Bab XXII

1348 Words
Farhan merasa dia tidur nyenyak sekali kali ini. Tak bermimpi, tak ada kekhawatiran yang berasal dari alam bawah sadar mengusik, tak ada. Namun anehnya bukan ketenangan yang dia dapatkan. Tapi kekosongan. Dia merasa kosong dan hampa. Dan itulah yang akhirnya mengusiknya untuk bangun. Fia ingin segera bangun karena kekosongan ini amat menyesakkan. Itu salah satu yang membuatnya ingin bangun. Selain itu, faktor lainnya adalah teriakan dan suara orang - orang yang berlari di sekelilingnya. Itu mengganggu! Mereka kenapa, sih?! Kenapa nggak anteng saja main remi seperti biasanya? Kenapa mereka harus main entah apa ini yang melibatkan kari dan kejar - kejaran?! Apa - apaan pula mereka ini saling berteriak? Mereka kan sudah bukan anak - anak yang kalau main sambil memekik dan berteriak? Farhan membangunkan dirinya, duduk di atas dami atau jerami kering yang menjadi alas tidur di barak yang menjadi markas mereka. Beberapa tempat, terutama di lantai atas memang banyak diisi dami seperti ini untuk alas tidur atau sekedar untuk duduk. Bahannya empuk, dan mampu menghangatkan mereka saat hujan deras melanda. Dia mengucek matanya dengan salah satu tangan sebelum membukanya. Dia duduk diam di tempat sambil mengumpulkan nyawa dan mengamati apa yang terjadi di sekitarnya. Teman - teman satu kelompok klitihnya sibuk berlari ke sana kemari menghindari kejaran orang - orang yang berpakaian coklat. Sebagian dari mereka ada yang sudah tertangkap dan dikumpulkan berlutut dengan tangan terangkat tinggi di atas kepala. Mereka dijaga oleh orang - orang berpakaian coklat yang sama seperti yang masih mengejar teman - temannya. Orang - orang berbaju coklat ini mirip sepeti polisi saja. Perlu beberapa saat bagi Farhan untuk menyadari bahwa mereka memang benar adalah polisi. Matanya langsung terbuka lebar, sementara jantungnya berdebar kencang ketakutan. Dia langsung memasang kuda - kuda dan bersiap untuk lari dari sana saat sebuah tangan yang kokoh dan kuat mencengkeram lehernya. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya hingga membuat wajahnya jadi pucat dan gemetaran. "Mau ke mana kamu." Suara pria dewasa itu bertanya sembari menarik pergelangan tangannya yang dicengkeram dengan kuat menuju rombongan mereka yang tertangkap. Dia didorong hingga jatuh berlutut dan diinstruksikan untuk mengangkat kedua tangannya di atas. Fia melihat beberapa temannya ada yang menangis ketakutan dan ada yang hanya menunduk saja di sana. Tiba - tiba... "Jangan asa yang pergi dari sini satu pun! Kalau tidak..." "Dor!!" Mereka semua di sana tersentak kaget saat suara tembakan itu terdengar dari salah satu petugas polisi yang ada di sana. Petugas tersebut masih memegang pistolnya yang masih mengarah ke atas, membuat suasana di barak tersebut seketika hening. Farhan mengambil kesempatan tersebut untuk melirik jendela besar di dinding yang berada di sisi kanannya. Dia sedikit kaget karena mendapati matahari sudah terbenam di luar dan saat ini langit sudah gelap gulita. Dia tertidur berapa lama? Beberapa orang lagi dibawa ke kumpulan mereka. Dia melihat ada Panji, Mas Rano, bahkan Rolis juga semuanya teringkus. Tak pernah sekalipun dia berpikir kalau aksinya yang iseng ikut kelompok seperti ini akan berakhir seperti ini. "Bangun! Semuanya bangun! Berdiri dan ikuti saya!" Salah seorang dari mereka kembali berseru. Farhan tetap di tempatnya, meneladani beberapa orang yang berada di sekitarnya yang juga bergeming di tempatnya. Tapi tepukan dan tendangan kasar mereka terima, membuat mereka mau tak mau menurut untuk berdiri dan berjalan ke arah yang mereka tuntun. Tak seperti malam - malam sebelumnya yang hujan, malam ini cerah meskipun sedikit mendung. Masih ada seberkas cahaya bulan yang menerangi jalan setapak yang mereka lalui di antara kebun dan semak belukar yang memisahkan markas mereka dengan perkampungan luar. Farhan tak berhenti berkeringat dingin. Bibirnya gemetaran tak karuan, hatinya takut dan gelisah. Bahkan matanya pun kini sudah mulai berair. Dia teringat ibunya di rumah. Pada pertengkaran mereka saat dia pergi tadi. Dan itu membuatnya semakin takut dan tak karuan. Dia merasa telah mengecewakan Ibunya karena tertangkap seperti ini. Dari awal, dia tak berencana memberi tahu ibunya tentang kenakalannya yang ini. Dia hanya ingin sedikit bermain - main melampiaskan segala amarah dan kekesalannya pada dunia, dan setelah puas, dia akan kembali menjadi Farhan si anak baik yang dibanggakan oleh Ibunya. Tapi sekarang semua itu pupus karena mereka sudah terlebih dulu terciduk oleh aparat. Dia mengusap wajahnya pada salah satu lengan kausnya saat melihat jalan setapak gelap yang entah menuju ke mana. Saat ini, hantu atau pun setan sama sekali tak menakutkan baginya. Yang paling membuat Farhan takut adalah tatapan kecewa penuh air mata Ibunya jika wanita itu tau apa yang dia lakukan. Tak boleh! Dia tak boleh berakhir seperti ini!! Farhan mengernyit kan alisnya saat memperlambat sedikit laju langkahnya. Dia sudah mengecek. Tak ada polisi yang berjaga persis di sampingnya. Jika dia berlari amat cepat dan bersembunyi di semak - semak, maka dia akan selamat. Iya, kan? Dia menghitung dalam hati saat gang tersebut semakin dekat. Satu Dua Tiga!!! Farhan berlari secepat kilat memisahkan diri dari rombongan menuju gang gelap yang penuh semak - semak. "Hei!!!" *** Prang!!! "Astaghfirullahaladzim..." Bibir tipis yang selalu polis tanpa polesan gincu itu berucap lirih. Dua orang paruh baya yang juga tinggal di rumah tersebut datang tergopoh - gopoh. "Sih, Marsih, kamu ndak papa, Nduk?" Tanya Ibunya. Dia menggeleng pelan, tak merasakan ada luka gores yang membuat salah satu jarinya berdarah. Tatapannya linglung, seolah tak fokus pada apa yang terjadi saat ini. "Gusti, Pak. Darah!" Dia pun hanya menengok sekenanya saja pada jari telunjuknya yang tergores dan kini mengucurkan darah dengan derasnya. Tak ada rasa sakit terbias di wajahnya. "Ambil plester sama obat merah, sana. Aku beresin belingnya." Kata si Bapak. Ibunya langsung menurut dan buru - buru beranjak dari sana untuk mencari apa yang mereka butuhkan tadi; Obat merah, sama plester. "Nduk, kamu ndak papa?" Pertanyaan Bapaknya kembali menyentaknya sebentar. Namun dia tak menjawab selain dengan gelengan pelan. Pria tua kurus yang hanya memakai celana kolor itu menghela nafas dalam sebelum meraih lengannya dan menuntunnya ke dalam rumah. "Ayo, sini, sini. Awas, ati - ati ada banyak beling. Nah, begitu." Kemudian dia mendudukkan putri semata wayangnya itu di atas dipan di depan TV. " Kamu tunggu Ibumu di sini. Bapak mau mau bersihkan pecahan belingnya biar ndak lukain orang. Ya?" Dia hanya mengangguk sekilas. Entah kenapa dia seperti berada di dunia lain sejak siang tadi. Tepatnya sejak dia dan putra semata wayangnya bertengkar dan sang putra memutuskan untuk meninggalkan rumah tanpa pamit. Itu sudah berjam - jam lalu terjadi. Sekarang sudah jam sepuluh malam, tapi putranya tak ada tanda - tanda kembali. Itu membuatnya teramat khawatir dan entah mengapa dia jadi was - was. Dia takut sesuatu terjadi pada putranya! "Sini tangannya, Ibu bersihkan." Dengan linglung dia menurut. Lalu seperti baru sadar kalau dia di rumah ini tak sendirian. Ada Bapak dan juga Ibunya yang tinggal di sini juga. "Bu?" "Opo." "Ibu kok belum tidur?" Tanyanya dengan bingung. Ibunya dengan telaten mengusapkan obat merah pada lukanya, membersihkan tetesan yang tak pada tempatnya dengan kapas sebelum membalut lukanya dengan plester berwarna putih orange biru, andalan sejuta umat. "Nah, sudah. Tadinya udah tidur. Tapi kebangun kaget gara - gara piring pecah. Kamu kenapa, tho? Mikir apa?" Tanyanya dengan wajah prihatin. "Marsih mau nyimpenkan lauk buat Farhan tadi, Bu. Siapa tau dia pulang. Kan tadi belum makan. Tapi mendadak kaya mak less gitu. Perasaan Marsih nggak enak, Bu." Kalimatnya berakhir lebur bersama isakan lirih yang semakin lama semakin kencang. "Marsih nyesel, Bu. Seharusnya Marsih nggak marah - marah begitu sama Farhan. Seharusnya Marsih bisa bicara baik - baik sama Farhan. Farhan cuma oengen tau Bapaknya Bu... huhuhu." Kedua wanita berbeda generasi itu berpelukan. Satunya tersedu, dan satunya menahan air mata yang hendak leleh di mata rentanya. "Sudah, sudah. Kamu tenang dulu. Nanti kalau Farhan pulang..." "Kulo Nuwun!" Kulo nuwun merupakan kalimat yang menyatakan permisi, lazim diucapkan orang jawa saat bertamu ke rumah orang lain. Kedua wanita tersebut tersentak kaget dan heran. Jam segini siapa yang bertamu? Saat itu Bapaknya datang dan menawarkan diri untuk membuka pintu. "Sudah, buat Bapak aja. Paling orang ronda minta jimpitan." Tapi perasaan tak enak Marni semakin menjadi - jadi. Rasa tak enaknya kini bahkan sampai membuat dia mual, jadi dia mengikuti Bapaknya keluar untuk mengintip siapa yang bertamu. Keduanya terkesiap kencang begitu pintu dibuka dan terlihat jelas siapa yang bertamu ke rumah mereka
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD