CHAPTER 4

1590 Words
Manaka mengumpat kesal, marah-marah karena pakaiannya tak dikembalikan oleh Aaron dan pakaian Aaron tak muat untuknya. Ayahnya sudah pulang dan dia masih terkurung di kamar Aaron. “Jangan tidur!” Manaka melempar bantal, menekan di wajah Aaron ketika tak mendapat reaksi. Merasa sesak mulai kehabisan napas, Aaron menendang perut Manaka. Membuat pria itu terjungkal jatuh ke bawah lantai. Ia sendiri sudah terduduk, terbatuk menarik napas sebanyak-banyaknya. “Kau itu ya, tak tahu sedang kuampuni ya? Atau sebenarnya kau lebih suka kuhukum?” Ancaman mulai terdengar dari bibir seksi itu, membuat Manaka menelan ludah. Namun sekali lagi, Manaka tak pernah jera. Ia malah melemparkan kembali bantal di tangannya ke wajah Aaron. “Aku lebih suka memukulmu!” balas Manaka kasar. Bantal itu ditangkap oleh Aaron, diletakkan ke sampingnya. Lalu ia turun ke bawah, duduk di atas perut Manaka menahan tubuh pacarnya agar tak bisa bangkit. “Kalau berani, ayo pukul,” kata Aaron. Tangannya berada di pipi Manaka, mengusap kasar dengan penuh tekanan.   Manaka memukul sekeras yang ia bisa. Dengan tinju, tepat di pipi kanan Aaron. Dua kali, tanpa ragu. “HAHA! Rasakan itu! Dikira aku tak berani apa!?” Badan Aaron sampai termundur sedikit. Ia kaget Manaka berani memukulnya, ditambah dengan tawa puas pula. Kepercayaan diri pada pesonanya sedikit terhina. Detik berikutnya ia mencengkeram rahang Manaka, menciumnya dengan buas. Menggigit bagian bawah bibir Manaka tanpa ampun hingga berdarah, itulah bentuk pembalasan Aaron. Selanjutnya, Aaron yang menyeringai puas. “Sial! Sakit tahu!” Manaka memaki. Aaron tak memedulikannya, ia bangun. Beranjak pergi keluar dari kamar, berhenti sesaat di depan pintu yang terbuka lebar. “Ikut denganku, akan kuberi kau pakaian,” perintahnya. Tak ada dendam atau kemarahan. Aaron bukan orang yang peduli dengan hal remeh. Saling pukul hanyalah komunikasi sedikit kasar antara sesama lelaki. Manaka juga tampaknya sepemikiran. Ia berjalan tertatih mengikuti Aaron, memukul punggung Aaron saat merasakan sakit di pinggulnya. “Sialan! Kau seperti hewan buas saja.” Manaka mulai mengungkit kejadian tadi malam. Aaron melirik ke belakang, mengacak rambut Manaka sambil tersenyum manis. “Kau tak akan mengalaminya kalau tak berpikir main perempuan di belakangku. Aku benci tukang selingkuh, paham?” Ia memberi peringatan. Kalau Manaka tak ingin mengalami malam liar yang sama, maka jangan berani-berani membuatnya tersinggung. Namun, Manaka tak paham. Dalam hati ia memutuskan untuk selingkuh lagi lain kali, biar Aaron jadi benci sungguhan padanya. Manaka tak kenal kapok, dia akan memikirkan cara kabur dari hukuman sekalian, ogah diserang dengan buas seperti kemarin lagi. Mereka kemudian pergi ke ruang penyimpanan, ada banyak seragam dengan berbagai ukuran. Persediaan untuk pasukannya, berhubung latihan mereka sering membuat seragam mereka rusak dengan cepat. Ada suit, setelan baju training dan dan setelan kemeja informal. Manaka mengerutkan alisnya, tak paham kenapa Aaron punya yang begini. Banyak pakaian wanita dan pria berukuran berbeda dengan model sama. Dasi hitam membosankan dengan logo aneh sekardus penuh, lalu kotak P3K sampai puluhan kotak. Sarung tangan, masker muka, jaket dan sepatu bot. “Kau mau buat sekolah pelatihan atau apa?” komentar Manaka. Ambil kemeja informal, pakai dengan berantakan tanpa menyentuh dasinya. Dia ogah pakai yang begitu, dasi ala Manaka selalu bercorak mencolok dengan warna lebih dari tiga. “Ternyata kau punya rumah! Tinggal di sini, jangan menumpang di tempatku terus!” Tiba-tiba Manaka baru sadar, kalau ia tak pernah ke sini. Merasa ditipu oleh Aaron, pura-pura tak punya rumah, tapi nyatanya ada. Lebih besar dari kantornya pula. “Bukan mau, tapi sudah punya. Memang kaupikir, sekelompok orang di halaman itu apa?” Aaron mengabaikan pembicaraan soal rumah, sudah bosan membahas hal sama melulu. “Itu bukan karyawanmu? Seperti Tifa, begitu?” Manaka berhasil teralihkan. Dia ingin tahu tentang prajurit Aaron yang bisa membuat ayahnya begitu tertarik, hingga tega menjualnya demi sekumpulan orang-orang itu – fakta yang sampai saat ini masih ingin Manaka sangkal. “Bukan, mereka pembunuh pribadiku. Hati-hati dengan kesabaranku, Manaka. Mereka bisa jadi tombak bermata dua untukmu, membunuh musuhmu atau membuatmu terbunuh tergantung dari sikapmu padaku.” Mendengar itu, Manaka agak takut. Hanya saja dia mencoba untuk berani, merasa Aaron berlebihan saja. Mereka mungkin banyak, tapi belum tentu kuat. “Huh!? Memangnya mereka sekuat itu? Membunuhku tak mudah.” Manaka masih bisa menyombong, padahal sudah tahu kalau dia bisa mati dalam hitungan menit kalau Aaron bersungguh-sungguh. Pacarnya itu iblis sok baik.  “Mau lihat sendiri?” Aaron menantang. Pasukannya mungkin memang baru terbentuk selama tiga bulan, tapi yang jelas mereka telah lulus sekolah ayahnya. Gagal seleksi jadi asisten dan dipungut oleh Aaron, dijadikan aset pribadi. “Ayo kita lihat.” Manaka menerima tantangan itu. Ia mendongakkan kepalanya tinggi-tinggi, merasa Aaron hanya menggertak saja. Mereka lalu pergi ke halaman depan, mengecek sendiri siapa yang sebenarnya terlalu sombong di sini. Ketika keduanya telah tiba di halaman itu, mereka semua segera berbaris rapi – dipandu oleh Tifa untuk menghormati Aaron. Manaka agak takjub, melihat betapa disiplinnya orang-orang itu. Rapi pula barisannya, dengan postur badan tegap seperti tentara sungguhan. “Berapa lama kau melatihnya?” Manaka jadi ingin mencari tahu. Kalau sampai bertahun-tahun, dia mungkin bisa maklum. “Tiga bulan,” jawab Aaron jujur. Namun dia tak benar-benar terbuka, tak mengatakan pengalaman mereka sebelum dilatih di sini. “Pembohong!” Manaka tak percaya. Aaron menunjuk pada lambang pasukannya, tertera tanggal berdirinya. Hanya satu minggu sejak pacar sialan itu mulai menumpang di rumahnya. Benda itu sangat besar, terbuat dari ukiran kayu dipasang di depan halaman rumah. Tertancap di atas tanah dengan kokoh. Manaka bungkam seketika, Aaron tersenyum congkak. Tifa tertawa-tawa, senang melihat Manaka dipermainkan. “Ayo lihat sebaik apa mereka, duduklah di sana dan buka matamu lebar-lebar,” ujar Aaron selanjutnya. Tunjuk kursi kayu panjang yang terletak di tepi halaman, di bawah pohon terlihat sejuk dan nyaman. Manaka langsung pindah duduk ke sana. Aaron masih di tengah lapangan, ia berniat melawan mereka. “Tifa, temani Manaka. Kalau dia mencoba kabur, ikat saja.” Perintahkan Tifa mengawasi Manaka, siapa tahu saja Manaka tiba-tiba menjadi takut dan berniat kabur. “Aku tak akan kabur, sialan!” maki Manaka dari kejauhan. Tidak terima saat mendengar perintah itu. “Siap, Tuan Aaron. Akan kujagakan mainanmu,” jawab Tifa sambil menyengir. Manaka tambah sensian, kedua orang itu selalu membuatnya naik darah. *** Aaron menepuk tangannya sekali. “Menepi, lima orang tetap di tengah. Masing-masing ambil satu senjata terbaik kalian. Siapa yang bisa melukaiku akan dapat bonus!” Kemudian ia memerintah dengan serius, memberi mereka iming-iming agar bersemangat. Bonus dari bos mereka itu biasanya sangat besar, bisa jadi barang langka juga. Siapa yang tak tergiur? Tiga menit selanjutnya, kelima orang itu sudah mengambil senjata mereka. Pedang asli yang dibuat dengan baik. Senjata paling efisien menurut mereka, jika main keroyokan melawan seorang bertangan kosong. Manaka sudah ngeri hanya dengan melihat itu. “Bosmu tak apa-apa? Sombong juga ada batasnya. Tertusuk lalu mati gimana?” Masa latihan pakai senjata asli, Aaron memang tukang pamer sinting. “Bukannya itu bagus untukmu, kau bisa bebas,” balas Tifa santai. Tahu Aaron tak akan mati, bahkan tergores pun tak bakal. “Kau benar!” Tiba-tiba Manaka kesenangan sendiri, mengira kesombongan Aaron akan membebaskan dirinya dari jeratan domba jahat itu. Namun beberapa detik selanjutnya, mulut Manaka ternganga. Ia tak percaya yang apa yang lihat. Aaron sungguhan bisa melawan dengan mudah, mengelakkan serangan dari berbagai arah itu dengan elegan. Menangkap tangan lawannya, membelokan arah tusukan mereka ke teman sendiri. Sesekali ia menendang dengan telak, satu serangan fatal di bagian vital. Dua orang pingsan seketika, tiga lainnya mulai kehilangan keyakinan. Mereka melawan dengan panik, hingga gerakannya tak terorganisir dengan baik. Akhirnya kalah dalam waktu lima menit. Ini sih Aaron pamer kehebatannya, bukan kehebatan anak buahnya, batin Manaka. “Selanjutnya!” seru Aaron. Masih mau lanjut, rencananya memang sampai mereka tumbang semua, atau tak ada lagi yang berani melawan. *** Satu jam kemudian, Manaka menutup wajahnya dengan telapak tangan. Merasa depresi pada masa depan yang gelap. Dia sungguhan sudah terjerat oleh iblis. Laki-laki cantik hanya berkeringat sedikit saja selama satu jam penuh diserang oleh sekelompok orang-orang bersenjata. “Yang sabar ya, Manaka.” Tifa sok prihatin, tepuk-tepuk puncak kepala Manaka menghibur. “Tontonannya baru akan dimulai,” sambung Tifa, merujuk pada empat orang tersisa dari lima orang yang menjadi kepala regu. Satunya sudah dibawa pergi oleh Kusaka. “Tontonan apalagi?” Suara Manaka sudah lemas. Ia mengangkat kepala dengan tak niat, mengerutkan alis saat melihat tiga orang pria dan satu orang wanita yang tadinya tak kelihatan. Mereka tak bawa senjata, tapi lebih terlihat percaya diri dan mengintimidasi Manaka. “Mereka kepala regu, jauh lebih kuat dari pasukan biasa. Lihatlah baik-baik, tontonan seperti ini tak akan bisa kaulihat lain kali,” jelas Tifa. Makin membuat Manaka tertekan. Manaka tak mau melihatnya, tak ingin menambah rasa takut. Namun pertarungan itu terlalu menarik hingga membuat matanya berkhianat. Secara refleks membuka dengan lebar menyaksikan perkelahian dengan tingkat yang berbeda. Lebih cepat hingga nyaris tak terlihat, variasi serangan tak tertebak dan bahkan beberapa merupakan gerakan tipuan. Aaron sampai tertawa bahagia melawan mereka, tak peduli jika ia kena pukul beberapa kali. Entah berapa jenis seni bela diri yang dipakai oleh mereka, terlalu bervariasi dan bercampur aduk. Ada juga yang telah dikembangkan secara pribadi. Sekali dapat pukulan, pasti ada tubuh yang terhempas. Namun selalu juga bisa bangkit dengan semangat membara, melawan dengan gilanya sampai Manaka tak sanggup lagi mendeskripsikan. Masa depan Manaka kini bukan lagi gelap, tapi sudah buntu. “Kasih tahu aku, Tifa. Dapat dari mana monster-monster itu?” Ada rasa putus ada terselip di dalam pertanyaan Manaka, menyampaikan dengan jelas perasaannya saat ini. “Mereka teman-teman dan adik kelasku semasa sekolah tahu,” balas Tifa. Sekolah apaan? Manaka tak percaya, tak pernah dengar ada sekolah tempat berkumpul orang-orang berbahaya begitu.          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD