Bagian 8
Kutinggalkan Rini yang masih berada di ruang makan. Semakin lama, aku semakin muak melihatnya. Lebih baik aku ke klinik dokter Aidil saja. Di sana nanti akan kutanyakan tentang bungkus obat yang kutemukan itu.
Rumah yang dulu tenang dan penuh kehangatan, sekarang berubah seratus delapan puluh derajat setelah kehadiran Rini. Aku tidak tahu sampai kapan wanita itu menumpang di rumahku. Mas Farid pasti akan marah jika aku mengusir wanita itu secara paksa. Yang jelas, aku sangat keberatan. Bukan karena masalah pengeluaran yang semakin bertambah, tetapi aku khawatir kecurigaanku benar-benar terbukti. Semoga saja tidak.
Setelah selesai bersiap, kuambil tas tangan dan juga kunci motor. Sebelum keluar kamar, kupastikan kalau pintu kamar benar-benar terkunci agar Rini tidak bisa memasuki kamarku. Aku tidak suka jika ada orang lain masuk ke dalam kamarku.
Saat keluar kamar, tidak kutemukan lagi Rini di ruang makan. Rini memang pemalas. Ia memilih menahan lapar daripada harus memasak. Memang benar-benar malas! Biarkan saja lah, jika ia lapar, nanti juga akan berusaha sendiri.
Aku menghidupkan mesin motor matic kesayanganku, kemudian mengendarainya dengan kecepatan sedang.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba ponselku berdering. Aku langsung menepikan motor, membuka tas untuk melihat siapa yang menelponku.
Ternyata pelanggan butik yang meneleponku, beliau sudah menungguku di depan butik. Aduh, aku sampai lupa bahwa aku ada janji dengan pelanggan. Pasti beliau ingin mengambil Khimar pesanannya.
Rencana untuk ke klinik dokter Aidil terpaksa ditunda dulu. Padahal kliniknya sudah dekat dari tempatku sekarang. Baiklah, aku akan ke klinik setelah memberikan barang pesanan pelanggan.
***
Setelah urusanku dengan pelanggan selesai, aku kembali menutup rolling door, lalu menaiki motor maticku.
Aku berkendara dengan pelan dan tetap memperhatikan rambu-rambu lalu lintas. Tiba-tiba saja aku merasakan sakit yang luar biasa di bagian perut. Segera kutepikan motor karena sudah tidak kuat lagi menahan rasa sakitnya.
Mengambil ponsel dari dalam tas, kemudian menghubungi nomor Mas Farid, tetapi tidak diangkat. Kukirimkan pesan padanya mengabarkan bahwa aku sakit agar Mas Farid mengantarku ke dokter. Tapi pesanku juga tidak dibalas.
Aku semakin panik karena merasakan ada sesuatu yang mengalir dari daerah kewanitaanku.
Mas Farid belum membalas pesanku juga. Centang dua berwarna biru, dibaca tapi tidak dibalas. Apa mungkin ia sedang sibuk ya! Aku berusaha menenangkan diriku sendiri.
Kubuka GPS untuk mengecek posisi Mas Farid saat ini. Mataku membulat saat GPS menunjukkan kalau posisi Mas Farid saat ini sedang berada di klinik Dokter Aidil, klinik khusus ibu dan anak yang akan menjadi tujuanku. Tidak jauh dari tempatku berada saat ini.
Aku tidak percaya, apa mungkin informasi yang ditampilkan GPS ini tidak benar? Padahal belum sampai satu jam Mas Farid berangkat ke kantor, apa mungkin ia membohongiku?
Aku terduduk lesu di samping motor yang masih terparkir di pinggir jalan. Rasa sakit di perutku semakin menjadi. Apalagi setelah melihat informasi yang ditunjukkan oleh GPS.
Akhirnya kuputuskan untuk mengirim pesan pada Mama, mengabarkan kalau aku membutuhkan bantuannya untuk membawaku ke rumah sakit. Tanganku masih bisa untuk mengetik pesan, sedangkan untuk bicara, aku sudah tidak kuat lagi.
Badanku semakin lemas karena menahan rasa sakit yang semakin menjadi. Aku tidak kuat lagi untuk berdiri. Aku hanya bisa menangis sendirian di sini.
Tiba-tiba sebuah mobil Av*nz* berwarna hitam berhenti tepat di hadapanku. Seseorang yang kukenal turun dari mobil tersebut. Ia adalah Bu Sari pelanggan di butik. Bu Sari bersama dengan Mas Rian, anak bungsunya.
Bu Sari dan juga Mas Rian menghampiriku. "Del, kamu kenapa?" Bu Sari berjongkok di depanku sambil memeriksa kondisiku.
Aku tidak sanggup menjawab pertanyaan Bu Sari. Tapi sepertinya Bu Sari mengerti, ia kasihan melihatku yang sedang kesakitan sambil memegangi perut.
"Ya Allah, Del. Kamu harus secepatnya dibawa ke rumah sakit."
"Rian, tolong bantu Mama. Kita bawa Adel ke rumah sakit terdekat," ucap Bu Sari kepada Mas Rian.
"Baik, Ma!" Mas Rian membantu Bu Sari untuk membawaku ke dalam mobil.
"Kita bawa Adel ke klinik terdekat saja. Klinik Dokter Aidil hanya berjarak lima menit dari sini. Ayo buruan, Mama takut Adel kenapa-kenapa." Bu Sari memberikan perintah kepada Mas Rian.
Mas Rian menuruti perintah Bu Sari, ia langsung mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi agar cepat sampai ke tempat tujuan.
Ponsel yang berada dalam genggamanku berdering, ternyata Mama menelpon.
Bu Sari mengambil ponsel dari tanganku, mengusap layar bergambar telepon itu.
"Halo, Assalamu'alaikum, Del. Mama sekarang berada di lokasi yang kamu kirim, Nak. Kamu dimana? Kenapa hanya ada motor kamu di sini?" Terdengar suara Mama diseberang sana, seperti sedang panik.
"Waalaikumsalam, Bu. Ibu langsung ke klinik Dokter Aidil saja, Adel bersama kami, sedang dalam perjalanan menuju ke klinik," jawab Bu Sari, menjelaskan kepada Mama.
"Baik, Bu! Saya segera ke sana," ucap Mama, kemudian Sambungan telpon pun terputus.
***
Setelah memarkirkan mobil, Mas Rian membantu Bu Sari untuk membawaku ke dalam.
Saat hendak memasuki klinik, kami berpapasan dengan Mas Farid dan Rini.
l
Rini berjalan sambil memegangi perutnya, sedangkan Mas Farid memegang pundak Rini, persis seperti suami siaga.
Sakit yang kurasakan semakin menjadi setelah menyaksikan pemandangan menyakitkan di depan mataku.
Jadi ini alasanmu tidak mau mengangkat telpon dan membalas pesanku, Mas. Ternyata kamu lebih mementingkan wanita itu dari pada istrimu sendiri. Sayangkan kata-kata itu tidak sanggup kulontarkan. Karena tenagaku sudah semakin habis.
Mas Farid berlaku begitu saja, tidak mengkhawatirkanku sama sekali. Seolah tidak peduli padaku.
Mas Rian dan Bu Sari langsung membawaku ke dalam agar mendapatkan penanganan medis.
Setelah membaringkanku di atas kasur khusus pasien, Bu Sari pun pamit karena masih ada urusan lain. Aku hanya menganggukkan kepala saat beliau berpamitan, karena kondisiku semakin lemah.
Dokter langsung memeriksa kondisiku, kulihat di tangannya memegang jarum suntik. Setelah dokter menyuntikkan cairan ke tubuhku, akhirnya mataku terpejam dan tidak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya.
***
Saat membuka mata, kulihat Mama sudah berada di sampingku. Wanita yang melahirkanku itu terlihat khawatir melihat kondisiku.
Mama menggenggam tanganku, kemudian mengelus kepalaku. "Alhamdulillah, kamu sudah siuman, Nak."
Rasa sakit di perutku sudah berkurang, tidak seperti sebelumnya.
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, tidak kutemukan keberadaan Mas Farid.
"Kamu cari siapa, Nak?" tanya Mama.
"Mas Farid mana, Ma?" lirihku.
Mama mengalihkan pandangannya. Seperti menutupi sesuatu dariku.
"Suamimu kembali lagi ke kantor setelah selesai menemani wanita itu untuk periksa kandungan," ucap Mama.
Degh!
Jantungku berdetak lebih kencang salt mendengar jawaban Mama. Apa Mama mengetahui sesuatu?
"Enggak usah mikirin suamimu dulu. Fokus sama kesehatanmu saja ya!" Mama mengalihkan pembicaraan.
Tok tok tok.
Tiba-tiba pintu terbuka, dokter dan satu orang suster tersenyum ke arahku, lalu menghampiriku dan Mama.
"Sebenarnya, apa yang terjadi pada anak saya, Dok?" Mama bertanya lebih dulu sebelum dokter menjelaskannya.
"Anak Ibu mengalami pendarahan hebat akibat keguguran," jelasnya.
Aku menutup mulut, tidak percaya dengan apa yang dikatakan dokter. Keguguran? Aku kan tidak sedang hamil!
"Keguguran? Maksud Pak Dokter anak saya mengalami keguguran? Anak saya kan tidak sedang hamil, Dok?" Mama juga sepertinya tidak yakin dengan penjelasan dokter.
"Iya, Bu. Diperkirakan janinnya berusia enam Minggu. Karena terjadi pendarahan hebat, maka janinnya tidak bisa diselamatkan." Dokter menjelaskan sedetail mungkin.
Air mata mengalir deras dari kelopak mataku. Empat tahun menanti kehadiran sang buah hati. Disaat janin tumbuh di dalam rahimku, yang maha kuasa mengambilnya kembali. Ternyata aku tidak diizinkan untuk menjadi seorang ibu.
Mama menyeka air mataku dengan punggung tangannya. "Sabar, Nak. Ini ujian dari Allah. Mama yakin, kamu pasti kuat." Mama terus menyemangatiku, meskipun aku tahu kalau hatinya juga kecewa. Mama sudah lama mendambakan kehadiran seorang cucu dari rahimku.
"Apa penyebab anak saya keguguran, Dok?" Mama yang penasaran, langsung bertanya pada dokter.
"Anak ibu sepertinya mengkonsumsi obat-obatan sehingga membahayakan janinnya," jelas Pak Dokter.
Aku mengernyitkan kening, aku sama sekali tidak pernah mengkonsumsi obat apapun.
"Saya yakin sekali, Dok. Saya tidak pernah mengkonsumsi obat apapun," ucapku sambil menahan Isak tangis. Bagaimanapun juga, aku tidak bisa menyembunyikan kesedihanku.
"Kami sudah melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Kemungkinan besar ibu habis mengonsumsi obat dengan dosis yang cukup tinggi." Pak Dokter berucap dengan sangat yakin, terlihat dari expresi wajahnya saat menjelaskannya.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Bungkus obat yang kutemukan. Ya, bungkus obat tersebut kubawa di dalam tasku dan juga fotonya kusimpan di galeri ponselku.
"Ma, ponsel Adel mana? Adel mau nunjukin sesuatu."
Mama mengambil ponsel dari dalam tasku kemudian memberikannya padaku. Kubuka galeri dan memperlihatkan foto obat tersebut kepada dokter.
"Apa ini penyebab saya keguguran, Dok?" tanyaku, masih ragu.
Dokter memperbesar foto bungkus obat tersebut, mengamatinya dengan seksama.
"Ini adalah obat tidur. Jika dikonsumsi dengan dosis yang berlebih, maka akan menimbulkan efek samping. Ibu yang sedang hamil bisa keguguran apabila terlalu sering mengonsumsinya," jelas Pak Dokter dengan yakin.
Aku menggeleng pelan. Berarti Mas Farid pelakunya. Ia sengaja mencampur obat tersebut ke dalam jus yang diberikannya padaku agar ia bisa leluasa bermesraan dengan wanita itu. Jahat sekali kamu, Mas!
Bersambung