Farhan yang meringkuk menekuk tubuhnya di pojokan itu tak tahu bahwa yang barusan ditenggaknya itu adalah alkohol. Vodka yang dicampur bir dengan kadar alkohol lebih dari dua puluh persen. Dan karena rendahnya tingkat toleransi alkohol dalam tubuhnya, Farhan langsung mabuk seketika. Mungkin karena cuaca sedang panas juga yang menjadi salah satu penyebab cepatnya alkohol berpengaruh dalam tubuhnya. Untungnya, saat mabuk, Farhan bukan tipe yabg reseh dan rusuh. Dia merasa pusing, jadi dia meringkuk tidur di pojokan sementara teman - teman yang lainnya masih bermain di sekitarnya.
"Loh, Farhan kenapa, Pan?"
"Oh! Mas Rano, mendem dia. Mabok! Vodka sama birnya mas Toro di habisin sama dia." Panji menjawab sambil tertawa - tawa.
"Bener itu, Ro?" Rano memandang Farhan dengan khawatir.
"Dia bilang gerah, Mas. Ya wis tho. Tak kasih minumanku biar adem. Tapi aku aku nggak maksa, lho."
"Wah, parah kamu. Dia kan masih di bawah umur."
"Halah, bedane opo, tho, Mas. Mau masih kecil mau udah besar kalau dia hobinya mabok ya jadi pemabok, kalo hobinya sebat ya jadi perokok. Umur nggak usah jadi patokan! Wis ayo, lanjut. Sampeyan ikut nggak ini, Mas?"
Rano yang tak terima dan geram luar biasa pada pernyataan Toro menggeleng dan menolak tawarannya.
"Nggak ah, lagi nggak pengen main. Meh turu ae, aku. Mau tidur aja." Kemudian dia beranjak naik ke barak atas.
Dia tak habis pikir dengan pola pikir orang - orang yang seperti Toro. Tentu saja ada alasan kenapa umur dibedakan secara psikologis. Tapi dia tak bisa bilang banyak tentang hal itu karena dia sedang menyamar saat ini.
Dia hanya kasihan pada Farhan. Jika mereka semua tertangkap, maka Farhan akan terkena banyak sekali pasal berlapis. Bukan hanya Farhan saja, ada beberapa anggota juga yang baru tahun ini menginjak usia tujuh belas tahun. Mereka masih amat belia. Dia sendiri pun miris kenapa anak - anak semuda itu memilih untuk bergabung dengan kelompok seperti ini.
Dia mengingat acara keluarnya dia dari markas beberapa saat yang lalu dan tubuhnya jadi kembali antisipatif. Tak sabar dan harap - harap cemas akan rencana Iptu Aditama yang tadi sempat pria itu beberkan padanya.
***
Aditama mengangguk puas melihat semua persiapan sudah selesai. Tadi Rano datang ke kantor dan menginfokan kalau Farhan ada di markas. Dan kemungkinan besar semua anggota akan berkumpul lagi malam ini. Rano bilang Rolis sedang merencanakan aksi berikutnya.
Jadi hari ini adalah hari yang tepat bagi Aditama dan timnya untuk beraksi.
Semua persiapan sudah selesai meskipun tadi sempat terjadi perubahan rencana dadakan. Semula, tim dibagi menjadi tiga tim yabg terpencar ke beberapa tempat. Namun menyusul informasi terakhir dari Reno, semuanya diubah dan digabung menjadi satu tim gabungan yang besar. Reno bilang, akan ada sekitar dua puluh orang di sana. Jadi Aditama memerlukan setidaknya sepuluh hingga dua belas anggota polisi yang siap dan tangkas.
Beberapa jam sebelumnya siang itu.
"Target kita lebih unggul secara stamina, Iptu. Jadi kita juga harus menyiapkan anggota yang fit, untuk berjaga jika mereka mulai melakukan perlawanan." Aditama dan beberapa anggota kepolisian lain yang berada di situ mengangguk setuju. "Dan satu lagi. Lebih baik menggunakan mobil biasa atau mobil tanpa sirine. Karena jarak tempat tersebut dari perkampungan cukup berjarak. Khawatirnya mereka sempat mendengar bunyi sirine dan malah seperti memberikan mereka waktu untuk kabur."
"Saya setuju yang ini." Salah satu dari mereka angkat bicara.
"Saya juga." Sahut yang lain.
"Seharusnya memang begitu. Lagipula ini kan bukan sinetron Indonesia yang dramanya kepenuhan sampai adegannya jadi nggak masuk akal."
Suara gelak tawa memenuhi ruangan besar yang biasa dibuat untuk rapat - rapat penting kepolisian dan satlantas atau yang melibatkan keduanya.
Rano melirik jam yang terpasang di salah satu dinding dan undur diri
"Baik kalau begitu, selanjutnya saya serahkan pada Bapak - bapak dan rekan - rekan semuanya yang ada di sini. Saya harus pamit, karena Rolis bisa pulang kapan saja di jam - jam ini. Semoga operasi kita kali ini sukses!"
Mereka semua mengangguk dan berseru penuh semangat. Aditama mengantarkan Rano sampai parkiran luar kantor polisi.
"Kamu naik apa, No? Mau tak pesenin ojol?" tawarnya. Cuaca Jogja di siang hari panasnya minta ampun. Rasanya seperti bisa melubangi kepala hingga tembus ke kaki. Tak tega rasanya dia melihat pemuda ini jalan kaki sendiri di cuaca sepanas ini.
"Nggak usah, Ip. Saya khawatir ada yang lihat saya nanti di sini. Saya khawatir juga ojolnya masih antek Rolis. Bocah itu kekuasaannya sudah mau saingan sama preman Malioboro."
"Terus kamu gimana? Jalan kaki?"
"Ndak lah, Ip. Saya ada ojek yang saya sewa nunggu nggak jauh dari sini. Tenang aja, saya udah pastikan orangnya bersih dan tak memiliki hubungan apapun dengan Rolis." Aditama mengangguk puas. Sedikit lega juga karena Rano tak akan pulang jalan kaki di cuaca yang sepanas ini. "Semoga verhasil dan lancar operasinya kali ini, Ip."
Lagi - lagi Aditama mengangguk. Kali ini sambil menepuk sebelah bahu Rano. "Kamu juga sukses. Semoga tak ada yang curiga sampai operasi selesai."
Kembali pada saat ini
Pria tanggung hampir empat puluh tahun itu duduk termenung di kursinya. Operasi akan dilakukan kurang dari dua jam lagi. Sebenarnya barusan tadi ada rapat untuk pengecekan. Tapi dia pamit, tak ikut. Dan kebetulan diijinkan.
Rekan - rekannya sudah paham. Bahwa sebelum operasi dimulai seperti biasanya, dia akan meminta waktu untuk sendiri. Meskipun dia dangat berambisi dan terobsesi untuk memberantas jenis kejahatan ini, tapi setiap kali menjelang operasi besar seperti ini, dia selalu menjadi emosional. karenanya dia butuh waktu sendiri untuk menenangkan hati dan pikiran.
Aditama merogoh saku celananya, mengeluarkan dompet kulit berwarna coklat tua dan membukanya. Di sana, masih ada foto sepasang suami istri yang sedang tersenyum bahagia, memamerkan perut buncit sang istri. Itu adalah dia dan mendiang istrinya.
Rasanya asing melihat wajahnya tersenyum lebar dan bahagia seperti itu. Sudah amat lama dia bahkan tak tertawa dengan lepas.
"Na, kamu apa kabar di sana? Baby nggak nakal kan? Dia baik - baik nemenin kamu di sana?" Aditama memulai monolognya pelan dan serak. "Kemarin aku habis nengok kalian, Na. Aku bawain bunga kesukaan kamu. Gimana? Kamu suka nggak?" Dia melanjutkan dengan suara yang semakin serak penuh tangis. "Na, hari ini kami mau grebeg markas klitih lagi, Na. Mungkin bukan yang ketemu sama kamu dulu, tapi klitih tetap klitih. Kuatin aku ya, Na. Doain semoga lancar "
Bahunya bergetar di akhir kalimat. Isakan lirih terdengar dari bibirnya yang terkatup rapat. Dia merasa takut, kesepian dan penuh dendam. Hidup seperti ini, rasanya sungguh tak menyenangkan. Dia bosan. Tapi dia tak tahu bagaimana cara keluar dari lingkaran setan ini.
Aditama mengusap kedua matanya saat sayup - sayup adzan maghrib terdengar. Suara muadzin yang berseru mengajak ummat untuk melaksanakan kewajiban dia jawab pelan dan lirih. Setelahnya, dia bangkit dati kursinya, mengembalikan dompet yang sedari tadi dipegangnya ke saku belakang celananya dan meraih sarung dari salah satu laci mejanya, bersiap menghadap Sang Pencipta dalam sujud penuh doa.
Dia berjamaah dengan para anggota kepolisian lain di musholla belakang yang ada di kantor polisi tersebut. Setelah sholat dan berdoa sejenak, dia kembali ke ruangannya, mengembalikan sarungnya dan mulai memakai atribut - atribut kelengkapan polisinya. Dia mengecek pistol dinasnya dan membenarkan lencananya.
Siap untung beraksi malam ini!