Part 10 | Partner in Crime

1311 Words
Paginya kembali datang, pagi yang sama dan penuh kebahagiaan bagi Alle, melihat wajah lelap Earl yang menenangkan. Dirinya dan Earl baru saja pulang dari Pulau Addison itu kemarin, satu minggu yang ia habiskan setelah Jeremy menjauhkan Vale dari Earl benar-benar membuatnya bahagia. Dirinya memiliki banyak waktu indah bersama Earl di sana. Rasanya, bulan madu yang ia bayangkan akan menjadi neraka benar-benar tidak terwujud berkat pertolongan Jeremy, dan mungkin dia harus menemui Jeremy dan memberikan sesuatu untuk pria itu, atau kembali menyusun bisnis kotor untuk memisahkan Earl dan Vale. Mengetahui pikiran jahatnya membuat Alle mendesah, menatap sendu pada Earl. Sesungguhnya dia merasa bersalah telah membiarkan Vale bersama Jeremy walau dia tau Jeremy tidak akan melakukan sesuatu yang membahagiakan, tapi jika dia tetap membiarkan hubungan terlarang itu berlanjut dan tidak melakukan apapun, dia juga merasa berdosa. Biarlah dia menjadi pemeran antagonis dalam hidup Vale yang berusaha merebut kekasih pria itu yang pada kenyataannya adalah suaminya. Alle hanya akan berusaha menciptakan banyak momen indah bersama Earl dan memberikan semua cinta dan perhatiannya. Tentang rencana selanjutnya bersama Jeremy, dia akan memikirkannya lagi nanti. Lenguhan itu membuat Alle tersadar dari lamunannya, senyum terbit dari wajah cantiknya melihat Earl yang mengerjap-ngerjapkan matanya polos, membuat Alle tanpa ragu membelai puncak kepala pria itu dan turun ke wajahnya. Earl yang merasakan itu tersenyum pada Alle, menggenggam tangan Alle dan menarik wanita itu kembali dalam pelukannya. “Ah, hari senin sekarang? Aku malas sekali ke kantor,” Earl mengeluh, membuat Alle tertawa dan menepuk pelan punggung pria itu. “Bangunlah, aku juga harus ke boutique dan bertemu beberapa client. Sudah cukup satu minggu yang kita habiskan untuk bersenang senang.” Alle berusaha bangun dan melepaskan pelukan Earl, membuat Earl menggelengkan kepalanya dan tetap memeluk Alle dengan manja. “Earl, sejak kapan kau menjadi manja seperti ini?” Gumam Alle membuat Earl seketika tersadar dan hanya memberikan senyum tipisnya, dia sendiri tidak tau mengapa bertingkah seperti itu, satu minggu yang dia habiskan bersama Alle penuh canda tawa nyatanya begitu menyenangkan, dan membuatnya terkadang lupa, jika Alle bukanlah Vale di mana dia bisa bermanja sepuasnya. “Sorry, aku hanya terbawa suasana, Xa. Aku akan mandi.” Earl beranjak dan langsung bergegas ke kamar mandi, sedang Alle hanya bisa tersenyum tipis lalu bergegas ke dapur untuk membuat menu sarapan sederhana. Fashion show semua rancangannya tahun ini akan di gelar di New Zealand tiga bulan lagi, Alle benar-benar telah mempersiapkannya dari sekarang. Selain itu, dirinya yang juga sudah terikat kerja sama kontrak dengan beberapa brand ternama akan segera launching bulan depan. Semua kesibukan bisnisnya membuat Alle benar-benar harus lebih pintar lagi membagi waktu untuk karirnya dan cintanya, juga kehidupan rumah tangganya. Banyak pekerjaan yang menantinya, juga misi yang pelan-pelan telah ia susun, untuk membuat Earl dan Vale berpisah, bagaimana pun caranya, Alle akan melakukannya, dia telah membuat keputusannya, biarlah dia menjadi pemeran antagonis dalam hidup Earl dan Vale, demi kebaikan mereka juga demi menyelamatkan hati dan memperjuangkan cintanya, walau mungkin nanti yang ia dapat adalah kecewa atau luka, setidaknya dia telah berusaha dan mencoba, juga telah mengukir banyak momen indah bersama Earl. Alle telah selesai dengan pancake-nya tepat saat Earl turun dengan pakaian kantornya dan terlihat lebih rapi. “Coffee or tea?” Tanya Alle membuat Earl tersenyum dan terlihat tampak berpikir. “Coffee, please.” Ungkap Earl lembut sembari menatap lapar pada pancake buatan Alle. “Your coffee, Sir.” Ungkap Alle membawa secangkir americano untuk Earl, membuat Earl tertawa dan mengacak gemas rambut Alle. “Thanks, my lady. Nice breakfast.” Alle juga menikmati teh hijau yang dibuatnya tadi, membiarkan Earl menikmati pancake juga kopinya. “Xa,” panggil Earl membuat Allexa menatapnya dengan tatapan bertanya. “Aku merindukan Soulsteak. Bagaimana jika nanti malam kita makan di sana? Aku akan menjemputmu di boutique.” Ungkap Earl, tentu saja hal itu membuat Alle bahagia bukan main, wajah wanita itu menjadi berseri-seri. “Tentu saja, aku juga merindukannya, mungkin terakhir kita ke sana tahun lalu, sebelum kau sibuk dengan bisnismu dan Vale.” Alle mencibir, membuat Earl terkekeh dan menggenggam tangan Alle lembut. “Aku akan menjemputmu jam tujuh malam, oke?” “Ay ay, captain,” ujar Alle semangat, membuat Earl kembali tertawa, menghabiskan sisa kopinya setelah menyantap dua pancake, lalu pria itu melirik arloji di tangan kirinya dan langsung beranjak dari sana. “Aku ada meeting pagi bersama board of director. Aku berangkat, oke? Jangan lupa nanti malam.” Earl melambaikan tangannya walau sibuk memakai jasnya, membuat Alle yang melihat itu hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah pria itu. Setelah kepergian Earl, suasana berubah menjadi hening, di dapur itu hanya ada dirinya kini, memang semua maid ia perintahkan untuk tidak menyentuh dapur selama Earl dan dirinya masih di rumah. Mengingat ucapan Earl tentang nanti malam tentu saja membuat wajah Alle kembali merona dengan hati yang bahagia. Hubungannya semakin membaik dengan Earl, apalagi sudah seminggu ini Vale benar-benar tidak menghubungi Earl. “Jeremy,” gumam Alle, saat mengingat dia harus menghubungi Jeremy, dan menanyakan keadaan pria itu, apakah masih bersama Vale atau lainnya. Alle lalu beranjak dari dapur menuju kamarnya, bersiap-siap untuk berangkat ke boutique dan akan menghubungi Jeremy dan mengajaknya bertemu jika memungkinkan, mengingat jika Jeremy memang bekerja di Pulau Addison. *** Lalu lalang pejalan kaki menjadi pemandangan sehari-hari yang selalu Alle lihat dari studio lantai tiga miliknya. Wanita itu baru saja tiba di boutique miliknya dan langsung berusaha menghubungi Jeremy untuk menanyakan kabar pria itu juga Vale. Dering ketiga panggilannya akhirnya berbuah manis, suara Jeremy yang menyapanya penuh semangat membuat Alle tertawa. “Hai, my lovely partner in crime, Allexa Addison. Aku merindukanmu dan masih menawarkan tawaran kabur bersama, tapi aku menikmati waktuku bersama Valeria, ah, bagaimana ini, cinta memang membuat manusia bodoh.” Jeremy merajuk di akhir kalimatnya, membuat Alle benar-benar tertawa lepas mendengar candaan pria itu seperti biasa. “Karena aku tidak ingin mengecewakanmu, aku akan memikirkan kembali tawaran kabur bersama itu. By the way, bagaimana kabarmu dengan Vale? Apakah kalian masih berlibur? Atau Vale sudah kembali? Dan kau menjadi pria kesepian di pulau itu?” Tanya Alle dengan nada mengejek, membuat Jeremy mendengus kesal di sana. “Tentu saja tidak, aku mendapatkan tugas besar dari sang raja untuk menemani anak gadisnya yang akan melakukan bisnis ke China. Bagaimana menurutmu? Bukankah itu sesuatu yang bagus?” Tanya Jeremy membuat Alle mengernyitkan keningnya bingung. “Apa maksudmu, Jeremy? Jadi kau tidak lagi stay di pulau dan harus menemani Vale, begitu?” “Ya, Mrs. Addison, perusahaan Addison akan melakukan peninjauan project baru mereka di China, Vale yang akan memimpin, dan tentu aku dengan baik hati akan menjaganya. Menjaga cintaku yang menyakitkan ini.” Jeremy kembali terkekeh, membuat Alle ikut tersenyum, juga menertawakan dirinya sendiri, menyadari persamaan nasibnya bersama Jeremy. “Kau di Hamburg sekarang? Lebih baik kita bertemu, Je.” “Ya, aku dan Vale akan tiba nanti malam di Hamburg, kita bisa bertemu besok, karena besok malam aku sudah harus berangkat ke China dan akan di sana sekitar dua minggu bersama Vale. Lihatkan, kita memang ditakdirkan bertemu untuk mengukir warna yang indah di cerita cinta menyedihkan kita.” Jeremy kembali terpingkal-pingkal membenarkan ucapannya, membuat Alle yang mendengarnya juga ikut tertawa dan merasa miris dalam hati. “Baiklah, kabari aku besok, dan selamat menikmati waktumu bersama Vale selanjutnya.” “Tentu, kita harus bertemu, untuk menyusun strategi selanjutnya, Alle sayang. Kita harus bekerja sama untuk menghancurkan cinta mereka. Kau adalah partner terbaikku, jadi, manfaatkanlah waktu dua minggu ini untuk mencuri hati Earl, aku yakin, pria itu hanya terlalu bodoh menyadari perasaannya.” Ungkapan Jeremy membuat Alle hanya bisa mengernyitkan keningnya bingung. “Apa maksudmu? Menyadari perasaannya pada siapa?” Tanya Alle bingung, membuat Jeremy di sana mendesah panjang. “Ya Tuhan, kurasa kalian memang sangat serasi, sama-sama buta untuk menyadari perasaan satu sama lain. Sudahlah, lebih baik kita bertemu besok.” Setelah mengucapkan itu Jeremy langsung memutuskan sambungan teleponnya, membuat Alle hanya mendecak kesal dan masih memikirkan maksud ucapan Jeremy.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD