Bandung, ruang kantor Reinald Anggara.
Reinald masih disibukkan dengan tumpukan dokumen yang harus selesai ia periksa hari ini. Pasalnya, kontraktor yang menangani proyek itu, akan menarik uang untuk tiga bulan pekerjaan. Reinald begitu teliti memeriksa setiap dokumen tersebut. Suami Andhini itu tidak ingin jatuh ke lubang yang sama seperti beberapa tahun yang lalu.
Ketika Reinald asyik memeriksa dokumennya, tiba-tiba ia dikejutkan oleh dering ponselnya.
Pak Jasrul
Memanggil ...
“Assalamu’alaikum, Pak Jasrul.” Reinald mengangkat panggilan suara itu.
“Wa’alaikumussalam ... Pak Rei, bagaimana dengan MC dan Back Up Data yang sudah kami ajukan? Mohon dibantu untuk disegerakan pak Rei, sebab saya harus menggaji karyawan saya.”
“Ini masih sedang saya periksa, Pak Jas. Namun maaf, apakah pak Jasrul dan Quantity serta site manager pak Jasrul bisa datang ke kantor saya? Ada satu item yang ingin saya pertanyakan.”
“Oiya? Yang mana pak Rei?”
“Mengenai volume pasangan batu. Maaf pak Jas, saya menemukan sedikit kejanggalan di sini. Oh maaf, bukan sedikit, tapi banyak kejanggalan. Back up data tidak sesuai dengan gambar dan volumenya begitu membengkak. Saya butuh penjelasan untuk semua ini.”
“Tapi bukankah itu sudah disetujui oleh konsultan pengawas dan pak Rangga, Pak Rei? Mereka sudah memeriksa semuanya. Bahkan pak Rangga sudah menanda tangani semua dokumen itu.”
“Iya, saya tahu jika konsultan pengawas dan Rangga sudah menanda tanganinya. Akan tetapi saya tidak bisa menyetujui begitu saja jika menemukan sesuatu yang salah.”
“Baiklah pak Rei, Saya dan anggota saya akan segera datang ke kantor pak Rei.”
“Terima kasih pak Jasrul. Saya juga akan meminta pak Sat selaku Supervision Engineer untuk datang ke sini. Saya juga butuh penjelasan dari beliau mengapa beliau menyetujui dokumen cacat seperti ini.”
“Baik, Pak Reinald. Saya akan segera ke sana.”
“Baiklah, saya tunggu. Assalamu’alaikum ....”
Panggilan itu terputus.
Reinald bangkit dari duduknya dan pergi ke luar ruangan untuk memanggil seseorang. Rangga—kaur TU/Teknik Reinald—sedang asyik dengan laptopnya. Pria itu juga harus bertanggung jawab terhadap dokumen yang tengah diperiksa Reinald.
“Rangga, bisa ke dalam sebentar!”
“Iya, Pak.”
Reinald kembali masuk ke dalam kantornya dan kembali duduk di kursi kebesarannya, “Silahkan duduk, Rangga.”
“Terima kasih, Pak. Ada apa bapak memanggil saya?”
“Begini Rangga, beberapa hari ini saya sudah memeriksa dokumen-dokumen ini. Saya sedikit kecewa dengan kamu, Rangga. Mengapa kamu menyetujui begitu saja pembengkakan volume pasangan batu dan juga galian di sini? Bukankah waktu itu sudah saya peringatkan untuk bekerja dengan jujur? Ingat Rangga, hati-hati mempergunakan uang negara!” Reinald menatap anak buahnya, serius.
“Ma—maaf, pak Rei. Pak Jasrul yang mendesak saya untuk melakukan itu. Beliau meyakinkan akan mengejar volume tersebut, nanti. Mereka akan segera mengerjakan semua yang ada dalam dokumen.” Rangga tertunduk.
“Rangga, saya yakin bahwa kamu bukankah orang bodóh. Tidak mungkin kamu tidak membaca gambar dan back up data dengan baik. Angka yang mereka ajukan bahkan tidak sesuai dengan gambar rencana. Saya tidak menemukan shop drawing di sini!”
“Mereka akan segera melengkapi shop drawing setelah dana mereka cair.”
“Hahaha ... Rangga, kamu itu sarjana teknik. Bahkan sekarang kamu tengah menempuh pendidikan S2-mu. Ini juga bukan proyek pertama yang tengah kamu kelola sebagai kaur TU/Teknik. Mengapa kamu bisa dengan mudahnya diperbódoh oleh pak Jasrul. Berapa nilai yang mereka tawarkan untukmu, Rangga?”
“Pak Rei, apa maksud anda?”
“Rangga, saya ini sudah banyak makan asam garam dunia konstruksi. Bahkan maaf ... saya juga beberapa kali nyaris di penjara karena kasus korupsi. Untung Tuhan masih berbaik hati menyelamatkan saya. Namun kini, saya tidak mau jatuh ke jurang yang sama. Saya sudah menghitung ulang proyek kita ini. Jika pak Jasrul mengerjakannya dengan jujur saja, keuntungan untuk mereka sudah lumayan. Apa lagi selama ini saya tidak pernah meminta apa pun kepada mereka.”
“Iya, Pak. Akan tetapi di lapangan itu berbeda, banyak dana-dana setàn yang harus dibayarkan.”
“Kalau angka yang dimainkan masih wajar dan item yang dimainkan juga bukan item yang berbahaya, saya mungkin masih bisa memaklumi. Ya ... anggap saja untuk menutupi kerugian mereka seperti yang kamu katakan tadi. Banyak dana-dana setàn yang harus mereka bayar di luar volume yang sudah mereka rinci. Sekali lagi, saya memahami hal itu. Tapi kali ini berbeda, Rangga! Ini nilainya fantastis dan item yang ingin mereka permainkan adalah item yang sangat berbahaya.“
“Ma—maaf pak Rei.” Rangga kembali tertunduk.
“Maaf, saya sebenarnya tidak mau berpikiran buruk. Tapi jika benar apa yang saya pikirkan, heh ... terlalu picik pola pikirnya. Ingin menjatuhkan orang lain, bukan begini caranya. Saya sudah cukup puas hidup dalam penjara selama dua tahun atas kesalahan yang tidak pernah saya lakukan. Kini, saya tidak ingin mengulangi hal yang sama.”
“Maaf, Pak Reinald. Apa maksud anda?”
“Tidak ada apa-apa. Kita akan adakan rapat darurat hari ini. Kalau perlu, saya akan hadirkan KPA dan PPK di rapat itu.”
Rangga terdiam, ia masih menunduk. Namun dari sudut matanya ia melihat Reinald dengan tatapan tidak senang. Ada sesuatu yang terjadi di dalam hatinya.
“Itu baru sebatas rencana. Untuk rapat pertama ini, saya tidak akan melibatkan mereka dulu. Kita akan selesaikan masalah ini dengan kekeluargaan. Saya akan meminta penjelasan kepada pak Jasrul dan juga konsultan. Mengapa mereka dengan mudahnya menyetujui dokumen cacat ini.”
“Hhmm ... ya, Pak!”
“Kalau begitu silahkan kamu keluar, Rangga! Setelah mereka semua datang, kita akan mulai rapatnya.”
“Baik, Pak. Saya permisi.”
Rangga pun keluar dari ruangan Reinald menuju mejanya. Rangga kemudian menyembunyikan raut masamnya di balik layar laptop.
Sial! Ternyata Reinald itu terlalu pintar, Rangga bergumam dalam hatinya.
Sementara Reinald kembali duduk di kursi kebesarannya. Ia masih terlihat tenang dan berusaha mencerna semua dengan baik. Ia berusaha untuk tidak berpikiran negatif, sebab ia sadar bahwa ia juga pernah melakoni hal itu dulunya.
-
-
-
-
-
G cafe & Resto.
Dua bulan sudah Syifa bekerja di restoran milik Reinald Anggara itu. Ia semakin betah dan nyaman bekerja di sana. Reinald tidak berbohong, kopi dan teh jahe buatan Syifa memang sudah menjadi salah satu menu andalan di kafe itu. Syifa juga mendapatkan bonus atas resep yang sudah ia bagikan untuk Reinald.
Namun, gadis itu tidak bodoh. Ia tidak mau membagi resep itu kepada siapa pun. Tangannya sendirilah yang meracik kopi dan teh jahe pesanan para pelanggàn. Ia tidak ingin siapa pun mencuri resep asli yang sudah diturunkan oleh ibu dan mendiang kakaknya.
Sudah hampir satu bulan Reinald tidak berkunjung lagi ke kafe. Pria tampan itu begitu disibukkan oleh pekerjaannya sebagai abdi negara. Terlebih, dokumen proyek yang tengah ia kelola, tengah bermasalah. Reinald ingin memfokuskan pikirannya untuk itu semua.
Berkali-kali Syifa melirik ke ruangan pribadi Reinald setiap melewati ruangan itu, namun orang yang ia harapkan datang, tidak juga kunjung menampakkan batang hidungnya. Syifa merindu.
“Syifa, kamu sakit?” Salah seorang rekan Syifa menegur gadis itu. Ia tengah merenung di salah satu sudut dapur.
“He—eh ... aku ... aku sedikit tidak bersemangat.”
“Kenapa? Biasanya kamu baik-baik saja?”
“Aku rindu seseorang!”
“Maksudmu? Siapa yang kamu rindukan, Syifa?”
“Dia, pria tampan yang sudah membuat tidurku tidak nyaman setiap harinya.” Netra Syifa menerawang.
“Hei!” Seorang rekan lagi datang dan memukul bahu Syifa, pelan.
“Astaghfirullah ... Desi, kamu mengagetkanku saja.” Syifa terperanjat.
“Habisnya, kamu melamunnya terlalu menghayati. Kamu sedang jatuh cinta ya, Syifa?”
“Apaan sich, siapa yang jatuh cinta?” Syifa segera bangkit dan bersikap salah tingkah.
“Itu tadi, apa yang sudah kamu katakan? Katanya kamu merindu, iya’kan?”
“Ah, siapa yang bilang seperti itu, kamu ngarang!” Syifa berusaha berlalu.
“Hahaha ... Syifa, aku juga mendengar kamu mengatakan itu tadi. Memangnya kamu rindu pada siapa? Setahuku kamu tidak dekat dengan siapa pun di sini.”
“Kalian ini julid sekali. Aku tidak merindukan siapa-siapa.” Syifa kembali berusaha berlalu.
Desi dengan cepat menyambar lengan rekan kerjanya itu, “Jangan bohong, Syifa! Jangan-jangan kamu naksir sama pak Dhani ya? Manajer kita itu’kan suka kasih perhatian-perhatian lebih begitu padamu.”
“Bukan! Kalian jangan mengada-ngada. Pak Dhani itu sudah punya istri. Aku tidak mungkin jadi orang ke tiga?”
“Oiya? Kalau jadi istri kedua, kamu mau’kan? Hahaha.”
“Jangan bercanda, ah ....”
“Syifa, kalau jadi istri ke dua pak Dhani kamu nggak mau, bagaimana kalau jadi istri ke duanya pak Reinald? Kamu mau nggak?” Desi menggoda Syifa.
“Kalau itu mah, aku juga mau, hehehe ....” rekan Syifa yang lain menimpali.
“Kalian ini?” Syifa jengah.
“Ehem ... Ehem ....” Candaan tiga orang sesama rekan kerja itu pun terputus oleh deheman seseorang. Seseorang yang sudah memperhatikan dan mendengar candaan mereka.
***
***
***
Hai, Kesayangan ...
Makasih lho buat yang udah mampir dan baca cerita ini. Buat teman-teman yang mampir ke sini, jangan lupa ya, intip ceritaku yang lainnya juga ... jangan lupa FOLLOW agar teman-teman dapat notifikasi setiap aku up cerita baru atau Up bab baru. Ada banyak pilihan cerita lho.
#Romance (Mas Rei Series)
1. Hubungan Terlarang (Best Seller) (TAMAT)
2. [Bukan] Hubungan Terlarang (Sekuel Hubungan Terlarang) - TAMAT
3. Bukan Hubungan Terlarang 2 (Coming Soon)
#Romance (Cinta beda agama)
1. Mentari Untuk Azzam (TAMAT)
#Komedi Romantis Asyik
1. When Juleha Meets Bambang (On Going)
#Romance (Kekuatan Cinta & perselingkuhan)
1. Bukan Mauku (TAMAT)
2. Bukan Mauku 2 (Sekuel Bukan Mauku) - Coming Soon
3. Menikahi Mantan Suami (TAMAT)
4. Putrimu Bukan Anakmu (TAMAT)
5. CEO'S Secret Marriage (Coming Soon)
#Thriller (seru & mendebarkan)
1. EYES (TAMAT)
2. TERROR & OBSESSION (coming soon)
#Fantasy
1. Pandora Kingdom (Coming Soon)
Salam Sayang Penuh Cinta, KISS ...
## Vhie ##