"Nduk, Farhan itu mau ke mana? Kok pergi malam - malam begini."
Marsih yang sedang melipat baju mendesah berat mendengar pertanyaan dari ibunya. "Katanya tadi mau kerja kelompok, Mak. Awalnya mau di sini, tapi karena ada aku, nggak jadi. Temen - temene nggak enak katanya."
"Walah... gitu. Sekarang dia jadi sering keluar malem. sambil dituturi (dibilangin) ya, musim Klitih. Bahaya. Jangan main jauh - jauh."
"Nggih, Mak."
"Ini, hasil jual gabah tadi sore. Kamu simpen ya, buat anakmu. Beras di gentong juga sudah diisi lagi, kemaren sempet habis, tho. Bapakmu juga udah nyetok dua karung itu buat persediaan." Ibunya mengulurkan uang yang terbuntal plastik padanya. Lebih tepatnya menjejalkan uang tersebut ke tangannya.
"Mak, opo tho iki (ini apa, sih). Ndak usah, tho. Marsih masih sehat, masih bisa carikan Farhan. Ini diambil lagi aja buat ditabung." tolaknya mendorong kembali uang tersebut ke tangan Ibunya.
"Tompo ae. Wong dikei Mak e kok seneng e nolak i (terima aja. Kamu kalau dikasih Ibumu sukanya nolak aja). Kita wis sepuh. Bau tanah. Kalau koyo ne (Harta/Uangnya) nggak buat kalian terus buat siapa lagi. Sinpen aja. Farhan makin gede. Kebutuhan semakin banyak." Bapaknya ikut menasehati.
Marsih mengangguk patuh. Dia paling takut pada Bapaknya itu. meskipun sudah tua dan renta, dan mungkin bagi orang lain tak berdaya, bagi Marsih, Bapaknya masih sama tegas dan menakutkan seperti saat dia masih kecil dulu.
"Matursuwun, Pak, Mak." dia menyimpan bungkusan tersebut di saki celana pendeknya.
Sudah sepatutnya dia bersyukur karena banyak dibantu mereka dalam membesarkan Farhan. Dia hanya berdoa semoga anak semata wayangnya itu tumbuh menjadi orang yang berbakti dan tidak neko -neko.
***
Aditama hampir menyerah pada amarahnya dan mengeluarkan sumpah serapahnya saat keluar dari kamar yang ditempati suami istri dewan yang menjadi korban Klitih tersebut.
Rasanya dadanya sesak dan kepalanya mau meledak. pandangannya juga sidah mulai memerah karena amarah. Tak hanya dia yang seperti itu. Tapi kedua rekan polisi yang datang bersamanya ke sini pun kurang lebih sama kondisinya. Keluar dalam keadaan menahan marah.
Sudah dua hari ini dia melakukan pemeriksaan kasus Klitih terbaru dengan mengambil kesaksian dari para korbannya. Tapi mereka lebih banyak makan ati daripada mendapatkan titik terang. Kedua suami istri itu terlalu bossy. Saat ditanya alih - alih menjawab dengan sesuatu yang relevan, mereka malah lebih suka pamer kekuasaan dan menggurui mereka tentang apa yang seharusnya mereka lakukan untuk mengusut kasus ini hingga tuntas.
"Pabu (makian kasar dalam bahasa walikan Jogja) tenan Bapak itu. Minta cepet diusut tuntas tapi dimintai keterangan malah mbulet - mbulet!" maki salah satu rekannya.
"Begitu kalo rumongso kuwoso (begitu kalau merasa berkuasa)." Temannya yang lain menyahut. "Ke sopirnya aja, ayo."
Ajakannya itu langsung diangguki oleh rekan - rekan lainnya. Dari kamar ini, mereka hampir tak mendapatkan apa pun. Mereka kebanyakan mengumpulkan kesaksian dari pembawa mobil, alias sopir mereka.
Sebagian besar kronologi sudah mereka kantongi. Siap dicocokkan dengan bukti - bukti yang mereka dapat di lapangan. Hanya saja, ada satu yang belum mereka tau. kejadian si anggota dewan dieksekusi oleh kelompok tersebut. Sang supir mengaku tak tahu karena saat hal tersebut terjadi, dia sudah tak sadarkan diri di dalam mobil.
Itu hal terakhir yang dia ingat sebelum kesadarannya hilang adalah Tuannya itu diseret keluar dari mobil oleh sekelompok bocah tanggung.Dan saat dia kembali terbangun, dia sudah berada di ranjang UGD.
Ketiadaan info inilah yang ingin didengar oleh Aditama dan rekan - rekannya. Siapa tau ada petunjuk penting di sana. Tapi sampai dua hari kemudian, dia belum juga mendapatkan apa pun.
Yang lebih menyebalkan lagi adalah, si anggota dewan itu malah sekarang mendatangkan para wartawan dan menceritakan kronologis kejadian di media - media.
"Mungkin kita harus nunggu cerita lengkapnya di media." Aditama berkomentar setelah beberapa saat mereka bertiga berjalan beriringan.
"Asal nggak minta diusut buru - buru aja ini kasusnya. Sudah minta buru - buru, tapi songong. Kan susah. oh, ngomong - ngomong, sketsanya kan udah jadi. Menurut kalian wajahnya familiar nggak sih?"
"Tapi aku heran. Klitih kan berkelompok. Tapi ini kok yang diinget - inget korbannya cuma satu orang itu, ya."
***
Sementara itu di tempat yang lain, sekelompok remaja yang menjadi biang keladi keresahan dan teror di beberapa titik di Jogja masih tak tahu nasib apa yang menunggu mereka di depan sana.
Mereka masih seperti biasanya, berkumpul dan berpesta tiap malam. Bermandikan miras dan beberapa kegiatan lain yang tidak terpuji.
Farhan dan Panji datang berboncengan sekitar jam delapan lewat di markas mereka. Markas masih sepi. Baru beberapa orang saja yang datang. Farhan sendiri kaget melihat sudah ada orang di sini. Dalam hati dia bertanya - tanya, apakah markas ini pernah sepi? Pernah kosong tanpa orang? Karena saat dia datang selalu sidah ada orang di sana, dan saat dia pulang pun mereka tak pulang. Tempat ini seperti rumah kedua bagi beberapa dari mereka.
Rolis, ketua kelompok ini, sekaligus orang yang memintanya untuk datang ke markas malam ini belum datang. Dia tak terlihat di mana - mana.
"Bro Rolis belum dateng tho, Mas?" Untuk memastikan lagi, dia bertanya pada Panji.
Panji yang ditanya mengurungkan niatnya untuk bergabung dengan teman - teman yang lain yang sudah lebih dulu berada di sana dan menolehkan kepalanya memindai ruangan besar serupa barak tersebut untuk mencari keberadaan seseorang.
"Belum ada. Belum dateng kayak e, Han. Tunggu dulu."
"Oke, Mas."
"Gabung aja yok sama yang lain itu." ajak Panji yang langsung disetujui oleh Farhan.
Mereka mendekat dan menyapa beberapa orang berkumpul di sana.
"Wah ini, pahlawan kita!" seru salah seorang di antara mereka saat melihat Farhan dan Panji mendekat.
"Iya nih. Eksekutor baru kita. Tumben, Bro, dateng. Biasanya kalau nggak lagi beraksi nggak pernah dateng." Salah seorang lainnya menegur, saat mereka sampai di sana dan menyapa seluruh anggota kelompok Klitih yang di pimpin Rolis yang ada di sana.
"Biasa aja, Mas. Bukan Pahlawan. Cuma disuruh dan aku lakuin sesuai perintah."
"Tapi jangan bagus - bagus tho, Han. Nanti kita nggak dipake lagi sama Rolis."
Farhan hanya meringis, merasa tak nyaman, karena pujian dan elu - eluan yang barusan diterimanya itu terdengar agak sumbang. Sepertinya ada yang tak terlalu suka padanya sejak bergabung dengan kelompok ini. Mungkin kehadiran Farhan secara tak sengaja sudah membuat beberapa orang jadi tersingkir. Padahal dia tak pernah bermaksud seperti itu.
Sembari menunggu Rolis datang, mereka bercakap - cakap di sana. Kerumunan yang awalnya hanya lima orang itu kian lama kian bertambah jumlah orangnya.
"Farhan mana? Udah datang?" Suara Rolis menggelegar mengalahkan suara musik.
"Tuh anak kesayangan dipanggil."
Farhan meringis, lalu pamit beranjak dari kerumunan terdebut. Dari sana dia berjalan menghampiri Rolis, dengan sepasang mata yang tanpa disadarinya terus mengamati gerak gerik mereka. Dia tak merasakan keganjilan dan keanehan apa pun malam itu.
"Gimana, Mas? Ada apa?"
"ikut aku, Han. ada hal penting yang mau aku diskusikan sama kamu. Di sana."