2. The Born of The Girl

2507 Words
Jaksonville – Florida Southeast America   15 April 2002   ________________________________     Perputaran waktu terus saja tergantikan. Hari-hari yang dilewati Elena dan Angelie terasa panjang tanpa kehadiran suami mereka. Sudah seminggu lamanya Fredrick dan Lucas meninggalkan keluarga di Florida. Mereka hanya berkomunikasi lewat video call. Elena terus menanyakan kabar Fredrick dan anak-anaknya terus menanyakan kapan ayah mereka akan kembali.   Elena tampak lesu dan tak bersemangat ketika kelopak matanya mulai terbuka menampakan pagi yang menandakan hari telah berganti, dan dia kembali terbangun di atas ranjang king size tanpa Fredrick di sampingnya. Elena melenguh. Dengan malas wanita itu meraih ponselnya lalu mencari nomor Fredrick yang ditulis dengan nama Lovely Husband di kontaknya.   "Selamat pagi, dewiku.”   Sudut bibir Elena terangkat membentuk senyuman ketika suara lembut di seberang telepon menyapanya.   "Hai Fred, bagaimana kabarmu?" tanya Elena.   "Aku selalu baik, tapi berada jauh denganmu membuatku gelisah. Bagaimana denganmu?  Oh, aku begitu merindukanmu, Sayang."    "Aku baik, Fred. Kapan kau akan kembali?" tanya Elena.   "Dua hari lagi, Sayang. Masih ada beberapa urusan dengan client kami. Terlebih, aku harus terus memantau perkembangan perusahaan. Kenapa? apa kau merindukan aku, atau merindukan sesuatu yang ada dalam diriku, heh?" Fredrick masih sempat-sempatnya menggoda Elena.   Elena terkekeh mendengarnya. "Fred, kurasa kau bisa sedikit mengurangi pikiran c*bulmu itu," ucap Elena dengan senyum yang tidak lepas dari wajahnya.   "Oh ayolah, aku juga begitu merindukan dirimu.  Aku ingin berada di antara kedua pahamu sekarang."  Lagi ucap Fredrick. Sontak, pipi Elena terasa panas hingga dia harus menggigit bibir bawahnya.   "Dasar c*bul!" Elena pura-pura menggerutu. Fredrick malah terkekeh di seberang telepon.   "Bagaimana keadaan kedua anak kita, Sayang?"  tanya Fredrick.   "Mereka baik-baik saja, tapi mereka terus menanyakan keberadaanmu. Cepatlah kembali," ucap Elena.   Pasangan suami istri itu sedang menikmati bincang ringan sambil melepas rindu lewat sambungan telepon, lalu tiba-tiba suara berisik dari luar pintu menggema menginterupsi percakapan mereka.   "Mommy ... Mommy!" seru suara di luar, diikuti bunyi pintu yang digedor-gedor dengan kuat.   "Ya, Sayang ada apa?" sahut Elena. Dia berdiri dan langsung mencari alas kakinya lalu bergegas menghampiri pintu kamar.   “Mommy ….”   “Leo?!” Elena berjongkok di depan tubuh putranya. Wajah Leo terlihat panik membuat Elena takut. "Mommy, tante Angelie berteriak di dalam kamar sambil memegang perutnya," ucap Leonard tergesa-gesa.   "Oh my God, Angelie," gumam Elena.   Wanita itu berdiri dan tanpa berpikir lagi, dia langsung menarik tangan putranya. Mereka bergegas menuju ke kamar Angelie.   “Marie ….” Elena berteriak memanggil kepala pelayan mansion. Namun, ternyata para pelayan sudah lebih dulu berada di kamar Angelie.   “Angelie …,” gumam Elena sambil mempercepat langkahnya.   "Mommy, auntie Angelie ….," lirih Leo tersedu-sedu. Pria kecil itu masih syok sebab dia orang pertama yang melihat bibinya berteriak dan itu membuatnya takut.   "Ssshh … tenanglah, Sayang,” gumam Elena.   Wanita itu menunduk lalu memeluk tubuh putranya. Memberinya kecupan di puncak kepala sambil menepuk bahu putranya pelan. Tindakan Elena membuat pria kecil itu sedikit tenang.   Elena melirik pengasuh putranya yang berdiri tidak jauh dari mereka. Pengasuh bernama Naomi itu lalu mendekat dan langsung meraih tubuh Leonard lalu memeluknya. Elena bangkit lantas menuruskan perjalanan menuju kamar Angelie.   Saat Elena hampir meraih gagang pintu, tiba-tiba seseorang telah lebih dulu membuka pintu dari dalam dan ternyata itu adalah Marie, kepala pelayan mansion. Dia langsung membungkukan badannya saat matanya bertabrakan dengan mata Elena.   "Nyonya besar, para dokter dan perawat sudah berada di dalam. Semua peralatan yang diperlukan sudah disediakan oleh tim medis. Mereka memastikan jika nyonya Angelie bisa melahirkan dengan aman. Anda tidak perlu khawatir,” tutur Marie.   Elena mendesah panjang. "Oh God … aku sangat takut,” gumam wanita itu seraya mengelus d^danya. “Syukurlah Lucas telah membayar beberapa dokter dan perawat untuk tinggal dan mengawasi kami di sini. Jadi, kita tidak perlu terlalu khawatir. Hanya saja, dia tetap butuh Lucas untuk menemaninya,” ucap Elena.   Sejurus kemudian, wanita itu bergeming. Menyadari sesuatu. Dia melirik ke bawah pada ponsel dalam genggamannya.   "Halo, Fred kau masih di sana?"   "Ya, kami sedang dalam perjalanan menuju bandara.  Kami akan kembali saat ini juga. Katakan pada Angelie bahwa Lucas sedang dalam perjalanan," ucap Fredrick.   Terdengar suara klakson dan decitan ban mobil yang mengikuti suaranya. Walaupun suara Fredrick terdengar tenang, tapi Elena tahu kalau suami dan adik iparnya begitu khawatir saat ini.   "Fred, berhati-hatilah. Utamakan keselamatan kalian. Aku tidak ingin terjadi sesuatu pada kalian," ucap Elena. Fredrick tidak menjawab, dia langsung mematikan sambungan telepon.   Elena menarik napas untuk kesekian kalinya. Dia membawa ponsel ke d**a dan sambil menangkupkan wajahnya ke atas, Elena mulai memanjatkan doa agar Tuhan melindungi suami dan adik iparnya. Elena juga berdoa untuk adik iparnya Angelie yang tengah berjuang melahirkan keturunan Van Der Lyn.   *** Elena sangat gelisah di depan kamar. Dia bahkan belum berani menengok ke dalam, padahal tidak ada larangan dari tim medis untuk mencegahnya melewati pintu dari kayu mahoni itu. Namun, Elena masih belum menemukan keberaniannya untuk langsung berhadapan dengan Angelie, sebab dia tahu bagaimana menderitanya seorang wanita ketika pertama kali akan melahirkan.   "Mom," panggil Letty.   Dia menghampiri ibunya yang sejak tadi mondar-mandir dengan raut wajah yang terlihat begitu getir. Letty seolah ikut merasakan apa yang sedang dirasakan ibunya saat ini. Hatinya ikut gelisah. Terlebih saat mendengar suara rintihan bibinya dari dalam kamar, Letty langsung bisa merasakan sakit yang saat ini tengah dirasakan sang bibi.   “Mommy …,” panggilnya lagi. Namun, ibunya masih sibuk berkutat dengan pikirannya. "Mom!" Lagi panggil Letty kali dengan setengah berteriak. Elena langsung berhenti dan berbalik saat mendengar suara Letty.   "Ada apa, Nak?" tanya Elena.   Letty menarik napas lalu membuangnya dengan perlahan. Matanya langsung tertuju pada tangan ibunya yang sejak tadi terkatup di depan d**a. Dia meraih tangan Elena. Menggenggamnya lalu membawanya ke sudut ruangan.   “Tenanglah, duduklah dulu,” ucap Letty. Dia menuntun ibunya ke sebuah sofa dekat jendela.   "Aaa ... Sakit ...."   Elena kembali berdiri saat mendengar rintihan Angelie.   "Angelie …," gumam Elena. D^danya bergetar hebat sebab dia tahu bagaimana rasanya seorang wanita yang tengah bergumul sambil menikmati pembukaan demi pembukaan menjelang melahirkan. Selapis carian bening jatuh begitu saja tanpa diminta.   "Mom, tenanglah.” Letty kembali meraih tangan ibunya. Elena menunduk menatap putrinya yang sedang berusaha membuatnya tenang.   “Auntie akan baik-baik saja, kita harus mendoakannya," ucap Letty. Dia membungkus satu tangan ibunya dengan kedua tangan sambil bibirnya mengusahakan senyum simpul yang dia yakin bisa sedikit mengusir kegelisahan di hati ibunya.   Elena yang tampak gunda gelisah, akhirnya bisa sedikit tenang saat tangan hangat putrinya membungkus tangannya. Dia meraih tubuh putrinya dan mereka berpelukan untuk saling menguatkan.   Suasana kembali hening. Elena tidak henti-hentinya memanjatkan doa, sementara Letty tetap setia berada di samping ibunya. Sesekali gadis itu memeluk ibunya sembari menggumamkan kata tenang.   Sedangkan Leo telah tertidur dalam pangkuan Naomi pengasuhnya. Leo kecil kelelahan karena terus menangis. Leonard tergolong emosional sehingga dia seakan merasakan penderitaan bibinya. Dia begitu khawatir sama seperti ibu dan kakaknya. ***   Kira-kira sejam hampir berlalu. Kemudian seorang petugas medis keluar dari kamar Angelie. Elena dan Letty kompak berdiri saat mendengar suara pintu terbuka. Bergegas Elena menghampiri dokter yang barus saja keluar itu.   "Dokter bagaimana keadaan Angelie, apa kita perlu memindahkannya ke rumah sakit?" tanya Elena.   "Nyonya Angelie sudah memasuki pembukaan ke tujuh. Tenanglah, kita tidak perlu membawanya ke rumah sakit karena seluruh peralatan yang diperlukan sudah dipersiapkan di sini. Jadi, walaupun mungkin nyonya Angelie akan dioperasi kita tidak perlu membawanya ke rumah sakit. Kami sudah mempersiapkan semuanya," tutur Dokter.   "Syukurlah," gumam Elena sambil membawa tangannya menyapu d**a.   "Walau begitu, suami nyonya Angelie sepertinya harus ikut menemani istrinya. Nyonya Angelie menanyakan suaminya sejak tadi," ucap dokter.   "Dokter, mereka sedang menuju kemari. Perjalanan dari New York ke Miami hanya memakan waktu dua jam lebih. Kurasa mereka akan sampai sebentar lagi,” ujar Elena.   Dokter mengangguk. Elena memikirkan sesuatu, tetapi ia enggan mengungkapkannya. Wanita itu butuh beberapa menit untuk mengatur pernapasannya sambil mencari keberanian. Mendengar erangan Angelie membuat Elena akhirnya memberanikan diri.   “Bisakah aku melihat adik iparku?" tanya Elena.   Setelah lama berpikir, dia akhirnya membuat keputusan untuk menemui adik iparnya. Jantungnya berdetak dua kali lipat dari biasanya. Dia takut sekaligus cemas.   Sebenarnya, dia agak ragu untuk menemui Angelie. Elena seolah tidak sanggup melihat wajah Angelie, tapi Elena juga paham bahwa Angelie butuh seseorang untuk menyemangatinya.   "Tentu," ucap dokter.   Elena yang tampak ragu, mencoba mengatur napasnya lagi sambil memperbaiki mimik wajanya. Dia berusaha mengusir rasa takut dan gelisahnya dan mencoba memasang senyum di wajah. Elena mulai melangkah.   Seorang pelayan bersedia membukakan pintu sehingga jalannya sangat mulus menghampiri adik iparnya. Elena sempat memalingkan wajah saat melihat Angelie yang sedang didudukan di atas bola karet berukuran besar.   Dua orang pelayan termasuk Marie dan beberapa perawat ada di sana. Seorang dokter sedang mempersiapkan alat medis, salah satunya jarum suntik. Mereka bersiap memberi perangsang pada Angelie yang hampir memasuki pembukaan akhir. Elena tersenyum saat matanya menabrak mata hijau Angelie. Keringat bercucuran di wajah Angelie dan dia tampak sangat gelisah menahan sakit di seluruh tubuhnya.   "Angelie …," panggil Elena.   "Kakak …." Angelie hanya bergumam. Wajahnya tampak lesu. Dia hanya bisa sebatas mengangkat kepalanya tanpa memberi ekspresi lebih. Tubuhnya benar-benar sakit dan seolah tulang-tulangnya sedang dicabut paksa.   Elena yang mengerti apa yang sedang dirasakan Angelie berusaha terlihat tegar. Seorang pelayan memberi kursi untuk diduduki oleh Elena. Dia duduk di depan Angelie. Elena meraih kedua tangan adik iparnya. Dari sini, dia bisa merasakan keringat dingin Angelie.   “Aku tahu apa yang sedang kau alami saat ini begitu menyiksa. Aku pernah berada di posisi itu dan aku begitu menderita, tapi tahukah kamu, jika di sinilah pertarungan kita sebagai seorang wanita. Semua wanita benar-benar akan menjadi seorang wanita. Maksudku, inilah saatnya bagi wanita untuk menikmati hari terindah di hidupnya. Melahirkan seorang keturunan baru dan meneruskan nama keluarganya.”   Elena menarik napas, membuangnya perlahan. Membentuk senyum di bibir lalu meraih rambut adik iparnya. Wanita itu mengusap kepala Angelie dengan lembut.   “Bertahanlah, Lucas sedang dalam perjalanan kemari. Dia begitu senang mendengarmu akan melahirkan, tapi dia juga sangat menghawatirkanmu. Sekarang, ayo sama-sama berdoa dan kita berjuang bersama, hmm?”   Angelie mengulum bibirnya. Air mata kembali lolos di pipinya, tetapi Angelie tetap berusaha menganggukan kepalanya.   “Awh … perutku.” Angelie kembali meringis saat merasakan mulas, diikuti keram di sekujur perut dan kakinya.   “Dokter!” seru Elena sambil melayangkan pandangan kepada para tim medis.   Dengan sigap mereka langsung memindahkan Angelie ke ranjang. Ada tiga orang dokter kandungan dan seorang dokter anastesi ditambah rekan-rekannya yang lain. Jumlah tim medis sekitar lima belas orang. Mereka dengan sigap memeriksa keadaan Angelie.   “Dokter ….” Elena menghampiri salah satu dokter kandungan yang terlihat sibuk.   “Nyonya Angelie memasuki pembukaan kedelapan. Sebentar lagi dia akan melahirkan. Kami akan berusaha semaksimal mungkin,” ucap dokter. Elena mengangguk. Dia kembali menghampiri Angelie dan meraih tangannya.   “Kakak, perutku sangat sakit,” keluh Angelie. Menatap nanar kakak iparnya.   Elena berusaha tersenyum walaupun dia tak mampu menyembunyikan air mata yang sejak tadi menggenang di pelupuknya.   “Hei, kau harus kuat demi bayimu, hmm? Tenanglah, aku akan terus di sini bersamamu,” ucap Elena sambil mempererat genggaman tangannya.   Para dokter terlihat sibuk memasang alat-alat dan beberapa di antara mereka tengah berdiskusi sambil mengecek sebuah tablet berisi rekam medis Angelie. Salah seorang dokter akhirnya menghampiri Elena saat mereka selesai berunding. Mereka berhasil memutuskan sesuatu setelah beberapa saat meneliti kondisi fisik Angelie.   “Mrs. Van Der Lyn,” panggil salah satu dokter.   Elena memalingkan wajahnya. Dokter itu berhenti tepat di samping Elena.    "Nyonya, bisa kita bicara sebentar?" tanya dokter bernama Gerald. Dia adalah salah satu dokter kandungan yang bertugas.   Elena mengangguk. Wanita itu berbalik dan kembali menatap Angelie. “Aku akan segera kembali,” ucapnya. Angelie berusaha menganggukan kepalanya. Elena mengikuti dokter. Mereka berjalan menjauhi bangsal.   "Nyonya Van Der Lyn, sepertinya nyonya Angelie tidak bisa melahirkan secara normal. Kondisi fisiknya mulai menurun. Para dokter menyarankan untuk melakukan oprasi sesar, tapi kami butuh persetujuan dari pihak keluarga," ujar dokter Gerald.   "Dokter, saya harus menanyakannya pada Lucas. Bisakah saya meneleponnya terlebih dahulu?" tanya Elena.   "Baik, nyonya. Namun, kami membutuhkan jawaban segera," ucap dokter.   Elena mengangguk. Bergegas dia menghubungi Lucas. Tidak sampai dua detik Lucas sudah menjawab telepon Elena.   "Katakan Elena,” ucap suara panik dari seberang sambungan telepon.   "Lucas, kata dokter Angelie harus segera dioperasi. Kondisinya tidak memungkinkan untuk melahirkan normal. Mereka menunggu persetujuanmu," ucap Elena.   "Katakan pada dokter untuk melakukan yang terbaik.  Aku ingin bayi dan istriku selamat. Aku menyetujuinya," ucap Lucas.   "Baiklah," ucap Elena kemudian langsung mematikan sambungan telepon.   "Dokter, Lucas menyetujui oprasi sesar," ucap Elena.   "Baiklah, Nyonya. Kami akan langsung memulai operasinya. Tapi untuk itu, ruangan ini harus di sterilkan. Kami mohon Anda untuk menunggu di luar," ucap dokter.   "Baiklah," ucap Elena. Sebelum dia meninggalkan ruangan ini dia kembali menghampiri Angelie.   "Hei, tenanglah, Angelie. Berdoalah. Lucas sedang dalam perjalanan kemari. Kau akan aman. Dokter akan berusaha sebaik mungkin," ucap Elena. Angelie yang terlihat lesu berusaha tersenyum. Elena tak kuasa lagi menahan air matanya. Dia mengecup puncak kepala Angelie sebelum berlalu meninggalkan kamar itu. Elena keluar dengan perasaan gamang. Bayi di dalam perut Elena menendang-nendang dengan hebat hingga Elena perlu duduk. Dia mengampiri putrinya, Letty yang masih setia menunggunya di depan kamar. Mereka kembali berpelukan dan mulai berdoa sambil terus menantikan kelahiran anggota keluarga baru.  Suasan kembali hening. Tidak terdengar lagi rintihan Angelie karena dia sudah diberi suntikan anastesi. Elena dan para pelayan di mansion megah ini terus memanjatkan doa. Bunyi dentuman jam seolah menggema menambah kegelisahan seisi mansion. Namun, mereka tetap sabar menunggu di depan kamar. "Elena!” seru seseorang. Elena langsung berdiri dari kursinya saat melihat siapa yang baru saja memanggilnya. "Fred …." Fredrick mempercepat langkahnya. Dia berlari dan langsung meraih tubuh istrinya. Lelaki Van Der Lyn itu memeluk istrinya dengan erat. Fredrick bisa merasakan ketukan jantung Elena yang menggema seolah memukul dadanya. “Tenanglah, semua akan baik-baik saja.” Fredrick mengecup puncak kepala Elena. Dia tahu persis jika istrinya tengah gelisah sekarang. "Bagaimana keadaan Angelie?" tanya Lucas. Elena menarik dirinya dari pelukan Fredrick. Dia menatap adik iparnya lalu berkata, “Dia sementara menjalani oprasi.” Lucas mendesis. Dia berkacak pinggang, lalu beralih menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Terdengar desahan napas panjang dari Lucas membuat Fredrick menghampiri adiknya. Dia meraih tubuh Lucas dari samping lalu menepuk bahu kanan adiknya. “Tenanglah, semua akan baik-baik saja,” ucap Fredrick. “Aku takut sekali, Fred.” Lucas meremas dahinya cukup kuat. Wajahnya berubah pucat sementara jantungnya berdegup sangat kencang bahkan Fredrick bisa mendengar dentuman jantung Lucas. “Kau sudah berusaha. Sekarang serahkan semuanya pada Tuhan.” Fredrick lanjut berusaha menenangkan adiknya. “Daddy …,” panggil Letty. Fredrick tersenyum. Dia melepas tangannya dari pundak Lucas dan beralih meraih tubuh putrinya lalu memeluknya erat. “Terima kasih sudah menjaga Ibu dan Bibi selagi Ayah dan Paman tidak ada,” ucap Fredrick memasang senyum di wajahnya. Letty tidak menjawab. Dia langsung melingkarkan tangannya pada leher ayahnya lalu menyandarkan wajahnya di pundak kekar sang ayah. Ini hampir larut malam. Letty tak kuasa lagi menahan kelopak matanya yang sedari tadi berusaha menutup. Namun, gadis itu terlalu tidak ingin membiarkan ibunya yang sejak tadi gelisah sendirian. “Tidurlah, Ayah menyayangimu,” gumam Fredrick lalu mengecup puncak kepala putrinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD