Bab 15

2187 Words
Perjalanan menuju ‘The City of Love’, 1998 “Tidak mungkin,” kilah Jesse sembari mengempas punggungnya di atas kursi. “Tidak mungkin kau tidak merasakan apa-apa. Kau marah, kau kecewa dengan fakta kalau aku tidak mengingat anniversary kita.” “Itu benar, Jesse! Aku tidak merasakan apapun..” Karen bersikeras. “Kau pikir aku mengarang semua itu hanya untuk membuktikan sesuatu? Tidak! Aku mengatakannya apa yang kurasakan dan itulah yang kurasakan.” “Kurasa tidak. Kurasa kau tidak benar-benar tahu apa yang kau rasakan karena kau dipenuhi oleh kemarahan. Aku sudah begitu membuatmu kesal sehingga kau berpikir kalau kau tidak mencintaiku lagi..” “Aku tidak mencintaimu lagi, Jesse,” potong Karen. Kalimatnya sekaligus membuat laki-laki itu membisu. “Aku tahu itu benar.” “Dengar, Karen, aku tahu apa yang kulakukan padamu sangat buruk. Aku tahu kalau kau marah padaku, tapi tolong.. tidak bisakah kita diskusikan ini dulu.” Karen menggeleng, tatapannya jatuh ke luar jendela. Pada detik itu, ia tidak lagi memiliki keinginan untuk menatap Jesse. “Tidak, itu tidak akan bekerja. Tidak akan bekerja seperti itu.” “Apa maksudmu? Kau bahkan belum mencobanya..” “Aku sudah mencobanya, Jesse!” protes Karen dengan kesal. “Aku sudah mencobanya, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Kau berkeliaran di sekitar rumah seperti tidak ada yang salah tentang semua itu..” “Kau tidak mengatakan apa-apa, bagaimana aku tahu..” “Aku tidak perlu mengatakan apa-apa. Untuk alasan apa? Kau bahkan tidak punya waktu untuk duduk dan mendengarkanku lagi. Kita tidak pernah berbicara empat mata selama hampir satu tahun! Kita semua disibukkan oleh pekerjaan dan kau adalah satu-satunya orang yang merasa tidak keberatan dengan semua itu, karena kau pikir kau sedang melakukan sesuatu untuk kami: untukku dan Myra, tapi aku tidak Jesse.. aku tidak. Dan aku benci fakta bahwa tidak satupun diantara kita berusaha memperbaikinya. Tidak kau, tidak juga aku. Jadi, tolong, jangan katakan bahwa kau menyesal tentang apapun, kau tidak melakukan kesalahan, dan aku bukan korban disini. Aku tidak pernah berpikir begitu. Seperti kataku, apa yang terjadi adalah apa yang terjadi. Bukan salahmu, bukan salahku, itu hanyalah apa yang terjadi.” Jesse mengambil waktu sejenak untuk menimbang, kemudian bertanya, “apa maksudmu saat mengatakan bahwa ‘itu hanyalah apa yang terjadi’?” “Maksudku, itu sudah jelas.. tidak satupun dari kita mengharapkan hal ini akan terjadi, tapi itu memang sudah terjadi.” “Jadi kau pikir tidak ada kesempatan yang terbuka untuk memperbaikinya?” “Tentu saja ada, tapi itu sudah hilang sejak berbulan-bulan yang lalu. Sekarang tidak ada yang perlu diperbaiki. Aku mengatakan semua ini bukan karena aku membencimu, Jesse..” “Oh ya? Lalu untuk apa kau mengatakannya? Jika kebutuhanmu begitu mendesak, kenapa kau harus menjelaskannya padaku?” “Aku mengatakannya karena aku masih menghargaimu..” Jesse mendengus keras dan tersenyum lebar. Kedua bahunya berguncang pelan ketika laki-laki itu tertawa. “Menghargaiku..? Kau pikir itu akan membuatku merasa lebih baik?” Ada rasa kesal yang dirasakan Karen ketika melihat rekasi Jesse, tapi kemudian ia dengan cepat meredamnya dan berkata, “merasa baik atau tidak, aku akan tetap mengajukan perceraian itu. Aku hanya ingin kau bekerjasama, sehingga itu akan lebih mudah untuk kita.” “Aku bekerja keras selama beberapa bulan terakhir, kejam sekali kau menumpahkan semua ini padaku dalam beberapa menit saja..” “Aku tahu kau bekerja keras,” sela Karen, rahangnya mengeras dan tatapannya menusuk tajam ke arah Jesse. “Aku tahu kau melakukan yang terbaik untuk keluarga ini, dan aku sangat bersyukur untuk itu. Aku tahu kau adalah ayah yang baik untuk Myra sedangkan aku tidak. Aku tahu semua itu Jesse, jadi jangan mengingatkanku lagi tentang semua yang kau lakukan karena itu tidak akan mengubah apa-apa. Berkali-kali kutegaskan padamu, itu tidak akan membuat perbedaan. Dan jika kau bertanya, yang mana kenyataannya tidak, sudah berbulan-bulan lalu sejak aku mempersiapkan semua ini. Berbulan-bulan yang lalu sejak aku berpikir untuk meninggalkan rumah itu. Berbulan-bulan, Jesse! Jadi jangan yakinkan aku bahwa aku mengambil keputusan gegabah. Tidak, sama sekali tidak! Aku memikirkannya secara matang. Aku tidak marah, aku tidak kecewa, tidak ada emosi apapun yang memengaruhi keputusanku. Aku ingin perceraian. Aku mengambil tanggungjawab penuh atas keputusan itu dan itu adalah pilihanku. Sekali lagi, itu adalah pilihanku. Jadi tolong.. tolong pelajari surat-surat itu kemudian tandatangani. Kau boleh mencoret semua pernyataan yang tidak kau setujui, aku akan mengajukannya pada Don untuk direvisi. Kumohon Jesse.. aku hanya merasa lelah dengan semua ini, jadi tolong selesaikan dengan cepat. Aku memohon padamu.” Ada keheningan yang panjang selagi Jesse memandangi surat-surat di atas meja dan wajah Karen secara bergiliran. Laki-laki itu kemudian menyipitkan kedua mata dan menatap keluar jendela, dimana terik matahari menyorot wajahnya dengan tajam, mempertergas kerutan tipis di atas dahi dan di bawah matanya. Rambut coklat Jesse yang tidak beraturan tampak berwarna keemasan di bawah pantulan cahaya. Sedangkan kedua mata coklatnya tampak kosong. Karen tahu ketika Jesse mulai resah, laki-laki itu selalu menghindari tatapannya. Jari-jarinya bergetar sementara raut wajahnya menyembunyikan emosi itu dengan baik. Kemudian, setelah menunggu lama, Jesse akhirnya kembali pada Karen. Kini suaranya terdengar lemah. “Kau merasa lebih baik jika aku menandatangani surat ini?” “Ya, itu membuatku jauh lebih baik.” “Ini yang benar-benar kau inginkan?” Jesse menyakinkan Karen. Meskipun kesal, Karen berusaha menanggapinya dengan suara netral. “Ya, ini yang kuinginkannya.” “Biarkan aku memeriksanya dulu.” “Ambil waktumu, aku tidak akan menganggumu.” Karen duduk diam disana, menyilangkan satu kakinya di atas kaki yang lain sembari melipat kedua tangan di depan d**a. Selama beberapa menit yang canggung, ia hanya mengawasi Jesse membaca semua perjanjian dalam surat itu. Namun sudah hampir tiga puluh menit berlalu sejak Jesse membaca surat itu, tapi tidak ada satupun halaman dalam surat perjanjian yang ditandatanganinya. Karen sudah membaca surat itu dua hari yang lalu. Tebalnya tidak sampai sepuluh halaman, dan isinya hanya berupa pernyataan pembagian harta dan properti. Surat itu juga sudah memperinci barang-barang apa yang akan dimiliki Karen dan barang-barang yang dibawa Jesse nanti saat proses perceraian selesai. Tidak butuh waktu sepuluh menit bagi Karen untuk memahami isi dan membubuhkan tanda tangannya, tapi entah bagaimana Jesse terus mengulur waktu dengan membolak-balik setiap halaman yang sudah dibacanya dan mengambil waktu tiga kali lebih banyak dari Karen. Untuk alasan yang sama, Karen merasa kesal. Alisnya saling bertaut, tubuhnya bergeser di atas kursi dengan gelisah. Karen melirik jam tangan dan mendapati kalau saat itu sudah pukul satu siang. Tidak terasa kereta sudah bergerak selama hampir tiga jam. Tidak terasa kalau baru tiga jam yang lalu mereka masuk ke dalam gerbong itu tanpa tahu perdebatan apa saja yang akan terjadi. Karen masih menunggu dengan sabar, sepuluh menit berikutnya Jesse akhirnya buka suara. “Bisa jelaskan lagi masalah pembagian hak asuh atas Myra? Disini dikatakan kalau kau bersamanya sepanjang akhir pekan, ditambah hari jumat.” “Ya.” Jesse mengerutkan dahinya, menunggu Karen mengatakan hal lain. Namun ketika wanita itu tidak bicara apa-apa, ia akhirnya mengungkapkan protesnya dengan tegas. “Apa menurutmu itu tidak adil?” “Apa? Apa yang tidak adil? Aku hanya bersamanya selama tiga hari. Dia akan bersamamu selama empat hari.” “Di hari-hari sibuk?” ucap Jesse dengan ketus. “Aku bekerja sepanjang pekan, kau tahu aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku..” “Begitu juga denganku, Karen.” “Pekerjaanmu lebih fleksibel. Kau bisa bekerja di rumah untuk mengawasinya. Lagipula kau juga sibuk pada akhir pekan. Aku sudah memikirkan itu dengan matang..” “Tidak! Siapa bilang aku sibuk di akhir pekan? Kau tahu itu Karen. Aku selalu meluangkan akhir pekan untuk keluargaku.” “Tidak sejak beberapa minggu terakhir.” “Benarkah? Aku pergi bersama Myra ke gereja saat kau sakit. Aku mengantar anak itu ke rumah neneknya ketika kau mengatakan ada urusan dadakan di galeri yang harus kau selesaikan. Aku ada bersamanya sepanjang malam, menonton film dan membacakan dongeng untuknya selagi kau tidur. Kau tidak ingat itu? Oke, aku sibuk dua minggu terakhir, tapi apa selalu begitu? Bagaimana dengan minggu-minggu sebelumnya? Apa aku pernah melewatkan rutinitas itu?” Karen terhenyak di kursinya, sejenak merenung. Dahinya berkeringat, kemudian tanpa memikirkan konsekuensi atas tindakannya, ia langsung menarik surat itu, mengeluarkan pena dari tasnya kemudian mencoret pembagian jadwal hak asuh dan menukar namanya dengan nama Jesse. “Oke, kau mau kita bertukar jadwal? Tidak masalah. Kau boleh bersamanya selama akhir pekan, dia akan bersamaku dari senin hingga kamis. Sudah, kan?” Setelah memeriksa coretan itu, Jesse kembali memeriksa persyaratan lain. Karen mengamatinya dengan gelisah. Ada sesuatu yang terasa mengocok seisi perutnya. Ia terus memikirkan hal itu sembari menatap ke luar jendela. Pikirannya melayang ke tempat yang jauh, dan Karen tidak bisa berhenti untuk bertanya: akan seperti apa kehidupannya tanpa Jesse nanti? Segalanya jelas tidak akan sama lagi, dan jelas semuanya akan baik-baik saja, tapi lagi-lagi Karen bertanya-tanya apakah itu kehidupan yang diinginkannya? Terlepas dari semua kemantapannya untuk mengakhiri pernikahan itu, dapat dikatakan Karen sudah bersama Jesse selama hampir sepanjang hidupnya. Mereka pergi ke sekolah bersama-sama, melewati banyak hal bersama-sama, dan menjadi saksi hidup dari satu sama lain. Setelah surat perceraian ditandatangani dan pengadilan dibubarkan, Karen tidak akan melihat laki-laki itu setiap hari lagi. Jesse tidak akan menjadi wajah pertama yang dilihatnya ketika ia terbangun dari tidurnya, dan semua yang berlalu di belakang mereka perlahan akan terhapus seiring berjalannya waktu. Setelah hampir lima belas menit bergumul dengan pikirannya, Karen kembali menatap Jesse. Laki-laki itu masih duduk diam disana, mengusapkan jari-jarinya di atas dahi, sesekali berdeham, kemudian menghela nafas panjang. Sejauh itu tidak ada yang dilakukan Jesse selain membolak-balik halaman dalam surat-surat itu. Yang membuat Karen bertanya-tanya adalah, apakah laki-laki itu benar-benar membaca semua persyaratan yang tertulis disana. Dan ketika Jesse tidak kunjung menandatanganinya, Karen akhirnya buka mulut untuk bertanya. “Jesse? Jesse! Kau sudah membacanya sejak tadi. Itu bukan persyaratan yang sulit untuk dipahami. Kau boleh mengatakan apa yang membuatmu keberatan, kita akan menduskusikannya kemudian kau tandatangani surat itu.” “Berapakali kau memeriksa semua perjanjian dalam surat ini, Karen?” “Belasan.. Mungkin puluhan.. Aku tidak tahu. Tapi aku benar-benar sudah memeriksa semuanya.” “Jadi kenapa aku harus memeriksanya juga?” “Agar kau tahu kesepakatan apa yang kau setujui.” “Kesepakatan?” Karen memejamkan mata kemudian memperbaiki ucapannya dengan cepat. “Maksudku perjanjian perceraian. Kau tahu maksudku.” Jesse menimbang kemudian menutup map berisi surat-surat itu, mendorongnya menjauh kemudian mencondongkan tubuhnya ke arah Karen dan berkata, “dengar! Coba pikirkan tentang Myra. Menurutmu bagaimana perasaannya jika mengetahui orangtuanya akan berpisah?” “Dia akan mengerti Jesse..” “Dia baru empat tahun! Demi Tuhan, empat tahun, Karen! Apa yang dimengerti anak berusia empat tahun tentang perceraian? Dan apa yang akan kau jelaskan padanya? Sementara anak-anak seusianya sibuk bermain dan belajar, dia justru harus memilih tinggal bersama ayah atau ibunya? Bagaimana dia akan berekasi tentang hal itu? Menurutmu dia akan baik-baik saja?” Karen berdecak kesal, kemudian sekali lagi beringsut di atas kursinya. “Aku yakin dia baik-baik saja, kecuali karena kau memperbesar masalah ini.” “Kau benar-benar ibu yang egois..” “Tunggu.. Apa? Aku? Ibu yang egois?” “Ya,” tantang Jesse. “Kau menumpahkan semua ini padaku dan juga pada putrimu. Kau tidak memberi kami pilihan, apa yang kau inginkan hanyalah keluar dari situasi ini secepatnya – tanpa memikirkan apa keputusanku dan juga keinginan Myra.” “Jesse, aku melakukan semua yang diperlukan untuknya. Saat dia sakit, aku meninggalkan semua untuk menemaninya sepanjang hari. Aku menemaninya les ballet, aku melihatnya tampil di atas panggung. Kau pikir aku tidak menyayanginya? Kau pikir aku tidak menjadikannya sebagai prioritas?” “Bisa kau jelaskan itu padanya?” “Apa?” “Bisa kau jelaskan itu padanya setelah persidangan? Menurutmu dia akan menerimanya dan semuanya akan berjalan baik-baik saja seperti biasanya? Kau pikir semudah itu?” “Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya kau khawatirkan. Ya, kita akan berpisah, tapi kita masih menjaganya bersama-sama. Hari ini dia bersamamu, besok dia akan bersamaku.. Itu bukan masalah besar yang mengharuskan dia memilih salah satu diantara kita..” “Aku tahu, aku mengerti apa yang kau katakan, Karen, tapi bagaimana kau yakin itu adalah kehidupan yang diinginkan putri kita? Apa keinginannya sudah tidak begitu penting lagi untukmu?” Air mata Karen merebak, dan untuk menyembunyikan kesedihannya ia mengerjapkan mata beberapa kali. Dengan kepala menunduk dan suara bergetar, Karen berkata, “Jesse, kumohon.. Jangan buat ini semakin sulit. Aku tidak bisa membahagiakan putriku ketika aku sendiri tidak bahagia. Aku tidak ingin berada dalam situasi ini selamanya. Aku ingin semuanya kembali seperti dulu..” Jesse meletakkan satu tangannya yang hangat untuk menangkup tangan Karen di atas meja. Laki-laki itu kemudian menggosoknya pelan dan memiringkan wajahnya untuk menatap langsung ke arah Karen. “Kalau begitu ayo kita kembalikan semuanya seperti semula..” “Tidak!” bantah Karen sembari menggeleng keras. “Sudah kucoba, tidak berhasil.” “Bagaimana aku tahu apa yang harus kulakukan kalau kau mencobanya sendirian? Beri aku kesempatan, Karen.. Aku akan memperbaikinya.” Hening. Saat air mata jatuh di atas wajahnya, Karen mengusapnya dengan cepat kemudian menarik tangannya dari Jesse dan bersandar di punggung kursi. Sebagai bentuk sikap pertahanan diri, ia menyingkirkan kesedihan itu dengan cepat dari wajahnya, kemudian melipat kedua tangan di depan d**a dan menatap Jesse dengan mantap. “Tidak. Keputusanku sudah final.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD