Bab XVII

1018 Words
"Nggak ada lagi yang kita dapat di sini. Kita sudahi saja Bapak - bapak untuk hari ini." Aditama berkata setelah mereka keluar dari kamar sang supir. Penjelasannya masih sama dan itu harus dilengkapi oleh korban - korban lain. "Mungkin kita bisa coba lagi besok. Kita lihat kondisi pasien. Jika boleh, kita minta kesaksian korban secara terpisah." "Setuju, selama ini si istri hanya diam saja kerena si suami terus mengambil alih pembicaraan. Siapa tau dengan metode baru ini kita bisa mengambil kesaksian mereka." Kedua rekan yang datang bersamanya ke rumah sakit mengiyakan. "Sudah semakin malam. Sebaiknya kita pulang." Karena tadi mereka pakai mobil kantor, dan rumah sakit ini lumayan dekat dengan rumahnya, jadi Aditama pamit tak ikut ke kantor untuk mengambil mobil. Alih - alih, dia memanggil jasa ojek online untuk mengantarnya pulang. Tak masalah untuknya kok. Saat dia sampai di rumah, dia sudah ditunggu oleh seseorang yang ditemani oleh Parjo di depan rumahnya. Saat tamunya berdiri untuk menyabutnya yang baru saja turun dari boncengan motor ojol yang mengantarnya, Parjo langsung ikut berdiri. Wajahnya terlihat cemberut sambil menatap tak suka pada tamunya. Karena keterbatasannya, Parjo jadi amat ekspresif. Sehingga mudah bagi orang lain untuk membaca dirinya. Karena dia tak bisa mengungkapkan sendiri apa yang dia rasakan pada orang lain. "Pak!" Serunya memberi hormat yang segera dibalasnya. Tapi sebelum dia sempat menanyakan maksud kedatangan tamunya ke rumahnya, Parjo sudah lebih dulu mendatanginga sambil mengomel ala dia. "Hi! Hu waa o uu." Parjo menggebu - gebu menerangkan padanya tentang tamunya itu. wajahnya berkerut - kerut dengan mulut monyong - monyong kesal dan tangannya melambai ke sana - sini dengan semangat. Dan seperti biasa, mengobrol dengan Parjo adalah hiburan baginya. Cara Parjo bicara yang membuatnya menebak - nebak apa maksudnya membuat dia seperti sedang bermain teka teki. Kebetulan dia juga suka teka teki. Parjo baru saja bercerita kalau tamunya ini datang - datang langsung masuk ke rumah, tampangnya menyeramkan seperti preman dan yang paling menyebalkan bagi Parjo adalah dia tak menjawab saat Parjo bertanya. Padahal itu mungkin karena tamunya ini tak tahu maksud Parjo apa. Dia saja kadang masih menebak - nebak. Parjo memang tak mau dibedakan dari orang normal lainnya tak ingin dispesialkan, tapi dia lupakalau dirinya memang spesial. Tak banyak yang bisa berkomunikasi dan memahami pria tua ini. "Iyo, Jo. Ini tamuku. Ndak papa, kok. Kamu jadi nggak bisa pulang gara - gara dia? Ya wis, pulang aja, biar aku yang tanganin, ya." Katanya dengan suara setengan geli karena menahan tawa. Parjo masih mengomel saat dia berjalan menuju sepeda gunung bututnya yang terparkir di halaman rumah. Sesekali dia masih melirik tamunya dengan pandangan mengancam, membuat Aditama terkekeh. Lumayan, dia mendapatkan sedikit hiburan setelah hari yang panjang dan melelahkan dan nyaris tak ada hasil. "Hoi, Jo!" Dia berteriak kuat untuk memanggil Parjo. Padahal Parjo tak sejauh itu. Tapi kalau tak berteriak, pria botak itu tak akan mendengarnya. Saat Parjo menoleh dia baru melanjutkan, berbicara dengan membuka mulutnya lebar - lebar. "Sudah makan?" Dia membuat gestur menyuap makanan dengan tangannya. Parjo menjawab dengan melambaikan tangannya, tanda tak ingin menjawab, karena dia tau kalau Aditama pasti akan memberikannya uang lagi untuk makan jika dia menjawab belum. Dengan itu, Parjo mengayuh sepedanya dan berlalu dari rumah Aditama, membuat si pemilik rumah geleng - geleng tak percaya. Parjo bekerja bukan untuk mengumpulkan uang, tapi dia bekerja untuk makan sehari - hari. Jika dia rasa cukup, maka dia tak mau lagi diberi apa pun oleh mereka yang mempekerjakannya. Dia hidup sendiri, menabung hanya sekenanya, yang penting bisa buat makan dan bisa buat berobat ke puskesmas kalau dia sakit. Sesimple itulah Parjo. Setelah punggung Parjo yang sedang mengayuh sepeda gunung menghilang ditelan kegelapan malam, dia berbalik lagi pada tamunya. "No, Ayo, masuk." ajaknya. Pemuda yang dipanggil 'No' itu mengangguk ta'dzim dan mengekor di belakang Aditama saat masuk ke dalam rumah. Tak heran Parjo waspada. Tampilannya memang seperti preman yang merajai pasar dan jalanan Jogja. Rambut dan wajahnya juga tidak mencerminkan wajah orang baik, karena terlihat songong dan sengak. Mungkin Parjo tadi takut kalau dia mau merampok rumahnya atau bagaimana. "Duduk. Seadanya ya No. Nggak banyak persediaan di rumah. Maklum, laki - laki kalau tinggal sendiri ya begini. Baru pulang, No? Atau baru mau berangkat?" Tanyanya meletakkan teh kemasan botolan dan bungkusan keripik ke atas meja. Meskipun tinggal sendiri, kalau namanya tamu tetap harus dijamu. Begitulah dia diajarkan oleh orang tuanya. "Baru mau berangkat, Pak. Tapi ada yang mau saya sampaikan." Pemuda di depannya ini bernama Reno. Dia adalah intel terbaik di angkatannya. Sejak masuk ke kepolisian, dia hampir belum pernah bertugas di kantor. Selalu saja tugas lapangan. Dan tiba bulan terakhir ini, dia sedang bergabung dengan salah satu group remaja yang rumornya adalah group klitih. Intel adalah polisi yang menyamar untuk memuluskan aksinya. Biasanya mereka bergerak secara individu dengan menyembunyikan jati dirinya. Bahkan, ada intel yang amat secretive dan amat hati - hati dengan pekerjaannya sampai tidak memiliki social media dan sebagainya. Menjadi intel berarti setuju untuk memiliki kehidupan ganda. Dan itu kadang nisa menjadi cukup merepotkan. Apalahi jika jika menyangkut penyamaran fisik. Bahkan, Aditama pernah kenal Intel yang awalnya pacaran dengan orang terdekat target, tapi lama - kelamaan malah jadi susah sendiri. Dah malah jadi rumit saat operasinya sudah selesai dan dia harus kembali ke kantor. Biasanya akan ada kebimbangan untuk melanjutkan berpura - pura atau mengambil resiko untuk mengungkapkan identitas aslinya. Tapi selama ini Reno selalu prfesional akan hal itu. Semoga saja dia tak terkena skandal atau hal - hal yang membahayakan posisinya. Dan semoga dia mendapatkan pendamping yang mengerti akan tugas negara yang diembannya saat ini, Aditama berharap dalam hati saat melihat sosok yang begitu muda di depannya itu. "Maaf sebelumnya saya baru bisa melapor. Dua minggu kemarin saya tak bisa keluar sembarangan dari markas mereka, dan baru hari ini saya bisa keluar. Dan saya juga baru tau tentang berita yang menggemparkan ini." "Ada hubungannya dengan pekerjaanmu?" Aditama bertanya langsung. Karena itu kemungkinannya. Jika tidak ada hubungan apa pun antara kasus yang sedang ditanganinya ini dengan penyamarannya, untuk apa pria ini datang ke sini? "Kasus yang menyeret anggota dewan terakhir kemarin itu, kelompok kami yang melakukannya, Pak." Aditama langsung berdiri tegak pada pengakuan tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD