Bagian 7
Suara azan subuh menggema di telinga, aku segera turun dari ranjang meskipun kepalaku masih sedikit pusing.
Mas Farid masih terlelap, entah kapan ia kembali ke kamar ini. Aku masih mengingat dengan jelas bahwa semalam Mas Farid tidak berada disini. Entah kemana ia semalam.
Kubiarkan Mas Farid yang sedang terlelap tanpa mau membangunkannya. Biarkan saja, nanti ia pasti bangun sendiri.
Aku kemudian bergegas ke kamar mandi untuk menyegarkan tubuhku.
Saat melewati dapur, kudapati semuanya sudah rapi, tidak ada lagi sampah yang berserakan. Begitu juga dengan ruang tengah dan ruang tamu, sudah bersih dan rapi.
Aku tidak tahu siapa yang membersihkannya, karena semalam aku tidur terlalu cepat sehabis meminum jus yang dibuat oleh mas Farid, aku langsung tertidur dan tidak tahu hal yang terjadi selanjutnya.
Setelah menyegarkan tubuhku dengan air, aku kemudian mengambil wudhu dan menunaikan sholat subuh.
Seperti biasa, setelah selesai melaksanakan sholat, aku akan merasa jauh lebih tenang. Pikiranku yang tadi sempat kemana-mana, sekarang sudah mulai tenang kembali.
***
Aku membuka kulkas untuk mengambil sayuran, kulihat stok buah yang kubeli beberapa hari yang lalu sudah ludes tak bersisa. Hanya ada sayuran, ikan dan ayam beku di dalamnya.
Pandanganku beralih pada lemari gantung yang terletak di atas meja kompor. Aku biasa menyimpan mie instan dan juga cemilan di lemari tersebut. Saat kubuka, ternyata isinya juga sudah kosong.
Aku hanya bisa mengelus d**a, pasti Rini yang telah menghabiskannya. Padahal, jika Rini lapar, ia bisa memasak ikan atau ayam yang sudah kusiapkan di kulkas, atau mengambil cemilan secukupnya tanpa perlu menghabiskannya. Wanita itu benar-benar membuatku jengkel.
Kuurungkan niatku untuk membuat sarapan pagi ini. Aku memilih untuk duduk di atas kursi meja makan. Merasa kesal dengan kelakuan Rini dan juga Mas Farid. Aku yang capek kerja siang malam, tapi wanita itu yang menikmatinya. Begitu juga dengan Mas Farid, ia juga sudah kelewat batas, sekarang ia lebih mementingkan wanita itu.
Hari ini aku tidak akan memasak dan juga tidak akan mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Aku akan membeli sarapan di luar, Mas Farid juga akan sarapan di luar. Sedangkan Rini, ia kan sudah diberi uang pegangan oleh Mas Farid.
Saat hendak beranjak dari dapur, tanpa sengaja kakiku menginjak sesuatu. Aku mengambilnya dan mengamatinya. Seperti bungkus obat, tapi aku tidak tahu obat apa, soalnya belum pernah melihatnya sebelumnya.
Aku duduk lagi sambil berpikir. Kuambil ponsel dan membuka geogle untuk mencari tahu.
Kuketik nama obat yang tertera di dalam bungkus tersebut, meskipun tulisannya kecil, tapi aku bisa membacanya dengan jelas.
Saat muncul informasi dari geogle, dahiku mengernyit karena bungkus obat yang sedang berada di tanganku itu adalah bungkus obat tidur.
Siapa yang menggunakan obat tidur di rumah ini? Apa jangan-jangan, bungkus obat ini ada kaitannya denganku yang sudah dua malam ini tidur cepat setelah meminum jus buatan Mas Farid?
Aku harus menyelidikinya. Setelah Rini tinggal di rumah ini, banyak sekali kejanggalan-kejanggalan yang kudapati.
Kumasukkan bungkus obat tersebut ke dalam kantong gamis yang kukenakan untuk menyelidikinya lebih lanjut.
Aku menarik nafas dalam, dan mengembuskannya perlahan. Kuulangi lagi beberapa kali sambil beristighfar agar hatiku bisa tenang kembali.
Sepertinya, aku butuh udara segar. Lebih baik aku menyiram bunga di halaman depan agar bisa lebih tenang.
Saat hendak mengambil ember kecil, aku berpapasan dengan Rini di depan kamar mandi. Rini hanya mengenakan handuk di atas lutut, padahal aku sudah mengingatkannya agar tidak memperlihatkan auratnya meskipun berada di dalam rumah.
Lagi-lagi aku kesal dibuatnya, ia mengenakan handuk yang hanya menutupi tubuh bagian atas sampai atas lutut. Apa seperti itu kelakuannya saat hanya berdua di rumah ini dengan Mas Farid?
"Pagi, Mbak," sapanya dengan sopan.
Aku tidak menjawabnya, mataku tertuju pada lehernya. Ada tanda merah di sana. Persis seperti tanda yang sering diberikan oleh Mas Farid padaku. Siapa yang tidak curiga saat melihat tanda seperti itu di leher seorang janda. Atau jangan-jangan kecurigaanku memang benar?
"Mbak, kok' bengong sih. Rini permisi dulu, mau mandi."
Baru berjalan dua langkah, aku menghentikannya, "tunggu! Aku ingin menanyakan sesuatu padamu."
Rini berbalik kemudian berbalik menghadapku.
"Ini apa? Kenapa di lehermu ada tanda merah seperti ini?" Jari telunjukku mengarah pada tanda merah di leher Rini.
Ia terlihat gelagapan sambil merapikan rambutnya yang terurai untuk menutupi lehernya.
"Oh, ini toh, ini bekas kerokan, Mbak! Sebenarnya semalam Rini mau minta tolong sama Mbak Adel buat ngerokin Rini, tapi Mbak Adel nya udah tidur. Jadi ngerok sendiri deh," jawabnya.
Aku tidak yakin kalau itu adalah bekas kerokan. Bisa saja ia telah melakukan sesuatu. Apalagi semalam aku ketiduran, jadi tidak bisa mengawasinya.
"Rini mandi dulu ya, Mbak, gerah ni," ucapnya sambil mengipas-ngipaskan tangannya pertanda bahwa ia kegerahan. Kemudian berlalu dari hadapanku.
Aku tidak bisa mempercayainya begitu saja. Sudah banyak n****+ di aplikasi yang k****a belakangan ini. Ceritanya sama persis seperti si Rini. Sepupu atau pembantu muda yang tinggal serumah dengan majikannya biasanya akan jadi pelakor dan merusak rumah tangga dari sang majikan.
Aku memang suka membaca cerita di platform online, bahkan rela membeli koin untuk membuka bab yang dikunci, apalagi temanya tentang pelakor. Tapi biarpun aku suka dengan tema seperti itu, bukan berarti aku menginginkan suamiku diambil pelakor.
***
Setelah menjinjing ember di tangan, aku menuju halaman depan untuk menyiram bunga. Memutar keran untuk mengambil air, kemudian mulai menyirami bunga di dalam pot, satu persatu.
"Selamat pagi, Del," sapa Bu RT yang tiba-tiba sudah berdiri di depanku, entah sejak kapan beliau ada disitu. Aku terlalu fokus menyiram bunga sehingga tidak menyadari kehadirannya.
"Pagi juga, Bu," ucapku sambil tersenyum ke arahnya.
"Wajahmu pucat ya, Del. Kamu sakit?" Bu RT mendekat sambil mengamati wajahku.
"Nggak kok', Bu. Adel baik-baik saja." Aku meyakinkan Bu RT agar ia tahu bahwa aku baik-baik saja, hanya kepalaku yang masih sedikit pusing.
"Apa yang kita omongin kemarin sudah kamu buktikan belum?" bisik Bu RT di telingaku. Mungkin beliau tidak mau jika orang lain mendengar pembicaraan kami.
Aku menggeleng, pertanda belum mendapatkan bukti apapun. Niatku untuk mengawasi Rini dan Mas Farid semalam gagal total karena aku ketiduran.
"Yasudah, saya pamit dulu. Tetap waspada, jangan biarkan wanita lain mengganggu suamimu," pesan Bu RT sebelum beliau pergi dan berkumpul dengan ibu-ibu yang sedang mengerumuni gerobak sayurnya Kang Dadang.
"Dek … ternyata kamu di sini, Mas nyariin kamu dari tadi." Mas Farid menghampiriku sambil tersenyum manis padaku.
Aku tidak membalasnya karena masih kesal dan marah padanya.
"Dek, masuk yuk."
Lagi-lagi, aku tidak menjawabnya, hanya menuruti ajakannya saja.
"Dek, kok di meja makan belum ada sarapan, Mas kan mau berangkat kerja. Tolong bikinin ya," pintanya dengan pelan.
"Aku lagi malas masak, Mas. Mas sarapan di luar saja," ketus ku.
Mas Farid terdiam, aku tahu ia kecewa. Ia masih berusaha tersenyum, lebih tepatnya memaksakan untuk tersenyum.
"Jangan gitu dong, Dek. Kamu kan tahu sendiri kalau gaji Mas bulan ini sudah habis buat beli AC, buat jatah bulanan Ibu dan juga uang pegangan buat Rini. Mas sudah nggak punya uang lagi," keluhnya.
"Itu bukan urusanku, Mas," ucapku santai, tapi aku yakin ucapanku barusan menyakitkan bagi Mas Farid.
"Ya sudah, Mas pamit dulu. Tapi tolong kamu masak untuk Rini ya. Ia kan sedang hamil, jadi nggak bagus jika makannya telat," pintanya tanpa memikirkan perasaanku.
"Mas kan sudah ngasih uang pegangan buat dia. Nanti kalau lapar, dia juga bisa beli sendiri, kok'. Lagian di kulkas masih ada ayam, telor dan ikan. Suruh saja dia masak, biar nggak keenakan numpang gratisan." Aku sengaja bicara seperti itu untuk memancing reaksi Mas Farid. Hanya wanita itu kah yang penting baginya? Sedangkan aku tidak ditanyakan sudah sarapan atau belum.
Mas Farid tidak bicara lagi. Ia langsung memakai sepatu kerjanya kemudian menyambar tas kerjanya.
"Mas pamit, ya!"
Aku mencium punggung tangannya, aku tidak bisa menolaknya meskipun dalam keadaan marah.
Setelah mengantar Mas Farid ke garasi, aku pun masuk melalui pintu belakang. Kulihat wanita itu sedang duduk di ruang makan setelah mengambil piring dan sendok terlebih dahulu di rak piring. Mungkin ia mengira kalau aku sudah menyiapkan sarapan untuknya. Enak bangat dia jadi orang!
"Mbak, nggak ada sarapan ya?" Ia bertanya dengan santainya seolah aku ini pembantunya.
"Kalau mau sarapan, beli sana," jawabku ketus.
"Santai aja, Mbak. Nggak usah jutek gitu," ucapnya sambil tersenyum sinis.
"Siapa yang jutek, aku biasa aja kok. Emang lagi malas masak saja. Jika kamu lapar, kamu masak saja. Ada sayuran, ayam dan ikan tuh di kulkas. Apa jangan-jangan kamu nggak bisa masak?"
"Oh ya, bentar lagi aku mau keluar. Kamu beresin rumah ya, lantainya disapu terus di pel juga. Itu kamar mandi juga jangan lupa disikat. Aku nggak sempat, lagian kamu kan nggak ada kerjaan di rumah." Aku sengaja menyuruhnya untuk melakukan semua pekerjaan itu, agar ia sadar diri bahwa ia hanya numpang di sini.
Rini terlihat kesal padaku, ia sama sekali tidak menjawabku.
l
Malas kok' dipelihara! Sudah numpang gratis, eh, malah mau dilayani juga seperti tuan putri. Sorry yah, aku tidak bisa diperlakukan seperti itu.
Bersambung