna mengancam tajam.
"Aku nggak bisa, aku ngantuk. Besok aku juga harus bangun pagi kan buat masak?" balas Kana membela diri.
"Ya itu derita lo t***l, kan emang jadi tugas lo. Kita nggak mau tahu, besok pagi tugas kita harus udah ke isi semua! Harus bener semua, awas aja kalo ada yang salah!"
Setelah berucap, Lana melempar bukunya ke hadapan Kana, kemudian ia pergi dari sana. Hampir serupa, Luna pun melempar bukunya hingga mengenai muka Kana. Namun, sebelum pergi, ia menyempatkan diri mendorong kening Kana dengan keras hingga kepala Kana tersentak ke belakang.
"Kerjakan yang bener, ada satu jawaban yang salah, gue pastikan lo tahu akibatnya!"
Kana memperhatikan Luna yang berjalan menjauh dari kamarnya. Kana menunduk, kemudian mengambil napas panjang. Lagi-lagi kesabarannya di uji, dengan pasrah Kana berjalan ke meja belajar membawa kedua buku milik mereka. Ia mulai mengerjakan soal demi soal, meskipun sesekali ia menguap lebar dan perutnya beberapa kali berbunyi.